"Kita bocor, Pak. Komandan dengar sendiri dia nyebut nama Bapak." Suara Aldo terdengar berat di headset. "Dia tahu dari awal. Ini bukan perangkap ... ini perjamuan terakhir."Daru menahan napasnya. Ia masih duduk berhadapan dengan IRJEN di meja tua yang disiapkan untuk pertemuan pura-pura ini. Tangannya tetap di atas meja, seolah santai, tapi matanya menelusuri setiap pergerakan pria tua di depannya."Komandan Daru," ulang IRJEN, kali ini lebih keras, langsung menantang. "Berapa lama kau pikir bisa bermain sebagai 'Ortega'? Kau pikir topeng digital bisa menghapus masa lalumu?"Yudistira yang mengawasi dari ruang kontrol menggertakkan gigi. "Aldo, periksa siapa yang memberi data kita. Ini pengkhianatan dari dalam. Ada yang membocorkan jalur."Aldo sudah mengetik dengan cepat. "Ada sinyal loncatan dari satu perangkat kita. Dari ID kamera logistik 3. Itu ... si Jaka. Dia yang membawa truk bagian timur.""Bangsat!" Yudistira langsung menekan tombol mikrofon internal. "Jaka! Turun dari pos
"Kalau dia tidak datang, semua ini percuma!" suara Yudistira meninggi, nadanya nyaris bergetar oleh amarah dan rasa cemas.Daru berdiri membelakangi jendela, wajahnya diterangi cahaya temaram dari lampu gantung di markas darurat mereka. Tatapannya dingin, tapi rahangnya mengeras. "Dia akan datang. Dia tidak bisa menolak undangan dari orang yang katanya bisa menggantikan jaringan Rusia di Asia Tenggara.""Tapi dia juga bukan orang bodoh! IRJEN itu bukan penjahat kelas teri. Dia licin, dan lebih dari separuh hidupnya dihabiskan untuk menipu orang seperti kita.""Justru karena itu dia akan datang. Rasa tamaknya lebih besar dari rasa takutnya."Yudistira membanting botol air ke lantai. Air tumpah, membasahi sepatu botnya. "Kalau kita salah hitung, Pak ... kita bukan cuma gagal. Kita semua bisa mati dan anak buahnya tidak akan memberi kita waktu untuk kabur."Daru menatapnya sejenak, lalu menepuk bahunya. "Kita sudah sampai sejauh ini. Kalau mundur sekarang, kita hanya jadi cerita basi tap
“Yang benar saja., Mas. Ini bukan sekadar rencana. Ini bunuh diri!” Elina menatap Daru dengan mata merah, penuh amarah yang menahan tangis dan kelelahan.Daru berdiri tegak di depan papan besar yang penuh dengan peta, bagan alur dana ilegal, dan foto-foto orang penting—semuanya terhubung dengan benang merah yang disusun seperti jaring laba-laba. Matanya tajam menatap satu titik di tengah. Sebuah lokasi gudang tua di utara Jakarta.“Kita tidak punya pilihan lain, Lin. Semua jalur hukum sudah buntu. IRJEN bukan cuma dilindungi, dia bagian dari sistem. Kalau kita masih menggunakan prosedur, kita semua akan dikubur hidup-hidup.”Elina menggebrak meja. “Tapi dengan cara seperti ini? Menjebak dia di lokasi transaksi? Memanggil media? Siaran langsung? Kita bukan wartawan! Kita polisi!”“Kita manusia, Lin,” sahut Daru tenang. “Dan manusia kadang harus memilih antara hidup sebagai pengecut atau mati sebagai orang yang mencoba melawan kejahatan.”Yudistira berdiri dari kursinya, suara napasnya
"Kamu lihat sendiri, Mas! Lihat anakmu!" suara Kalina pecah dalam amarah dan panik, tangannya menunjuk ke arah Soraya yang terbaring pucat di atas tempat tidur, napasnya naik turun tak beraturan.Daru berdiri di ambang pintu kamar, wajahnya pucat pasi. Soraya menggigil meski selimut menutupi tubuh kecilnya. Keringat dingin membasahi dahinya, dan matanya bergerak gelisah di balik kelopak tertutup."Dia ... dia nggak bangun sejak pagi," isak Kalina. "Aku coba bangunkan, ku bisikkan doa-doa, aku bacakan ayat, tapi dia cuma menggeliat dan mengigau. Dia terus menyebut satu nama. Bella."Daru perlahan melangkah mendekat, duduk di pinggir ranjang, menatap anak semata wayangnya yang tampak seperti bunga layu di musim panas yang keras."Kamu pikir ini kebetulan?" suara Kalina kini bergetar hebat. "Kamu pikir semua ini nggak ada kaitannya dengan apa yang kamu lakukan di luar sana? Dengan Bella? Dengan dendam yang kamu bawa pulang ke rumah ini?""Aku tahu ini bukan kebetulan," kata Daru perlahan
"Aku nggak bisa percaya ini cuma ulah IRJEN lokal," kata Daru tajam, menatap layar tablet yang dipenuhi laporan penyamaran finansial, nama perusahaan fiktif, dan alur pengiriman gelap dari pelabuhan kecil di Sumatera hingga ke pelabuhan-pelabuhan rahasia di Asia Tenggara.Elina berdiri di dekat jendela ruang kerja darurat mereka, tangannya menggenggam laporan yang baru dikirim Elina lewat jalur offline. "Kita semua sudah curiga tapi ini ... lebih dalam dari dugaan. Bahkan beberapa rekening yang kamu lihat itu, punya afiliasi dengan konsorsium lintas benua. Ada catatan transfer dari Honduras, bahkan Nigeria.""Kita bukan cuma melawan institusi korup," gumam Daru. "Kita melawan sesuatu yang tidak pernah ingin dikenali."Elina mendekat, menunjuk salah satu nama di dokumen. "Ini yang paling bikin aku merinding. Perusahaan cangkang bernama THIRTEEN CROSS. Berdiri di Kepulauan Virgin, tapi punya satu direktur lokal ... yang namanya mirip dengan pemilik toko boneka tua di Jepara, tahun 1991.
"Saya dipanggil karena apa, Pak?" suara Yudistira terdengar datar tapi tajam saat ia duduk di hadapan meja panjang di ruang interogasi.Di hadapannya, seorang perwira tinggi dengan pangkat Kombes berdiri bersilang tangan. Dua petugas lain berjaga di pintu, wajah mereka tanpa ekspresi."Anda tahu sendiri kenapa, Yudistira," kata perwira itu, suaranya dingin. "Tadi pagi pukul 06.20, seseorang melaporkan bahwa Anda mencoba meracuni kopi milik IRJEN dalam ruang briefing tertutup."Yudistira mengernyit. "Itu tuduhan konyol. Saya bahkan tidak berada di gedung utama pagi ini. Saya mengantarkan saksi ke rumah aman. Ada catatannya. Ada saksi.""Tapi kamera pengawas menunjukkan Anda masuk ke ruangan itu lima belas menit sebelum kejadian dan sidik jari Anda ada di cangkir."Yudistira menggeleng, bingung. "Kalau benar itu sidik jari saya, berarti seseorang menjebak saya. Ada orang dalam yang mengatur ini.""Itu yang sedang kami selidiki," jawab Kombes itu datar. "Sementara itu, Anda akan kami tem