Tiba-tiba saja Mas Kenzi datang dari belakang dan mengambil stik golfnya sendiri. Duh, mau ditaro di mana ini muka? malunya kebangetan, masa ketahuan ghibahin majikan sendiri?
"Maaf, Mas," ucapku ragu.
Sementara Nina, malah tersenyum sambil turun dari mobil kecil ini. Huh Nina, bilang kek ada Mas Kenzi, pantas saja dia langsung diam dari tadi!
"Kok malah minta maaf? Kamu nggak jadi nanya?" sindirnya lagi. Aku diam saja, habis bingung mau jawab apa.
"Oya, Nin, sepertinya saya main sembilan hole aja ya!" beritahu Mas Kenzi pada Nina.
Kenapa hanya sembilan hole? Apa dia mau menyudahi permainan? Jangan-jangan dia udah nggak mood gara-gara aku?
Karena kata Nina, sebagian besar pemain golf akan kesulitan kalau konsentrasi dan mood-nya sudah terganggu.
"Mas Kenzi, saya beneran minta maaf. Saya nggak tahu kalau Mas—"
"Ini bukan karena kamu. Saya harus ke kantor siang ini!"
Oh ... begitu. Syukurlah!
Selama perjalanan ke kantor, aku masih malu karena kejadian tadi. Jadilah suasana kembali hening kaya di kuburan.
Sampai di kantor, Mas Kenzi langsung turun begitu Pak Darmo menghentikan mobil. Sementara aku, lagi-lagi bingung mau ikut turun atau di dalam mobil saja.
"Kamu mau turun atau di sini?"
"Di sini aja kali, Mas!"
"Oke, nanti aku bilang Mami, kalau kamu ngasuh Pak Darmo!"
Glekk
Aku menelan ludah.
Aku pikir dia risih kalau terus diikuti, tapi kenapa Mas Kenzi malah senang dibuntutin?Tak ada pilihan lain, aku pun ikut turun dan kembali mengekor di belakangnya.
Saat berjalan bersama Mas Kenzi, berpasang mata para pegawai menatap ke arahku.Tiba di ruangannya, Mas Kenzi lalu mengenalkan aku pada Tania, sekretarisnya.
"Ini pasti Mbak Disty! Silahkan duduk, Mbak!" katanya mempersilahkan.
"Iya Mbak."
"Bu Arini sudah bilang sama saya. Kalau mulai sekarang, Mbak Disty akan ikut kemanapun Pak Kenzi pergi ...," sambungnya lagi.
Aku hanya tersenyum saja. Berada di kantor yang besar dan di antara mereka, membuatku insecure. Rasanya, aku adalah bubuk rengginang satu-satunya disini.
"Disty, bagaimana kerja kamu hari ini ...?" tanya Bu Arini yang baru saja masuk ke dalam ruangan Mas Kenzi.
"Alhamdulillah Bu ...," jawabku ragu. Takut jawabanku tak selaras dengan Mas Kenzi yang sedang sibuk memeriksa berkas-berkas yang disodorkan Tania.
"Syukurlah kalau begitu. Saya harap, seterusnya kamu bisa mengawasi Kenzi. Saya pulang duluan ya!" pamit Bu Arini.
Aku baru ngerti kenapa tadi Mas Kenzi minta aku untuk turun. Ternyata di sini ada Bu Arini juga.
Setelah lebih dari satu jam, akhirnya, majikanku itu menyelesaikan pekerjaannya. Kami pun langsung kembali pulang ke rumah.
Kalau dilihat dari wajahnya, kelihatannya, dia itu sudah capek seharian ini.
"Mas Kenzi, masih ada yang dibutuhkan nggak?" tanyaku begitu turun dari mobil.
"Nggak. Kamu istirahat aja, saya mau tidur siang!" jawabnya sambil berbalik badan. Namun, baru beberapa langkah, Mas Kenzi kembali berpesan.
"Eh, tapi jam tiga bangunin saya kalau saya belum bangun. Saya ada janji sama Alsha!"
Duh, kenapa hati ini tidak rela mendengar Mas Kenzi menyebut nama pacarnya? Sadar Disty, kamu bukan siapa-siapa!
"Mbak!" tegur satpam ganteng yang kemarin menyapaku. Rupanya dia baru datang dan bertukar shift dengan satpam lain yang bertugas pagi tadi.
"Eh, Mas Prapto!" sahutku asal.
"Adi Mbak, bukan Prapto! Kualat sama Bapak saya nanti!" dengkusnya kesal.
"Saya ingetnya Mas Prapto terus!"
"Terserah Mbaknya deh! Yang penting saya boleh minta nomor hapenya!""
"Dih, kok bisa begitu? Ya udah, mulai sekarang saya panggil Adi."
"Jadi Mbaknya nggak mau kasih nomor ke saya? Saya ini jomlo lho, Mbak!" katanya tanpa diminta. Promo ceritanya!
Tapi apa tadi? Jomlo dia bilang?
Kalau dilihat dari penampilannya sih, satpam ini juga nggak kalah ganteng sama Mas Kenzi. Apalagi dia punya lesung pipi, miriplah sama Kim Seon Ho. Kalau dipinjami kemeja juga sebelas dua belas sama majikannya.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Adi, ponselku bergetar, panggilan masuk dari nomor baru. Tapi ... nomor siapa ini?
"Disty, kamu masuk, jangan ngobrol di depan. Kamu itu suster saya kan?!"
Mas Kenzi?
Jadi ini nomornya?Apa dia membutuhkan sesuatu?"Iya Mas, saya masuk ...," jawabku terbata.
Katanya mau tidur? Gimana sih? Gagal kan, pedekate sama satpam ganteng!
Lagian ini hati kenapa bisa oleng terus? Lihat Mas Kenzi senang, lihat Adi bahagia. Duh!
Tanpa menghiraukan Adi lagi, aku bergegas masuk ke dalam rumah dan terburu-buru menemui si bayi besar di kamarnya.
Namun ternyata, dia telah menunggu di ambang pintu sambil melipat kedua tangannya."Ada apa, Mas?" tanyaku setengah menunduk.
"Kamu ngapain ngobrol di depan?" tanyanya dengan nada kesal ....
"Tadi saya pikir, Mas Kenzi sudah mau tidur, jadi tidak perlu apa-apa lagi."Ya kali perlu di nina boboin kaya bayi!"Daripada ngobrol sama Adi, nanti sore kan, harus ikut saya ketemu Alsha. Lebih baik kamu istirahat, Disty!""Hah? Saya ikut juga?" Aku melongo tak percaya."Mau bagaimana lagi? Itu udah perintah Mami."Makin cool nih Bos, nggak suka ngebantah Maminya! Tapi apa tadi? Nemenin dia pacaran? "Udah sana, istirahat!" perintahnya lagi.Kulangkahkan kaki menuju kamar perlahan. Sambil berjalan, aku terus berpikir. Sepertinya ada yang aneh dengan sikap majikanku itu. Ah ... aku nggak mau kegeeran, takut sudah terbang tinggi, nanti malah dijatuhkan lagi!Lelah. Aku baru saja hendak masuk ke dalam kamar. Tapi saat melewati kamar Bude Ning, aku malah ingin masuk ke sana.Begitu kubuka sedikit pintunya, Bude sedang tiduran sambil mengoleskan balsam di pinggangnya."Kalau sudah tidak kuat bekerja, sebaiknya pulang ke kampung saja Bude, istirahat!" kataku sembari mengambil alih pot ba
"Alsha ada urusan mendadak, Dis!" kata Mas Kenzi memberitahuku. Padahal dari tadi sudah tahu. Mau ketawa malah, tapi sebisa mungkin kutahan."Jadi sekarang pulang lagi, Mas?""Kita belum makan. Bagaimana kalau cari makan di sini dulu?""Makan?"Aduh, gimana ini? Masa makan berdua aja sama Mas Kenzi?Rasanya gimana gitu. Aku takut nggak bisa buka mulut, makan di depan orang ganteng kaya dia."Nggak ajak Pak Darmo sekalian, Mas?" usulku. Semoga saja dia mau ajak Pak Darmo, biar nggak gugup berduaan sama Mas Kenzi."Nih!" Mas Kenzi menyodorkan ponselnya. Dari layarnya terlihat jelas story WA Pak Darmo yang menunjukan aktivitasnya saat ini.Ya ampun ...ternyata diam-diam Pak Darmo alay juga. Masa dia foto selfi bareng semangkuk soto mie? Tapi itu artinya, dia sudah makan siang duluan."Kamu mau makan apa, Disty?" "Apa aja, Mas!""Sushi bagaimana?""Aduh ... enggak ah! Tapi kalau Mas Kenzi mau makan itu ya nggak apa-apa. Saya temenin aja.""Mau steak?""Saya nggak makan daging, Mas.""Te
"Astagfirullah!" Aku memekik ketika bayi besarku itu datang dari belakang tanpa mengenakan atasan. Mungkin dia habis ke toilet. Ada yang sobek, tapi bukan kertas. Ada roti, tapi bukan yang dibakar kaya dipiring yang lagi aku bawa. Duh, mataku ternodai. Ampuni Disty Ibu ...."Biasa aja lihatnya!" imbuhnya sambil mengetuk bahuku dengan handuk kecil yang dipilin.Sadar tengah bertelanjang dada, dengan cepat dia menyambar dan mengenakan kaus dalam berwarna putih."Tapi bukannya hari ini Mas Kenzi mau tour?""Jangan disingkat Adisty, artinya beda!" protesnya dengan nada kesal."Bukan mau disingkat, tapi saya lupa.""Kamu pelupa akut, malah nekat jadi baby sitter saya. Saya nggak jadi ikut tournamen!"Nah kan, itu lagi yang dibahas. Aku nggak bisa bayangin kalau Mas Kenzi ini sampai ngadu sama maminya. Bisa malu aku sama Bu Arini nanti."Lho, kenapa nggak jadi?""Mbak Kanaya melahirkan, saya harus kesana hari ini. Sama kamu juga!""Nggak sama Mbak Alsha?" tanyaku spontan. Duh.Aku jadi ke
Setelah kembali berbincang sebentar, Mas Kenzi mengajakku untuk ikut ke kantornya. Sayang sekali, padahal aku baru saja mulai nyaman bergabung dengan keluarganya.Tidak ada jarak di antara kami, karena semuanya sangat baik. Termasuk Pak Irfan, suami Mbak Kanaya. Kalau suami Mbak Fira dan Mbak Nala, mereka tidak ada di sini karena masih bekerja."Mami masih tinggal di sini beberapa hari lagi ya, Ken," kata Bu Arini saat Mas Kenzi pamit pulang."Jangan lama-lama ya, Mi!" rengeknya manja. Persis seperti anak kecil.Ya ampun, sejak hari pertama bekerja, aku baru lihat dia bisa manja begitu!"Sudah besar Ken, kamu yang seharusnya mengurus Mami. Nggak malu sama Disty?"Aku tersenyum. Lucu juga. Mas Kenzi itu seperti sedang mencari perhatian dari ibu dan ketiga kakaknya."Jangan lupa ingatkan dia ya Dis, Mami khawatir dia lupa makan."Duh, jangan sampai Mas Kenzi cerita masalah kemarin. Bisa malu aku sama Bu Arini. Mataku mengerjap, bersiap menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari Mas
"Jadi bagaimana, mau kan saya ajak jalan?" tanya Adi kembali memastikan. Karena sejak tadi, pikiranku masih bercabang-cabang. "Kapan?" "Kalau sekadar makan bakso, sekarang juga boleh." "Saya nggak suka bakso." "Cari makanan lain yang kamu suka 'kan bisa?" Ternyata Adi beneran niat. Dia terus saja mencari cara agar aku menyanggupinya. "Bukannya kamu lagi jaga?" Aku menoleh untuk menghilangkan rasa gugup. Karena setiap kali bicara, Adi selalu menatapku dengan lekat. Entah kenapa wajah Adi sekarang berubah lebih ganteng dua kali lipat daripada Mas Kenzi. Bisa jadi karena mau ngajak aku jalan, jadi tambah ganteng. Atau karena Mas Kenzi habis marah-marah jadi gantengnya berkurang? Aduh, Adisty! Kenapa perasaan ini cepat sekali berubah? "Gampang, tuh lihat!" Adi menunjuk Pak Bambang yang baru saja berganti pakaian dan keluar dari pintu belakang. "Pak Bambang kan, sudah mau pulang?" "Saya bisa ganti pakai uang rokok." "Kalau Mas Kenzi cari gimana?" Aku terus saja berkelit mencar
"Ya, Mas Kenzi!" sahutku dari luar kamar.Segera kusampaikan perintahnya kepada Bude yang masih berada di dapur. Sepertinya, makan sebelum tidur sudah menjadi kebiasaannya.Sambil menahan kantuk, aku menemani Bude menyiapkan pesanan nasi goreng itu, sampai Mas Kenzi datang untuk menyantapnya."Maaf, saya tahu kamu pasti kaget tadi," katanya sambil makan nasi goreng buatan Bude."Nggak perlu minta maaf Mas Kenzi, saya ngerti." Lagipula, tidak ada urusannya denganku. Toh, aku hanya menuruti perintah Bude saat itu."Saya cuma mau kamu tahu, kalau saya nggak mungkin melakukan sesuatu sama Alsha, apalagi di rumah ini," jelasnya lagi tanpa kuminta. "Saat saya mengajak kamu ke rumah Mbak Kanaya, kamu pasti sudah tahu kalau keluarga saya itu nggak ada yang menyukai Alsha."Ini yang aku tunggu-tunggu. Aku sudah kepo setengah mati sejak kemarin mengetahui tentang bagaimana hubungan Mas Kenzi dan Mbak Alsha sebenarnya. Tapi, apa dia benar-benar ingin menceritakan semuanya padaku?"Kenapa, Mas?
Pesan dari Mas Kenzi semakin membuatku penasaran dan terus memikirkannya. Kenapa jadi aku yang sakit hati melihat dia terluka?Berpikir realistis Adisty, kamu tak lebih dari seorang pengasuh!***Jam setengah enam pagi, aku dan Mas Kenzi sudah berada di lapangan golf. Saat berada di restoran, Mas Kenzi mengenalkan aku pada seorang temannya."Ini Rico, teman saya."Mas Rico mengulurkan tangannya lebih dulu.Seperti waktu itu, Mas Kenzi meminta Nina yang menjadi caddy-nya. Sedangkan Pak Rico, dia memilih caddy laki-laki untuk membantunya dalam permainan kali ini.Dari Nina, aku tahu kalau Pak Rico juga cukup sering main di sini. Dia juga masih belum menikah seperti Mas Kenzi.Sejak pertama bertemu, aku merasa Pak Rico terus memerhatikanku. Bukan kegeeran, hanya saja, aku jadi merasa tidak nyaman."Dis, boleh saya minta nomor handphone kamu?" tanya Pak Rico saat Mas Kenzi berada di tengah lapangan.Seharusnya, tadi Mas Kenzi membiarkan aku menunggu bersama Pak Darmo saja di mobil. Darip
[Adisty, save nomor saya. Rico]Kutatap lagi pesan dari Pak Rico di ponsel.Balas nggak, balas nggak?Kalau dibalas, rasanya aku masih malas menanggapinya. Tapi kalau tidak dibalas, kasihan juga. Ditambah lagi nggak enak sama Mas Kenzi.[Baik, Pak][Rico saja. Bisa saya telpon?]Tuh kan! Sekalinya dibalas, malah mau telepon![Maaf, saya nggak enak, sudah malam. Ada Bude di samping saya] balasku berbohong. Aku masih kurang nyaman untuk berbicara dengan Pak Rico, lelaki bertubuh atletis yang tingginya lebih tinggi sekitar lima centi dari Mas Kenzi itu.Kalau majikanku berkulit putih seperti salju, Pak Rico lebih mirip Adi, hitam tapi nggak manis, lebih manis Adi. Kalau Pak Rico, terlihat lebih 'cowok', dengan janggut dan jambang tipisnya."Bagaimana, Rico sudah hubungin kamu?" tanya Mas Kenzi saat aku sedang menemaninya sarapan. Aku mengangguk sambil terus memerhatikan penampilan Mas Kenzi pagi ini. Melihatnya memakai kemeja, membuatku terpesona setengah mati. Sayang, lelaki di depank