Share

Perjalanan Panjang

Kenanga membereskan barang-barang yang berserakan di dalam rumahnya. Ia memisahkan mana yang telah dibakar oleh api dan mana yang masih elok.

Hari telah larut malam, ia putuskan untuk berangkat besok ketika matahari sudai mulai naik. Malam ini ia hanya membereskan beberapa helai pakaian yang masih layak untuk dibawa. 

Matanya memandang kain kerawang yang berwarna hitam dan memiliki ukiran khas sukunya. Kain yang ditenun oleh maknya sendiri. Masing-masing ia dan Cempaka memilikinya.

Kain itu akan dipakai saat mereka menikah. Sayangnya, ia tak sempat melihat kakaknya untuk mengenakan kain kebanggaan suku Gayo Alas. 

Menuruti kata hatinya Kenanga melipat rapi kain hitam itu lalu meletakkan dalam bentangan kain lebar. Ia juga memasukkan dua baju ganti lainnya.

Tepat tengah malam ia tak tahan lagi menahan lelah dan kantuknya. Gadis bisu itu harus menyiapkan tenaga untuk perjalanan panjang yang pertama kali akan ia tempuh.

Ia tertidur di ranjang kayu yang telah roboh. Dingin angin malam yang masuk dari jendela yang telah lepas hanya ia tahan dengan sehelai selimut. Malam yang lebih sunyi dan dingin daripada di tengah hutan sewaktu mencari rumput beracun.

Ada setitik harap dalam hatinya, menginginkan semua yang terjadi di depan matanya hanyalah mimpi. 

Sebelum Subuh ia terbangun. Pertama kali yang Kenanga lihat adalah gelang maknya yang ia kenakan. Pertanda kejadian demi kejadian bukanlah mimpi.

Gadis bisu itu menarik napas panjang berusaha menahan air mata yang ingin menetes. Ia harus kuat demi menyelamatkan Cempaka. 

Usai salat, ia mencari beberapa persediaan makanan di dapur. Banyak benda yang dibuat dari tanah telah hancur berkeping-keping. Ia mencari tembikar di mana kakaknya biasa menyimpan buah-buahan hasil panen. 

Dapat, sayangnya tembikar berukuran besar itu juga telah pecah. Meski demikian ada beberapa hasil kebun yang masih bisa di makan. Tomat walau sudah mulai berkerut, sawo yang masih sedikit keras serta beberapa buah cabe dengan ukuran besar.

Gadis bisa dan tuli itu bungkus rapi semua makanan dalam daun berukuran lebar. Tak lupa juga ia membawa garam kasar. Semua kebutuhan untuk makan setelah dibungkus daun ia bungkus kembali dalam kain berukuran segiempat. 

Kenanga lanjut menyiapkan dirinya. Biasanya dulu ia dan Cempaka bergantian saling menyisir dan menjalin rapi rambut hitam panjang mereka yang dirawat dengan minyak kelapa asli dan sesekali diberi minyak urang-aring. Kini ia hanya melakukannya sendiri.

Setelah dijalin, rambut itu digelung rapi, lalu kepalanya ditutup kerudung lebar yang dikaitkan besi halus kecil di bagian dagu. Beberapa bekal di gantung di pinggangnya.

Baju dan tak lupa pula rumput beracun ia bawa dalam buntelan kain di pundak sebelah kanan. Satu buah rencong dan sebuah pisau kecil  ia selipkan di kain yang melingkar di pinggangnya.

Perlahan-lahan gadis tersebut menuruni tangga. Memetik beberapa bunga cempaka dan kenanga yang ditanam oleh orang tuanya di depan rumah. Menghidu bau yang sangat ia sukai dan memasukkannya ke dalam kantong bajunya. 

Tempat ini sudah bersih dari tumpukan mayat. Gadis itu masih mengingat perjanjiannya dengan Datok Panglima. Ia harus berhati-hati, jangan asal meminta lagi walau terdesak. Sebab ia sendiri tak pernah tahu bagaimana kehidupan makhluk bunian di dalam hutan. 

Kenanga sampai di jalan masuk depan kampungnya. Ia menoleh ke belakang lagi. Berat, tak sangggup rasanya meninggalkan tanah kelahiran jika bukan demi orang tersayang.

Tak ada lagi bendera asing yang berkibar di batang bambu. Ia telah merobek dan membakarnya. Hening, tempat ini tak ada lagi detak kehidupan. 

Ia menghapus air matanya yang terus turun. Kenanga melihat ke kiri dan ke kanan jalan mana yang harus ia tempuh.

Gadis itu tak mengenakan alas kaki sebab, ia harus merasakan getaran di tapak kakinya sebagai ganti indra pendengaran yang tak sempurna dari lahir. 

Kenanga jongkok, ia lihat sendiri bekas-bekas tapak kaki kuda, tapak kaki sepatu manusia, serta jejak kereta yang membekas di tanah. Kenanga terus berjalan mengikuti jejak itu sebagai petunjuk di mana keberadaan kakaknya.

Sesekali ia menoleh ke belakang melihat Kampung Rikit Gaib dari kejauhan. Setelah itu ia tak menoleh lagi, berjalan lalu terus belari sekuat tenaga dibawah sinar matahari. 

Masuk waktu Zuhur ia duduk di dekat pohon, istirahat dan memakan perbekalan seadanya. Lanjut lagi mengikuti jejak-jejak yang semakin lama semakin samar, begitu terus sampai memasuki pergantian waktu salat. 

Sore hari mendung yang bergelayut semakin pekat. Tak lama berubah menjadi tetes-tetes air yang bisa menghapus jejak tapak kaki kuda. Gadis itu bingung, ia tak mau berteduh. Ia terus berlari sekuat tenaga walau hujan yang turun semakin lebat. 

Hujan telah menghapus jejak petunjuk keberadaan Cempaka. Air mata dan tetes air langit menjadi satu di wajahnya. Tak ia pedulikan lagi dirinya sendiri. Batinnya terus menuntut untuk secepatnya bertemu kakaknya. 

Sampai di persimpangan jalan ia menarik napas cepat berkali-kali. Lelah, disertai tubuh yang kedinginan diguyur hujan. Juga ia tak tahu jalan mana yang harus ditempuh. Tak ada petunjuk lagi. Ada tiga cabang jalan di hadapannya. 

Kenanga memutuskan untuk berisitirahat terlebih dahulu. Hari juga sebentar lagi gelap. Bisa saja ia menemui binatang buas jika nekat melanjutkan perjalanan. 

Gadis bisu itu mendongak. Ada gua yang dipenuhi akar pohon di dataran yang lebih tinggi. Ia menaiki tempat itu dengan berpegangan dari dahan demi dahan hingga sampai di bibir gua. 

Dengan tapak kakinya tak ia rasakan keberadaan orang ataupun binatang di tempat ini. Gua ini sedikit lagi seluruhnya akan gelap gulita. Langkah demi langkah Kenanga menuruni gua yang letaknya semakin menurun dan hawa di dalamnya semakin hangat.

Batu-batu berukuran runcing menggantung di langit-langit. Bahkan ada beberapa tulang belulang berbentuk tubuh manusia dibaringkan di dalam gua. Sepertinya gua ini dulu pernah dijadikan tempat tinggal. 

Kenanga mengangguk sebentar setelah memastikan di tempat ini ia akan beristirahat. Ia membuka barang bawaannya dan membentangkan di atas bebatuan ukuran besar agar kain yang basah lebih cepat kering. 

Sebelum hari benar-benar gelap, ia mengumpulkan sisa-sisa daun dan ranting kering yang ada di dalam gua menjadi satu tumpukan. Dengan dua batu berukuran sedang gadis bisu itu hantamkan beberapa kali untuk membuat percikan api di dedaunan kering. 

Di sana Kenanga menghangatkan dirinya sejenak. Hawa di dalam gua membuatnya merasa sedikit mengantuk. Usai menunaikan ibadah Maghrib yang tak lama dilanjutkan Isya, ia merebahkan diri di dekat batu berukuran panjang dan lebar, hampir serupa dengan bentuk sebuah ranjang. Entah berapa banyak hari yang harus ia tempuh untuk menemui Cempaka. 

‘Kak, aku yakin kau bisa melindungi dirimu sendiri. Tunggulah, aku pasti datang menolongmu walau harus bertaruh nyawa,’ gumamnya dalam hati sebelum terlelap. 

*** 

Sinar matahari telah cukup sebagai penerang jalan. Gadis itu turun perlahan-lahan dari dalam gua menuju jalan setapak. Ia memandang tiga cabang jalan, mana yang harus ia pilih.

Setelah mengucap Bismillah ia memilih jalan tengah. Tak lama kemudian ia mundur kembali. Jalan tadi buntu hanya ada semak belukar, tak ada bekas daerah itu dimasuki Belanda. 

Gadis bisu itu menyusuri jalan paling kanan. Terus menelusuri jalan setapak walau tak ada jejak lagi, berlari lagi agar tak memakan waktu lama.

Ia menoleh ke sisi kiri dan kanan. Di antara pepohonan, muncul beberapa beruk yang meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya. Seolah-olah mengiringi lari Kenanga.

Gadis itu merasa menemukan kawan dalam perjalanannya. Ia tersenyum sedikit setelah kemaren puas menangis. Beruk-beruk yang senantiasa mengikuti langkahnya hingga ke tepi Sungai Alas yang menghalangi jalannya. 

Tak ada sampan yang bisa digunakan. Jembatan ala kadarnya juga tidak ada. Jika berenang ia tak tahu jenis binatang buas apa yang akan dihadapi.  

Gadis bisu itu kembali memasuki hutan. Ia menelusuri pohon demi pohon. Matanya melebar ketika melihat banyak batang bambu tumbuh liar.

Dengan rencong tajam Kenanga tebang bambu demi bambu sebanyak kira-kira cukup untuk dirinya berpijak. 

Ia ikat bambu-bambu yang telah dipotong sama panjang dengan selendang yang ia babat kecil-kecil, sebagai penyambung satu batang ke batang lainnya dengan dua batang bambu yang melintang di sisi kiri dan kanan. Sekuat tenaga rakit sederhana itu ia tarik ke sisi sungai. 

Kenanga mendorong rakit ke sungai. Ia berdiri di atasnya dengan menarik napas cepat berkali-kali. Lelah, rasa itu telah berulang kali datang. Dengan sebatang bambu yang ada di atas rakit ia mendorong tanah di dekat sungai agar rakit itu berjalan. 

Dari jejak air yang tercetak jelas di bambu yang ia gunakan sebagai pendorong, terlihat jelas sungai ini cukup dalam. Kenanga sekuat tenaga terus mendorongnya agar cepat sampai di tepian. Sedikit tanya tertuang di hatinya. Mampukah gadis kecil sepertinya berpetualang menyelamatkan kakaknya seorang diri? 

Bersambung ..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status