Share

Nikah Wasiat

Seperti dugaan Bintang, Barra pun menolak kehadiran bayi yang ada di dalam kandungannya. Ia bahkan tidak ingin mengakui darah dagingnya itu.

"Tolong, kamu jangan pernah temui aku lagi. Jika kamu butuh uang, aku akan berikan berapapun asal kamu tidak menganggu kehidupanku lagi," tekan Barra saat bertemu dengan Anya.

"Enggak perlu, Mas! Aku tidak perlu uang kamu. Dengan tanganku sendiri aku akan membesarkan anak ini," bentak Bintang. Ia pun pergi meninggalkan Barra begitu saja.

Di tengah perjalanannya, ponsel Bintang berbunyi. Tertera di layar Ibunya yang memanggil. Awalnya Bintang mendiamkan, tapi sang Ibu terus saja memanggil. Anya bingung apa yang harus dikatakannya. Akhirnya, Anya berhenti di sebuah taman. Ia pun mengangkat panggilan sang Ibu.

[Hallo, Bu.]

[Bintang, gimana? Kamu sudah bertemu dengan Barra? Dia mau menerima kamu dan calon anak kalian kan?]

Bintang terdiam sesaat. Dia menahan tangisnya. Anya bingung, apa yang harus dikatakannya.

[Hallo, Bintang!]

[Iya, Bu. Aku sudah ketemu Mas Barra. Dia mau menerima aku dan anaknya ini, Bu .... ]

[Alhamdulillah. Ibu senang dengarnya. Coba, Ibu mau bicara sama mantu Ibu?]

Wajah Bintang seketika panik saat sang ibu hendak bicara dengan Barra. Sedangkan hubungannya dengan Barra sudah berakhir dan Barra tidak mau menerima kehadirannya dan janin yang sedang dikandungnya.

[Mas Barra lagi sibuk, Bu. Lagi banyak tamu di sini. Nanti saja ya, Bu, teleponnya. Bintang tutup dulu ya teleponnya. Assalamualaikum.]

[Wa'alaikumsalam.]

-----

Sejak Barra mengusirnya, Bintang memutuskan tinggal di Jakarta. Ia mengontrak sebuah rumah sederhana tidak jauh dari rumah Barra. Ia berharap, dengan berjalannya waktu, Barra bisa menerima kehadiran anak yang dikandungnya.

7 bulan berlalu

Bintang akhirnya sudah berada di rumah sakit. Hendak melahirkan, sang Ibu yang akhirnya datang dari Bandung untuk menemani kelahirannya.

"Ayo, Bu, tarik napas, Bu ...." ucap seorang dokter yang membantu proses persalinan Bintang.

"Suami kamu ke mana? Harusnya dia yang menemani kamu di sini. Bukannya Ibu yang harus datang ke Jakarta," cecar Ibu Laksmi.

Ibu Laksmi akhirnya keluar ketika dokter hendak membantu proses persalinan Bintang. Di luar ruangan, sang Ibu terus berusaha menghubungi Barra tetapi nomornya juga tidak aktif.

"Duh, gimana sih. Bintang sedang berjuang melahirkan anaknya, dia malah tidak bisa dihubungi," gerutu Ibu Laksmi.

"Ohya, ini sepertinya alamat Barra. Aku harus menemuinya," ucap Ibu Laksmi saat menemukan alamat Barra di tas Bintang.

Beberapa jam berlalu

Ibu Laksmi akhirnya bisa menemukan rumah Barra. Barra yang baru saja hendak naik ke dalam mobilnya bergegas menghampiri mantan mertuanya itu.

"Ibu Laksmi, ada urusan apa anda ke sini?" tanya Barra ketus.

"Bintang sudah melahirkan anak kalian," terang Ibu Laksmi itu sumringah.

"Saya sudah menalak Bintang. Jadi saya tidak ada urusan apapun lagi dengan kalian," jawab Barra santai.

"Apa, talak?"

"Tapi, dia tetap anak kamu Barra!" tegas Laksmi.

"Saya nggak yakin jika itu adalah anak kandung saya," sahut Barra membuat Ibu Laksmi murka.

"Kurang ajar kamu! Anak saya bukan wanita seperti itu. Pokoknya kamu harus datang ke rumah sakit. Kamu harus bertanggungjawab!" teriak Ibu Laksmi histeris.

"Ya, oke, oke! Saya akan datang. Tapi, jangan teriak-teriak. Bikin malu aja," gertak Barra.

Barra pun terpaksa mengikuti keinginan mantan mertuanya itu agar bisa meredam kemarahan Ibu Laksmi. Ia tidak ingin siapapun mengetahui siapa Ibu Laksmi.

------

Ibu Laksmi akhirnya sampai di rumah sakit bersama Barra. Nampak jelas jika Barra setengah hati. Bahkan perduli dengan anak yang baru dilahirkan pun tidak.

"Mas ...."

"Aku senang akhirnya kamu kembali. Mas, azanin anak kita ya," ucap Bintang yang masih terlihat lemah setelah melahirkan sepasang bayi kembarnya.

"Bintang, hubungan kita kan sudah berakhir. Kenapa sih, kamu selalu menganggu kehidupan aku," tanya Barra.

"Tapi, aku masih istri kamu, Mas!" tekan Bintang.

"Hei, apa waktu itu kurang jelas? Oke, aku akan perjelas semuanya sekarang. Mulai saat ini, aku jatuhi kamu talak. Kamu bukan istriku lagi. Sudah jelas kan?" bentak Barra.

"Mas, aku mohon. Kamu gendong anak kita. Kamu azanin ya, Mas," seru Bintang terisak.

"Nih! Mulai saat ini, jangan kamu ganggu hidupku lagi!" bentak Barra saat melempar secarik kertas yang ternyata cek yang tertulis 100 juta rupiah.

"Mas Barra ...." panggil Bintang. Tapi, Barra tetap pergi dan tidak menggubris panggilan mantan istri sirinya itu.

Ibu Laksmi bergegas mendekati sang putri yang terus menangisi nasibnya dan anaknya yang tidak bisa merasakan sosok seorang Ayah.

Bintang harus menerima kenyataan jika salah satu anaknya terlahir dengan lemah jantung. Kondisinya yang lemah membuatnya cemas akan kelangsungan hidup anaknya.

"Maafin Ibu ya. Kamu harus terlahir seperti ini. Kamu harus bertahan ya," ucap Anya saat melihat anaknya yang berada di ruang NICU. Berjuang antara hidup dan mati.

"Ibu akan kasih kamu nama Daffa. Yang artinya, anak yang kuat," lirih Bintang.

"Dan kamu, si cantik, Ibu akan beri nama kamu Jihan. Kelak kamu akan menjadi wanita yang kuat," ujar Bintang menatap Jihan yang berada di gendongannya.

"Apapun yang terjadi, Ibu akan selalu menjaga kalian. Kalian akan membuat Ibu bangga. Walaupun Ibu merawat kalian seorang diri. Tanpa seorang Ayah.

------

Mawar dan Barra kini sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Bayangan indah pernikahan ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Mawar. Kembali, ia terluka dalam pernikahannya.

Barra terpaksa menikahi Mawar demi mendapatkan perusahaan yang sudah dijanjikan oleh Papanya. Jika ia menolak, Barra tidak akan mendapatkan apapun.

"Ya Allah, semoga pernikahanku dengan Mas Barra menjadi pernikahan yang sakinah, Mawaddah dan warrohmah ...."

Barra akhirnya masuk ke dalam kamar pengantinnya. Dengan wajah yang tidak bersahabat, dia mendekati Mawar.

"Kamu ingat ya. Aku menikahi kamu itu terpaksa.Jadi jangan berharap aku mencintai kamu," pungkas Barra.

"Ya kamu tahu sendiri kan. Aku menikahi kamu itu agar bisa mendapatkan perusahaan dari Papa," ujar Barra tertawa. Mawar mencoba menahan tangisnya. Ia tidak ingin terlihat lemah.

"Mas, aku bisa paham kalau kamu belum bisa mencintai aku. Tapi, aku salah apa sama kamu, Mas?Kenapa kamu sekeras ini?" tanya Mawar.

Barra pun mengambil selimut di dalam lemarinya. Tidak lupa ia juga mengambil bantal dan Barra memilih tidur di sofa.

"Mas Barra ...." Panggilan Mawar pun tidak digubris oleh Barra. Ia tetap berjalan keluar kamar dengan langkah cepat.

Saat berjalan keluar kamar, tiba-tiba sebuah suara memanggil Barra. Langkahnya pun terhenti.

"Barra!Mau ngapain kamu bawa bantal sama selimut keluar kamar? Kenapa kamu tinggalkan Mawar sendirian di kamar di malam pertama kalian?" tanya Pak Mark.

"Pa, aku nggak mau satu kamar sama Mawar, Pa," jawab Barra.

"Apa-apaan kamu?! Kamu itu sudah menjadi seorang suami. Kamu harus menemani Alin," tegas Pak Mark.

"Papa kan tahu aku menikahi Alin terpaksa. Papa tahu sendiri kan kenapa. Jadi aku nggak mau satu kamar dengan dia," seru Barra.

"Itu bukan alasan, Barra!" gertak Pak Mark.

"Walau kamu menikah karena terpaksa, kamu itu sudah menikah. Menikah itu bukan hanya kamu janji sama istri kamu, tapi juga janji sama Allah. Kamu harus bertanggungjawab lahir dan batin pada Mawar!" gertak Papa Barra itu lantang.

"Aku dan Mawar itu tidak saling mencintai. Jadi kenapa dibuat ribet gini sih, Pa?" ujar Barra membuat Papanya itu naik pitam.

"Papa itu mendidik kamu itu jadi laki-laki yang bertanggungjawab!" bentaknya.

"Taubat kamu, Barra!"

"Sekarang kamu kembali ke kamar, temani istri kamu," perintah Tuan Mark.

"Aku nggak mau, Pa," sahut Barra.

Mawar pun akhirnya mendengar pertengkaran suami dan Papa mertuanya itu setelah ia mengucap salam.

"Pa, sudahlah. Aku capek begini terus," gerutu Barra.

"Capek kamu bilang? Apalagi Papa. Papa lebih capek melihat tingkah kamu!" gertak Pak Mark.

"Ya Allah, aku tidak menyangka jika pernikahanku dan Barra jadi seperti ini. Kuatkan aku ya Allah ...."

Nyonya Cynthia, Mama Barra pun keluar dari kamarnya dan merelai pertengkaran anak dan suaminya itu.

"Ada apa sih? Malam begini kalian masih ribut?" tanya Cynthia pada suami dan anaknya.

"Ini loh, Ma. Papa paksa aku tidur di kamar. Masih mending aku yang keluar, daripada dia ku suruh keluar," pekik Barra.

"Memang Papa salah kalau mendidik kamu menemani istri kamu?" pekik Tuan Mark.

"Inilah akibatnya kalau kamu memaksa Barra menikah dengan wanita yang tidak dicintainya," sindir Nyonya Cynthia.

"Kamu lihat sendiri kan?!"

"Ma, ini tuh nggak benar. Kamu jangan mengajarkan dia agar tidak bertanggungjawab!" gertak Tuan Mark.

"Loh, kok jadi Mama yang disalahkan?" balas Cynthia ketus.

"Mama itu mengajarkan anak kita untuk berbuat apapun sesuai keinginan hatinya .... " sahut Cynthia.

"Ya Allah, semoga Engkau memberikan jalan keluar dari pernikahan ini ya Allah. Tumbuhkanlah cinta dalam hati kami, Aalamiin ...." ucap Alin dalam doanya.

"Papa tidak mau tahu. Sekarang kamu kembali ke kamar dan temani istri kamu," perintah Tuan Mark.

"Kalau kamu nggak mau, nggak usah Barra!" timpal Cynthia.

"Enggak bisa!"

"Kamu temani Mawar di kamar atau kamu tidak akan mendapatkan perusahaan itu dari Papa," ancam Tuan Mark membuat Barra tidak berkutik.

"Oke, Pa. Aku akan kembali ke kamar," sahut Barra.

"Papa tega banget sih sama anak semata wayang kita? Ngapain sih kamu lebih mementingkan si Mawar itu?!" tekan Cynthia.

"Barra sudah menikah secara resmi dan dia harus bertanggungjawab atas istrinya. Mama juga harus bisa menerima Mawar sebagai menantu di keluarga ini!" ancam Tuan Mark membuat Cynthia tak berkutik.

bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ayrairdina3
sekejap anya sekejap bintang..sekejap alin..sekejap mawar..pening baca..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status