Share

Jangan Bawa Anakku

Pagi itu Mawar sudah siap pergi ke kantornya. Saat sedang merapihkan make-upnya, nyonya Cynthia itu datang ke kamar menantunya dengan wajah tidak bersahabat.

"Sebaiknya kamu segera memberi saya cucu. Dalam silsilah keluarga kami, tidak pernah ada yang gagal!" kata nyonya Cynthia pada menantu perempuannya itu.

"Cucu?"

"Iya."

Alin pun hanya tersenyum saat nyonya Cynthia keluar dari kamarnya begitu saja.

"Kamu harus secepatnya kasih aku anak. Agar posisiku aman. Jangan kecewakan aku!" tekan Barra saat keluar dari kamar mandi.

"Ya Allah, kuatkan aku dalam menjalani pernikahan ini ...."

------

Siang itu Mawar mendatangi rumah neneknya. Ia melepas rindu pada ibu Rima dan Balqis, adik semata wayangnya.

"Gimana, Mawar? Mereka baik sama kamu, kan?" tanya sang nenek.

"Mereka semua baik kok, Nek," sahut Mawar.

"Jangan tutupi dari nenek ya," ujar ibu Rima.

"Enggak kok, Nek. Mawar tidak menutupi apapun. Mas Barra malah pengen aku cepat kasih keturunan," ungkap Mawar sumringah.

"Syukurlah, Nak."

"Semoga pernikahan kalian semakin harmonis. Kalau ada apa-apa, bicara sama nenek ya," pesan ibu Rima.

"Iya, Nek."

Siang itu Mawar pun makan siang bersama nenek dan adiknya. Menikmati kembali makanan favorit yang biasa disiapkan sang nenek.

Kediaman Tuan Mark

Malam hari, Mawar pun membuka pintu rumah mertuanya saat Barra pulang dari kantornya. Namun, terlihat ada tanda lipstik berwarna merah di kemeja putih Barra yang dilihat Mawar.

"Mas, ini apa, Mas?" tanya Mawar.

"Oh, ini. Ini noda lipstik," jawab Barra santai tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Noda lipstik? Apa-apaan ini?" sahut Mawar ketus.

"Kenapa, kamu cemburu?" ketus Barra.

"Mas, kamu bisa nggak hargai aku? Aku ini istri kamu loh!" tegas Mawar.

"Kamu memang istri aku di rumah ini. Tapi, di luar, aku bebas!" jawab Barra lantang.

"Keterlaluan kamu, Mas," sahut Alin.

"Sudahlah. Enggak usah lebai!" pekik Barra.

"Ada apa sih ribut-ribut?" tanya Nyonya Cynthia yang datang menghampiri anak dan menantunya yang bertengkar di ruang tamu.

"Ini loh, Ma. Ada noda lipstik di kemeja Mas Barra," terang Mawar. Berharap, Mawar mendapat pembelaan dari ibu mertuanya itu.

"Wah, shadenya bagus banget," ujar Cynthia. Barra pun menimpali," Mama suka warnanya?"

"Iya. Ini kan warna kesukaan Mama," jawab Cynthia tertawa.

"Ya udah nanti Barra pesankan untuk Mama ya," ujar Barra.

"Ma, Mama kok malah bahas lipstik sih?" pekik Mawar.

"Kenapa sih hal begini aja diributin?" kata mama mertua Mawar itu ketus.

"Ma, Mas Barra kan sudah punya istri. Aku."

"Duh, Mawar! Anak saya ini pergaulannya luas. Bertemu banyak orang. Sebagai istri kamu seharusnya jangan banyak menuntut!" gertak Cynthia membela putra tunggalnya itu.

"Sudahlah. Besok kamu ikut Mama periksa ke dokter kandungan. Mama heran, sudah lama menikah tapi belum juga hamil," sindir Cynthia.

"Kamu ikut ya, Mas?" tanya Mawar.

"Barra?"

"Kamu jangan manja deh. Urusan dokter kandungan itu urusan perempuan. Kamu sama Mama. Suami kamu nggak perlu ikut,-ikutan. Paham?!" ujar Cynthia.

"Makasih, Ma," sahut Barra puas karena selalu mendapat pembelaan dari Mamanya itu.

------

Keesokan hari akhirnya Nyonya Pingkan membawa Mawar menemui dokter langganan keluarganya. Memeriksakan kesehatan menantunya itu agar bisa segera memberikan keturunan pada keluarga besarnya.

"Gimana ya, Dok? Sampai sekarang menantu saya ini belum juga hamil," seru Nyonya Cynthia.

"Saya kan sudah ingin menimang cucu," kata Cynthia tersenyum.

"Maaf, dengan berat hati saya harus menyampaikan ini. Ada masalah dengan kandungan Ibu Mawar," ujar sang dokter.

"Itu sebabnya Ibu Mawar butuh waktu untuk hamil," lanjut sang dokter.

"Ini, Bu ..." kata dokter Riska memberikan surat hasil pemeriksaan.

"Astagfirullah."

"Ini nggak salah, Dok?" tanya Mawar meneteskan air matanya.

"Dasar menantu tidak berguna!" gerutu Nyonya Cynthia dalam hatinya.

Malam hari

Saat makan malam, Nyonya Cynthia kembali mencecar Mawar karena permasalahan soal kandungannya. Mawar divonis akan sulit memberikan keturunan pada Barra.

"Sebaiknya kamu pisah saja kalau kamu tidak bisa memberikan keturunan," seru Nyonya Cynthia dengan ketus.

Mawar mencoba menahan agar tidak menangis. Barra dan Tuan Mark pun saling pandang.

"Ma, Mama ngapain sih meributkan hal begitu?"ujar Tuan Mark membela menantunya.

"Menikah itu kan untuk mempunyai anak. Kalau dia tidak bisa memberikan anak, lalu buat apa dipertahankan?" sindir Cynthia.

"Lebih baik cari wanita lain yang jelas bisa kasih keturunan buat Barra," sambung mama Barra itu ketus.

"Sekarang zaman sudah canggih. Ada program bayi tabung. Mereka bisa melakukan itu. Jadi, hal seperti ini tidak perlu dipermasalahkan. Pernikahan mereka baru seumur jagung," pekik Tuan Mark pada istrinya yang ngotot ingin Barra dan Mawar bercerai.

"Papa diapain sih sama Mawar? Diguna-guna ya sama dia. Sampai seperti ini membela dia!" pekik Cynthia yang kesal karena suaminya begitu membela Mawar.

"Pernikahan itu bukan main-main, Ma. Harus dijaga dengan baik. Baik suka maupun duka. Jangan hanya karena permasalahan ini, kamu meminta Barra dan Mawar berpisah. Itu nggak adil buat Mawar!" bela Tuan Mark.

"Kita bisa bawa Mawar berobat ke luar negeri kalau perlu," tegas Tuan Mark.

"Pokoknya harus ada penerus keturunan buat keluarga kita. Kalau dia, tidak bisa memberi anak. Mama yang akan mencarikan wanita lain buat Barra!" tegas Cynthia yang tetap dengan keputusannya.

"Papa tidak setuju!"

"Mawar dan Barra tidak boleh berpisah!" tegas Mark sebagai kepala keluarga.

Barra dan Mawar akhirnya berbicara di dalam kamarnya. Barra meluapkan semua kemarahannya pada sang istri.

"Menikah bukan membuat aku bahagia. Tapi, malah tersiksa. Tapi ya udahlah. Aku mendapatkan istri yang tidak bisa memberikan anak!" gertak Barra.

"Aku juga nggak mau, Mas, kondisinya seperti ini," sahut Mawar terisak.

"Lihat dong. Lihat diri kamu. Kamu bisa beri aku anak nggak? Setiap laki-laki, pengen punya keturunan. Aku mau punya anak," ketus Barra.

"Gimana aku bisa punya anak kalau kamu selalu buat aku sedih, bertindak tidak adil ...." dalih Mawar.

"Ah, banyak alasan! Bilang saja kamu nggak bisa hamil, tidak bisa memberikan anak!" gertak Barra.

"Aku tidak bertanggungjawab ya atas kebahagiaan kamu ya," pekik Barra.

"Aku ini istri kamu, Mas. Masa kamu sedikit saja tidak pernah memikirkan perasaan aku," jawab Mawar menangis. Bulir bening itu tidak bisa lagi ditahannya.

"Ah! Aku sudah berulangkali bilang sama kamu ya. Aku tidak percaya cinta. Tidak ada cinta-cintaan!" pekik Barra.

"Hidup ini, semua ada harganya. Termasuk cinta. Paham kamu?!" gertak Barra. Mawar hanya bisa menangis.

"Ya Allah, maafkan aku. Aku tidak tahu lagi bagaimana agar Mas Barra bisa mencintaiku lagi ....."

------

Di kantornya, Barra teringat dengan Bintang. Mantan istri sirinya dulu yang ia ceraikan sesaat sebelum menikahi Mawar.

"Aku kan sudah punya anak dari Bintang. Kenapa tidak aku ambil saja ya?" pikir Barra.

Tanpa membuang waktu, Barra langsung mengambil benda pipih berukuran 5 inci itu. Ia menghubungi anak buahnya.

[ Hallo. Tolong kamu cari Bintang. Cari sampai ketemu. Ini perintah. Nanti saya kirimkan foto dan alamatnya.]

Selesai menghubungi orang kepercayaannya, Barra pun langsung melempar ponselnya. Ia hanya menunggu. Keprofesionalan mereka tidak diragukan. Sudah banyak pekerjaannya beres. Dengan uang dan kekuasaan yang dimiliki Barra, semua bisa dengan mudah didapatkannya.

Rumah sakit

Bintang masih di rumah sakit. Dia harus bolak-balik karena Daffa masih berada di ruang NICU. Berjuang antara hidup dan mati. Dengan membawa serta Jihan. Ibu Laksmi pun datang dan meminta putrinya itu pulang.

"Bintang, sebaiknya kamu pulang. Biar Daffa Ibu yang jaga di sini. Kasihan Jihan. Nanti dia malah sakit," ujar Ibu Laksmi cemas.

"Tapi, Bu. Aku masih kangen sama Daffa," sahut Bintang dengan mata yang terlihat sembab.

"Pulanglah, Nak. Nanti kalau ada kabar apapun, Ibu langsung hubungi kamu," pinta sang Ibu.

Bintang harus menuruti keinginan Ibunya. Jihan juga butuh istirahat. Kasihan bayi itu terpaksa ikut karena Bintang yang harus setiap hari menengok Daffa di rumah sakit.

"Setelah Daffa keluar dari rumah sakit, kita pulang ke Bandung aja ya," ujar Ibu Laksmi.

"Iya, Bu."

Rumah kontrakan Bintang

"Cantik. Kita sudah sampai rumah sekarang," ucap Bintang sambil menggendong Jihan, putri kecilnya bersama Barra.

Namun, Bintang dikagetkan dengan kehadiran Barra yang sudah menunggunya di teras rumah. Entah apa yang membuat Barra datang menemuinya setelah sekian lama pergi.

Barra pun mendekati Bintang. Bintang nampak terlihat kaget dengan kehadiran Barra di rumah kontrakannya.

"Hallo, Bintang. Gimana kabar kamu? Lama kita nggak ketemu," seru Barra tersenyum.

"Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Bintang ketus.

"Tidak perlu basa-basi. Aku perlu bayi ini," ucap Barra lantang.

Bintang menatap Barra dengan penuh kemarahan. Tiba-tiba pria ini datang dan hendak mengambil anaknya.

"Astagfirullahaladzhim," ucap Ibu Laksmi saat gelas yang dipegangnya itu terjadi.

"Ada apa ya Allah?"

Anya tentu saja tidak ingin kehilangan anaknya. Anak yang dengan susah payah dilahirkan.

"Dulu kamu seenaknya meninggalkan aku. Sekarang kamu mau mengambil anak kita? Bahkan dulu pun kamu tidak mau mengakuinya kan?" tegur Bintang.

"Aku tidak akan kasih!" tegas Bintang.

"Kenapa ya? Perempuan itu banyak omong!" pekik Barra.

"Anggap saja saat itu aku khilaf. Ya biasalah. Sini, aku mau menggendong anakku," seru Barra.

"Enggak. Cepat kamu pergi dari sini!" usir Bintang yang mulai panik. Ia khawatir jika Barra nekat mengambil bayinya.

"Ini ada cek. Sangat cukup buat kamu hidup mewah," ujar Barra dengan angkuhnya.

"Ada apa ini ya Allah. Apa terjadi sesuatu sama Bintang dan Jihan?" batin Ibu Laksmi.

"Simpan saja uang kamu, Mas.Aku tidak butuh!" tepis Bintang membuat Barra murka.

"Kamu pikir anak kita ini barang?!" pekik Bintang.

"Cepat serahkan anak itu sebelum kesabaran aku habis!" gertak Barra.

"Enggak, Mas. Aku tidak akan pernah memberikan anak ini," tegas Bintang.

Bintang yang hendak masuk ke dalam rumah pun ditahan oleh Barra. Barra terus berusaha merebut anaknya yang berada dalam gendongan mantan istri sirinya itu.

"Berikan anak itu!"

"Tidak, Mas!"

Bintang terus sekuat tenaga mempertahankan anaknya. Terjadi perebutan hingga akhirnya Bintang terpaksa menendang Barra hingga ia terpental.

Bintang langsung mengambil langkah cepat. Berlari secepat mungkin. Barra pun langsung mengejarnya. Memanggil Bintang tetapi tidak digubrisnya. Bintang pun terus berlari membawa serta Jihan dalam pelukannya.

"Bintang Berhenti!"

Ibu Laksmi yang cemas berusaha menghubungi putrinya itu. Namun, teleponnya tidak juga dijawab. Perasaannya pun semakin cemas.

"Ada apa ini ya Allah?"

Ibu Laksmi semakin cemas. Perasaannya gelisah memikirkan nasib Bintang yang tidak bisa dihubungi.

"Ada apa, Bu?" tanya seorang perawat saat melihat Ibu Laksmi yang terlihat gelisah.

"Maaf, Sus. Saya titip Daffa sebentar ya. Saya harus pulang," ujar Ibu Laksmi.

"Baik, Bu."

Ibu Laksmi pun bergegas menuju rumah kontrakan anaknya itu. Nalurinya sebagai seorang ibu berkata jika Bintang sedang tidak baik-baik saja.

"Bintang, Bintang!" teriak Barra.

Bintang dan Barra terus kejar mengejar. Ia dengan kekuatan penuh terus berlari hingga akhirnya dia bersembunyi di balik mobil putih di sekitar taman rumah dekat rumahnya.

"Bintang, kamu di mana?" teriak Barra.

"Bintang, Bintang!"

Barra terus berlari mencari keberadaan Bintang dan Jihan. Setelah mengetahui jika Barra pergi, Bintang pun mencari jalan lain untuk bersembunyi.

"Kenapa Mas Barra tiba-tiba ingin membawa Jihan? Apa yang sebenarnya dia pikirkan?!" gerutu Bintang.

Anya pun mulai berpikir untuk menyembunyikan Jihan. Di tempat yang aman hingga suasana tenang.

Mawar seperti biasanya membawa makanan yang akan dibagikannya ke anak-anak jalanan. Siang itu, Mawar pun membawa banyak makanan.

"Semoga ini menjadi berkah buat keluargaku," gumamnya.

Bintang terus mencari tempat persembunyian yang aman untuk Jihan. Ia terus berlari agar tidak bisa ditemukan oleh Barra.

"Aku harus menyembunyikan Jihan sementara waktu. Nanti kalau Barra sudah tidak ada di tempat ini, baru aku akan kembali," pikir Bintang.

Bintang dengan terpaksa menaruh Jihan di sebuah lokasi yang agak tersembunyi. Ia meletakkan Jihan dengan selimut bayinya.

"Jihan, kamu jangan nangis ya. Ibu nanti akan kembali ke sini lagi mengambil kamu. Jihan jangan takut ya," ucap Bintang. Dia pun memutuskan pergi untuk memastikan jika Barra tidak lagi ada di taman itu.

Mawar terus berjalan setelah membagikan makanan yang dibawanya pada anak-anak jalanan itu.

"Alhamdulillah, akhirnya sudah habis semua," ucap Mawar bahagia.

Saat sedang berjalan menuju pintu keluar, Mawar mendengar suara tangis bayi. Ia pun mencari sumber suara. Hingga akhirnya dia menemukan bayi tidak berdosa itu.

"Ya Allah, kenapa ada bayi di sini?"

Setelah melihat situasi di dekatnya yang sangat sepi dengan orang yang lalu lalang, Mawar memutuskan membawa bayi yang sejak tadi terus saja menangis.

Ibu Laksmi akhirnya turun dari angkot. Dia melihat Bintang yang terus berlari. Ibu Laksmi akhirnya mengejar putri tunggalnya itu.

Dari kejauhan, Barra akhirnya melihat Bintang yang berjalan cepat . Tanpa membuang waktu pria itu akhirnya mengejar dan ia berteriak memanggil nama mantan istrinya itu.

"Bintang!"

Bintang yang mengetahui jika Barra masih mengejarnya pun langsung berlari cepat sekencang mungkin agar tidak tertangkap oleh Barra, mantan suami sirinya. Namun, pelarian Bintang terhenti ketika sebuah motor yang melaju cepat menabraknya dan berlalu pergi begitu saja.

"Bintang ....."

bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status