Share

SIKAP MAS KENZI

"Alsha ada urusan mendadak, Dis!" kata Mas Kenzi memberitahuku. Padahal dari tadi sudah tahu. Mau ketawa malah, tapi sebisa mungkin kutahan.

"Jadi sekarang pulang lagi, Mas?"

"Kita belum makan. Bagaimana kalau cari makan di sini dulu?"

"Makan?"

Aduh, gimana ini? 

Masa makan berdua aja sama Mas Kenzi?

Rasanya gimana gitu. Aku takut nggak bisa buka mulut, makan di depan orang ganteng kaya dia.

"Nggak ajak Pak Darmo sekalian, Mas?" usulku. Semoga saja dia mau ajak Pak Darmo, biar nggak gugup berduaan sama Mas Kenzi.

"Nih!" Mas Kenzi menyodorkan ponselnya. Dari layarnya terlihat jelas story WA Pak Darmo yang menunjukan aktivitasnya saat ini.

Ya ampun ...ternyata diam-diam Pak Darmo alay juga. Masa dia foto selfi bareng semangkuk soto mie? Tapi itu artinya, dia sudah makan siang duluan.

"Kamu mau makan apa, Disty?" 

"Apa aja, Mas!"

"Sushi bagaimana?"

"Aduh ... enggak ah! Tapi kalau Mas Kenzi mau makan itu ya nggak apa-apa. Saya temenin aja."

"Mau steak?"

"Saya nggak makan daging, Mas."

"Terus mau makan apa?" Wajah Mas Kenzi terlihat kesal.

"Terserah Mas Ken—"

"Ya ampun, ternyata semua cewek sama aja!" katanya menyela ucapanku.

"Kenapa, Mas?"

"Ribet!"

"Emang ribet Mas, makanya saya nggak suka sama cewek!"

Dia tersenyum sebentar. Manis banget. Padahal becandaku garing. Tapi lumayanlah buat mencairkan perasaan tegangku sendiri.

"Saya tahu kamu maunya makan apa. Ayo!"

Aku kembali mengekor di belakang. Kami berdua turun ke lantai bawah menggunakan lift.

Tadinya, hanya ada kami berdua. Namun di lantai selanjutnya, tiga orang pemuda dan dua orang wanita yang masuk ke dalam lift. Kedua wanita itu terdengar berisik, memerhatikan wajah Mas Kenzi yang gantengnya kelewatan. Awalnya aku masih bisa mendengar, namun setelah salah satu pemuda menggeser ke belakang, tubuhku yang mungil tertutup olehnya. 

Pintu lift kembali terbuka, tapi dari kelima orang ini tidak ada yang bergeser sama sekali. Semoga saja Mas Kenzi tidak keluar dan meninggalkan aku sendiri di sini.

Namun, kekhawatiran ku sirna saat tangan putih yang besarnya dua kali lipat dari tanganku menelusup masuk di sela para pria itu dan meraih tanganku.

"Maaf, ya Mas. Disty, ayo!"

Mas Kenzi menarik tangan kecilku. Hangat. Itulah yang kurasakan saat dia menggandengku.

Aku jadi merasa di atas awan saat melihat tatapan iri dari kedua wanita yang tadi membicarakan ketampanan Mas Kenzi.

Segini baru digandeng, gimana kalau jadi pacarnya beneran seperti Mbak Alsha? Duh Disty, jangan mimpi!

Beberapa saat setelah keluar dari lift, dia belum melepas genggaman tanganku juga. Mau bilang sayang, nggak bilang deg-degan terus. Bagaimana ini?

"Mas Kenzi, tangan saya." Aku mencoba mengingatkan dia. Takutnya dia lupa kalau sejak tadi tangannya memegang tanganku dengan erat.

"Eh maaf, kecil banget sih tangan kamu. Sampai saya nggak sadar lagi megang," alasannya.

Huft ...!

Sampai di outlet bakso ternama, langkah Mas Kenzi berakhir.

"Saya yakin kalau cewek nggak bakal nolak kalau diajak makan bakso!" tebaknya sok tahu. Sepertinya dia sudah melupakan sesuatu.

Setelah memesan dua porsi, dengan cepat Mas Kenzi melahap habis. Sedangkan aku hanya mencicipi kuahnya saja.

"Kenapa cuma dicicipin kuahnya?"

"Saya nggak makan daging, Mas."

"Ya ampun, kenapa saya bisa lupa kalau kamu nggak suka makanan berbahan dasar daging?" katanya sambil menepuk jidatnya.

"Sini saya makan!""

"Eh jangan Mas, tadi kan saya udah cicipin kuahnya!"

"Memang kenapa?"

"Mas Kenzi nggak risih?"

"Kamu nggak ada virus, kan?'

Aku menggeleng. Ya ampun ... padahal kalau Mas Kenzi mau, beli outletnya juga bisa. Pasti kecil buat dia. Tapi kenapa malah cuek aja makan bakso yang sudah kucicipi kuahnya? Apa tidak ada rasa jijik sedikitpun?

"Sekarang saya udah kenyang. Tinggal kamu mau makan apa. Jangan bilang terserah lagi."

"Pulang aja Mas Kenzi. Saya lebih cocok masakan Bude ... ceplok telur juga jadi."

Akhirnya dia menurut. Kami langsung pulang setelah membayar makanan.

Namun, dalam perjalanan pulang, perutku tiba-tiba sakit. Mau bilang sama Mas Kenzi nggak enak. Kucoba tetap bertahan sampai tiba di rumah.

Saking sakitnya, keringat mengucur deras walau AC mobil sangat dingin. Ya, karena aku menahan sakit yang teramat sedari tadi.

Tapi begitu turun dari mobil, aku tak bisa lagi menahan rasa sakit. Untuk berdiri pun aku nggak sanggup.

"Kamu kenapa, Dis?" tanya Mas Kenzi yang berbalik badan. Padahal sebelumnya, dia sudah jalan lebih dulu.

"Perut saya sakit ...," jawabku sambil terus memegangi perut.

Kudengar Mas Kenzi masuk dan memanggil Bude Ning. Dengan tergopoh-gopoh, Bude langsung menuntunku. Hilang ... pandanganku sesaat menghilang.

***

"Apa nggak sebaiknya Disty dibawa ke dokter?" 

Terdengar suara Mas Kenzi saat aku mulai sadar.

"Disty punya asam lambung Mas, saya ada obatnya. Lebih baik tunggu dia siuman dulu."

Aku mencoba mengintip sedikit. Bude duduk di ranjang, sementara Mas Kenzi berdiri sambil melipat kedua tangannya.

"Oya, Mami kemana, Bi?" terdengar suara Mas Kenzi bertanya pada Bude.

"Mami kerumah Mbak Kanaya. Tadi suaminya kasih kabar kalau dia sudah kontraksi."

"Kok Mami nggak bilang saya, ya?"

"Kata Bu Arini, sekarang sudah ada Disty. Mas Kenzi bisa nyusul ke sana kalau sudah istirahat."

Aku masih terus saja mendengarkan mereka bicara. Entahlah, mungkin lebih baik pura-pura tidur saja.

***

"Nggak subuh, Dis?" terdengar suara Bude membangunkanku. Aku menggeliat. Ingin rasanya tetap melanjutkan tidur, kalau saja aku tidak ingat sedang bekerja di rumah ini.

"Ya ampun, Disty ngantuk banget Bude. Efek obat kali ya?"

"Lain kali jangan sampai lupa makan begitu, Dis!"

"Iya Bude ... oya, Bu Arini sudah pulang Bude?"

"Belum. Anak keempatnya, Mbak Kanaya mau melahirkan."

"Ooo ... kalau Mas Kenzi?"

"Mas Kenzi biasanya pagi-pagi di ruang olahraga. Kamu bisa antar roti ke sana sekalian bilang terima kasih. Dia khawatir banget lihat kamu sakit."

"Iya, Bude."

"Dia juga lho yang gendong kamu ke kamar ini!"

Glek!

"Yang bener, Bude?" 

Duh, jadi nggak enak hati sama Mas Kenzi!

Sebagai bentuk penyesalan dan terima kasih, kupaksakan diri mengantar sarapan untuknya.

Satu roti bakar, dua butir telur rebus dan segelas susu. Aku diminta oleh Bude mengantarnya ke ruang fitnes yang letaknya ada di lantai tiga. Berada di salah satu kamar yang menghadap langsung ke sky pool di atap lantai dua. 

Sayang, setibanya di sana, ruangan yang dipenuhi berbagai alat olahraga ini kosong

Jadi, kemana Mas Kenzi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status