Share

Bukan tentang warisan

Penulis: KARTIKA DEKA
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-17 12:55:39

Mendengar ada keributan di rumahnya, Suwondo bergegas datang dari arah belakang rumah dengan langkah lebar dan cepat. Rambutnya yang mulai memutih bergerak mengikuti irama langkahnya yang penuh wibawa. Tatapannya tajam menyapu sekitar, hingga matanya tertuju pada sosok pemuda asing yang berdiri dengan tatapan menantang pada istrinya. 

“Siapa dia, Ma?” tanyanya dengan suara rendah, namun penuh tekanan, pada Sekar, istrinya. 

“Katanya, dia anak Gendis, Pa,” jawab Sekar dengan nada ketus, dan pandangan yang diarahkan pada Taruna.

Mendengar nama itu, alis Suwondo langsung berkerut. Wajahnya berubah serius. Gendis adalah nama satu-satunya adiknya. Matanya meneliti pemuda yang berdiri di depannya dari ujung kepala hingga kaki. Pemuda itu tidak berusaha menunduk atau menghindari tatapannya. Sebaliknya, dia balas menatap Suwondo. 

“Mau apa kau kemari?” bentak Suwondo, suaranya bergema di dalam rumah yang hening. Ada kilatan amarah yang menyala di balik sorot matanya.

Taruna, pemuda itu, menegakkan bahunya. Meski hatinya berdebar, dia berusaha menjaga agar suaranya tidak goyah. 

“Saya hanya ingin mengenal keluarga saya. Ibu bilang, saya harus datang kesini dan menemui Nenek. ”

“Apa maksudmu keluarga? Gendis bukan bagian dari keluarga ini lagi?” katanya dengan anda ketus yang jelas merupakan sebuah penolakan. Matanya menatap tajam pada pemuda berkulit coklat, namun memiliki paras rupawan. Meskipun berkulit gelap, tetap parasnya cukup rupawan. Apalagi dilengkapi dengan rambut gondrong lurus berkilat yang diikat ke belakang. Tampak terawat, sangat kontras dengan kaos lusuh dan topi usang yang ada di tangannya. 

“Kau mau nuntut warisan, kan? Itu sebabnya kau datang ke rumah ini!?” hardik Suwondo dengan nada penuh amarah. 

Matanya menatap tajam, sementara rahangnya mengeras menahan emosi. Taruna hanya bisa menunduk, menahan diri, dengan kedua tangan terkepal erat. Jika bukan karena amanah almarhumah ibunya yang baru saja meninggal tiga hari lalu, dia takkan pernah sudi menginjakkan kaki ke rumah ini.

Pakdenya tinggal di sini bersama keluarganya, sekaligus mengelola bisnis almarhum kakeknya, sebuah usaha restoran ayam goreng terkenal yang sudah merambah ke banyak kota. Kakeknya adalah seorang perantau dari Jawa yang sukses besar di Medan, menetap di kota ini selama puluhan tahun. Neneknya, yang berdarah asli putri Medan, kini hanya bisa terdiam dalam kondisi uzur namun tak terbaring pasrah di kamar belakang.

“Saya datang bukan karena warisan, Pakde, Saya hanya ingin menjalankan amanah Ibu,” jawab Taruna dengan suara tertahan. Kata-katanya lirih, tapi tegas. 

Matanya tetap menunduk, menuruti amanah terakhir ibunya. Ibunya selalu mengajarkan untuk mengalah dan menghormati keluarga, meski diperlakukan dengan hina sekalipun. Tetapi kali ini, harga dirinya terinjak-injak.

“Amanah ibumu? Apa lagi yang dimau anak dur haka itu?” bentak Suwondo, nada suaranya mengejek. “Dia sudah memilih hidup mis kin bersama tukang becak itu, jadi buat apa sekarang dia suruh kamu ke sini? Apa dia nggak tega lihat anaknya hidup susah? Itu salahnya! Sejak awal sudah dilarang menikah dengan orang seperti itu, tapi dia keras kepala! Dan sekarang, dia kirim kamu ke sini? Hah! Perempuan e dan!” Suwondo menyemburkan sumpah serapahnya tanpa segan, menghina adiknya yang baru saja meninggal.

Taruna mengepalkan tangannya lebih erat. Sesaat ia menahan napas, berusaha keras meredam letupan amarah yang menggelegak dalam dadanya. Padahal Suwondo hanya dua bersaudara dengan Gendis, ibunya Taruna, tetapi doa tega melontarkan kata-kata tak pantas untuk adik kandungnya sendiri. 

“Ibu sudah nggak ada, Pakde,” ucapnya pelan, namun jelas, seperti gemuruh yang merayap pelan di malam yang tenang. Kata-kata itu seketika membekukan suasana. Suwondo terdiam. Sekar, istrinya yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, hanya menatap dengan tatapan dingin. Di wajahnya tersirat rasa tak suka, seolah kehadiran Taruna di sini adalah suatu ancaman. Ancaman akan dibaginya harta warisan sang mertua. 

Taruna menegakkan kepalanya sedikit, menatap lurus pada Suwondo. Bukan karena takut, bukan karena lemah. Ia menunduk bukan untuk mengalah, tetapi menahan gelombang emosinya yang hampir meledak. Kehadirannya di sini bukanlah untuk menuntut apapun, melainkan hanya untuk menjalankan pesan terakhir ibunya. 

Di tengah ketegangan itu, terdengar derit pelan dari arah belakang rumah. Di sebuah kamar yang tersembunyi di ujung lorong, seorang wanita tua dengan rambut yang telah memutih, merasakan hatinya berdebar mendengar suara tinggi Suwondo. Wanita tua itu adalah Nenek Taruna. Dia berjuang keras, mendorong kursi rodanya ke arah pintu. Tangan tuanya gemetar saat menggenggam pegangan kursi, tapi tekadnya kuat.

Setelah membuka pintu kamar dengan susah payah, Nenek Taruna mengarahkan kursi rodanya ke ruang tamu. Setiap dorongan terasa berat, tetapi dia memaksakan diri. Dia harus melihat, harus menyaksikan apa yang sedang terjadi. Wanita tua itu tahu, keributan ini bukan sekadar masalah keluarga. Ini tentang  tentang luka lama yang menganga di antara mereka.

Wanita tua itu berusaha keras mendorong kursi rodanya. Sorot matanya masih menyimpan kekuatan, seolah ingin berbicara sesuatu yang belum sempat terucap. 

Entah apa yang sebenarnya diinginkan almarhumah ibu Taruna. Mungkin, kedatangan pemuda ini ke rumahnya adalah kunci dari perdamaian yang selama ini tak pernah terwujud.

~~~~~~

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Tamat

    Sugondo menarik nafas dalam sebelum turun dari mobilnya. Kini dia sudah berada di halaman rumah Taruna. Sebenarnya dia juga tak yakin ingin melakukan ini, akan tetapi tak ada jalan lain. Kehormatannya jauh lebih penting di mata masyarakat sekitarnya. Dia turun dari mobil dan melangkah ke pintu rumah itu dengan ragu. Tampak pintu dibuka oleh asisten rumah tangga Taruna karena sebelumnya security sudah memberitahu perihal kedatangan Taruna. “Taruna ada?” tanya Suwondo dengan suara beratnya.“Ada, Pak. Di taman belakang sama Bu Salma. Jalannya dari sana,” jawab asisten rumah tangga itu sambil menunjuk jalan yang harus dilewati oleh Suwondo. Suwondo melangkah santai ke arah ditunjukkan oleh asisten rumah tangga itu. Lebih tepatnya ragu. Dia bingung, bagaimana menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke rumah Taruna mengingat hubungan mereka yang tak baik. Saat Suwondo tiba di taman belakang, Taruna tengah duduk bersama neneknya, Bu Salma. Keduanya terlihat menikmati teh sore dengan te

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Anak orang lain

    “Gimana, kamu berhasil bikin Hilya batal nerima lamarannya Bunga?” tanya Sandi penuh harap pada adiknya.“Gagal,” gumam Rere dengan wajah kesal.“Gagal? Kok bisa?” Sandi tampak kecewa.“Aku udah nyoba jebak Taruna, bilang kalau aku hamil,” jawab Rere dengan nada lemah.“Apa? Kamu gi la?” Sandi terperangah mendengar rencana itu.“Hanya itu cara supaya Hilya nggak jadi lamar dia,” jelas Rere, berusaha membenarkan tindakannya.“Tapi, kalau berhasil, kamu malah bakal dinikahin sama Taruna.”“Itu kan yang aku mau,” sahut Rere tegas. “Tapi rencanaku berantakan.”“Berantakan gimana?”“Nenek ternyata lebih cerdas dari yang aku kira. Dia tahu aku bohong, Taruna nggak ada hubungannya sama ini,” kata Rere, menunduk lesu.Sandi terdiam sesaat sebelum bertanya dengan suara rendah, “Tunggu ... maksudmu, kamu beneran hamil?”Rere mengangguk pelan, lalu menyandarkan tubuhnya di sofa, menghela napas panjang.“Sama siapa?” selidik Sandi. “Ridho lah, siapa lagi?”“Kamu kok bisa sesantai ini? Kamu harus

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Selamat dari jebakan

    "Kehamilan kamu sehat," kata dokter andrian. Seketika mata Taruna membeliak mendengarnya. Begitu juga dengan Bunga.'Apa? Aku beneran hamil?' batinnya. Rere mencoba mengatur napasnya yang sempat tertahan mendengar ucapan dokter. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang hampir tak bisa disembunyikan. Namun, ia segera menguasai diri, memasang ekspresi datar untuk menyempurnakan kebohongannya. Dalam hati, ia masih berusaha mencerna kenyataan bahwa dirinya benar-benar hamil.Taruna, yang sedari tadi berdiri dengan tenang, kini melangkah mendekat. Wajahnya menjadi terlihat gusar. “Apa maksud dokter?” tanyanya dengan wajah bingung. Dokter Andrian menatap Taruna dengan tenang, lalu mengangguk pelan. “Mbak Rere memang hamil. Dari hasil pemeriksaan USG, usia kehamilannya sekitar enam minggu,” jelasnya. “Kehamilannya dalam kondisi sehat, meskipun perlu dipastikan untuk kontrol rutin ke depannya.”Taruna menelan ludah. Ia memalingkan wajah sejenak, seolah mencari udara segar di tengah ruangan

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Rere diperiksa

    ‘Mati aku, kalau sampai diperiksa’ katanya dalam hati. “Gimana? Mau kan?” tanya Bu Salma. Bu Salma memberi kode pada asisten rumah tangga untuk mendorong kursi rodanya agar mendekat pada Rere dan Taruna. Setelah dekat, Bu Salma memberi kode untuk berhenti. “Nenek nggak percaya sama Rere?” tanya Rere, mulai dengan akting menangisnya. “Bukan Nenek nggak percaya, Nenek hanya mau semua jelas,” kata Bu Salma dengan tegas. “Sama aja, Nenek nggak percaya sama Rere. Nenek tega. Padahal, selama ini Rere nggak pernah jahat sama Nenek. Pasti Nenek mau membalas kami kan,” kata Rere mulai menangis. “Kamu kok malah ngelantur ngomongnya. Nenek hanya mau semua jelas. Nenek yakin, kalau benar kamu hamil, Taruna pasti akan tanggung jawab,” kata Bu Salma. Rere menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri di tengah desakan emosinya. Matanya memandang Bu Salma yang tetap tenang, meski ucapan tegasnya seolah menelan jangi kebohongan Rere.“Nenek nggak ngerti,” kata Rere dengan suara bergetar. “R

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Pura-pura hamil

    “Pakde, Bude, Taruna ingin melamar Hilya malam Minggu nanti. Taruna harap, Pakde sama Bude mau menemani,” kata Taruna pagi ini pada Suwondo dan Sekar. Dia sengaja datang pagi bersama Bu Salma agar bisa bertemu semua anggota keluarga. Hanya Rere yang tak ada, seperti biasa, dia lebih suka tinggal di kamar yang ada di restoran. Sandi yang juga ada di tempat itu, terkejut mendengar Taruna ingin melamar Hilya. Padahal, Hilya adalah gadis incarannya. Wajahnya berubah panik, apalagi saat Sekar melihatnya. “Kenapa mendadak?” tanya Suwondoa. “Taruna tak mau berlama-lama. Lagipula niat baik harus segera dilaksanakan,” jawab Taruna. “Tapi semua butuh persiapan,” kata Sekar. Raut wajahnya tampak judes, seperti biasa. “Kamu tenang aja, semua sudah ada yang urus. Taruna bicara sama kalian, karena menganggap kalian keluarganya,” kata Bu Salma. Sekar tak menanggapi. “Bisa kan, Pakde?” tanya Taruna. “Bisa,” kata Suwondo akhirnya setelah mempertimbangkan. Sandi sangat tak suka, tetapi dia tak

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Melamar

    Beberapa hari berlalu, keadaan masih sangat canggung. Terutama Sekar yang masih belum bisa menerima kenyataan. Dia lebih banyak berdiam diri di kamarnya. Sandi dan Rere juga tetap mengelola restoran seperti biasa, meskipun sekarang mereka harus memberikan laporan rutin pada Taruna. Taruna juga memutuskan membawa Bu Salma untuk tinggal bersamanya, dan membiarkan keluarga Suwondo menempati rumah kakeknya. Setelah selesai memimpin rapat direksi di perusahaan, Taruna bergegas ke sekolah Kayra. Dia sudah janji pada gadis kecil itu untuk menjemputnya, sekaligus ingin menemui Hilya. Taruna naik mobil sport yang sudah diparkir di halaman perusahaan, melaju menuju sekolah Kayra.Sesampainya di sekolah, Taruna melihat Kayra sedang berdiri di depan gerbang, menunggu dengan wajah ceria. Tanpa ragu, ia melangkah keluar dan menyapa Kayra, yang langsung berlari menghampirinya.“Om Ganteng,” seru gadis kecil itu. Taruna segera menggendong keponakannya itu. “Om, kok Om Ganteng pake jas?” tanya K

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status