Nina kembali berlari ke kamar mandi, memuntahkan semua isi di dalam perutnya. Sejak tiga hari lalu tidak ada satupun makanan yang masuk ke dalam lambungnya, semuanya masuk dengan percuma. Sudah dua bulan dia disibukkan dengan banyak kegiatan yang menyita waktunya, dan tubuhnya benar-benar menyerah satu bulan terakhir.
Dia bahkan sudah bolak balik IGD lebih dari lima kali dalam dua minggu terakhir.
“Bu? Kayaknya ibu lebih baik istirahat aja, pulang ke Jakarta.” Kumara menatap khawatir Nina yang kini duduk di dekat wastafel, wajahnya terlihat begitu pucat dan tubuhnya gemetaran.
“Bukannya masih ada dua acara lagi ya minggu ini?” Tanya Nina dengan napas yang terengah, dia mengambil tisu yang disodorkan Kumara, mengelap sisa muntahan di bibirnya.
“Kemarin saya sudah bilang sama bu Julie kalau keadaan bu Nina sedang tidak baik, bu Julie setuju untuk datang ke bali menyelesaikan sisanya.”
Nina mengangguk, dia sedikit bersyukur Kumara bertindak cepat dan meminta Julie untuk datang. Di kepalanya bahkan tidak terlintas untuk meminta tolong Julie menyelesaikan bagiannya.
Kumara membantunya untuk bangun, berjalan dari wastafel ke dalam kamar. Nina merebahkan dirinya, menutup matanya sambil terus merasakan mual yang begitu hebat.
“Ra, bisa pesankan tiket pesawat sekarang? Saya mau pulang aja ke jakarta, biar bisa ke Rumah Sakit.” Kata Nina kemudian, dia membuka ponselnya mengecek pesan yang masuk.
Seharusnya dia kembali dari bali bulan lalu, tapi kemudian semua rencananya batal karena pagelarannya di perpanjang lagi. Dia mengecek satu persatu pesan dan mencoba membalas semuanya ketika nama Tikta terlihat di kolom percakapan.
Pembicaraan terakhirnya dengan Tikta adalah ketika pria itu pergi ke lombok dan bertanya padanya apakah bisa bertemu setelah kepulangannya.
Dia terdiam.
“Ra,”
“Ya bu? Saya masih cari penerbangan paling cepat.” Ujar Kumara, berpikir Nina akan bertanya apakah gadis itu sudah selesai memesankannya tiket untuk pulang.
“Bukan itu Ra.” Kata Nina, membuat Kumara menghentikan kegiatannya. Gadis itu terlihat bingung.
“Aku terakhir haid, kapan ya?” Tanyanya.
Kumara menatap Nina. Pertanyaan Nina bukanlah pertanyaan yang aneh. Kumara bertemu Nina delapan tahun lalu ketika dia masih berusia delapan belas tahun, dia yang sedang bingung mencari pekerjaan paruh waktu kemudian diajak wanita itu untuk bekerja di butiknya.
“Tapi gak sekarang, kamu mending kuliah dulu. Kalo sudah kuliah dan butik saya sudah buka, baru saya minta kamu kerja disana.” Katanya kala itu, Kumara yang saat itu bingung menjelaskan kalau dia tidak mungkin berkuliah karena keluarganya tidak mampu secara ekonomi. Tapi kemudian Nina berkata, “Saya gak bilang kamu bayar uang kuliahmu sendiri, saya yang biayain. Tapi kamu harus jadi asisten saya ya, urusin semua yang saya butuhkan.”
Dan kini, sudah delapan tahun Kumara mengurusi segala keperluan Nina. Dari mulai hal sepele sampai yang besar, semua keperluan Nina adalah tanggung jawab Kumara. Termasuk mencatat jadwal haid wanita itu yang kadang telat karena faktor hormon.
Kumara mengecek tabletnya, ada folder tersendiri yang berisi jadwal haid Nina sejak enam tahun terakhir.
Semenjak membuka butik jadwal haidnya benar-benar buruk.
“Dua bulan bu.”
“Terakhir haid?” Nina seperti meyakinkan jawaban Kumara.
“Ya, ibu terakhir haid dua bulan lalu.”
Nina kemudian bangkit, menatap Kumara dengan tatapan horor. Kumara terkejut, dia buru-buru mendekat kearah Nina yang kini semakin pucat.
“Tapi, telat haid sudah biasa ‘kan ya?” Tanya wanita itu, Kumara mengangguk pelan. Nina mengangguk juga, kemudian kembali membaringkan tubuhnya ke kasur. Dia menimbang apakah harus menghubungi Tikta sekarang, tapi kemudian dia mengurungkannya.
Dia ingin memastikannya terlebih dahulu.
“Ra..”
Kumara kembali menoleh.
“Bisa tolong belikan saya testpack?”
Kumara menatapnya, “Untuk siapa bu?!” Katanya dengan sedikit memekik.
Nina memijit dahinya, “Untuk saya, nanti saya jelasin, tolong ya.”
Tanpa basa-basi gadis itu langsung berjalan pergi meninggalkan Nina di dalam kamar.
Ponsel Nina berdering, nama Julie tertera disana.
“Lo kenapa Nin? Maag lo kambuh?” Tanya Julie diujung telepon, dia terdengar santai, dibelakangnya tidak ada suara.
Sepi.
Nina mengecek jam tangannya, pukul sepuluh malam. “Lo masih di kantor? Kok belom balik?” Alih-alih menjawab dia lebih penasaran kenapa wanita itu masih berada di kantor pukul segini.
“Nanggung, gue lagi ngerjain pesenan pak Santo.”
“Astaga, gue lupa ngasih lo info manik permintaan dia..” Kata Nina.
“Santai, Kumara udah ngasih semua listnya termasuk updatean manik yang di minta pak Santo.”
Nina menghela napas, dia beruntung bertemu dengan orang-orang cekatan yang mampu menjaga butiknya dan mengedepankan kualitasnya.
“Terus? Gimana kesehatan lo?” Kata Julie lagi, masih belum puas karena pertanyaannya tidak terjawab.
“Gue minta Kumara beli testpack.”
Hening sebelum akhirnya wanita diujung sana memekik terkejut, “MAKSUD LO?”
“Aduh, gak usah teriak-teriak di kuping gue. Pokoknya gue minta Kumara beli dulu dan gue mau cek dulu, gue terakhir haid dua bulan lalu.”
Diujung sana Julie terdiam, kemudian berkata, “Pas Nin, kalau lo hamil ya pas hitungannya.”
“Diem deh lo, jangan asumsi apapun dulu.”
Julie menghela napas diujung telepon, “Lo minta Kumara beli testpack pasti karena udah punya asumsi terlebih dulu ‘kan?”
Nina memijat keningnya lagi, tidak bisa berdebat sekarang. Kepalanya pusing dan isi perutnya terasa diaduk-aduk.
“Kasih kabar ya kalau lo udah ada hasilnya.” Ujar Julie, Nina mengiyakan dengan suara lemah. “Jangan lupa hubungi Tikta, Nin. Meskipun belum tahu siapa yang sebenarnya nidurin selain dia sama Catur karena sampai saat ini Gata gak bisa dihubungi, seenggaknya kalian bisa berunding. Yang bisa datangi Gata cuma dia.”
Nina hanya menjawab sekenanya, dia tidak mampu berpikir harus bagaimana kalau hasilnya positif. Sampai hari ini dia tidak tahu apakah benar dia diperkosa atau hal itu terjadi karena dibawah pengaruh alkohol. Dia tidak bisa menuduh siapapun.
Lima belas menit kemudian Kumara kembali, dia menyerahkan satu kresek penuh testpack dengan banyak pilihan merk. Nina berjalan masuk ke dalam kamar mandi di bantu Kumara, dia duduk diatas toilet mencoba salah satu merk. Tapi kemudian berakhir mencoba semuanya secara bersamaan.
Dia terdiam di kamar mandi, semua testpack dia balik. Tidak mampu jika harus melihat hasilnya secara langsung.
Tiga menit sudah berlalu, dengan perlahan dia membuka salah satunya. Tangannya bergetar, dia menarik napas dalam-dalam.
“Ah, sialan…” Dia bergumam ketika hasil testpack menunjukkan hasil positif, dengan terburu dia membalik semuanya dan hasilnya sama. Positif.
Dia hamil.
Nina terdiam, memandang semua hasil itu di depannya dan tanpa terasa airmata perlahan jatuh satu persatu, sejurus kemudian dia terisak. Menangis di dalam kamar mandi seorang diri.
Nina sudah berada di Jakarta, malam kemarin dia langsung pulang setelah Kumara mendapatkan tiket pesawat. Dia bahkan tidak mampu berjalan dengan baik dan dibantu oleh petugas bandara sampai ke dalam pesawat, perutnya tidak berhenti meronta karena merasa diaduk-aduk, dia mual dan sakit kepala.Julie berkali-kali meneleponnya semalam, namun dia sudah tidak sanggup untuk mengangkatnya. Dia tertidur sambil menangis.Pagi ini, dia bangun dengan perut yang lagi terasa diaduk-aduk, masih pukul delapan dan dia sudah muntah hampir sepuluh kali. Kini dia terduduk diatas kasur, dari pantulan kaca lemari dia bisa melihat dirinya begitu kusut, kurus, dan pucat.Dia menoleh kearah ponselnya, dia harus memberi tahu Tikta. Baru saja dia mau memencet tombol panggil suara bel di pintu mengejutkannya, Nina menyimpan ponselnya dan pergi ke pintu depan membuka pintu.“Na! Kok gak bilang sudah di rumah?” Catur masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi, pria itu datang dengan baju rapi tidak seperti biasanya, a
Tikta menggenggam tangan Nina, wanita itu terlihat hampir pingsan ketika kakinya menyentuh tanah. Dia memeluk Nina erat, kemudian meminta salah satu perawat membawa kursi roda.“Bapak mau ke poli?” Tanya perawat itu lembut, membantu Nina untuk duduk diatas kursi roda.“Saya mau ke poli kandungan.” Kata Tikta lagi, mengecek jam di tangan kanannya.“Sudah ada janji pak?”Tikta mengangguk, “Dokter keluarga saya, dr Serif.”Perawat itu terdiam kemudian mengangguk, dia mendorong kursi roda dan mengarahkan Tikta. Bukan ke tempat antrian poli biasa yang penuh, tapi ke tempat lain di belakang. Mereka masuk ke dalam lift menuju lantai tiga, ketika pintu lift terbuka wangi pengharum ruangan menyambut mereka.Kursi di dorong sampai ke depan ruangan, perawat itu mengetuk pintu kaca tersebut.“Dok, pak Tikta dan istri sudah datang.”Tikta dan Nina bereaksi mendengar kata ‘istri’ disebut, namun mereka berusaha bersikap biasa saja. Pintu terbuka dan Tikta mendapati wajah yang sangat dia kenali, dokt
Nina tengah berbaring diatas kasur, matanya begitu berat, dia mengantuk. Hari ini begitu ajaib, pagi tadi dia muntah begitu banyak, kemudian dia bertemu dan Tikta. Setelah bertemu dengan pria itu dia makan dengan begitu lahap, tidak ada yang keluar sama sekali. Dia mengelus perutnya, “Kamu senang ya mau jadi penerus SSK Food?” Bergumam, kemudian dia tertawa sendiri. Benar, Tikta begitu serius bicara dengannya tadi. Pria itu bilang kalau dia benar-benar membutuhkan bantuan Nina. “Kita ambil jalan terbaik saja, anak kamu butuh Akta Kelahiran untuk administrasinya kemudian mendapatkan warisan utama keluargaku. Aku hanya butuh anak kamu untuk terbebas dari semua ini.” Nina membuka tasnya, mengeluarkan hasil USG dan memandang gumpalan hitam itu. “Aku benar-benar gak mau menjadi penerus SSK Food Nin, anak kamu boleh ambil semuanya.” “Bagaimana dengan keluargamu yang lain? Meskipun kamu anak tunggal, tapi keluarga besarmu semua bekerja di SSK Food. Mereka gak mungkin dengan mudah mere
Nina terdiam.Setelah ucapan aneh Catur, semua masalah terselesaikan, kecuali satu hal! Ajakan pernikahan dari Tikta. Sudah satu minggu dari saat itu dan belom ada lagi kabar terbaru darinya lagi. Entah mengapa, hari demi hari kondisi Nina semakin menurun. Dua hari setelah dari dokter, dia memaksakan diri pergi ke butik. Semua karyawan memandangnya dengan begitu aneh. Tentu saja, Nina yang selalu berpenampilan stylish tiba-tiba datang dengan penampilan berantakan. Wanita itu datang dengan memakai kemeja kebesaran dipadu dengan jeans robek dan sepatu kets. “Halo semua, saya mohon maaf sebelumnya. Tapi saya mau mengumumkan sesuatu, saya harap semuanya mau bekerja sama karena jujur untuk saya pribadi tidak mungkin terus menjalankan butik ini tanpa bantu kalian ditambah kondisi saya semakin memburuk.” Hari itu dia membuka rapat pagi dengan kalimat begitu panjang, wajahnya pucat, rambutnya dikuncir asal-asalan. Semua karyawan memandangnya dengan perasaan takut. “Saya tengah hamil, us
Di sisi lain, Nina tidak mengerti apakah dia tengah berada di bawah sugesti? Tapi kalau dipikir-pikir selama ada Tikta di sampingnya dia makan dengan sangat baik. Tidak ada drama mual dan muntah. Setelah Tikta menyematkan cincin di jari manisnya, seorang staff yang bertugas mengantarkan makan siangnya. Dia tidak berselera karena tahu setelah makan pasti akan memuntahkan lagi semuanya. Tapi kemudian Tikta dengan penuh semangat membuka semua penutup makanan dan menyerahkan makanan itu tepat di depan wajah Nina. “Wah menunya daging panggang, kamu suka Nin sama daging panggang? Ada sop juga, nasinya agak lembek.” Pria itu mengoceh sambil merapikan semua mangkok dan piring diatas meja tambahan yang berada di sisi tempat tidur. “Makan dulu ya Nin, biar ada tenaga.” Ujarnya, dan seperti di sihir Nina menurutinya. Dia mulai makan dengan nasi dan sepotong daging panggang. “Enak?” Tanya Tikta kemudian dan wanita itu mengangguk pelan, rasanya hambar tapi entah kenapa di mulutnya terasa enak
Baru saja Tikta melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, ibunya sudah tergopoh-gopoh datang menghampirinya. Wajahnya terlihat pucat. “Ta..Ta” Dia memanggil Tikta, mendekat kearah anak lelakinya yang kini berhenti dan menatapnya dengan wajah kebingungan. “Kenapa bu? Kenapa panik banget?” Tanya Tikta, dia memeluk ibunya dan mengajak wanita paruh baya itu duduk di sofa ruang keluarga rumah mereka. Ibunya masih menatap Tikta, “Apa benar yang ada di berita?” Ibunya bertanya langsung tanpa basa-basi. Tikta terdiam, kemudian mengangguk pelan. “Benar bu..” “Kamu…” “Iya, Tikta memang berselingkuh. Wanita yang sekarang hamil itu kekasih Tikta bu, kekasih Tikta dan tunangan Tikta gak tahu satu sama lain kalau Tikta menduakan mereka.” Ibunya menutup mulut dengan kedua tangannya, terkejut dengan apa yang baru saja Tikta katakan. “Kamu serius ngelakuin hal itu, Ta? Gimana tunangan kamu?” Tikta tersenyum dan kemudian tertawa kecil setelah mendengar pertanyaan ibunya, “Kenapa ibu peduli? Buk
Nina menatap Catur yang sejak kepergian Tikta tidak bicara sedikitpun, pria itu sibuk dengan ponsel di tangannya. Tikta pamit pulang setelah mendapat telepon dari sekretarisnya tentang dirinya dan Nina yang terlihat masuk ke dalam Rumah Sakit khusus Ibu dan Anak. Tikta berjanji akan kembali dengan segera setelah dia bicara dengan kedua orangtuanya.Catur memilih untuk tidak pulang dan menginap di Rumah Sakit pada akhirnya karena takut para reporter memaksa masuk ke ruang rawat inap milik Nina.“Lo masih mau pura-pura sibuk dengan hp? Bolak balik buka halaman home?” Nina membuka pembicaraan, dia tengah menatap Catur sambil menyilangkan tangan di dada. Catur melirik kearahnya, kemudian menghela napas.“Gue udah minta maaf.”“Yang mana?” Tanya Nina kemudian, dia masih sebal dengan omongan Catur yang menurutnya menyudutkan Tikta secara tiba-tiba.Dia kenal Catur dan ini kali pertamanya melihat pria itu begitu bersikap tidak baik dengan orang yang menurut Nina sudah dia kenal dengan baik.
Nina menatap sekelilingnya, dia baru saja dipaksa untuk masuk ke dalam sebuah mobil pribadi berwarna hitam seorang diri sedangkan Catur dicegah oleh sekitar tiga orang laki-laki di ruang rawat inapnya. Seorang laki-laki mengajaknya pergi menggunakan kursi roda, awalnya Nina memberontak karena dia takut itu adalah akal-akalan reporter saja. Tapi kemudian pria itu berkata kalau dia diminta membawa Nina ke kediaman tikta. Dia sedang berada di ruang tamu sekarang, dimana banyak sekali foto-foto berukuran besar terpajang di dinding. Foto Tikta, seorang pria dan wanita paruh baya. Ini kediaman Tikta. Rumah keluarganya. “Nona Gianina?” Seorang wanita muda menghampirinya dengan perlahan, dia tersenyum pada Nina yang kemudian dengan canggung juga tersenyum padanya. “Saya perawat pribadi di rumah ini, mohon maaf saya bantu untuk melepas infusnya?” Nina mengangguk, dia baru saja sadar kalau dia membawa infus ke rumah ini. Dia tidak sempat mencopot apapun seperti di FTV yang dia tonton keti