LOGINIa menikah demi misi. Ia mencintai demi kehancuran. Berlin pasca-perang — dunia di mana kebohongan bersembunyi di balik kehormatan. Margarethe Vogel terjerat dalam pernikahan palsu dengan Leonhardt von Richter, bangsawan sekaligus agen intelijen yang menyimpan rahasia lebih gelap dari perang itu sendiri. Ketika penyamaran berubah menjadi kenyataan, dan masa lalu mereka terbuka seperti luka lama, cinta dan kebenaran menjadi dua hal yang tak bisa diselamatkan bersamaan. Pernikahan hanyalah awal. Permainan sebenarnya baru dimulai.
View MoreJerman pasca-perang tak lagi berteriak dengan peluru, melainkan dengan keputusan-keputusan sunyi yang diam-diam membentuk hidup—dan menghancurkannya.
Di sebuah rumah tua di Prenzlauerberg, suara seorang gadis menggema keras: “Aku bilang TIDAK, Ayah!” Gadis itu, sekitar lima belas tahun, berdiri tegak dengan tangan bersilang. Rambut pirangnya dikepang rapi. Matanya menyala—bukan oleh benci, tapi oleh semangat menolak takdir yang telah disiapkan baginya. Ernst Vogel, berdiri di dekat jendela. Punggungnya tegap tapi mata tuanya lelah. Pandangannya kosong menembus hujan yang mengguyur halaman. “Adelheid…” katanya pelan. “Kau pernah berjanji. Saat kau tujuh tahun—” “Itu waktu aku masih anak-anak!” potong Adelheid cepat, suaranya meninggi, tangannya terlipat makin erat. “Aku bahkan belum bisa membedakan cinta dan kue apel!” Ernst menelan napas yang terasa berat di tenggorokannya. “Pria itu anak rekan seperjuanganku. Keluarga terhormat. Masa depan jelas. Ini… kesepakatan lama.” Nada suaranya terdengar seperti orang yang mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Kesepakatan zaman batu,” gumam Adelheid, menoleh ke arah lain. “Dan aku sudah punya pacar.” Bohong, tentu. Tapi itu bukan intinya. Di ambang pintu, Margarethe berdiri dalam diam. Ia datang tanpa suara, seperti bayangan. Wajahnya tenang, nyaris tanpa ekspresi—namun mata birunya menyimpan lelah yang tak terucap—seolah ini bukan pertama kalinya. “Sudah kubilang,” ucap Margarethe akhirnya. Suaranya tenang, tapi menggigit. “Kau tidak bisa memaksa Adelheid. Biarkan dia memilih. Jangan bentuk dia dari ketakutanmu sendiri.” Ernst memijit pelipisnya. Napasnya menggantung di tenggorokan. “Aku hanya ingin dia terlindungi. Dunia ini kejam.” Margarethe menatapnya, nada suaranya berubah tajam. “Dan menjualnya lewat perjodohan adalah bentuk perlindungan?” Ada sesuatu yang lama terkubur ikut mencuat. Bersama dengan kemarahan itu. “Setidaknya dia bukan pria sembarangan,” desah Ernst. “Dia—Leonhardt. Dia...” “Kau bahkan tak tahu siapa dia sebenarnya!” Margarethe membentak, Emosi yang dikunci bertahun-tahun akhirnya pecah. Ernst membalas tatapan itu. Tajam. Mata pria itu seperti ingin menembus dinding dadanya. “Dan kau?” katanya pelan tapi menghantam seperti peluru. “Apa kau tahu siapa dirimu sendiri, Margarethe?” Sekejap, dunia seakan hening. Bahkan hujan pun tak terdengar di telinga Margarethe. Tatapan matanya kosong sesaat. Lalu perlahan ia menegakkan bahu. Sorotnya membeku. “Tak perlu korbankan Adelheid demi kesepakatan tua.” “Jika harus ada yang maju. biarkan aku yang menggantikannya.” Suara itu tidak menawarkan. Itu ultimatum. Ernst mengembuskan napas dalam-dalam. “Kau tak tahu siapa Friedrich. Dia bukan sekadar jenderal... dia kekuasaan yang tak bisa dinegosiasikan.” “Ini bukan negosiasi,” balas Margarethe dingin. “Ini syarat. Aku akan bicara langsung dengan keluarga Von Richter.” Ernst terdiam. Lama. Matanya berkedip perlahan, seolah menyimpan beban yang terlalu tua untuk diangkat—antara perhitungan, rasa bersalah, dan keberanian terakhir… yang mulai pudar. Saat hendak pergi, ia menoleh pelan, suaranya nyaris seperti bayangan: “Kau bicara seolah tahu kebenaran, tapi kau bahkan belum tahu siapa dirimu sendiri.” Ia tersenyum tipis, getir. “Kau akan mengerti… ketika semua nama tak lagi berarti.” Hening. Tak ada lagi yang menjawab. Margarethe berdiri di tempatnya, menatap punggung Ernst yang perlahan menjauh ke balik pintu. Hujan di luar menetes pelan, seolah ikut menutup percakapan yang tak seharusnya terjadi. Adelheid memandang kakaknya dengan mata lebar—antara terkejut, kagum, dan takut. Bibirnya sempat bergerak, ingin memanggil, “Grethe—” namun suaranya tak jadi keluar. Margarethe menunduk sejenak, tatapannya kosong ke lantai, seolah mencari sisa ketenangan yang hilang bersama kata-kata ayah mereka tadi. Lalu ia berbalik tanpa suara, mantel panjangnya menyapu lantai kayu dingin, meninggalkan Adelheid sendirian di ruangan yang kini terasa terlalu besar. Adelheid menatap ke arah pintu yang baru saja tertutup. Untuk pertama kalinya, ia sadar: kakaknya bukan hanya melawannya... atau ayah mereka. Margarethe sedang melawan sesuatu yang jauh lebih besar—dan mungkin, bahkan dirinya sendiri. ***** Sore itu, cahaya matahari yang pucat menyelinap lewat tirai kamar di lantai dua. Debu menari pelan di udara, dan di antara keheningan yang berat, suara pena menoreh di atas kertas. Margarethe duduk di meja kayu tua, tubuhnya tegak, matanya menatap satu titik kosong di depan surat yang belum selesai. Jemarinya bergerak mantap—tinta hitam menulis kalimat-kalimat pendek yang terasa seperti keputusan, bukan sekadar pesan. Di belakangnya, Adelheid duduk di tepi ranjang, lututnya tertekuk, matanya menatap punggung sang kakak dengan campuran bingung dan takut. “Kau sedang menulis surat untuk siapa?” tanyanya pelan. Margarethe tak menoleh. Hanya jemarinya yang berhenti sesaat sebelum kembali bergerak. “Von Richter,” bisiknya nyaris tanpa suara. Adelheid terdiam, lalu berseru lirih, “Kau tak perlu lakukan itu demi aku.” Margarethe menutup matanya sejenak, menahan sesuatu di dada. Lalu suaranya keluar perlahan, datar tapi getir, “Bukan demi kau, Adelheid. Ini demi pilihan yang seharusnya kita miliki. Jika seseorang harus menebus kesalahan ayah, biarlah aku.”Semua mata tertuju pada Leonhardt. ia menatap lurus ke depan, lalu perlahan menoleh ke arah Margarethe. Di wajah wanita itu, tak ada isyarat. Tak ada permohonan. Hanya persetujuan diam, seperti dua agen yang menandatangani perjanjian tak tertulis. Lalu ia memalingkan wajahnya. Di sisi kanan altar, bayangan Adelheid berdiri diam. Matanya seperti dua kilat di tengah badai yang tertahan. ia menggigit bibir, menahan kata-kata yang tak bisa ia ucapkan. Masih terlalu muda untuk mengerti, namun terlalu cerdas untuk tidak curiga. Leonhardt kembali menghadap pastor. Dan untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Tak ada yang terdengar, kecuali detak jam tua di dinding gereja—setiap dentangnya seperti memaku sesuatu yang tak bisa ditarik kembali. Ia menarik napas pelan. “Aku bersedia,” ucapnya pelan, nyaris seperti doa yang dikirim diam-diam ke langit kelabu. Seolah bukan hanya menjawab untuk hari ini. Tapi untuk semua luka yang belum sembuh, dan masa depan yang belum tentu ia percayai. Se
Charlottenburg kediaman Von Richter Leonhardt von Richter berdiri di depan jendela kamarnya. Sunyi. Lapang. Nyaris tanpa kehangatan—seperti dirinya. Tirai dibiarkan setengah terbuka, membiarkan cahaya pagi jatuh di lantai marmer dan memantulkan siluet tubuhnya yang tegap dalam balutan kemeja putih. Tangannya sibuk merapikan dasi hitam yang sedikit miring, tapi gerakannya berhenti sejenak. Ada jeda aneh di sana—antara tarikan napas dan bayangan sosok yang menyelinap tanpa izin. Margarethe. Nama itu saja cukup membuat pikirannya berhenti bekerja seefisien biasanya. Ia melihat bayangan dirinya di cermin. Wajah yang sama dengan yang dipakai untuk bernegosiasi, menyusup, menipu. Tapi pagi ini, sesuatu dalam pantulan itu terlihat berbeda. Mungkin karena kata-kata terakhir wanita itu belum juga menemukan titik akhirnya. Kata-kata yang menggantung seperti peluru yang belum ditembakkan. Suara pelan dalam dirinya berbisik—dingin, tapi tajam: Apa kau yakin? Ia menarik napas dalam. H
Tak ada suara selain desir angin yang menyusup dari celah jendela tua. Di kamar atas rumah keluarga Vogel—tempat dua anak perempuan pernah tumbuh dalam bayang-bayang perang—waktu seolah tertahan. Menunduk dalam sunyi pada sebuah pagi yang enggan dimulai. Margarethe duduk diam di tepi ranjang, wajahnya membeku di depan cermin rias tua. Kayu di sudut-sudut meja mulai lapuk, dan pantulan dirinya di kaca terlihat samar—seolah bukan dirinya, melainkan bayangan seseorang yang ia warisi. Gaun putih sederhana membalut tubuhnya. Terlalu lembut untuk dunia yang keras, terlalu murni untuk kenyataan yang menanti. Gaun itu milik ibu angkatnya, perempuan yang mencintai dalam diam, tanpa pernah menuntut. Di atas meja rias, foto-foto lama berserakan: tawa dua anak kecil yang belum mengenal luka, tangan seorang wanita yang memeluk mereka kala demam, potongan hidup yang kini hanya tersisa dalam hitam dan putih. Margarethe meraih satu bingkai kecil. Jemarinya menelusuri tepian kayu, se
Di ruangan bergaya klasik itu, waktu terasa berjalan lambat. Dinding-dinding kayu tua memantulkan bayangan cahaya lampu gantung tembaga yang temaram. Rak buku membentang dari lantai hingga langit-langit, dipenuhi jilid-jilid tua berbahasa Latin dan Prusia. Aroma tembakau halus dan kulit tua memenuhi udara-bekas kejayaan yang tak pernah benar-benar pergi. Dua pria duduk berhadapan dalam keheningan yang lebih berat dari perang. Di antara mereka, sebuah papan catur antik terbuat dari marmer putih dan hitam. Setiap bidaknya tampak seperti peninggalan museum, namun di tangan mereka, semuanya hidup—dan berbahaya. Friedrich von Richter duduk tegak dengan mantel militer tua yang tetap rapi walau warnanya mulai pudar. Tongkat kayu gelap bersandar pada kursinya, tak tersentuh, seperti lambang disiplin yang tak pernah longgar. Wajahnya bersih, mata tajam kebiruan yang seolah bisa menembus dinding pikiran. Ketika ia memindahkan ratu ke tengah papan, gerakannya halus, namun mengandung mak






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.