Share

OBAT NYAMUK

"Tadi saya pikir, Mas Kenzi sudah mau tidur, jadi tidak perlu apa-apa lagi."

Ya kali perlu di nina boboin kaya bayi!

"Daripada ngobrol sama Adi, nanti sore kan, harus ikut saya ketemu Alsha. Lebih baik kamu istirahat, Disty!"

"Hah? Saya ikut juga?" Aku melongo tak percaya.

"Mau bagaimana lagi? Itu udah perintah Mami."

Makin cool nih Bos, nggak suka ngebantah Maminya! Tapi apa tadi? Nemenin dia pacaran? 

"Udah sana, istirahat!" perintahnya lagi.

Kulangkahkan kaki menuju kamar perlahan. Sambil berjalan, aku terus berpikir. Sepertinya ada yang aneh dengan sikap majikanku itu. Ah ... aku nggak mau kegeeran, takut sudah terbang tinggi, nanti malah dijatuhkan lagi!

Lelah. Aku baru saja hendak masuk ke dalam kamar. Tapi saat melewati kamar Bude Ning, aku malah ingin masuk ke sana.

Begitu kubuka sedikit pintunya, Bude sedang tiduran sambil mengoleskan balsam di pinggangnya.

"Kalau sudah tidak kuat bekerja, sebaiknya pulang ke kampung saja Bude, istirahat!" kataku sembari mengambil alih pot balsam dari tangannya, lalu membantu dia menggosok bagian belakang tubuhnya.

Bude ini sudah berumur lebih dari lima puluh tahun. Suaminya meninggal saat anak-anaknya masih kecil. Sejak itu, Bude merantau ke sini dan langsung bekerja pada keluarga Bu Arini.

Sementara dua anaknya, dia titipkan pada ibuku.

Setahun sekali, Bude akan pulang kampung dan menemui anak-anaknya. Tapi setelah besar dan punya keluarga masing-masing, ternyata kedua anak lelaki Bude terlalu nyaman karena sering dikirimi uang sejak dulu. Mereka jadi tergantung dengan tangan tua Bude sampai malas bekerja.

"Cuma sakit pinggang, Dis. Sebentar juga sembuh! Oya, bagaimana hari pertama kamu kerja?"

"Biasa saja Bude. Mas Kenzi orang yang baik seperti Bu Arini."

"Ya, Mas Kenzi memang orang baik, Nduk. Karena itu, Bu Arini ingin kamu terus mengawasinya. Termasuk dari Mbak Sa—. Sopo njenenge pacar Mas Kenzi iku, ya?"

"Mbak Alsha Bude! tadi di lapangan, Disty sempat kenalan lewat panggilan video. Tapi ... kenapa Mas Kenzi harus diawasi dari dia?"

"Bu Arini sebetulnya nggak suka sama dia, Dis! Kakak-kakaknya juga. Tapi Mas Kenzi ini udah bucin akut sama dia, jadi nggak bisa di bilangin!"

Ya ampun Bude gaul banget, sampai tahu bucin gaes!

"Jadi ... Bu Arini sengaja minta aku buat buntutin Mas Kenzi karena nggak menyukai Mbak Alsha, Bude?"

"Hooh, Dis!"

"Oh iya, Tania sekretarisnya Mas Kenzi juga. Dia itu masih sepupunya Mbak Alsha. Jadi sebelas dua belas lah, Bu Arini nggak suka sama mereka."

"Heuuum ...."

Aku mengerti sekarang. Kenapa sampai aku yang harus dipekerjakan di sini, karena Bude adalah orang kepercayaan Bu Arini. Tapi aku heran, kenapa keluarga Mas Kenzi bisa tidak menyukai wanita cantik itu?

Baru saja aku mau bertanya lagi sama Bude, dengkuran kecil terdengar. Aih, ternyata Bude sudah tertidur pulas, mendengkur pula!

Karena malas beranjak dari sana lagi, aku memilih tidur di samping Bude.

***

"Dis, bangun Dis!" seru Bude panik.

 

Aku terperanjat mendengar suara Bude yang terdengar terburu-buru itu.

"Ada apa Bude?"

"Kamu ada janji sama Mas Kenzi? Dia sudah nungguin lho!"

Ya ampun, benar juga!

"Astaghfirullah! Jam berapa ini, Bude?"

"Jam empat, Nduk. Bude pikir kamu nggak ada janji, jadi Bude anteng biarin kamu tidur."

"Aduh, gimana ini Bude? Mana belum ashar, belum mandi, belum makan juga ...!"

Di tengah kebingungan dengan nyawa yang masih setengah berada di alam nyata, Mas Kenzi datang dan terus berujar.

"Saya kasih waktu setengah jam ya, untuk kamu siap-siap! Kalau makan, biar nanti di mobil!" ujar Mas Kenzi sambil berlalu. 

Dari wajah dan cara dia berbicara, kelihatan sekali kalau sedang kesal. Gegas, aku pun segera bersiap. Setengah jam cukup untuk mandi dan salat.

***

"Kamu itu suster saya, Disty. Masa saya yang harus ingetin kamu untuk makan? Apa nggak kebalik?" kata Mas Kenzi sambil memberikan kentang goreng yang dia minta pada Bude Ning tadi.

Ternyata kali ini, dia bukan minta bekal untuk dirinya sendiri, tapi malah buat aku. Perhatian juga sih. Meski begitu, wajahnya tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.

"Jangankan ngingetin saya, kamu sendiri aja sampai nggak makan. Kalau Mami tau—"

Benar juga! Ya ampun, kenapa aku nggak ingat? padahal itu tugas utamaku. Bisa mati kalau Bu Arini mecat dan minta aku untuk mengembalikan uang yang sudah dibayarkan hutang Bapak!

"Jadi, Mas Kenzi juga belum makan?!" tanyaku panik.

"Belum. Tapi kalau saya sudah biasa, beda sama kamu. Kalau sakit bagaimana?"

Aku tersenyum mendengar ucapan Mas Kenzi. Ternyata, diperhatikan hal sekecil ini saja sama dia, sudah buat aku senang setengah mati. 

Aku jadi iri sama Mbak Alsha, betapa beruntungnya mendapat pria sebaik Mas Kenzi.

Tiba-tiba saja aku merubah standar pria yang akan mendampingiku kelak. Kalau dulu aku sudah terhanyut oleh ketampanan Jaka, mantan pacarku dulu. Dan merasa bahwa lelaki yang telah mengkhianati ku itu adalah satu-satunya orang yang berhasil membuatku gagal move on, sekarang tidak lagi.

Setidaknya, kalau Adi terus mendekatiku, dia harus perhatian juga seperti Mas Kenzi. Pokoknya standarku naik dua kali lipat!

"Mas, kalau saya boleh tahu, kita ketemu Mbak Alsha dimana?" tanyaku begitu selesai makan beberapa potong kentang goreng.

Tadinya mau dihabisin, tapi gengsi sama Pak Darmo dan Mas Kenzi.

"Saya sama Alsha mau nonton."

Aku melongo lagi. Membayangkan nantinya akan jadi obat nyamuk saat mereka duduk bersama berdua. Nasib jadi suster bayi gede.

Setengah jam berlalu, kami akhirnya sampai di tempat tujuan. Di sebuah mall besar di pusat kota Jakarta. Namun, karena tidak mendapati kekasihnya di tempat yang mereka janjikan, Mas Kenzi terlihat sibuk menghubungi wanita itu. 

"Sayang, kamu di mana?" tanya Mas Kenzi. Pandangannya meluas mencari sosok yang dia cari.

"..."

"Kamu kenapa nggak kabarin aku dari tadi?"

"..."

"Aku nggak marah sayang, cuma aku udah terlanjur sampai disini sama suster!"

Dari pembicaraannya di telepon, aku bisa menangkap, kalau Mbak Alsha nggak jadi datang. Syukurlah ... batal jadi obat nyamuk!

"Alsha ada urusan mendadak, Dis!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status