Share

Chapter 7. Sosok Presiden

Malam semakin larut, suasan hutan pun terasa semakin mencekam. Suara anjing hutan yang melolong terdengar bersahutan dengan suara-suara binatang malam lainnya. Cahaya obor yang dipasang di depan tenda-tenda penginapan terlihat menari-nari terhempas angin mencoba memecah kegelapan malam. Di luar sebuah tenda, tampak Pak Gamaliel dan Pak Gandara serta rekannya yang lain sedang berbincang-bincang.

“Apakah semua target sudah didapatkan?” tanya Pak Gamaliel.

“Sudah, Pak. Semua sudah berada di tenda utama,” jawab Sembi.

Pak Gamaliel lalu berjalan menuju tenda besar yang sedang dijaga ketat oleh beberapa tentaranya. Langkahnya diikuti oleh Pak Gandara dan Pak Sugeng beserta tiga orang tentaranya dengan bersenjata lengkap. Setelah berada di depan tenda, Pak Gamaliel membuka pintu tenda itu dengan perlahan.

Melihat beberapa orang muncul dari pintu tenda, Pak Musa dan keempat rekannya serempak melirik, dan tampaklah siapa sosok Presiden yang mereka pertanyakan.

“Oh! Rupannya kamu dalang dari semua ini Fawn Gamaliel?!” ucap Pak Musa dengan suara agak tinggi.  

“Hahaha. Pak Gubernur dan rekan-rekan semua apa kabar? Saya harap kalian baik-baik saja. Sebelumnya saya minta maaf, atas kelancangan dan ketidak sopanan kami membawa Bapak-bapak sekalian dengan sedikit paksaan. Tapi Bapak-bapak semua tidak usah khawatir, kami tidak bermaksud jahat. Dan Bapak-bapak semua jangan sungkan-sungkan, anggap saja tempat ini sebagai rumah kalian sendiri,” ucap Pak Gamaliel sedikit basa-basi.

“Tidak perlu basa-basi Gamaliel. Apa sebenarnya maksud dari semua ini?!” Pak Musa kembali bertanya, dan dengan gaya santainya, Pak Gamaliel terlihat menyalakan sebatang rokok. Ia hisap dalam-dalam dan mengepulkan asapnya pada langit-langit tenda.

“Musa. Bukankah saya pernah bilang delapan tahun yang lalu, disaat saya memberikan ucapan selamat atas kemenanganmu pada pemilihan itu. Bahwa saya, tidak akan pernah menyerah. Meskipun, empat kali dalam pemilihan gubernur saya selalu kalah. Bahkan saya mempunyai impian yang lebih besar,” jawab Pak Gamaliel.

“Hmm! Rupannya ini salah satu luapan dari kekalahanmu, Gamaliel. Harusnya kamu sadar diri, orang licik sepertimu tidak akan pernah bisa menjadi seorang pemimpin. Orang yang tidak mau mendengarkan rakyatnya, ia sama sekali tidak pantas untuk mendapatkan kesempatan menjadi seorang pemimpin!” sahut Pak Musa.

“Hahaha. Saya sadar, bahkan sesadar-sadarnya! Mengapa rakyat tidak memilih saya? Karena mereka semua bodoh! Dan buta! Sehingga mereka tidak bisa melihat dan membedakan antara pemimpin yang pintar dan yang bodoh sepertimu!” ujar Pak Gamaliel dengan nada suara yang agak meninggi. Mendengar ucapan Pak Gamaliel seperti itu, Pak Musa terlihat geram.

“Kalau saya bodoh. Mengapa mereka memilihku? Jelas, aku lebih baik darimu,  Gamaliel!”

“Hah! Apa kamu tidak tahu Musa? Dengar, ya, Musa! Jika suatu masyarakat bodoh, tentu akan melahirkan pemimpin yang bodoh pula. Dan sebaliknya, kalau mereka pintar, maka akan melahirkan pemimpin yang pintar pula seperti aku ini. Masyarakat yang pintar tentu akan memilih pemimpin yang pintar. Namun sebaliknya, masyarakat yang dongo, pasti akan memilih pemimpin yang dongo pula sepertimu. Dulu saya mengira, bahwa saya ini sama dengan mereka. Tapi akhirnya saya menyadari, bahwa saya ini berbeda dari mereka. Dan sebagai manusia yang masih mencintai masyarakatnya, saya terketuk untuk menyadarkan mereka dari buaian-buaian mimpi para penguasa sepertimu yang hanya mampu memberikan janji-janji tanpa ada bukti, yang hanya mampu menina bobokan mereka. Sedangkan impian indah yang mereka tunggu-tunggu selama ini sebenarnya tidak akan pernah tercapai. Mereka sebenarnya kecewa, tapi mereka tidak tahu apa yang mesti mereka lakukan, mereka memimpikan sebuah kemajuan untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Tapi, sekeras apapun mereka berpikir, mereka tidak akan pernah menemukan jalannya. Oleh karenanya, mereka hanya menunggu implementasi dari janji pemimpin mereka yang sebenarnya tidak akan pernah terwujud. Karena mereka tidak sadar kalau pemimpin mereka sebenarnya tidak ada bedannya dengan mereka, sama-sama tololnya, bin dongo!” hardik Pak Gamaliel panjang lebar.

Mendengar kata-kata kasar seperti itu dari Pak Gamaliel. Pak Musa dan rekan-rekannya terlihat bangkit dari kursi mereka, meskipun hanya diterangi lampu lentera, namun ekpresi wajah marah mereka terlihat.

“Kurang ajar kau Gamaliel!” gertak Pak Musa. Pak Gandara dan tiga orang tentara yang dari tadi diam, terlihat menodongkan pistol mereka pada Pak Musa dan rekan-rekannya.

“Dengar Musa! Saya hanya ingin mengajak kerjasama denganmu, demi kemajuan dan kepentingan masyarakat kita, dan negara kita yang sebentar lagi akan kita dirikan di tanah kita yang subur ini,” ungkap Pak Gamaliel.

 “Kepentingan masyarakat atau dirimu?!”

“Musa. Tanah kita ini sangat kaya dengan sumber daya alamnya dibandingkan dengan wilayah lain, dan pemerintah pusat mengeruknya habis-habisan hingga di beberapa titik menyisakan lingkungan yang rusak tanpa ada upaya memperbaiki, dan yang lebih parahnya, masyarakat kita hanya disisakan sampahnya saja, sumber daya alam yang berasal dari wilayah kita mereka ambil lalu diolah, dan setelah jadi dikembalikan ke masyarakat kita dengan harga yang sangat mahal. Lalu, apa keuntungan kita, hanya sepahnya saja. Selain itu, pemerintah pusat juga memungut pajak besar-besaran pada perusahaan-perusahaan di wilayah kita, karena kita memiliki omset yang begitu besar yang notabene hasilnya akan diberikan pada wilayah lain yang miskin akan sumber daya alam demi sebuah pemerataan. Padahal, pada kenyataannya hanya untuk memperkaya pihak-pihak individu pemerintah sendiri. Sedangkan wilayah yang miskin tetap saja miskin. Katanya uangnya untuk daerah-daerah tertinggal. Tapi mana? Semua penghasilan dari wilayah kita kebanyakan untuk kepentingan para pejabatnya sendiri. Kalau tidak! Pasti masuk ke perusahaan-perusahaan mereka. Iya kan?! Coba kamu pikirkan secara jernih, Musa. Pikirkan baik-baik. Kalau seandainnya kekayaan alam kita ini kita kelola sendiri, tentu wilayah kita akan makmur. Apalagi kalau sudah lepas dari republik ini dan mendirkan Negara baru. Kita tidak akan repot-repot ikut memikirkan krisis di wilayah-wilayah lain yang sebenarnya dibuat oleh pemerintahan mereka sendiri sebagai alasan. Oleh karna itu, saya hanya butuh kerjasamanya saja Musa. Kau dan teman-temanmu hanya cukup membacakan isi tulisan ini di depan kamera, dan nanti seluruh masyarakat akan tahu bahwa Gubernur mereka telah setuju untuk mendirikan negara baru.  Bagaimana?” ucap Pak Gamaliel panjang lebar sambil meletakan beberapa lembar kertas yang disana tertulis pernyataan bahwa gubernur menyetujui berdirinya negara baru dan mendukung segala proses administratif pendirian negara baru itu.

“Hmm. Pintar sekali kau membuat alasan. Saya lebih tahu kebusukanmu. Mengatas namakan kepentingan rakyat. Padahal itu semua hanyalah akal busukmu saja, Gamaliel. Dan saya tidak akan pernah setuju dengan niatmu itu,” jawab Pak Musa tegas.

“Oke. Oke. Mungkin karena keadaan fisikmu yang masih lelah hingga tidak bisa berpikir jernih, tapi besok, saya yakin, kamu akan setuju dengan tawaran saya ini. Saya akan beri kesempatan pada kalian untuk memikirkannya. Baiklah Bapak-bapak, mungkin untuk malam ini, itu saja yang saya sampaikan. Dan saya harap, kalian mau mempertimbangkan penawaran saya ini. Selamat beristirahat,” ucap Pak Gamaliel lalu keluar dari dalam tenda dan diikut oleh Pak Gandara.

Selepas kepergian pak Gamaliel, kelima orang itu hanya terdiam mematung, mereka terlihat sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga salah seorang memecah kesunyian.

“Kalau sudah begini, apa langkah yang harus kita ambil, Pak?” tanya Mayjen Ferdy membuka percakapan sambil menatap Pak Musa. Terlihat Pak Musa menarik napas panjang, tergambar jelas raut wajahnya yang lelah dan kebingungan.

“Entahlah, Pak Ferdy. Saya masih bingung, harus bagaimana. Tapi, untuk sementara waktu, kita beristirahat saja untuk memulihkan energy dan pikiran kita. Semoga esok hari, Gamaliel dan orang-orangnya bisa kita ajak berunding secara baik-baik,” ucap Pak Musa. Mereka pun mengangguk dan satu persatu bangkit dari kursinya lalu melangkah menuju bale-bale bambu kemudian merebahkan badan mereka dan menutup tubuh mereka dengan selimut yang disediakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status