Share

BAB II - I am Loner

Lelaki yang menjadi harapan terakhirku untuk bebas pun menaikkan pandangannya ke arah wanita berbaju merah. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan, lelaki itu terus mengamati wajah wanita berbaju merah. Sampai pada akhirnya ia menggelengkan lehernya seakan mengingat sesuatu.

“Permisi, saya ajak anak saya masuk dulu. Terima kasih sudah menolong anak saya,” ucap wanita berbaju merah untuk menutup pertemuan canggung ini.

Tangan besarnya kini menggenggam ku dengan erat, seakan ingin memastikan kembali siapa dirinya, dan bagaimana keadaanku saat ini. Seperti wajahnya, tangan dari wanita berbaju merah sangat dingin. Jari-jari lentiknya yang berpadu indah dengan cat kuku berwarna maroon seakan menggenggam seluruh tangan mungilku seperti sebuah borgol.

“Jika masih ingin hidup dan bertemu Ayah Ibu mu jangan pernah sekali-kali kabur dari Tante, oke?” katanya sambil terus menggandengku kembali ke rumah lusuh.

Apa yang bisa kuperbuat? Tentu saja aku menganggukan kepalaku, tidak ada jalan lain untuk bebas darinya, dan aku sudah mulai menyerah.

Aku kembali ke ruangan semula, namun anehnya kini aku mulai merasa nyaman dengan ruangan gelap dan dingin ini. Banyak hal yang belum ku lihat saat aku pertama kali masuk ke ruangan ini. Bukan hanya jarring laba-laba dan bekas kayu bangunan. Temboknya puh dipenuhi dengan tumbuhan lembab berwana hijau. Aku sudah bisa membayangkan seperti apa jadinya ruangan ini saat malam hari.

Wanita berbaju merah kini sibuk membongkar isi plastik hitam yang dibawanya tadi. Tentu saja setelah mengikatku kembali di atas kursi seperti semula. Ia mengeluarkan beberapa makanan instan, dan juga minuman botol. Bahkan ada baju seukuranku yang juga dibelinya saat keluar tadi. Sekilas mata hitamnya melirik ke arahku, melihatku dari ujung kepala, hingga ke jari-jari kaki.

“Bukannya badanmu terlalu kurus untuk seukuran anak berusia sebelas tahun,” tanyanya yang kini mulai berbicara santai, sambil mengangkat salah satu baju.

Ia membentangkannya dan seakan menyesuaikan dengan ukuran badanku.

Namun ternyata baju itu tidak diberikannya padaku, bahkan kini ia kembali fokus pada plastik hitam besar yang dibawanya tadi. Lalu wanita itu mengeluarkan sebuah buku, yang ku yakini adalah sebuah novel.

Tulisan besar telah terpampang nyata di bagian sampulnya, “I am Loner” tentu saja aku mengetahui artinya. Bagi anak SD Indonesia bukankah itu terlalu mudah? Kita bahkan sudah belajar Bahasa Inggris mulai TK.

“Pria pengecut itu dulu juga mengoleksi novel,” katanya lirih bahkan hampir tak terdengar.

Aku hanya mendongkrakkan kepalaku dan memandang ke arahnya, wanita itu pun membalas tatapanku dan seakan kembali ke dunianya saat ini. Baju bergambar beruang yang tadinya tergeletak di atas lantai, kini telah mendarat sempurna di atas pangkuanku. Ia kembali menatapku yang bingung, bagaimana aku harus mengganti baju saat tangan dan kakiku masih menyatu dengan kursi.

Wanita berbaju merah kini beranjak dan menyejajarkan dirinya denganku. Ia melepaskan tali yang mengikat tanganku dengan terus memandang ke arah mataku. Namun lagi-lagi ia melakukan hal yang aneh, bukannya membiarkanku untuk mengenakan baju itu sendiri, yang ada kini ia membantuku untuk mengenakannya.

“Wah aku bahkan belum pernah melakukannya pada anakku,” ujarnya kembali dengan nada yang terdengar samar-samar di telingaku.

Belum sempat mencerna apa maksud dari ucapannya, ia sudah membuatku kembali mematung dengan tatapan dinginnya. Sejenak aku berpikir, apakah wanita berbaju merah memiliki seorang anak? Tapi mengapa ia sangat tega untuk menculik anak kecil sepertiku? Apakah anaknya pergi darinya? Dan banyak pertanyaan lain di kepala kecilku.

“Rigell suka novel?” katanya yang langsung menyadarkanku dari lamunan sesaat.

“Suka, Tante,” jawabku ragu. Entah apa yang membuatku ragu, namun aku sangat bingung harus memanggilnya apa. Bahkan untuk memanggilnya Tante bukankah terlalu akrab dan penuh perhatian?

Wanita itu menyerahkan novel yang tadi sudah ku lihat tergeletak di lantai bersama bebrapa makanan instan. Kini aku dapat melihatnya dengan jelas, sampul buku ini sangan minimalis dan menarik perhatian. Didominasi dengan warna hitam, dan tulisan besar berwarna merah, serta dengan gambar latar seorang anak yang bersandar di bawah jendela pada malam hari dan melipat lututnya. Melihatnya sudah sangat mewakili isi dari keseluruhan novel ini, “kesepian”.

“Tante akan kasih makan setelah kamu selesaikan satu bab novel ini,” kata wanita berbaju merah.

Sebenarnya aku benar-benar lapar, namun harus bagaimana lagi tidak mungkin untuk memberontak karena cadangan energi pun sudah habis saat melarikan diri tadi. Akhirnya aku membuka buku setebal kitab suci ini. Aku memang suka membaca novel, tapi ini sama sekali bukan genre yang biasanya aku baca.

Setelah membaca kata pengantar, dan awalan lainnya, kini aku telah memulai pada halaman pertama di mana terpampang nyata “BAB I – Siapakah diriku?” aku mulai membacanya secara perlahan dengan nada rendah, namun wanita berbaju merah malah menghela nafas di depanku.

“Baca yang keras!” katanya dengan nada tinggi.

Akupun menuruti apa yang diinginkannya. Suara lirihku kini menjadi lantang, dan semakin terpaku pada novel yang ku baca. Banyak hal yang tak ku mengerti, namun wanita berbaju merah secara tidak langsung menjelaskannya padaku.

Entah apa yang terjadi, kini aku merasa seperti sedang membaca buku ditemani oleh ibuku. Memang terkesan menyedihkan, tapi inilah yang kuharapkan dari dulu, hanya sekedar duduk berdua dan membaca buku dengan ibu, kalau aku tak mengerti ia akan menjelaskan apa maksudnya untukku.

Kata demi kata telah aku lewati, ceritanya sangat menarik perhatianku. Kondisi yang dirasakan pemeran utamanya sangat mewakili aku yang masih berusia sebelas tahun, namun dengan mental orang dewasa. Sampai pada akhirnya kini aku telah mencapai akhir bab, dan nampak jelas tulisan yang dicetak tebal-tebal. “Aku hanyalah sebuah tempat yang menjadi alasan kedua orang tuaku masih bersama. Tidak lebih dari itu.

Setelah membacanya dengan lantang aku pun tak tahu mengapa, setitik air telah mendarat sempurna di pipiku yang chubby. Wanita berbaju merah hanya memandangku, pastinya dengan pandangan yang sulit diartikan. Setelah melihatnya pun aku semakin menangis dengan kencang seakan hanya wanita ini yang mengerti keadaanku. Aku pasti sudah gila, bagaimana bisa aku semakin nyaman berada di samping orang yang menculikku pagi tadi. Ia hanya bersamaku beberapa jam, tapi kenapa aku sangat merasa nyaman dan aman di sampingnya. Aku memang sudah gila.

“Bagus,” ucap wanita berbaju merah sambil membuka kemasan makanan instan.

Setelah ia membuka penutup, dan garpunya, bahkan mie yang sudah terlihat lembek itu sangat menggugah seleraku. Tentu saja itu akan lembek, ini sudah berjalan hampir dua jam saat ia sampai dari minimarket. Wanita berbaju merah mengangkat perlahan garpu putih itu, dan mengantarkannya masuk dengan sempurna di mulutku. Aku melahapnya dengan antusias seakan tidak ada hari esok untuk aku bisa memakannya lagi.

Wanita berbaju merah terus menyodorkan garpunya padaku, sampai pada akhirnya aku menyadari bahwa ia belum makan sedikitpun dan hanya memberikannya padaku. Sebenarnya butuh keberanian ekstra untuk menanyakan hal ini padanya, karena sejak aku menyelesaikan pembuka novel tadi, ia sudah tak sedikitpun bersuara dan hanya terus memberiku makan.

“Tante … nggak makan?” tanyaku dengan penuh ragu.

“Hah?” jawabnya dengan mengangkat sebelah alisnya.

Kalian pun juga pasti merasakan hal yang sama. Bagaimana bisa kau menawarkan seseorang yang membuatmu terluka untuk makan? Bahkan harusnya kau sendiri yang harus bertahan hidup karena sama sekali belum ada makanan yang masuk pada tubuhmu sejak pagi tadi.

Wanita berbaju merah pun menghentikan tangannya yang sudah siap untuk memberiku suapan lainnya. Ia pun menaruh makanan instan itu di sampingnya, dan kembali mengambil novel yang tadi ku baca. Novel itupun kembali ke pangkuanku setelah beberapa saat.

“Tante makan setelah kamu selesaikan BAB II,” katanya sambil membuka novel itu tepat di halaman BAB II.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status