Yang tanya rumahnya Liam sudah tahu kan? Tapi maaf, jambu airnya uda dibagikan ke orang-orang.
Liam menatap kertas itu dengan dahi berkerut. "Apa ini?" tanyanya pelan.Bayang wajah Keya tersenyum singkat, kemudian berlalu dengan seolah meninggalkan satu kesedihan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang beberapa hari ini yang membuat dada Liam makin sesak. Begitu pintu kamar tertutup, Liam duduk di kursi ruang tamu. Jari-jarinya gemetar membuka lipatan kertas itu.Tulisan tangan Keya terbaca rapi, sedikit miring ke kanan.Kak, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Sejak semua ini terjadi, aku sadar banyak hal yang aku nggak bisa ubah. Tapi ada satu hal yang selalu sama—hatiku yang sekarang bergetar kalau lihat Kakak. Aku tahu aku sering bikin Kak Liam kecewa, bikin Kak Liam marah, bahkan bikin Kak Liam ragu. Tapi aku ingin Kak Liam tahu... aku akan berusaha membahagiakan kamu dengan caraku. Sekuat aku. Aku nggak mau lihat kamu terus terbebani masa lalu aku. Aku cinta sama Kakak, meski mungkin caraku mencinta nggak sempurna.Liam berhenti membaca. Matanya panas. Ia menutup wajah d
"Liam!" Panggilan Rifki memecah riuh halaman sekolah. Tangan sahabatnya itu menepuk bahu dengan keras sampai Liam sedikit terhuyung.Liam menoleh, senyum tipis tersungging. "Apa?""Leganya aku, sidang kemarin sudah ada titik terang. Kamu harus jaga Keya baik-baik, jangan bikin dia nangis lagi." Rifki menatap serius, lalu terkekeh. "Kalau bikin nangis, aku ikut campur."Liam tertawa hambar. "Nggak usah kamu ancam juga. Aku tahu.""Pinter!" Rifki menepuk bahunya sekali lagi, lalu melangkah pergi menuju kantin.Liam berdiri sesaat, napasnya menghela pelan. Dua hari sejak sidang itu, pikirannya masih berkecamuk. Rasa lega memang ada, tapi rasa bersalah juga tumbuh karena kecemburuannya pada Nabil. Kemarin bahkan ia terlalu acuh, sampai tatapan Keya seperti menahan luka. Ia menyesal, sungguh.Bel istirahat berbunyi. Tanpa pikir panjang, Liam meraih tas kecilnya. Langkahnya terburu menuju parkiran, menyalakan motor, lalu melaju pulang. Ia ingin menebus sikap dinginnya.Rumah itu tampak sepi
"Assalamualaikum, Bu Nyai!" Dania mengetuk pintu kayu berukir itu. Jantungnya berdegup tak beraturan. Ia sudah tahu panggilan ini bukan kabar baik."Waalaikumussalam, masuk, Nak Dania," sahut suara lembut dari dalam.Bu Nyai Hajar duduk di ruang tamu. Senyumnya teduh, tapi mata itu menyimpan sesuatu yang serius. Dania menunduk, duduk bersila di hadapan."Kamu tahu kenapa saya panggil, kan?" tanya Bu Nyai, suaranya rendah tapi jelas.Dania menggigit bibir. "Saya... mungkin karena masalah saya sama Mas Liam, Bu Nyai?"Bu Nyai menghela napas panjang. "Lebih dari itu,dania. Yang paling penting adalah masalah kehamilanmu. Nak, saya ini sudah menganggap kamu seperti anak sendiri. Sejak kecil kamu di sini, besar di pesantren ini. Tapi, ada hal-hal yang tidak bisa ditolerir."Dania menelan ludah. "Saya sudah berusaha memperbaiki, Bu Nyai...""Aku tahu. Dan aku juga sayang padamu. Tapi aturan tetap aturan. Perkara yang menimpamu dengan Liam aku turut prihatin, tapi itu ujian, Dania. Seharusnya
“Yah!” Suara kecil itu melengking begitu pintu rumah terbuka saat Kwya dan Liam hampir bersamaan mengucap salam."Waalaikumussalam!" sahut Bu Aisyah dari dalam dapur. "Baru bangun dia, Key."Sheryn berlari, rambutnya masih berantakan karena baru bangun tidur. Tubuh mungilnya langsung melompat ke arah Liam, memeluk kaki ayahnya erat-erat.Liam tertegun sesaat, kemudian tertawa kecil. “Sayang, Ayah… kangen, ya?”Anak itu mengangguk sambil menyembunyikan wajah di dada ayahnya. Keya tersenyum haru, lalu mengelus punggung putrinya. “Sheryn baru bangun tidur? Pinter, mau tidur siang kamu, Nak.”Dari dapur, Bu Aisyah muncul membawa gelas teh. “Ngak tahu kenapa, dia tidurnyasekarang nggak mau di temat tidurnya sendiri. Dia maunya di tempat tidur Nabil.”Liam tersentak kecil. Tatapannya refleks menoleh ke sekeliling, seakan mencari-cari sosok itu. Namun yang ditemuinya hanya suasana rumah yang tenang. Tak ada tanda-tanda Nabil. Keringat dingin seolah mengucur begitu saja saat Liam wajahnya teg
“Angga...” Isak Dania pecah, terdengar di ujung telepon. Tangannya gemetar menahan ponsel di sisi telinga. Pintu kamar sudah ia rapatkan, namun tubuhnya tetap bergetar, seakan dinding sekalipun bisa mendengar aibnya. “Habis sudah aku. Semua terbongkar.”“Tenang dulu, Sayang. Aku nggak ngerti maksudmu,” suara Angga terdengar lembut, meski alisnya berkerut tajam di balik layar ponsel. Ia duduk santai di kursi ruang tamunya, rokok terselip di jari, namun hatinya berdebar mendengar nada kalut itu.“Arfan... pengacaranya Liam,” tangis Dania makin keras, “dia tahu... dia tahu soal pertemuan kita di hotel. Dia jadikan itu bukti perselingkuhan, Angga. Semua orang lihat... semua orang tahu...”Sejenak Angga terdiam. Matanya melotot, rokok yang tadi mengepul nyaris jatuh dari jemarinya. “Apa? Kamu serius, Dan?”“Ya Allah... Angga, aku... aku nggak nyangka sejauh ini. Liam sudah bilang, mulai sekarang aku nggak dapat apa-apa lagi. Sepersen pun!” Dania terisak lagi, wajahnya tenggelam di bantal, b
Hakim mengetuk palu sekali. “Tergugat sudah meninggalkan ruang sidang. Namun karena kuasa hukumnya, juga keluarga yang mewakili masih hadir, sidang tetap dilanjutkan."Evan yang tadinya berada di kursi pengunjung, kini mendekat ke kuasa hukum Dania. duduk di sampingnya.Evan duduk tegak, tangannya mengepal di atas lutut. Napasnya belum benar-benar tenang. Tatapannya jatuh pada kursi kosong yang tadi ditempati kakaknya. Ia tahu, langkah keluar barusan mungkin menyelamatkan harga diri keluarga, tapi tidak menghentikan luka yang sudah telanjur terbuka.Ruangan bergemuruh, beberapa wartawan berbisik sambil menyiapkan kamera lagi. Pengacara Dania, seorang pria berkacamata dengan wajah kaku, berdiri sambil menunduk hormat setelah berbincang sejenak dengan Evan.“Yang Mulia, kami tetap melanjutkan kuasa mewakili klien kami. Untuk agenda hari ini, kami menyerahkan kesimpulan tertulis sebagai penutup.” Ia mengangkat map biru dan menyerahkannya ke panitera.Hakim mengangguk singkat. “Baik. Deng