Share

5

Penulis: mapoeri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-03 19:57:30

Nina kembali berlari ke kamar mandi, memuntahkan semua isi di dalam perutnya. Sejak tiga hari lalu tidak ada satupun makanan yang masuk ke dalam lambungnya, semuanya masuk dengan percuma. Sudah dua bulan dia disibukkan dengan banyak kegiatan yang menyita waktunya, dan tubuhnya benar-benar menyerah satu bulan terakhir.

Dia bahkan sudah bolak balik IGD lebih dari lima kali dalam dua minggu terakhir.

“Bu? Kayaknya ibu lebih baik istirahat aja, pulang ke Jakarta.” Kumara menatap khawatir Nina yang kini duduk di dekat wastafel, wajahnya terlihat begitu pucat dan tubuhnya gemetaran.

“Bukannya masih ada dua acara lagi ya minggu ini?” Tanya Nina dengan napas yang terengah, dia mengambil tisu yang disodorkan Kumara, mengelap sisa muntahan di bibirnya.

“Kemarin saya sudah bilang sama bu Julie kalau keadaan bu Nina sedang tidak baik, bu Julie setuju untuk datang ke bali menyelesaikan sisanya.”

Nina mengangguk, dia sedikit bersyukur Kumara bertindak cepat dan meminta Julie untuk datang. Di kepalanya bahkan tidak terlintas untuk meminta tolong Julie menyelesaikan bagiannya.

Kumara membantunya untuk bangun, berjalan dari wastafel ke dalam kamar. Nina merebahkan dirinya, menutup matanya sambil terus merasakan mual yang begitu hebat.

“Ra, bisa pesankan tiket pesawat sekarang? Saya mau pulang aja ke jakarta, biar bisa ke Rumah Sakit.” Kata Nina kemudian, dia membuka ponselnya mengecek pesan yang masuk.

Seharusnya dia kembali dari bali bulan lalu, tapi kemudian semua rencananya batal karena pagelarannya di perpanjang lagi. Dia mengecek satu persatu pesan dan mencoba membalas semuanya ketika nama Tikta terlihat di kolom percakapan.

Pembicaraan terakhirnya dengan Tikta adalah ketika pria itu pergi ke lombok dan bertanya padanya apakah bisa bertemu setelah kepulangannya.

Dia terdiam.

“Ra,”

“Ya bu? Saya masih cari penerbangan paling cepat.” Ujar Kumara, berpikir Nina akan bertanya apakah gadis itu sudah selesai memesankannya tiket untuk pulang.

“Bukan itu Ra.” Kata Nina, membuat Kumara menghentikan kegiatannya. Gadis itu terlihat bingung.

“Aku terakhir haid, kapan ya?” Tanyanya.

Kumara menatap Nina. Pertanyaan Nina bukanlah pertanyaan yang aneh. Kumara bertemu Nina delapan tahun lalu ketika dia masih berusia delapan belas tahun, dia yang sedang bingung mencari pekerjaan paruh waktu kemudian diajak wanita itu untuk bekerja di butiknya.

“Tapi gak sekarang, kamu mending kuliah dulu. Kalo sudah kuliah dan butik saya sudah buka, baru saya minta kamu kerja disana.” Katanya kala itu, Kumara yang saat itu bingung menjelaskan kalau dia tidak mungkin berkuliah karena keluarganya tidak mampu secara ekonomi. Tapi kemudian Nina berkata, “Saya gak bilang kamu bayar uang kuliahmu sendiri, saya yang biayain. Tapi kamu harus jadi asisten saya ya, urusin semua yang saya butuhkan.”

Dan kini, sudah delapan tahun Kumara mengurusi segala keperluan Nina. Dari mulai hal sepele sampai yang besar, semua keperluan Nina adalah tanggung jawab Kumara. Termasuk mencatat jadwal haid wanita itu yang kadang telat karena faktor hormon.

Kumara mengecek tabletnya, ada folder tersendiri yang berisi jadwal haid Nina sejak enam tahun terakhir.

Semenjak membuka butik jadwal haidnya benar-benar buruk.

“Dua bulan bu.”

“Terakhir haid?” Nina seperti meyakinkan jawaban Kumara.

“Ya, ibu terakhir haid dua bulan lalu.”

Nina kemudian bangkit, menatap Kumara dengan tatapan horor. Kumara terkejut, dia buru-buru mendekat kearah Nina yang kini semakin pucat.

“Tapi, telat haid sudah biasa ‘kan ya?” Tanya wanita itu, Kumara mengangguk pelan. Nina mengangguk juga, kemudian kembali membaringkan tubuhnya ke kasur. Dia menimbang apakah harus menghubungi Tikta sekarang, tapi kemudian dia mengurungkannya.

Dia ingin memastikannya terlebih dahulu.

“Ra..”

Kumara kembali menoleh.

“Bisa tolong belikan saya testpack?”

Kumara menatapnya, “Untuk siapa bu?!” Katanya dengan sedikit memekik.

Nina memijit dahinya, “Untuk saya, nanti saya jelasin, tolong ya.”

Tanpa basa-basi gadis itu langsung berjalan pergi meninggalkan Nina di dalam kamar.

Ponsel Nina berdering, nama Julie tertera disana.

“Lo kenapa Nin? Maag lo kambuh?” Tanya Julie diujung telepon, dia terdengar santai, dibelakangnya tidak ada suara.

Sepi.

Nina mengecek jam tangannya, pukul sepuluh malam. “Lo masih di kantor? Kok belom balik?” Alih-alih menjawab dia lebih penasaran kenapa wanita itu masih berada di kantor pukul segini.

“Nanggung, gue lagi ngerjain pesenan pak Santo.”

“Astaga, gue lupa ngasih lo info manik permintaan dia..” Kata Nina.

“Santai, Kumara udah ngasih semua listnya termasuk updatean manik yang di minta pak Santo.”

Nina menghela napas, dia beruntung bertemu dengan orang-orang cekatan yang mampu menjaga butiknya dan mengedepankan kualitasnya.

“Terus? Gimana kesehatan lo?” Kata Julie lagi, masih belum puas karena pertanyaannya tidak terjawab.

“Gue minta Kumara beli testpack.”

Hening sebelum akhirnya wanita diujung sana memekik terkejut, “MAKSUD LO?”

“Aduh, gak usah teriak-teriak di kuping gue. Pokoknya gue minta Kumara beli dulu dan gue mau cek dulu, gue terakhir haid dua bulan lalu.”

Diujung sana Julie terdiam, kemudian berkata, “Pas Nin, kalau lo hamil ya pas hitungannya.”

“Diem deh lo, jangan asumsi apapun dulu.”

Julie menghela napas diujung telepon, “Lo minta Kumara beli testpack pasti karena udah punya asumsi terlebih dulu ‘kan?”

Nina memijat keningnya lagi, tidak bisa berdebat sekarang. Kepalanya pusing dan isi perutnya terasa diaduk-aduk.

“Kasih kabar ya kalau lo udah ada hasilnya.” Ujar Julie, Nina mengiyakan dengan suara lemah. “Jangan lupa hubungi Tikta, Nin. Meskipun belum tahu siapa yang sebenarnya nidurin selain dia sama Catur karena sampai saat ini Gata gak bisa dihubungi, seenggaknya kalian bisa berunding. Yang bisa datangi Gata cuma dia.”

Nina hanya menjawab sekenanya, dia tidak mampu berpikir harus bagaimana kalau hasilnya positif. Sampai hari ini dia tidak tahu apakah benar dia diperkosa atau hal itu terjadi karena dibawah pengaruh alkohol. Dia tidak bisa menuduh siapapun.

Lima belas menit kemudian Kumara kembali, dia menyerahkan satu kresek penuh testpack dengan banyak pilihan merk. Nina berjalan masuk ke dalam kamar mandi di bantu Kumara, dia duduk diatas toilet mencoba salah satu merk. Tapi kemudian berakhir mencoba semuanya secara bersamaan.

Dia terdiam di kamar mandi, semua testpack dia balik. Tidak mampu jika harus melihat hasilnya secara langsung.

Tiga menit sudah berlalu, dengan perlahan dia membuka salah satunya. Tangannya bergetar, dia menarik napas dalam-dalam.

“Ah, sialan…” Dia bergumam ketika hasil testpack menunjukkan hasil positif, dengan terburu dia membalik semuanya dan hasilnya sama. Positif.

Dia hamil.

Nina terdiam, memandang semua hasil itu di depannya dan tanpa terasa airmata perlahan jatuh satu persatu, sejurus kemudian dia terisak. Menangis di dalam kamar mandi seorang diri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ayah dari Anakku Ternyata   SPIN OFF - PAVITA [END]

    Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan

  • Ayah dari Anakku Ternyata   SPIN OFF - RAGNALA TIKTA [2]

    “Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in

  • Ayah dari Anakku Ternyata   SPIN OFF- RAGNALA TIKTA [1]

    “Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep

  • Ayah dari Anakku Ternyata   SPIN OFF - RAGNALA CATUR [2]

    “Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti

  • Ayah dari Anakku Ternyata   SPIN OFF - RAGNALA CATUR [1]

    Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai

  • Ayah dari Anakku Ternyata   SPIN OFF - CATUR GATA

    Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status