Share

BLACK EYE : When The Story Begin
BLACK EYE : When The Story Begin
Penulis: The_BlueMoon

BAB I - Wanita Berwajah Dingin

Jika kalian tahu mantra untuk menghapus mimpi, katakan padaku! Aku sama sekali tidak bergurau tentang hal itu. Mimpi bukan lagi menjadi hal yang menyenangkan saat aku mulai terlelap. 

Wanita berbibir merah itu terus saja datang ke mimpiku, dengan mengenakan sepatu hak tinggi berwarna senada, ia tersenyum simpul kepadaku. Mungkin terkesan biasa saja, tapi apakah kalian bisa membayangkan jika terus menerus memimpikan hal yang sama selama sepuluh tahun? Itu sangat tidak menyenangkan!

***

Hal ini dimulai sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat hari ulang tahunku yang ke-sebelas. Saat itu aku berekspektasi untuk memandang balon warna-warni, dan meniup lilin di hadapanku, nyatanya semuanya halusinasi.

Harusnya saat ini aku sedang memegang pisau untuk mengiris kue ulang tahunku, namun yang ada kini sebuah pisau hanya berjarak kurang dari sejengkal menuju leherkuleherku.

“Anak cantik, harus tenang ya sayang,” ucap seorang wanita berbadan tinggi.

Sepucuk air mata sudah tak terbendung, dan mengalir di ujung mataku. Kain kumal menyumpal dengan baik mulut mungilku, walaupun aku ingin beteriak tentu saja akan sia-sia.

“Kenapa nangis? Tante baik kok, Tante gak akan nyakitin kamu.” Ia mengarahkan tangannya yang kosong ke ujung mataku, dan mengusapnya.

Ujung bibirnya kembali terangkat sebelah, dan menampilkan sosok yang sangat menyeramkan bagiku.

Kini ia berpindah untuk menelusuri tas sekolah berwarna pink cerah yang ada di dekatnya. Dengan begitu pisau yang sejak kurang lebih tiga puluh menit lalu bertengger di samping leherku, kini perlahan menjauh.

Aku mulai menghela nafas lega, setidaknya salah satu ancaman telah berhasil dilewati. Memejamkan mata merupakan hal yang paling tepat saat berada pada kondisi saat ini. Walaupun begitu, aku masih bisa merasakan kondisi dari tempat ini.

Hawa dingin mulai menusuk ke badan mungilku yang hanya dilapisi baju putih, dan rok pendek merah menyala. Ruangan ini tak lebih besar dari kamar tidurku, bahkan ini jauh lebih kecil. Samar-samar terdapat cahaya di atasku, menerangi hanya bagian tengah ruangan ini.

Tidak ada hal lain yang bisa dilihat selain jaring laba-laba, tumpukan kayu bekas bangunan, dan timbunan debu yang melambangkan betapa tuanya ruangan ini. Wanita itu masih terus menelusuri setiap senti dari tas bergambar beruang yang dipegangnya. Belum sempat aku mengamati wajah cantiknya, ia kembali menyunggingkan senyumnya.

“Rigella,” panggilnya sambil memandangku.

Entah apa yang ada dipikirannya saat memanggil namaku, nada dan bahkan ekspresinya benar-benar tidak bisa tertebak. Aku terus menurunkan pandanganku, tatapan matanya sangat berbeda dengan orang yang biasa kutemui setiap harinya. 

Ruangan yang memang dingin itu kini terasa semakin tak bersahabat. Ia kembali mendekat ke arahku, dentuman ujung sepatunya seirama dengan detak jantungku yang semakin cepat. 

“Tante bakal kasih kamu hp ini, coba bilang siapa yang pengen Rigell telfon sekarang?” ujarnya sambil menggenggam hand phone yang diberikan Ayah untukku sebulan lalu.

“A-ah!” kataku yang tidak jelas karena masih tersumpal dengan kain. 

“Oh, Rigell anak ayah ya ternyata, Tante kira bakal nelfon ibu,” jawabnya sambil mengalihkan pandangan ke arah hp yang dipegangnya.

Matanya bergerak seiringan dengan jari lentiknya yang menekan tombol-tombol yang ada di hpku. Setelah sekilas melirik ke arahku, ujung bibirnya kembali terangkat. Kini jarinya menekan tombol yang bergambar telepon berwarna hijau. Tak lama, layar menyala dengan menampilkan nama “Ayah”.

“Halo! Rigell, nak Rigell di mana?” ucap ayahku begitu telepon tersambung.

Nadanya nampak sangat khawatir, terdengar samar-samar suara ibuku yang menangis. Aku tak bisa mengatakan apapun karena memang tenagaku pun sudah habis.

“Apapun yang anda inginkan saya akan penuhi,” ujar Ayah yang terus berusaha untuk membujuk wanita berbaju merah ini.

“Apapun? Nyawa sekalipun,” jawab wanita itu dengan singkat. Tak ada jawaban dari seberang sana, hening tersebut seakan semakin menyakiti hatiku sedikit demi sedikit. Berbagai pikiran pun telah menyerbak ke setiap sel otakku.

Banyak sekali pertanyaan yang ingin ku tanyakan pada ayah. Apakah Ayah tidak peduli denganku? Bahkan aku yang baru saja berusia sebelas tahun sangat tahu bahwa wanita ini hanya mengancam, tidak lebih dari itu.

Seberang telepon masih saja hening dan aku akhirnya menyerah. Air mata mulai mengalir deras dari mataku, wanita berbaju merah pun juga pada akhirnya memutuskan telepon itu dan merendahkan tubuh tingginya agar sejajar denganku. Tatapannya semakin masuk pada bagian diriku yang lain, seakan mengatakan bahwa aku hanya memiliki dirinya untuk selamat, tidak pada orang lain.

“Rigell paham kan maksud Tante? Hanya tante yang ada untuk Rigell,” kata wanita berbaju merah.

Secara tidak sadar aku menundukkan kepalaku, kata-kata yang diucapkannya tadi memang benar adanya. Selama ini aku terus dibiarkan sendiri di rumah tanpa ada yang memperhatikan. Ayah dan Ibu jarang ada waktu di “rumah” bahkan aku bingung karena tempat itu pun tidak bisa dikatakan sebagai rumah yang sebenarnya.

Wanita berbaju merah kembali ke posisinya semula, Ia menunduk untuk berbicara denganku yang kini terikat di atas kursi. 

“Lapar?” tanyanya singkat.

Aku pun mengangguk karena memang aku sangat lapar, sejak pagi aku bahkan belum makan ataupun minum sedikitpun. Tenagaku juga sudah terkuras saat aku memberontak tadi.

Segera setelahnya, Ia meninggalkan ruangan sempit ini dan pergi meninggalkanku.

Saat itulah entah apa yang membuatnya lupa menutup pintu, aku melihat setitik harapan untuk kabur dari ruangan yang menyesakkan ini. Kursi yang `ku duduki terus bergoyang, tanganku berhimpitan satu dengan lainnya. Begitu pula dengan pergelangan kakiku, aku terus menggerakkannya hingga tali yang mengikatnya merenggang.

Tali yang mengikat tanganku sedikit merenggang dan aku juga berusaha melepaskan kain kumal yang masih menutup bibir mungilku. Hingga akhirnya aku berhasil membebaskan bibirku dan menggigit simpul tali yang mengikat pergelangan tanganku. Darah segar terlihat menetes pada helai-helai tali tampar berwarna putih pucat ini. Nampaknya gigi mungilku tidak cukup kuat untuk membuka ikatan kuat wanita berbaju merah. 

Perjuangan tentu saja akan memberikan hasil yang memuaskan, ikatan tampar di pergelangan tanganku sudah terlepas dan pastinya dengan mudah aku akan melepaskan ikatan yang membalut pergelangan tanganku.

Pintu masih terbuka, dan aku tidak menemukan tanda-tanda wanita berbaju merah. Aku yakin ia pergi keluar untuk mencari makanan, karena aku cukup menyusahkannya tadi, jadi ia juga akan merasakan lapar.

Aku segera berlari, menyusuri rumah yang entah berada di mana. Aku terus berlari dengan kakiku yang sudah pincang sebelah. Setelahnya aku merasa sangat bersemangat saat ku lihat pintu pagar dari ujung ruang ini. Aku kembali melangkahkan kakiku dengan cepat menggapai pagar tersebut, dan berhasil membuka pagar berkarat itu.

Kini aku sudah bisa bernafas lega, namun aku juga tak tahu sekarang berada di mana, sampai aku menemukan seorang lelaki yang tak jauh dariku, aku berlari ke arahnya untuk meminta bantuan. Lelaki itu dengan cepat melangkah ke arahku, karena melihat kakiku sudah pincang sebelah.

“Adek kenapa?” tanyanya setelah menyetarakan dirinya denganku.

Saat hendak menjawab pertanyaan lelaki itu, tak disangka suara yang tidak asing terdengar di telingaku.

“Dia anak saya, Mas. Terima kasih atas pertolongannya.” Wanita berbaju merah tepat berada di belakangku, dengan senyumnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status