Share

Tak akan pergi

Author: KARTIKA DEKA
last update Last Updated: 2024-10-17 12:56:59

“Sekarang kamu pergi! Tak ada yang mau kamu di sini!” teriak Suwondo, suaranya menggelegar, memantul di setiap sudut ruangan. 

Tangan kanannya menunjuk pintu depan, sementara tubuhnya condong ke depan, seolah siap menerkam seperti harimau yang murka di sarangnya. Wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menegang. Di balik matanya yang tajam, tergambar kemarahan bercampur kebencian yang mendalam.

Taruna tak beranjak. Tubuhnya yang tegap berdiri kokoh di tengah ruangan. Tak sedikit pun dia bergerak meski kemarahan Suwondo menghantamnya seperti badai. Pandangannya tak berubah, tetap lurus menatap pria di depannya, pakdenya sendiri. Rasa takut dan gentar seakan tidak punya tempat dalam dirinya. Baginya, kehadirannya di sini lebih dari sekadar keberanian Ini adalah tanggung jawab yang ia emban demi satu alasan. Janji terakhir yang ia ucapkan di hadapan ibunya yang kini telah tiada. Janji yang tak akan ia khianati, bahkan jika itu berarti menghadapi caci maki atau penghinaan dari keluarganya sendiri.

“Aku tidak akan pergi sebelum menyampaikan amanah Ibu,” ucap Taruna, nadanya tegas, nyaris seperti tantangan. Suaranya menggema dalam ketenangan yang mematikan, memancing kemarahan Suwondo semakin meledak-ledak.

Wajah Suwondo merah padam, matanya berkilat marah. 

“Dasar anak tak tahu diri! Beraninya kamu bicara seperti itu di depanku! Kamu. Mau jadi benalu kan?!” Suwondo berteriak sambil maju, tangan kirinya terkepal, siap menghantam. Tapi, saat itulah suara lain menghentikan langkahnya.

“Taruna tak boleh pergi.” Suara itu parau namun tegas, bagaikan bel yang menggema di tengah keheningan. Seketika semua orang menoleh ke arah sumber suara. 

Di ujung ruangan, di dekat pintu kamar belakang, tampak seorang wanita tua dengan tubuh ringkih duduk di atas kursi roda, Bu Salma, nenek Taruna. Sosok lemah itu menatap Suwondo dengan tatapan yang mengandung kekuatan tak terduga, seolah dari wanita tua ini terpancar ketegasan seorang penguasa yang menolak ditundukkan.

“Ibu, kenapa keluar dari kamar?” Sekar, istri Suwondo, langsung bergegas mendekat. 

Raut wajahnya penuh kepura-puraan, senyumnya dibuat-buat seperti topeng yang menutupi ketidaksukaannya. Dia mendorong kursi roda Bu Salma dengan paksa, berusaha memisahkan wanita tua itu dari Taruna. 

“Ibu harus istirahat. Nanti Ibu sakit lagi,” katanya manis, tetapi nada suaranya penuh kepalsuan. Tangannya yang ramping mencengkeram gagang kursi roda, mendorongnya keras-keras.

Namun, Bu Salma tidak tinggal diam. Tangannya yang kurus mencengkeram pegangan kursi dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki. Taruna melihat, dalam mata neneknya yang berkabut itu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kerinduan. Ada permohonan, ada rasa sakit, seakan ia berjuang melawan takdir hanya untuk bertahan di sini, untuk mencegah cucunya diusir seperti an jing liar.

“Biarkan Ibu di sini!” Suara Bu Salma serak, tapi tegas. Sekar terperangah, namun dengan cepat memulihkan wajahnya. Dia berusaha mendorong kursi itu lagi, kali ini dengan tenaga yang lebih besar. 

“Ibu jangan bikin masalah!” bisik Salma dengan tatapan penuh ancaman. Giginya rapat, sementara tangannya mencubit paha Bu Salma. Dia melakukannya sedemikian rupa agar tak terlihat suaminya juga Taruna.

Tetapi Bu Salma menahan lebih kuat, menahan kursi rodanya hingga tubuh ringkihnya bergetar, juga menahan sakit akibat cubitan menantunya yang durhaka. 

“Taruna tidak boleh pergi …,” bisik Bu Salma lirih, suaranya terdengar seperti perintah terakhir dari seorang ratu yang menolak menyerah pada ketidakberdayaan. 

Taruna tak tahan lagi. Dia melangkah maju, menepis tangan Sekar dengan kasar dari kursi roda itu. 

“Bude, biarkan Nenek bicara!” katanya dingin. Matanya menatap Sekar dengan penuh ketegasan, seakan menantang wanita itu untuk mencoba melawannya.

Sekar membalas tatapan itu dengan mata menyipit. “Kau pikir kau siapa, hah? Datang ke sini, memecah keluarga kami, dan sekarang kau—”

“Sudah!” Suara Bu Salma kembali menggema, memotong ucapan Sekar. Wanita tua itu menatap Taruna dengan tatapan lembut yang begitu kontras dengan sorot matanya tadi. “Cucu Nenek tidak akan pergi,” katanya, suaranya terdengar mantap meski tubuhnya gemetar.

Taruna bersimpuh sambil menggenggam tangan neneknya yang sangat lama tak dirasakan kehangatannya. 

“Apa lagi yang Ibu inginkan? Anak ini tidak berhak ada di sini! Dia hanya ingin merebut harta yang bukan miliknya!” Suwondo yang sejak tadi diam, tiba-tiba meledak lagi. 

Dia melangkah maju, mengepalkan tinju, seolah ingin mengakhiri semua ini dengan kekerasan. Tetapi Taruna tidak mundur. Dia justru berdiri lebih tegak, menatap balik pria itu tanpa sedikit pun gentar.

“Ini bukan tentang harta,” jawab Taruna, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. “Ini tentang keluarga. Tentang pesan terakhir Ibu. Pesan yang hanya bisa saya sampaikan pada Nenek.”

Kata-kata itu sejenak menghentikan semuanya. Suwondo terdiam. Sekar menatap bingung. Dan Bu Salma, air mata menggenang di pelupuk matanya. Dengan tangan bergetar, dia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tangan cucunya. 

“Apa amanah dari ibumu, Nak?” tanya Bu Salma dengan suara bergetar. 

Tatapan Taruna melembut. Perlahan, dia berlutut di hadapan neneknya, dan dalam keheningan yang penuh emosi itu, dia bersumpah dalam hati bahwa dia tidak akan pergi. Apapun yang terjadi, dia akan bertahan, meski harus menghadapi seluruh keluarga ini sendirian.

~~~~~~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Tamat

    Sugondo menarik nafas dalam sebelum turun dari mobilnya. Kini dia sudah berada di halaman rumah Taruna. Sebenarnya dia juga tak yakin ingin melakukan ini, akan tetapi tak ada jalan lain. Kehormatannya jauh lebih penting di mata masyarakat sekitarnya. Dia turun dari mobil dan melangkah ke pintu rumah itu dengan ragu. Tampak pintu dibuka oleh asisten rumah tangga Taruna karena sebelumnya security sudah memberitahu perihal kedatangan Taruna. “Taruna ada?” tanya Suwondo dengan suara beratnya.“Ada, Pak. Di taman belakang sama Bu Salma. Jalannya dari sana,” jawab asisten rumah tangga itu sambil menunjuk jalan yang harus dilewati oleh Suwondo. Suwondo melangkah santai ke arah ditunjukkan oleh asisten rumah tangga itu. Lebih tepatnya ragu. Dia bingung, bagaimana menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke rumah Taruna mengingat hubungan mereka yang tak baik. Saat Suwondo tiba di taman belakang, Taruna tengah duduk bersama neneknya, Bu Salma. Keduanya terlihat menikmati teh sore dengan te

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Anak orang lain

    “Gimana, kamu berhasil bikin Hilya batal nerima lamarannya Bunga?” tanya Sandi penuh harap pada adiknya.“Gagal,” gumam Rere dengan wajah kesal.“Gagal? Kok bisa?” Sandi tampak kecewa.“Aku udah nyoba jebak Taruna, bilang kalau aku hamil,” jawab Rere dengan nada lemah.“Apa? Kamu gi la?” Sandi terperangah mendengar rencana itu.“Hanya itu cara supaya Hilya nggak jadi lamar dia,” jelas Rere, berusaha membenarkan tindakannya.“Tapi, kalau berhasil, kamu malah bakal dinikahin sama Taruna.”“Itu kan yang aku mau,” sahut Rere tegas. “Tapi rencanaku berantakan.”“Berantakan gimana?”“Nenek ternyata lebih cerdas dari yang aku kira. Dia tahu aku bohong, Taruna nggak ada hubungannya sama ini,” kata Rere, menunduk lesu.Sandi terdiam sesaat sebelum bertanya dengan suara rendah, “Tunggu ... maksudmu, kamu beneran hamil?”Rere mengangguk pelan, lalu menyandarkan tubuhnya di sofa, menghela napas panjang.“Sama siapa?” selidik Sandi. “Ridho lah, siapa lagi?”“Kamu kok bisa sesantai ini? Kamu harus

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Selamat dari jebakan

    "Kehamilan kamu sehat," kata dokter andrian. Seketika mata Taruna membeliak mendengarnya. Begitu juga dengan Bunga.'Apa? Aku beneran hamil?' batinnya. Rere mencoba mengatur napasnya yang sempat tertahan mendengar ucapan dokter. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang hampir tak bisa disembunyikan. Namun, ia segera menguasai diri, memasang ekspresi datar untuk menyempurnakan kebohongannya. Dalam hati, ia masih berusaha mencerna kenyataan bahwa dirinya benar-benar hamil.Taruna, yang sedari tadi berdiri dengan tenang, kini melangkah mendekat. Wajahnya menjadi terlihat gusar. “Apa maksud dokter?” tanyanya dengan wajah bingung. Dokter Andrian menatap Taruna dengan tenang, lalu mengangguk pelan. “Mbak Rere memang hamil. Dari hasil pemeriksaan USG, usia kehamilannya sekitar enam minggu,” jelasnya. “Kehamilannya dalam kondisi sehat, meskipun perlu dipastikan untuk kontrol rutin ke depannya.”Taruna menelan ludah. Ia memalingkan wajah sejenak, seolah mencari udara segar di tengah ruangan

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Rere diperiksa

    ‘Mati aku, kalau sampai diperiksa’ katanya dalam hati. “Gimana? Mau kan?” tanya Bu Salma. Bu Salma memberi kode pada asisten rumah tangga untuk mendorong kursi rodanya agar mendekat pada Rere dan Taruna. Setelah dekat, Bu Salma memberi kode untuk berhenti. “Nenek nggak percaya sama Rere?” tanya Rere, mulai dengan akting menangisnya. “Bukan Nenek nggak percaya, Nenek hanya mau semua jelas,” kata Bu Salma dengan tegas. “Sama aja, Nenek nggak percaya sama Rere. Nenek tega. Padahal, selama ini Rere nggak pernah jahat sama Nenek. Pasti Nenek mau membalas kami kan,” kata Rere mulai menangis. “Kamu kok malah ngelantur ngomongnya. Nenek hanya mau semua jelas. Nenek yakin, kalau benar kamu hamil, Taruna pasti akan tanggung jawab,” kata Bu Salma. Rere menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri di tengah desakan emosinya. Matanya memandang Bu Salma yang tetap tenang, meski ucapan tegasnya seolah menelan jangi kebohongan Rere.“Nenek nggak ngerti,” kata Rere dengan suara bergetar. “R

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Pura-pura hamil

    “Pakde, Bude, Taruna ingin melamar Hilya malam Minggu nanti. Taruna harap, Pakde sama Bude mau menemani,” kata Taruna pagi ini pada Suwondo dan Sekar. Dia sengaja datang pagi bersama Bu Salma agar bisa bertemu semua anggota keluarga. Hanya Rere yang tak ada, seperti biasa, dia lebih suka tinggal di kamar yang ada di restoran. Sandi yang juga ada di tempat itu, terkejut mendengar Taruna ingin melamar Hilya. Padahal, Hilya adalah gadis incarannya. Wajahnya berubah panik, apalagi saat Sekar melihatnya. “Kenapa mendadak?” tanya Suwondoa. “Taruna tak mau berlama-lama. Lagipula niat baik harus segera dilaksanakan,” jawab Taruna. “Tapi semua butuh persiapan,” kata Sekar. Raut wajahnya tampak judes, seperti biasa. “Kamu tenang aja, semua sudah ada yang urus. Taruna bicara sama kalian, karena menganggap kalian keluarganya,” kata Bu Salma. Sekar tak menanggapi. “Bisa kan, Pakde?” tanya Taruna. “Bisa,” kata Suwondo akhirnya setelah mempertimbangkan. Sandi sangat tak suka, tetapi dia tak

  • BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)    Melamar

    Beberapa hari berlalu, keadaan masih sangat canggung. Terutama Sekar yang masih belum bisa menerima kenyataan. Dia lebih banyak berdiam diri di kamarnya. Sandi dan Rere juga tetap mengelola restoran seperti biasa, meskipun sekarang mereka harus memberikan laporan rutin pada Taruna. Taruna juga memutuskan membawa Bu Salma untuk tinggal bersamanya, dan membiarkan keluarga Suwondo menempati rumah kakeknya. Setelah selesai memimpin rapat direksi di perusahaan, Taruna bergegas ke sekolah Kayra. Dia sudah janji pada gadis kecil itu untuk menjemputnya, sekaligus ingin menemui Hilya. Taruna naik mobil sport yang sudah diparkir di halaman perusahaan, melaju menuju sekolah Kayra.Sesampainya di sekolah, Taruna melihat Kayra sedang berdiri di depan gerbang, menunggu dengan wajah ceria. Tanpa ragu, ia melangkah keluar dan menyapa Kayra, yang langsung berlari menghampirinya.“Om Ganteng,” seru gadis kecil itu. Taruna segera menggendong keponakannya itu. “Om, kok Om Ganteng pake jas?” tanya K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status