Share

5

Nina kembali berlari ke kamar mandi, memuntahkan semua isi di dalam perutnya. Sejak tiga hari lalu tidak ada satupun makanan yang masuk ke dalam lambungnya, semuanya masuk dengan percuma. Sudah dua bulan dia disibukkan dengan banyak kegiatan yang menyita waktunya, dan tubuhnya benar-benar menyerah satu bulan terakhir.

Dia bahkan sudah bolak balik IGD lebih dari lima kali dalam dua minggu terakhir.

“Bu? Kayaknya ibu lebih baik istirahat aja, pulang ke Jakarta.” Kumara menatap khawatir Nina yang kini duduk di dekat wastafel, wajahnya terlihat begitu pucat dan tubuhnya gemetaran.

“Bukannya masih ada dua acara lagi ya minggu ini?” Tanya Nina dengan napas yang terengah, dia mengambil tisu yang disodorkan Kumara, mengelap sisa muntahan di bibirnya.

“Kemarin saya sudah bilang sama bu Julie kalau keadaan bu Nina sedang tidak baik, bu Julie setuju untuk datang ke bali menyelesaikan sisanya.”

Nina mengangguk, dia sedikit bersyukur Kumara bertindak cepat dan meminta Julie untuk datang. Di kepalanya bahkan tidak terlintas untuk meminta tolong Julie menyelesaikan bagiannya.

Kumara membantunya untuk bangun, berjalan dari wastafel ke dalam kamar. Nina merebahkan dirinya, menutup matanya sambil terus merasakan mual yang begitu hebat.

“Ra, bisa pesankan tiket pesawat sekarang? Saya mau pulang aja ke jakarta, biar bisa ke Rumah Sakit.” Kata Nina kemudian, dia membuka ponselnya mengecek pesan yang masuk.

Seharusnya dia kembali dari bali bulan lalu, tapi kemudian semua rencananya batal karena pagelarannya di perpanjang lagi. Dia mengecek satu persatu pesan dan mencoba membalas semuanya ketika nama Tikta terlihat di kolom percakapan.

Pembicaraan terakhirnya dengan Tikta adalah ketika pria itu pergi ke lombok dan bertanya padanya apakah bisa bertemu setelah kepulangannya.

Dia terdiam.

“Ra,”

“Ya bu? Saya masih cari penerbangan paling cepat.” Ujar Kumara, berpikir Nina akan bertanya apakah gadis itu sudah selesai memesankannya tiket untuk pulang.

“Bukan itu Ra.” Kata Nina, membuat Kumara menghentikan kegiatannya. Gadis itu terlihat bingung.

“Aku terakhir haid, kapan ya?” Tanyanya.

Kumara menatap Nina. Pertanyaan Nina bukanlah pertanyaan yang aneh. Kumara bertemu Nina delapan tahun lalu ketika dia masih berusia delapan belas tahun, dia yang sedang bingung mencari pekerjaan paruh waktu kemudian diajak wanita itu untuk bekerja di butiknya.

“Tapi gak sekarang, kamu mending kuliah dulu. Kalo sudah kuliah dan butik saya sudah buka, baru saya minta kamu kerja disana.” Katanya kala itu, Kumara yang saat itu bingung menjelaskan kalau dia tidak mungkin berkuliah karena keluarganya tidak mampu secara ekonomi. Tapi kemudian Nina berkata, “Saya gak bilang kamu bayar uang kuliahmu sendiri, saya yang biayain. Tapi kamu harus jadi asisten saya ya, urusin semua yang saya butuhkan.”

Dan kini, sudah delapan tahun Kumara mengurusi segala keperluan Nina. Dari mulai hal sepele sampai yang besar, semua keperluan Nina adalah tanggung jawab Kumara. Termasuk mencatat jadwal haid wanita itu yang kadang telat karena faktor hormon.

Kumara mengecek tabletnya, ada folder tersendiri yang berisi jadwal haid Nina sejak enam tahun terakhir.

Semenjak membuka butik jadwal haidnya benar-benar buruk.

“Dua bulan bu.”

“Terakhir haid?” Nina seperti meyakinkan jawaban Kumara.

“Ya, ibu terakhir haid dua bulan lalu.”

Nina kemudian bangkit, menatap Kumara dengan tatapan horor. Kumara terkejut, dia buru-buru mendekat kearah Nina yang kini semakin pucat.

“Tapi, telat haid sudah biasa ‘kan ya?” Tanya wanita itu, Kumara mengangguk pelan. Nina mengangguk juga, kemudian kembali membaringkan tubuhnya ke kasur. Dia menimbang apakah harus menghubungi Tikta sekarang, tapi kemudian dia mengurungkannya.

Dia ingin memastikannya terlebih dahulu.

“Ra..”

Kumara kembali menoleh.

“Bisa tolong belikan saya testpack?”

Kumara menatapnya, “Untuk siapa bu?!” Katanya dengan sedikit memekik.

Nina memijit dahinya, “Untuk saya, nanti saya jelasin, tolong ya.”

Tanpa basa-basi gadis itu langsung berjalan pergi meninggalkan Nina di dalam kamar.

Ponsel Nina berdering, nama Julie tertera disana.

“Lo kenapa Nin? Maag lo kambuh?” Tanya Julie diujung telepon, dia terdengar santai, dibelakangnya tidak ada suara.

Sepi.

Nina mengecek jam tangannya, pukul sepuluh malam. “Lo masih di kantor? Kok belom balik?” Alih-alih menjawab dia lebih penasaran kenapa wanita itu masih berada di kantor pukul segini.

“Nanggung, gue lagi ngerjain pesenan pak Santo.”

“Astaga, gue lupa ngasih lo info manik permintaan dia..” Kata Nina.

“Santai, Kumara udah ngasih semua listnya termasuk updatean manik yang di minta pak Santo.”

Nina menghela napas, dia beruntung bertemu dengan orang-orang cekatan yang mampu menjaga butiknya dan mengedepankan kualitasnya.

“Terus? Gimana kesehatan lo?” Kata Julie lagi, masih belum puas karena pertanyaannya tidak terjawab.

“Gue minta Kumara beli testpack.”

Hening sebelum akhirnya wanita diujung sana memekik terkejut, “MAKSUD LO?”

“Aduh, gak usah teriak-teriak di kuping gue. Pokoknya gue minta Kumara beli dulu dan gue mau cek dulu, gue terakhir haid dua bulan lalu.”

Diujung sana Julie terdiam, kemudian berkata, “Pas Nin, kalau lo hamil ya pas hitungannya.”

“Diem deh lo, jangan asumsi apapun dulu.”

Julie menghela napas diujung telepon, “Lo minta Kumara beli testpack pasti karena udah punya asumsi terlebih dulu ‘kan?”

Nina memijat keningnya lagi, tidak bisa berdebat sekarang. Kepalanya pusing dan isi perutnya terasa diaduk-aduk.

“Kasih kabar ya kalau lo udah ada hasilnya.” Ujar Julie, Nina mengiyakan dengan suara lemah. “Jangan lupa hubungi Tikta, Nin. Meskipun belum tahu siapa yang sebenarnya nidurin selain dia sama Catur karena sampai saat ini Gata gak bisa dihubungi, seenggaknya kalian bisa berunding. Yang bisa datangi Gata cuma dia.”

Nina hanya menjawab sekenanya, dia tidak mampu berpikir harus bagaimana kalau hasilnya positif. Sampai hari ini dia tidak tahu apakah benar dia diperkosa atau hal itu terjadi karena dibawah pengaruh alkohol. Dia tidak bisa menuduh siapapun.

Lima belas menit kemudian Kumara kembali, dia menyerahkan satu kresek penuh testpack dengan banyak pilihan merk. Nina berjalan masuk ke dalam kamar mandi di bantu Kumara, dia duduk diatas toilet mencoba salah satu merk. Tapi kemudian berakhir mencoba semuanya secara bersamaan.

Dia terdiam di kamar mandi, semua testpack dia balik. Tidak mampu jika harus melihat hasilnya secara langsung.

Tiga menit sudah berlalu, dengan perlahan dia membuka salah satunya. Tangannya bergetar, dia menarik napas dalam-dalam.

“Ah, sialan…” Dia bergumam ketika hasil testpack menunjukkan hasil positif, dengan terburu dia membalik semuanya dan hasilnya sama. Positif.

Dia hamil.

Nina terdiam, memandang semua hasil itu di depannya dan tanpa terasa airmata perlahan jatuh satu persatu, sejurus kemudian dia terisak. Menangis di dalam kamar mandi seorang diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status