LOGINAkibat dijebak, aku hamil di luar nikah dan dibuang keluargaku. Saat semuanya terasa gelap, seorang pria menolongku. Dia menikahiku dan berjanji kelak memberikan nama untuk anakku. Hanya saja, pertolongan itu membawa luka baru sebab dia sudah memiliki tunangan dan aku... menyimpan rindu untuk ayah dari anakku.
View MoreMahda menatap dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Maaf, Bu. Keya positif." Waktu seolah berhenti. Melihat wajah tetangganya yang langsung berubah gelap, Bu Mahda, bidan itu, memilih pamit dengan cepat. Ia tak ingin menjadi saksi dari badai yang siap meledak. Neyna dan Chandra menatap anak gadisnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran marah, kecewa, dan sedih yang berkelindan menjadi satu. "Key!" "Ada apa ini? Bisa jelaskan ke kami?" Suara Chandra tenang, tapi dinginnya menampar lebih keras dari teriakan. Keya berdiri terpaku. Keringat dingin kembali mengalir dari pelipisnya, matanya mengembun. Tangannya gemetar, ia meremas ujung bajunya sambil menunduk. "Aku... aku dan Nabil ,.." ucapnya lirih. "Nabil?" suara Chandra meninggi. "Jadi dia pelakunya?Dia yang memperkosamu?" "Dia nggak maksa aku, Pi. Tapi... tapi aku juga nggak pernah mau ini terjadi. Kami dijebak. Seseorang—entah siapa—menyusun semuanya. Aku... aku bahkan nggak ingat semua detailnya." "Bisa-bisanya, kalian, dua anak teladan sekolah di mana tempat Mami mengajar, berbuat hina seperti itu!" Nada suara Neyna penuh kemarahan. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, wajahnya memerah, dan sorot matanya menusuk. "Mi... Pi... dengarkan aku. Mungkin ini dirancang anak lain. Kami sama-sama korban," bisik Keya. Suaranya nyaris tak terdengar, seolah sepotong dedaunan yang hancur dihempas badai. "Kamu jangan menutupi kesalahan kalian, Key, dengan menuduh orang lain. Apa untungnya mereka menjebak kalian?" "Itu yang justru Key mau tanya, apa yang mereka mau dengan menghancurkan kami seperti ini?" Keya sudah tak dapat menahan isaknya. Chandra menghela napas panjang. Matanya menatap langit-langit, seakan berharap semua ini mimpi. "Cari anak itu! Bagaimanapun caranya, Papi tak mau tau. Kamu harus menemukannya!" bentak Chandra tiba-tiba. "Jangan pernah kembali ke rumah ini sebelum dia mengawinimu!" Keya tersentak. Dunia seakan berhenti. Hatinya serasa pecah. Chandra keluar dari kamar, langkahnya berat dan kasar. Tak satu pun pandangan ia berikan pada putrinya. Bagi Chandra, kebanggaan bahwa anak gadisnya berhasil menembus Fakultas Kedokteran seketika lenyap seperti debu yang ditiup angin. Saat dia tau Keya diterima di fakultas kedokteran UNAIR, dia telah cerita banyak ke teman sekantornya. Dia amat bangga. Namun dengan apa yang terjadi sekarang, hatinya teramat hancur. Sampai dia melupakan bagaimana perasaan Keya yang lebih hancur. Keya berdiri kaku. Napasnya tercekat. Matanya merah. Ia menoleh ke Neyna, berharap ada secercah harapan di sana. Tapi wajah Maminya keras. Pucat dan penuh luka batin. "Mi, aku mohon,..Aku butuh Mami. Aku butuh dukungan Mami sekarang,.." Suara Keya serak. Ia mencoba mendekat, tapi tubuh Neyna mundur satu langkah. Sebagai guru BP di sekolah, Neyna tahu, ini akan menjadi skandal besar. Ia, yang biasa menangani anak-anak bermasalah, kini anaknya sendiri adalah pusat gunjingan yang tak terhindarkan. Seluruh reputasinya akan dipertaruhkan. "Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan ke hidup Mami? Ke nama baik Mami? Kamu tahu apa yang akan orang-orang katakan di sekolah? Teman-teman guru yang selama ini hormat padaku?" suaranya bergetar. "Apa kamu pikir mereka akan percaya bahwa putri guru BP yang selalu ceramah soal moral, justru jadi bahan tertawaan mereka sekarang?" "Mami..." lirih Keya. Ia melangkah maju, tapi Neyna mundur lagi. "Kamu dengar apa yang dikatakan Papi tadi kan?" tanyanya datar. Tanpa menunggu jawaban, Neyna berbalik dan melangkah menaiki tangga ke lantai atas, meninggalkan Keya yang nyaris ambruk. Keya berdiri sendiri di kamar yang tiba-tiba terasa asing. Tubuhnya limbung. Ia melangkah keluar, ke ruang tamu. Di sana, Bi Ira yang sedari tadi menunggu, langsung menyambutnya. Tatapan perempuan paruh baya itu menyimpan ribuan tanya dan kekhawatiran. "Non,.." suara Bi Ira lembut, nyaris seperti desahan angin. Keya tak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu terjatuh dalam pelukan wanita tua itu. Tangisnya pecah. Tubuhnya bergetar hebat. "Aku nggak jahat, Bi. Aku nggak nakal. Aku tidak menginginkan ini terjadi,.." isaknya. "Aku cuma... aku nggak tahu harus gimana... semua ini... bukan aku yang mau..." Bi Ira mengusap kepala Keya perlahan, seperti saat gadis kecil itu demam waktu kecil. Tapi sekarang bukan demam biasa. Ini luka yang jauh lebih dalam. Setelah beberapa saat, Keya menghapus air matanya. Wajahnya terlihat lebih tenang, tapi matanya tetap sembab. Ia berdiri perlahan, melangkah ke kamarnya. Bi Ira mengikutinya, tapi tak berkata apa-apa. Di kamar, Keya membuka lemari dan mengeluarkan ransel biru tua miliknya. Ia memasukkan beberapa potong pakaian, dompet, ponsel, charger, dan satu buku catatan kecil ke dalam tas. Tangannya berhenti sejenak pada foto keluarganya yang tertempel di sisi meja. Ia menatapnya lama—senyuman Papi, pelukan hangat Mami, kakaknya, dan dirinya yang tampak bahagia di antara mereka. Ia lepas foto itu, tapi tak dimasukkan ke dalam tas. Ia hanya membiarkannya tergeletak di meja. Ia kembali menutup ransel dan memanggulnya. Saat ia melangkah keluar kamar, Bi Ira menunggu di ambang pintu. "Non, mau ke mana?" Keya tidak menjawab."Non,.."
Ia hanya tersenyum samar pada orang yang telah mengasuhnya dengan penuh kasih itu, lalu membuka pintu depan. Dan pergi bersama motor maticnya. Langit sore mulai gelap. Angin berembus pelan, seolah tahu bahwa langkah itu adalah langkah menuju dunia yang sama sekali baru. Langkah yang akan mengubah segalanya.Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Hampir setahun sejak kepergiannya, Nabil hilang tanpa jejak. Rere menunggu dengan doa yang tak henti."Sayang, jangan nangis!" Malam itu Rere heran dengan bayinya yang sering menangis."Kenapa, Re. Apa dia sakit?" tanya Bu Maya."Enggak kok, Ma.""Biasanya dia kok gampang," timpal Pak Atmajaya."Cup, Sayang. Jangan rewel, suatu hari nanti, kamu pasti bertemu ayah kamu.""Nak, apa kamu lagi suntuk? Biasanya orang kalau suntuk bayinya akan nangis.""Dibilang suntuk, suntuk yang gimana, dibilang tidak, ya begini, Ma.""Edward orang yang baik, apa kamu tidak mempertimbangkan lamaran dia?""Ma, selama Nabil tidak ditemukan jenazahnya, aku tak akan menerima siapapun.""Sampai kapan, Re? Anakmu butuh sosok ayah," tambah Pak Atmajaya.Rere hanya diam. Hal yang selalu dia lakukan tiap orang tuanya mendesak menikah lagi.Sementara di lain tempat,Keya memeluk Sheryn setiap malam agar tak menangis karena ayahnya tak ada khabar. Ia hanya bisa menyelipk
Nabil menunduk.Pak Atmajaya, walau selaku komandan Nabil, dia hanya diam menatap setiap pendapat yang ramai dilontarkan perwira kepolisiann yang hadir. Dia tidak berani mengatakan apapun yang bisa membuat dirinya dianggap membela orang yang sudah menjadi menantunya itu.Akhirnya, Brigjen mengangkat tangan. Suara gaduh langsung reda."Saya sudah dengar semua pendapat kalian. Dan, cukup." Brigjen wiranto melerai. Ia lalu menatap Nabil lama, membuat keringat dingin menetes di pelipisnya. "Nabil, saya takkan menutup mata atas keteledoranmu. Tapi saya juga takkan mengabaikan rekam jejakmu."Nabil menahan napas.Brigjen melanjutkan, nadanya tajam sekaligus berat:"Kamu tidak dipecat. Tapi kamu dalam posisi uji coba. Satu misi terakhir. Bidang narkoba. Jika kamu berhasil, reputasimu pulih. Jika gagal... jangan harap ada kesempatan kedua."Suasana ruangan seperti tersedot udara.Orang-orang yang tadi keras menggeleng pelan, tak bisa membantah keputusan jenderal.Kombes Atmajaya menatap Nabi
"Sayang,.."Nabil yang sedang menatap handphone-nya setelah menelpon Sheryn, terlonjat kaget, reflek menatap Rere. Tak lama dia terkekeh."Kenapa tertawa?""Lucu banget kalau kamu panggil kayak gitu."Rere mendekat, cemberut. "Baru juga mau berulah romantis, kamu udah ledekin."Nabil yang masih terkekeh segera menarik tangan Rere dan wanita itu jatuh ke pelukannya. "Iya, kamu sekarang romantis, makanya terlihat aneh. Pasti ada maunya.""Mau apa?""Mana aku tahu.""Biar nggak tegang aja, kamu besuk kan harus hadapi hal penting."Nabil menghela nafas, "Aku sudah lelah berfikir, Re. Aku akan jalani saja apa yang akan terjadi denganku besuk.""Jangan lupa, aku selalu bersamamu, Mas."Nabil makin tertawa lebar, menciumi istrinya gemas. "Panggilan apa lagi itu, Sayangku?""Mas Nabil,.." Rere tergelak. Mereka pun tertawa bersama."Kenapa ya, kalau kita panggil 'sayang' kesannya aneh?""Nggak aneh. Bisa kita mulai, Sayang?"Rere segera memukul lengan Nabil. "Tuh kan, aneh."Besuknya,Ruang r
Sore itu, rumah keluarga H. Darman masih terasa hangat oleh sisa-sisa kebersamaan. Nabil duduk di ruang tamu. Di wajahnya tampak ketenangan, namun sesungguhnya hatinya penuh dengan perasaan campur aduk. Besuk dia sudah harus dinas kembali. Dan entah apa yang akan terjadi.“Kenapa wajahmu sudah tegang, Nak?” Suara Bu Aisyah memecah keheningan. Ia keluar dari dapur sambil membawa secangkir kopi hitam kesukaan Nabil.Nabil tersenyum kecil, menerima gelas itu. “Nggak tahu, Mi. Rasanya langkah ini berat sekali.”H. Darman yang duduk tak jauh dari sana menatap putranya dengan pandangan teduh. “Berat bukan berarti tak bisa dijalani. Kau sudah memilih jalan ini, Bil. Apa pun yang terjadi, hadapi dengan kepala tegak.”Nabil mengangguk, matanya merendah penuh hormat. “InsyaAllah, Ba.”Shanti muncul dari arah belakan rumah mereka bersama Hanafi. “Bil, kalau sudah sampai Surabaya jangan lupa kabari ya. sekarang, kamu nunggu Sheryn kan? Surya sudah menjemputnya.”Nabil tersenyum. “Terimakasih, M
"Bil, sudah siap? Mereka nunggu di bawah." Suara Rere terdengar dari arah pintu kamar. Rambutnya masih terurai setengah basah, wajahnya berbinar dalam balutan kebaya sederhana.Nabil membuka mata perlahan. Tiba-tiba bayangan pesta, tatapan tamu, dan bisikan-bisikan yang menancap telinga datang begitu saja. Semua bercampur jadi satu dalam kepalanya."Iya, sebentar," jawabnya pelan, suaranya nyaris tercekat.Rere mendekat, langkahnya lembut, namun Nabil segera meraih tengkuk istrinya dan menciumnya singkat, seakan ingin mencuri kekuatan dari bibirnya."Cepetan, sudah siang," ucap Rere dengan pipi merona, menunduk sambil menyembunyikan degup jantungnya."Iya, baik, Tuan putri," sahut Nabil dengan senyum tipis."Makanya habis Subuhan jangan tidur lagi," tegur Rere, pura-pura cemberut."Yang bikin aku tidur lagi juga siapa? Yang mulai duluan, siapa?" kerling Nabil menggoda, membuat wajah istrinya semakin bersemu.Tak lama, Nabil masuk ke kamar mandi. Saat keluar, ia sudah rapi dalam batik b
“Ayah masih takut kamu nggak datang,” suara Nabil bergetar, pelukannya tak mau lepas dari tubuh mungil Sheryn.“Maaf, Yah…” Sheryn menyembunyikan wajahnya di dada Nabil. “Aku tadi emang nggak mau ikut."" Seharian dia ngurung diri di kamar, nggak ngomong apa-apa, makan pun cuma sesendok.” Liam menimpali.Nabil menunduk menatap mata putrinya. “Kenapa begitu, Nak? Kenapa kamu masih ragu saol ini?”Sheryn menghela napas, bibir mungilnya gemetar. “Aku takut kalau aku datang, Ayah nggak jadi polisi lagi.”Beberapa polisi yang berdiri di barisan mulai saling berbisik. Sorot mata undangan tertuju penuh ke arah mereka.H Darman dan Bu Aisyah berdiri cepat dari kursi. “Sheryn, sini nak,” panggil Bu Aisyah sambil tersenyum hangat. Ia meraih tangan cucunya. “Kita foto bareng, ya. Sama Ayah juga, sama Bunda juga. Di rumah kemarin belum sempat kan Keya."Keya yang matanya menganak, hanya mengangguk. Dia tak dapat mengeluarkan kata-kata selain air mata yang dari pagi melihat Sheryn murung, merasa b












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments