Bu Salma hanya bisa menatap punggung cucunya dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran. Matanya menyipit, mencoba memahami apa yang sedang terjadi di pikiran Taruna. Meski usianya sudah renta, Bu Salma tak buta terhadap apa yang dirasakan oleh cucunya itu. Taruna berjalan dengan langkah cepat, wajahnya terlihat tegang, dan rahangnya mengeras seperti menahan sesuatu yang berat. Ada kemarahan yang jelas di balik setiap gerakannya.
"Taruna …." Bu Salma ingin memanggil, tetapi suaranya tertahan. Ia terlalu lemah untuk menghentikannya. Taruna terus melangkah keluar kamar, tatapannya lurus ke depan, dengan tangan yang mengepal kuat. Ia tak bisa lagi menahan perasaan sesak di dadanya. Neneknya yang dulu begitu dihormati dan dilindungi, kini terlupakan di rumahnya sendiri, membuat darahnya mendidih. Bagaimana mungkin mereka memperlakukan Bu Salma seperti ini? Neneknya tidak layak diabaikan dan ditempatkan di kamar yang begitu tak layak. “Dimana kamar tamu?” tanya Taruna dengan suara tegas, matanya tajam menyapu seisi ruangan. Suwondo dan Sekar, yang sedang duduk di ruang tamu, segera menghentikan percakapan mereka. Tatapan tak suka langsung terpancar dari wajah mereka. Ada ketegangan yang seketika memenuhi ruangan rumah besar itu. “Kamu sangka, kamu diizinkan tidur di kamar tamu?” Sekar menyindir dengan suara dingin, hampir berbisik namun tajam seperti pisau yang menusuk hati. Di matanya, Taruna datang hanya untuk menjadi parasit yang ingin menggerogoti harta warisan yang seharusnya menjadi milik Suwondo seorang. Taruna terdiam sejenak. Ia tau, langkah kakinya ke rumah ini tidak pernah akan mudah. Suwondo dan Sekar tak pernah benar-benar menerimanya, meskipun darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah Nenek dan kakeknya. Tanpa berkata-kata, Taruna melangkah mendekati kamar besar di rumah itu, satu per satu. Detik demi detik berlalu dalam hening yang menyesakkan. Jantung Sekar mulai berdetak cepat, tak bisa menahan rasa gusarnya. “Heh. Mau apa kamu?!” Sekar tiba-tiba bangkit, suaranya meninggi. Mata penuh amarah dan kekhawatiran. Tanpa menoleh, Taruna berhenti di depan pintu kamar. "Bude, nggak usah ikut campur," jawabnya dengan suara rendah, namun ada kemarahan yang menahan di balik kata-kata itu. “Bude cuma menantu di sini. Bukan nyonya rumah.” Sekar tersentak. Kata-kata Taruna seakan memukulnya tepat di dadanya, memancing amarah yang semakin besar. Suwondo yang sejak tadi hanya diam, menghela napas berat. Ia menatap Taruna dengan sangat tajam. Taruna mengulurkan tangan, menggenggam kenop pintu kamar dengan keras. “Itu kamar kami!” suara Sekar terdengar ketus, hampir seperti perintah. Matanya tajam mengawasi gerak-gerik Taruna. Taruna terhenti. Tangannya yang sudah siap memutar kenop pintu langsung ia tarik kembali. Tanpa berkata apapun, dia melangkah menuju kamar lain di sepanjang lorong, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak di dadanya. “Itu kamar Sandi!” Sekar berkata lagi, kali ini suaranya lebih tegas, seakan memastikan Taruna tahu batasannya. Sandi, anak sulung Sekar dan Suwondo, duda yang sudah lama kembali tinggal di rumah ini bersama anaknya. Nama itu membawa kenangan pahit dalam pikiran Taruna, tetapi dia tidak ingin terjebak dalam masa lalu yang menyakitkan. Dia tetap melangkah, meski hatinya terasa berat, menuju kamar lain di rumah itu. Namun, lagi-lagi suara Sekar menghentikannya, “Itu kamar Rere!” Rere, anak perempuan Sekar dan Suwondo. Sekar terus mengawasinya, seperti seekor elang yang mengawasi mangsa. Taruna berbalik, menatap Sekar dengan mata yang berkilat penuh emosi. Dalam diam, dia merasa seluruh beban masa lalu kembali menghantamnya. Keluarga ini, rumah ini, sejak dulu selalu terasa dingin dan tak ramah baginya. “Jadi, di mana kamar tamu?” tanya laki-laki berambut gondrong itu lebih tegas. Tak ada yang menjawab pertanyaan Taruna. Pemuda itu menghela napas, melirik ke arah lantai dua rumah itu. "Jadi, berarti di atas, ya? Oke, saya pilih kamar ini saja," ujarnya sambil menunjuk kamar yang tadi dikatakan sebagai milik Sandi. Seketika wajah Sekar memerah. “Sudah kubilang, itu kamar Sandi!” hardiknya, suaranya terdengar nyaring dan menggema di seluruh ruangan. “Pa, lihat dia! Dia benar-benar mau merusak semua yang sudah kita atur di rumah ini!” Sekar berbalik mengadu kepada Suwondo, meskipun ia tahu suaminya telah menyaksikan semuanya sejak awal. Suwondo akhirnya angkat bicara, suaranya dingin dan tegas. “Taruna, kamu jangan seenaknya di rumah ini. Ini bukan rumahmu!” Taruna berhenti sejenak, tubuhnya tegang, namun ia tak langsung menatap pakdenya. Ada jeda yang menyesakkan sebelum akhirnya dia bicara, kali ini suaranya lebih pelan, namun penuh dengan kemarahan yang terpendam. “Kalian yang seenaknya sama Nenek. Kalian letakkan Nenek di kamar paling belakang, di tempat yang bahkan lebih buruk daripada kamar pembantu. Itu yang kalian sebut rumah yang sudah ditata?” Kata-kata Taruna seolah membakar suasana, membuat Sekar dan Suwondo terdiam sejenak, terkejut. Sekar hendak membalas, tetapi Taruna melanjutkan tanpa memberinya kesempatan. “Aku pilih kamar ini buat Nenek. Nenek nggak bisa naik ke atas. Sandi sehat, kan? Jadi biar dia yang pindah ke atas.” Sekar membelalak, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dengan langkah tegap, Taruna berbalik, meninggalkan pasangan suami istri itu yang kini hanya bisa memandang punggungnya dengan gusar. “Pa, kamu harus hentikan dia!” Suara Sekar bergetar, tapi Suwondo tak menjawab, hanya menghela napas berat. Taruna kembali ke kamanr neneknya, lalu mendorong kursi roda itu keluar kamar dan langsung menuju ke kemar yang tadi dia inginkan untuk kamar neneknya. “Kamu nggak boleh pakai kamar ini!” Sekar berkata tegas, berdiri di ambang pintu seolah ingin membentengi kamar itu dari Taruna. Taruna hendak membalas, tetapi tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah pintu masuk. “Assalamu'alaikum.”Sugondo menarik nafas dalam sebelum turun dari mobilnya. Kini dia sudah berada di halaman rumah Taruna. Sebenarnya dia juga tak yakin ingin melakukan ini, akan tetapi tak ada jalan lain. Kehormatannya jauh lebih penting di mata masyarakat sekitarnya. Dia turun dari mobil dan melangkah ke pintu rumah itu dengan ragu. Tampak pintu dibuka oleh asisten rumah tangga Taruna karena sebelumnya security sudah memberitahu perihal kedatangan Taruna. “Taruna ada?” tanya Suwondo dengan suara beratnya.“Ada, Pak. Di taman belakang sama Bu Salma. Jalannya dari sana,” jawab asisten rumah tangga itu sambil menunjuk jalan yang harus dilewati oleh Suwondo. Suwondo melangkah santai ke arah ditunjukkan oleh asisten rumah tangga itu. Lebih tepatnya ragu. Dia bingung, bagaimana menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke rumah Taruna mengingat hubungan mereka yang tak baik. Saat Suwondo tiba di taman belakang, Taruna tengah duduk bersama neneknya, Bu Salma. Keduanya terlihat menikmati teh sore dengan te
“Gimana, kamu berhasil bikin Hilya batal nerima lamarannya Bunga?” tanya Sandi penuh harap pada adiknya.“Gagal,” gumam Rere dengan wajah kesal.“Gagal? Kok bisa?” Sandi tampak kecewa.“Aku udah nyoba jebak Taruna, bilang kalau aku hamil,” jawab Rere dengan nada lemah.“Apa? Kamu gi la?” Sandi terperangah mendengar rencana itu.“Hanya itu cara supaya Hilya nggak jadi lamar dia,” jelas Rere, berusaha membenarkan tindakannya.“Tapi, kalau berhasil, kamu malah bakal dinikahin sama Taruna.”“Itu kan yang aku mau,” sahut Rere tegas. “Tapi rencanaku berantakan.”“Berantakan gimana?”“Nenek ternyata lebih cerdas dari yang aku kira. Dia tahu aku bohong, Taruna nggak ada hubungannya sama ini,” kata Rere, menunduk lesu.Sandi terdiam sesaat sebelum bertanya dengan suara rendah, “Tunggu ... maksudmu, kamu beneran hamil?”Rere mengangguk pelan, lalu menyandarkan tubuhnya di sofa, menghela napas panjang.“Sama siapa?” selidik Sandi. “Ridho lah, siapa lagi?”“Kamu kok bisa sesantai ini? Kamu harus
"Kehamilan kamu sehat," kata dokter andrian. Seketika mata Taruna membeliak mendengarnya. Begitu juga dengan Bunga.'Apa? Aku beneran hamil?' batinnya. Rere mencoba mengatur napasnya yang sempat tertahan mendengar ucapan dokter. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang hampir tak bisa disembunyikan. Namun, ia segera menguasai diri, memasang ekspresi datar untuk menyempurnakan kebohongannya. Dalam hati, ia masih berusaha mencerna kenyataan bahwa dirinya benar-benar hamil.Taruna, yang sedari tadi berdiri dengan tenang, kini melangkah mendekat. Wajahnya menjadi terlihat gusar. “Apa maksud dokter?” tanyanya dengan wajah bingung. Dokter Andrian menatap Taruna dengan tenang, lalu mengangguk pelan. “Mbak Rere memang hamil. Dari hasil pemeriksaan USG, usia kehamilannya sekitar enam minggu,” jelasnya. “Kehamilannya dalam kondisi sehat, meskipun perlu dipastikan untuk kontrol rutin ke depannya.”Taruna menelan ludah. Ia memalingkan wajah sejenak, seolah mencari udara segar di tengah ruangan
‘Mati aku, kalau sampai diperiksa’ katanya dalam hati. “Gimana? Mau kan?” tanya Bu Salma. Bu Salma memberi kode pada asisten rumah tangga untuk mendorong kursi rodanya agar mendekat pada Rere dan Taruna. Setelah dekat, Bu Salma memberi kode untuk berhenti. “Nenek nggak percaya sama Rere?” tanya Rere, mulai dengan akting menangisnya. “Bukan Nenek nggak percaya, Nenek hanya mau semua jelas,” kata Bu Salma dengan tegas. “Sama aja, Nenek nggak percaya sama Rere. Nenek tega. Padahal, selama ini Rere nggak pernah jahat sama Nenek. Pasti Nenek mau membalas kami kan,” kata Rere mulai menangis. “Kamu kok malah ngelantur ngomongnya. Nenek hanya mau semua jelas. Nenek yakin, kalau benar kamu hamil, Taruna pasti akan tanggung jawab,” kata Bu Salma. Rere menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri di tengah desakan emosinya. Matanya memandang Bu Salma yang tetap tenang, meski ucapan tegasnya seolah menelan jangi kebohongan Rere.“Nenek nggak ngerti,” kata Rere dengan suara bergetar. “R
“Pakde, Bude, Taruna ingin melamar Hilya malam Minggu nanti. Taruna harap, Pakde sama Bude mau menemani,” kata Taruna pagi ini pada Suwondo dan Sekar. Dia sengaja datang pagi bersama Bu Salma agar bisa bertemu semua anggota keluarga. Hanya Rere yang tak ada, seperti biasa, dia lebih suka tinggal di kamar yang ada di restoran. Sandi yang juga ada di tempat itu, terkejut mendengar Taruna ingin melamar Hilya. Padahal, Hilya adalah gadis incarannya. Wajahnya berubah panik, apalagi saat Sekar melihatnya. “Kenapa mendadak?” tanya Suwondoa. “Taruna tak mau berlama-lama. Lagipula niat baik harus segera dilaksanakan,” jawab Taruna. “Tapi semua butuh persiapan,” kata Sekar. Raut wajahnya tampak judes, seperti biasa. “Kamu tenang aja, semua sudah ada yang urus. Taruna bicara sama kalian, karena menganggap kalian keluarganya,” kata Bu Salma. Sekar tak menanggapi. “Bisa kan, Pakde?” tanya Taruna. “Bisa,” kata Suwondo akhirnya setelah mempertimbangkan. Sandi sangat tak suka, tetapi dia tak
Beberapa hari berlalu, keadaan masih sangat canggung. Terutama Sekar yang masih belum bisa menerima kenyataan. Dia lebih banyak berdiam diri di kamarnya. Sandi dan Rere juga tetap mengelola restoran seperti biasa, meskipun sekarang mereka harus memberikan laporan rutin pada Taruna. Taruna juga memutuskan membawa Bu Salma untuk tinggal bersamanya, dan membiarkan keluarga Suwondo menempati rumah kakeknya. Setelah selesai memimpin rapat direksi di perusahaan, Taruna bergegas ke sekolah Kayra. Dia sudah janji pada gadis kecil itu untuk menjemputnya, sekaligus ingin menemui Hilya. Taruna naik mobil sport yang sudah diparkir di halaman perusahaan, melaju menuju sekolah Kayra.Sesampainya di sekolah, Taruna melihat Kayra sedang berdiri di depan gerbang, menunggu dengan wajah ceria. Tanpa ragu, ia melangkah keluar dan menyapa Kayra, yang langsung berlari menghampirinya.“Om Ganteng,” seru gadis kecil itu. Taruna segera menggendong keponakannya itu. “Om, kok Om Ganteng pake jas?” tanya K