Deretan biji kopi yang mulai tumbuh di sepanjang hutan tempat Kenanga berjalan membuatnya berhenti sejenak. Daerah pedalaman tempatnya tinggal merupakan sebagian kecil saja dari tanah subur di Bukit Gayo. Hal inilah yang membuat Belanda begitu serakah ingin memiliki tanah yang bukan haknya. Biji kopi yang ada di genggaman tangan Kenanga bila sudah siap panen memiliki rasa dan aroma yang sangat kuat. Jika dijual bisa mendatangkan keuntungan yang tak sedikit. Ayahnya dulu semasa hidup sangat menyukai kopi buatan maknya. Selain dipanen pada saat yang tepat, mereka juga tak perlu membayar untuk menikmati hasil alam Tanah Gayo. Begitu juga dengan kuda-kuda terbaik yang diternak oleh warga kampungnya, yang direbut paksa oleh Belanda saat Kenanga tak ada di rumah. Tak terhitung sudah berapa banyak langkah Kenanga selama dua hari berjalan sendirian. Banyak bukit yang ia naiki untuk mencari keberadaan kakaknya. Namun, rasanya ia semakin jauh saja dari tujuan. Gadis bisu itu memang tak pern
Empat orang pemuda dari wilayah pesisir Aceh kini berada di wilayah Gayo Alas. Awal mulanya mereka berjumlah puluhan, lalu berkurang menjadi belasan dan kini hanya tersisa Alif, Ridwan, Ibrahim, dan Malik. Mereka meninggalkan kampung halaman yang telah digempur Belanda. Bergerilya dari satu daerah ke daerah lainnya, menyerang serdadu asing untuk menghentikan peperangan. Telah banyak rintangan yang mereka lewati. Keluar masuk hutan berkali-kali untuk sembunyi dari gempuran lawan yang membawa persenjataan lebih modern. Bekas luka sudah tak terhitung lagi berapa banyak di tubuh empat pemuda itu. Siang itu mereka beristirahat di atas Bukit Gayo yang di dekatnya dialiri air terjun kecil untuk berusaha menghimpun tenaga lebih banyak. Di sepanjang jalan yang empat pemuda itu jumpai telah banyak perkampungan yang tidak menampakkan tanda-tanda kehidupan lagi. Alif, keturunan bangsawan dari wilayah pesisir yang memimpin gerilya, juga sedang terluka di lengan kiri bagian atas. Bagian tubuh
Kenanga menyentuh dua pipinya sendiri dan tersenyum lagi kemudian menunjuk wajah Alif, sebagai tanda bahwa lelaki itu terlihat rupawan di matanya. Tak paham, Alif hanya balas mengangguk saja. Gadis itu memperhatikan tiga orang lainnya yang terlihat memegang perut masing-masing. Ia paham, rasa lapar memang sering menghampiri siapa saja yang berada di bukit yang terasa sejuk ini. Kenanga mengemas perbekalannya lalu mengajak empat pemuda pesisir itu untuk makan bersama. Saling lirik satu sama lain pun terjadi. Alif kembali disikut oleh yang lain. “Abang saja yang maju duluan, segan aku dengannya.” “Abang juga sama, segan. Tak paham sama sekali apa maksudnya dari tadi.” Sekali lagi gadis itu melambaikan tangan ke arah mereka. Bau keong yang dibakar membuat perut Alif, Akbar, Ridwan, Malik langsung berbunyi. Mengabaikan rasa sungkan, para pemuda pesisir itu kemudian duduk melingkar dan tak lama gadis bisu tersebut memberikan empat bungkus daun yang berisikan keong. Terlihat mereka be
Pagi harinya, panas tubuh Alif sudah sedikit mereda. Warna kebiruan akibat endapan racun di tangannya kini berubah menjadi kemerahan. Obat-obatan yang Kenanga balurkan bekerja perlahan tapi pasti membersihkan semuanya. Ketika matahari sudah mulai meninggi, ia pamit pergi ke bawah bukit, mencari tumbuh-tumbuhan lain yang bisa digunakan sebagai obat. Langkah demi langkah ia terus mencari beberapa tanaman liar seperti rumput anting-anting, tempuyung, bayam duri serta meniran.Ia sedikit terperanjat melihat bangkai ular tergeletak begitu saja tak jauh dari tempat mereka kini bermukim. Ular yang semalam tadi ia paksa mengeluarkan bisanya. Itu artinya racun dari tumbuhan tersebut bekerja perlahan tapi sangat kuat. Beruntung ia datang tepat waktu sebelum Alif mati tersiksa perlahan-lahan. Rumput liar yang ia temukan ia bawa ke atas. Alif masih menggigil memeluk kain kerawang. Tiga orang pemuda yang lain atas perintah Kenanga berpencar. Ada yang membuat API unggun lebih besar sebab udara pa
Tubuh Cempaka semakin kurus selama berminggu-minggu lamanya di kurung dalam penjara sempit. Ia hanya makan seperlunya saja untuk menghilangkan lapar. Gadis itu tak sudi sebenarnya untuk makan makanan dari tangan Belanda. Namun, ia tak punya pilihan lain. Andai bunuh diri boleh akan ia lakukan dengan tulang berbentuk runcing yang ada di tangannya sekarang. “Mevrow, makanlah.” Seorang juru masak datang memberikan roti dan buah padanya.Cemapaka hanya mendengkus kesal. Baginya semua yang terlibat dalam pembantaian sukunya termasuk juru masak yang menghindangkan makanan untuk Daalen juga harus ia musuhi. “Aku tak tega melihap pipimu peot seperti itu. Makanlah, kau perlu banyak tenaga untuk menghadapi Tuan Daalen.” Lelaki pribumi bertubuh kurus itu miris dengan keadaan Cempaka. “Aku curi dengar tadi, Meneer akan membawamu ke rumahnya.” Cempaka mendongak mendengar perkataannya. Gadis itu mengambil buah ranum yang ada di dekat kakinya, juga sekerat roti untuk mengisi perutnya. Ia bagai m
Dr. William Scout, lelaki berkebangsaan Inggris yang diperbantukan di Aceh atas kerja sama Inggris Raya dan Negeri Holand. Bagi William, tak ada bedanya antara orang asal negerinya atau asal mana saja, jika terluka atau sakit sama-sama membutuhkan pertolongan. Selama dua tahun tinggal di Aceh ia menyempatkan diri merawat pribumi yang membutuhkan bantuannya. Walau kerap kali ia mendapat makian karena wajah asing, pirang rambut dan biru matanya. Namun, sudah merupakan tugasnya pula untuk terus menolong sesuai dengan kode etik kejuruan yang ia pelajari, meski ia harus didamprat oleh pihak Belanda berkali-kali. Di tempatnya sekarang tinggal pula William banyak mempelajari budaya setempat termasuk bahasa warga sekitar. Lelaki itu tinggal satu atap di rumah baru milik Van Daalen. Ia termasuk golongan lelaki yang rajin beribadah. Pagi ini seperti biasa ia mendekap dua tangannya di depan dua buah lilin yang menyala. “God, please be good to me,”ujarnya sambil memejamkan mata. Pintu kamarny
Selama tiga hari Cempaka tak keluar dari kamarnya. Baginya, tempat itu lebih buruk daripada penjara sekalipun meski terlihat megah dan tertata rapi. Ia juga memaksa para pelayan wanita untuk menjahit pakaian baru untuknya. Pakaian panjang, tipis dan banyak hiasan bunga-bunga berukuran besar tak cocok untuknya. Para pelayan tak ada yang berani membantah, sebab mereka mendengar sendiri bagaimana keberanian Cempaka yang membunuh satu demi satu serdadu yang berani mendekatinya. Juga pesan yang ditinggalkan meneer agar melayani gadis itu sebaik-baiknya. Tiga pasang baju dengan kantong bagian depan telah ia pakai, ditambah celana panjang yang menutup sampai mata kakinya dan kerudung segiempat dengan pengait besi kecil menutupi seluruh rambut dan leher Cempaka. Pagi itu ia berjalan menuju tempat lelaki yang ia lupa siapa namanya. Gadis bermata tajam itu harus bergerak cepat. Sebelum Daalen kembali dari perjalanannya, ia harus pergi dari tempat itu. Cempaka menarik napas berulang kali unt
Lelaki asal Inggris itu kembali memberi beberapa lembar gulden dengan angka lima pada para marsose. Ia hanya ingin jalan berdua saja dengan Cempaka sebab, tempat yang dituju juga sangat rahasia. Sekaligus dalam keheningan dokter itu bisa mengagumi kecantikan Cemapaka. Liam sangat ingin menggenggam tangan gadis itu dan membawanya berkeliling sambil bercerita, persis seperti kebiasaan lelaki dan perempuan di negaranya. Akan tetapi, sakit di telapak tangannya yang diputar oleh Cempaka masih membekas di ingatan Liam. Langkah demi langkah dua orang itu berjalan, hanya William saja yang bercerita dan dijawab oleh senyuman oleh Cempaka. Gadis itu sama sekali tak tertarik, ia memperhatikan lingkungan yang atap rumahnya telah roboh dan beberapa bahkan hancur. Pemandangan yang mengingatkannya dengan kampung halaman. “Sini, aku tunjukkan sesuatu padamu.” Liam membuka sebuah pintu dan mengajak Cempaka untuk mengikutinya. Gadis itu mengerutkan keningnya. Ia harus mawas dengan segala pergerakan