Daru tiba di rumah sakit dari kejauhan tampak rekannya yang bernama Yudistira berlari kecil menyongsong kedatangannya.
"Bagaimana keadaan di TKP?"tanya Daru tanpa basa-basi.
"TKP sudah dipasangi oleh garis kepolisian komandan. Saksi yang pertama menemukan jenazah sudah diperiksa juga."
"Di mana Restu diketemukan?" tanya Daru.
"Di apartemennya komandan. Orang yang pertama menemukannya adalah kekasihnya. Karena ponsel Restu tidak diangkat-angkat maka kekasihnya berinisiatif untuk datang ke apartemen. Lalu ketika dia masuk kondisi jenazah sudah ...."
Yudistira tampak tidak meneruskan ucapannya. Sementara Daru yang sudah penasaran dengan kondisi jenazah langsung menarik tangan rekannya itu menuju ke kamar tempat dilakukannya autopsi.
Daru dan Yudistira segera mendatangi dokter Anastasia di ruangannya. Di sana tampak seorang dokter cantik dengan tinggi dan berat badan ideal sedang duduk santai sambil mendengarkan lagu dan mengunyah sebatang coklat.
Saat melihat kedatangan Daru dan Yudistira dokter cantik itu segera menghentikan kegiatannya lalu bangkit berdiri dan menyambut keduanya.
"Komandan Daru Setiawan, sejak tadi kami semua sudah menunggu Anda. Apa kabar komandan?" Siapa dokter Anastasia sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Baik, Dok. Saya baik-baik saja tetapi tidak dengan rekan-rekan saya,"jawab Daru sambil menyambut uluran tangan dokter Anastasia.
Sudah beberapa kali dokter Anastasia bertemu dengan Daru. Dan dia tahu Kombes polisi Daru Setiawan adalah orang yang sangat pintar. Terkenal dengan tangan dingin dan juga sering menyelesaikan kasus-kasus yang rumit.
"Komandan kan baru datang. Apa komandan mau minum secangkir kopi dulu? Hari sudah malam dan sebenarnya ini sudah masuk jam tidur. Tapi, Bapak Gunawan meminta untuk dilakukan otopsi malam ini juga sehingga terpaksa saya lembur," kata dokter Anastasia dengan ramah.
Akan tetapi darul langsung menggelengkan kepalanya."Tidak. Terima kasih Dokter. Akan lebih baik jika kita langsung saja. Saya juga sudah tidak sabar untuk melihat kondisi jenazah sekarang," kata Daru dengan tegas.
"Baiklah kalau begitu kita mulai saja ya."
Dokter Anastasia pun memasang sarung tangan latex dan masker kemudian ia juga memberikan kepada Yudistira dan juga Daru masing-masing sepasang sarung tangan dan juga masker.
Setelah memasang masker mereka bertiga berjalan menuju ke ruang jenazah. Di sana sudah ada satu asisten dokter Anastasia yang menunggu. Melihat kedatangan mereka bertiga asisten itu segera mengeluarkan jenazah itu restu dari dalam kulkas penyimpan jenazah.
Daru mengusap keringat dingin yang berada di dahinya dengan kasar saat melihat jenazah rekan kerjanya yang tampak sangat pucat dengan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan rekannya yang bernama Anwar.
"Saya sudah menjahit kembali perut jenazah. Jika anda tadi datang ke sini 1 jam lebih awal mungkin anda tidak akan bisa makan selama 1 minggu,"kata dokter Anastasya.
Daru mengurutkan dahi kemudian bertanya,"memang apa yang terjadi dengan jenazahnya?"
"Seperti juga IPTU Anwar, jenazah IPTU Restu tidak jauh berbeda. Hanya saja ... kali ini bukan hanya usus dan organ dalamnya yang terburai keluar akan tetapi jantungnya pun berada di luar tubuhnya," kata dokter Anastasya.
Mendengar perkataan dokter Anastasia darupun langsung membelalakkan kedua matanya. Dia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia dengar.
"Saya memiliki foto-foto jenazah ketika ditemukan di TKP, Komandan. Kalau komandan memang mau memeriksa ke TKP sekarang saya bisa mengantarkan," kata Yudistira.
Daru menarik nafas panjang, menatap jenazah yang saat ini terbaring di hadapannya. Saat ini kondisi jenazah sudah lebih rapi dan mungkin sudah dimandikan juga. Semua organ dalamnya pun sudah dikembalikan ke dalam tubuhnya dan dijahit. Karena Daru melihat ada titikan benang di tubuh korban.
"Apa yang dokter dapatkan?" Tanya Daru kepada dokter Anastasia.
Dokter Anastasia mengela nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan.
"Korban meninggal kira-kira sudah empat jam. Semua organ dalamnya keluar termasuk juga jantung. Dan sepertinya senjata yang digunakan adalah pisau yang berukuran besar. Karena ... Ketika mayat ditemukan ada beberapa bagian organ dalamnya yang dicincang halus seperti menggunakan pisau cincang daging," kata dokter Anastasya menjelaskan.
"Pisau?"
Daru lalu menoleh ke arah Yudistira kemudian berkata, "apakah senjata pembunuh ditemukan di TKP? Kalau memang ditemukan sudah diperiksa sidik jarinya?"
Tetapi Yudistira menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Maafkan kami, Komandan. Ketika kami datang dan memeriksa kondisi apartemen. Tidak ada pintu yang rusak karena memang kekasih itu Restu juga datang dan pintu dalam kondisi terkunci. Tidak ada barang-barang yang berantakan juga tidak ada barang yang hilang termasuk perhiasan maupun laptop atau juga handphone milik korban. Kami juga tidak menemukan alat yang digunakan untuk membunuh ataupun sidik jari di TKP. Hanya ada sidik jari itu Restu dan juga kekasihnya,"jawab Yudistira.
"Apakah senjata yang digunakan untuk membunuh itu restu sama dengan senjata yang digunakan untuk membunuh itu Anwar?" tanya Daru kepada dokter Anastasia.
Dokter cantik itu menggelengkan kepalanya.
"Ketika saya memeriksa jenazah IPTU Anwar, kemungkinan besar korban dibunuh dengan menggunakan alat seperti golok atau celurit bukan pisau. Hal itu bisa dilihat dari luka yang menganga di leher dan juga di perut korban. Akan tetapi luka yang saya temukan pada IPTU Restu jelas sekali jika itu menggunakan pisau daging yang sangat tajam. Mungkin saja pembunuhnya bukan orang yang sama. Kalaupun mereka adalah orang yang sama berarti pembunuhnya senang menggunakan senjata yang berbeda mungkin untuk mengecoh petugas kepolisian."
Daru menghembuskan nafas dengan kasar lalu berkata, "siapapun pelakunya Dia pasti sudah merencanakan semua ini dengan rapi dan sebaik mungkin. Hanya saja yang aku herankan adalah kenapa pintu apartemen tidak dirusak? Artinya pembunuh adalah orang yang sangat dekat dengan korban. Apakah kamu sudah memeriksa keterangan dari kekasih itu Restu?"
"Sudah komandan. Bahkan kami juga sudah memeriksa CCTV. Dan keterangan dari saksi yang bernama Amelia itu memang benar. CCTV menangkap kedatangan saksi pukul dua belas malam tadi."
"Apakah tidak aneh perempuan datang ke apartemen pacarnya malam-malam? Bisa jadi dia memang sudah datang ke apartemen itu sebelumnya," kata Daru.
"Amelia bekerja sebagai resepsionis di sebuah hotel. Dan kebetulan hari ini dia bertugas sampai malam komandan. Jadi dia mampir ke apartemen Restu sepulang dari bekerja. Dan hotelnya juga berada tidak jauh dari apartemen korban. Sehari sebelumnya memang mereka bertengkar. Tetapi sejak pukul delapan malam, korban sempat mengirimkan pesan kepada Amelia. Setelah itu ketika Amelia menelpon tidak diangkat-angkat," kata Yudistira menjelaskan.
Daru memijit keningnya yang terasa pusing. Dia benar-benar menemukan jalan buntu untuk kasusnya kali ini. Biasanya serapi apapun pelaku pasti dia akan meninggalkan jejak ataupun petunjuk tanpa disengaja. Akan tetapi kali ini semuanya benar-benar bersih termasuk juga tidak diketemukannya sidik jari.
"Hanya manusia yang tidak kasat mata yang bisa melakukan hal seperti ini. Tapi di zaman milenial seperti ini memangnya masih ada hantu yang bisa membunuh manusia seperti di film-film?" kata Daru dengan kesal.
BAB 17. ANCAMAN DARI ATASHujan tak kunjung reda sejak siang. Di luar jendela, kilatan petir menyambar langit malam, menyibak awan hitam seperti luka lama yang dipaksa terbuka. Suara rintik hujan beradu dengan genting markas kepolisian, menciptakan irama yang tak nyaman seperti detak jantung yang dipercepat rasa curiga.Daru berdiri di depan pintu kayu bertuliskan “KAPOLDA”. Jemarinya mengepal, menggenggam erat sisa-sisa kepercayaan dirinya yang terkikis. Panggilan mendadak dari IRJEN Gunawan datang tanpa aba-aba, hanya sepucuk memo rahasia dengan cap merah. PRIORITAS TINGGI.Ia mengetuk dua kali. Suara berat dari dalam menjawab, "Masuk."Ruangan itu gelap, hanya diterangi satu lampu meja yang nyalanya diredupkan. Aroma tembakau mengendap di udara, bercampur bau kayu tua dan kertas basah. IRJEN Gunawan duduk di balik meja, tubuhnya tegap seperti patung batu. Matanya tajam mengawasi Daru, tak menyembunyikan kesan bahwa pertemuan ini bukan sekadar tegur sapa antar atasan dan bawahan.“D
BAB 16. SORAYA DAN BELLAPagi itu langit mendung, seperti menggantungkan awan kelabu tepat di atas atap rumah mereka. Udara terasa lembap dan dingin, menyusup ke tulang-tulang, membuat suasana semakin muram.Kalina berdiri di depan kamar Soraya dengan segelas susu hangat di tangan. Ia baru saja selesai merapikan dapur ketika suara pelan seperti gumaman menyelinap keluar dari balik pintu yang sedikit terbuka.“.... Aké selowé .... anem-laa .... kuré .... kuré ....”Kalina menegang. Suara itu terdengar lirih, seperti nyanyian atau bisikan. Tapi bukan suara lagu anak-anak, bukan pula bahasa yang pernah ia ajarkan pada Soraya. Langkahnya pelan saat ia mendekat, menempelkan telinga ke daun pintu.“Bella, bilangin Om Kurir jangan marah ya, nanti Soraya takut.”Kalina menggenggam gelas lebih erat. Tangannya gemetar. Ia mendorong pintu dengan perlahan. Engsel tua itu mengeluarkan bunyi berderit samar.Soraya duduk di lantai dengan posisi bersila, menghadap boneka Bella yang ia letakkan di ata
BAB 15. GANGGUAN TENGAH MALAMSuara tawa itu datang tiba-tiba, memecah keheningan rumah yang nyaris beku oleh dingin malam.Mbok Inah terbangun dari tidurnya. Jantungnya berdebar keras. Sekilas ia pikir hanya suara dari mimpi buruk yang terbawa ke alam nyata. Tapi tidak. Itu nyata. Terdengar jelas. Lirih dan mengerikan.Tawa anak kecil.Bukan tawa riang seperti biasanya, tapi tawa pelan yang mengandung nada sumbang seperti sedang mengejek, atau menyimpan kebencian. Ia duduk tegak di atas dipan kecilnya di dapur belakang, matanya menatap ke arah lorong gelap yang mengarah ke kamar Soraya.Perasaan tidak enak langsung merayapi sekujur tubuhnya. Mbok Inah mengambil senter kecil dari bawah bantal. Langkahnya pelan, tapi gemetar. Ia meniti ubin satu demi satu, suara detak jantungnya seakan lebih keras daripada langkah kakinya.Saat tiba di depan kamar Soraya, suara itu menghilang. Yang tersisa hanya desau angin dari jendela yang sedikit terbuka.Mbok Inah mendorong pintu dengan pelan.Sor
Hujan deras menyelimuti Jakarta malam itu, menyapu jalanan yang lengang dengan suara berirama. Di sebuah rumah susun kumuh di daerah Tanjung Priok, lampu koridor berkedip-kedip, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di sepanjang dinding berlumut.Seorang pria paruh baya tergeletak di lantai ruang tamunya sendiri. Mulutnya terbuka lebar seolah hendak berteriak, tapi tak pernah berhasil. Lehernya teriris bersih, darah mengering di lantai. Tubuhnya masih dalam posisi sujud. Di meja kecil dekat jenazah, hanya ada secarik potongan benang berwarna pink.Daru berdiri di tengah ruangan dengan tubuh kaku dan wajah muram. Yudistira berdiri di sampingnya, sama pucatnya."Tatang Salim. Mantan sopir pengantar logistik. Saksi kunci kasus narkoba lima tahun lalu," kata Yudistira perlahan.Daru mengangguk tanpa suara. Tubuhnya tegang. Tatang adalah satu dari sedikit orang yang tahu tentang rantai pasokan narkoba dari gudang fiktif di Marunda. Ia yang dulu sempat membocorkan jalur pengiriman r
Daru memandangi papan tulis putih yang penuh dengan catatan merah dan foto-foto korban. Di ruang penyelidikan khusus yang kini hanya diisi oleh dua orang penyidik tua dan tumpukan berkas, ia merasa kembali ke masa lalu. Pekerjaan yang dulu ia jalani dengan keyakinan mutlak kini menjadi labirin tak berujung dan boneka itu, Bella, berada di tengah-tengahnya.“Apa kau yakin pembunuhan-pembunuhan ini berkaitan dengan kasus lama?” tanya Kompol Hendra, salah satu senior yang dulu pernah membimbing Daru.Daru mengangguk pelan. “Polanya mirip, Pak. Luka-luka aneh, tidak ada saksi, dan ... bau terbakar samar di TKP. Sama seperti di penggerebekan narkoba lima tahun lalu.”Kompol Hendra menyandarkan tubuhnya. Napasnya berat. “Kasus itu ... terlalu banyak yang ditutupi. Termasuk soal salah satu kurir yang kabur malam itu.”“Kurir yang kecelakaan?” potong Daru cepat.“Iya. Namanya Bayu Darmawan. Masih muda. Saat tertangkap kamera CCTV terakhir, dia memegang sesuatu ... seperti boneka.”Daru bergid
Bab 12. Pengantar TerakhirFlashbackGerimis membasahi aspal yang sudah mengilap sejak siang. Angin sore menggiring aroma tanah basah bercampur asap knalpot dari jalan raya utama. Di antara puluhan kendaraan yang lalu-lalang, sebuah motor bebek tua melaju pelan, sesekali goyah diterpa angin.Di atasnya, seorang pemuda kurir berjaket lusuh dengan logo jasa pengiriman "Satria Express" menatap jalan di depannya dengan mata sayu.Namanya Bayu, dua puluh lima tahun. Tubuhnya kurus, wajah tirus, dan kulit legam khas anak jalanan yang terbiasa diterpa matahari. Ia baru dua bulan bekerja sebagai kurir lepas. Gaji kecil, kerja berat, tapi cukup untuk menyambung hidup bersama istrinya, Ratih, dan anak perempuannya yang baru menginjak usia lima tahun. Hari ini, ulang tahun si kecil.Di dalam tas pengiriman berwarna biru yang tergantung di belakang motornya, terdapat satu paket khusus tanpa label pengirim, hanya alamat tujuan dan tulisan besar merah VIP - URGENT. Bayu sempat bertanya kepada petug