Share

03 - Persiapan Bencana

Nisa tergopoh membawa setumpuk shopping bag hitam dengan barisan tulisan putih Ermenegildo Zegna. Ia mendorong terbuka pintu ruangan bosnya dengan punggung, berjalan mundur sambil memejamkan mata mengumpulkan keberanian.

"Tok-tok,salamualaikum, plis jangan ngamuk dulu …," gumamnya penuh harap.

"Nisa! Kenapa kamu ‘iya’-kan?!" Gelegar Suara Bastian terdengar.

Glek! Wanita muda itu merapatkan kaki, meneguhkan niat, memupuk nyali untuk berhadapan dengan sang dewa petaka. Ia membalikkan badan, pelan.

"Mas …," pekiknya putus asa, melihat Tian sedang bersandar berlipat tangan di depan meja kerjanya. Mata Bastian seperti belati yang menusuk lurus ke arah asistennya, menuntut penjelasan. Kali ini Bastian benar-benar marah. 

 Nisa mati kutu.

"Maaf, saya nggak bisa nolak, Mas ... Bapak Cokro yang minta langsung …." Nisa mencoba menjelaskan sehati-hati mungkin, dengan pandangan terpaku ke arah lantai, malu-malu menabrak sepatu bosnya yang sedang murka.

"Kamu nggak bisa cari alasan?! Bilang saya keluar kota kek, ke Seattle kek, pulau Jeju, gunung Meru. Mana aja!"

"Maaf, Mas."

"Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan, Nisa??"

"Maaf ... Mas ...." Air di pelupuk mata Nisa mulai terasa berat.

"Saya nggak bisa mimpin Pandora kalau terus-terusan ditarik-tarik begini, Nis. Tolong kamu pahami kalau kita ini perusahaan mandiri, nggak masuk dalam Cokro Group. Kamu tau itu kan?"

"Maaf—"

"Mas Tian!" Suara lain memasuki ruangan itu, diikuti hentakan langkah stiletto berwarna kuning cerah. Sang empunya suara merangkul Nisa dari belakang.

"Mbak Git—?!"

"Jangan galak-galak sama asisten sendiri, ntar cepet tua. Dan Nisa, udah berapa kali dibilangin sih, Gita. G-I-T-A. Gak pake 'Mbak', aku ini masih kuliah!"

Lepas dari mulut singa, masuk mulut buaya. Nisa bagaikan mangsa yang diam pasrah disemprot dua predator sekaligus.

"Kok kamu bisa ada di sini?" Angkara murka Bastian Cokro terbendung sedikit oleh rasa kaget ketika melihat sosok manusia yang tak ia sangka: Brigita Cokro, sang adik semata wayang.

"Memangnya Bunda nggak bilang? Aku sakit."

"Sakit apa? Sakit jiwa?" Celetukan Tian itu disambut kejang perut Nisa yang menahan tawa.

Bukannya marah atau membalas perkataan Tian, Gita malah menjawab dengan gelagat aneh. Perempuan berdandanan galor itu memegang perut, berbalik badan lalu buru-buru keluar ruangan dengan air muka tak terbaca. Hentakan kakinya semakin cepat begitu keluar dari pintu ruangan Tian, membuat sang kakak beserta asistennya melongo tanpa kata.

"Oh iya, Mbak Gita kena diare, Mas." Nisa berkata setelah beberapa detik.

"Kamu tau dia balik dari Surabaya?" tanya Tian seketika. Pasalnya, Gita memang sedang menyelesaikan kuliah strata dua di kota pahlawan tersebut.

"Nggak yakin, Mas. Soalnya saya kira dia nggak sampe pulang. Orang cuma diare gitu, kan?" Nisa mengangkat bahu.

Tian menggeleng frustasi.

"Tambah satu lagi biang sakit kepala," erang lelaki itu sambil duduk di kursinya.

"Mas ... jadi ini gimana?" Nisa mengangkat belanjaan yang sedari tadi ia bawa, membuat Tian menatap sekilas sambil memicingkan mata.

"Taruh aja di situ," tunjuk Tian pasrah pada sofa panjang di sudut ruangan. Nisa melaksanakan perintah dengan tak kalah pasrah.

"Lain kali, tolong konfirmasi saya dulu kalau ada permintaan apa pun dari ayah atau ibu saya, mengerti?" Tian berkata serius, membuat Nisa berbalik sebentar untuk menyambut tatapan bosnya.

"Iya, Mas—"

"Loh, baju doang? Nggak ada sepatu??" Gita yang tiba-tiba muncul di tengah pintu membuat Nisa hampir mencelat karena kaget. Entah berapa kali kalimatnya harus terpotong dan jantungnya harus estafet hari ini.

"Nggak ada, Mbak. Ini pesanan Bapak, satu set suit sama dasi, kemeja, celana." Nisa menjawab sambil mengabsen isi tas itu satu-satu.

"Oh my God, gak pake 'Mbak'! Dan Tian, kamu butuh sepatu!"

"Mas Tian," ralat sang kakak, membenahi manner adiknya yang mulai gesrek.

"Dan nggak, nggak butuh sepatu lagi. Aku akan pakai apa yang aku pakai sekarang." Tian melanjutkan, membuat Gita berjalan mendekat demi memperhatikan alas kaki sang kakak.

Tampak sepasang loafers The Verrocchio Dress Shoe luncuran Bolvaint, merk asal Paris berwarna hitam legam seharga motor matic yang Gita ingat merupakan hadiah ulang tahun darinya.

"Oke, fair enough," putus gadis itu, menatap kakaknya yang beringsut tak nyaman di-judge secara tiba-tiba oleh fashion icon keluarga.

"Kita nggak punya banyak waktu. Nisa, kosongkan jadwal Tian sekarang juga—"

"MAS Tian!" erang Bastian.

"—dan segera panggil Ko Hen untuk benerin rambut Tian, bilangin kita ketemu di rumah 30 menit lagi." Gita melanjutkan dengan acuh,

Kerutan dahi Tian mengganda.

"Hah? Nggak bisa Git, habis ini aku bakal ada meeting—"

"Fine, suruh kesini juga nggak apa-apa. Laksanakan, Nisa!"

"B-baik Mbak." Nisa bangkit terburu-buru mendengar komando dari Gita.

"DAN NGGAK PAKE MBAK!" Teriakan nyaring Gita teredam oleh pintu ruangan yang tertutup di belakang Nisa.

"Kamu tau aku nggak mau berangkat ‘kan, Git?" Tian buka suara ketika keheningan mulai turun di ruangan ini.

"Tau. Tapi Mas nggak punya pilihan. Ayah-Bunda masih di Singapore sampai nanti malam, pesawat mereka delay. Pas mereka baru sampai, acaranya udah bubar. Yakali kakek-nenek ikut after party."

Tian menenggelamkan wajahnya dalam telapak tangan.

"Booking tiket baru nggak bisa? Atau kamu aja deh yang berangkat, kamu juga pengen dateng, ‘kan?"

"Ayah nggak mau re-booking, Mas, ribet katanya. Kayaknya sih alesan doang biar bisa refreshing bareng Bunda. Dan ya, aku mau, tapi aku apa sih, Mas? Statusku kan Mahasiswa. Lagipula kalo nanti aku cepirit pas nerima award, gimana?"

“Hahahah.” Tian tertawa mendengar jawaban adiknya, sebelum akhirnya Gita melanjutkan. 

"Nggak ada ceritanya putri istana jadi delegasi kerajaannya, Mas. Selalu putra mahkota yang datang. Mas ngerti, ‘kan?"

Tian menatap Gita sungguh-sungguh sebelum menjawab.

"Ya, tapi apa menurut kamu etis kalau Masmu ini datang mewakili Cokro Group di sana, yang mana nggak ada kaitannya sama sekali dengan perusahaan Mas, cuma karena status ... apa tadi? Putra mahkota?” Tian meringis. “Sementara, Mas sendiri punya Pandora di sini, Git. Media bakal nangkep gimana? Kalau suatu hari Pandora besar, apa Mas harus membelah badan untuk ngewakilin dua perusahaan sekaligus? Ini sama aja ngebunuh image perusahaan Mas sendiri, Git ...."

Gita memandang kakaknya dengan tatapan dalam.

"Aku ngerti. Jadi, solusinya gimana? Aku pake adult diaper aja, nih?"

Mereka berdua kembali tertawa seiring atmosfer mencair.

“Gimana kalo … Mas Tian nyamar aja? Pura-pura jadi orang lain, jadi pegawai biasa, bukan anggota keluarga Cokro. Gimana?” Mata Gita berbinar selagi bibir bergincunya memulutkan saran itu.

Bastian mengerutkan kening. “Apa?!”

**

Mitra Award. Penghargaan tahunan yang berfokus pada sektor ekonomi-bisnis. Sebuah acara yang wajib dihadiri oleh para delegasi perusahaan ternama tanah air untuk menyaksikan bagaimana kontribusinya memajukan ekonomi negara ini diapresiasi.

Di antara jajaran pelaku ekonomi dalam negeri itu, terdapat Cokro Group. Salah satu grup perusahaan terbesar di Jakarta.

Tian memang menyandang nama 'Cokro' pada KTP-nya, tapi sejak ia mentas menyandang status sarjana dan tak terikat lagi dengan pendidikan formal, Tian bersikukuh ingin berdikari, berdiri diatas kaki sendiri, tak mengandalkan pamor grup keluarga mereka. 

Hal ini didukung penuh oleh kedua orang tuanya, walaupun dengan berat hati serta berbumbu sebersit harapan putra sulungnya itu dengan ajaib akan membuka hati untuk memimpin perusahaan warisan temurun keluarga mereka suatu hari nanti.

'Dia hanya kurang percaya diri saja kalau langsung megang induk perusahaan gigantis begini. Biarkan sajalah, bagus dia mencari pengalaman dulu.' Kurang lebih begitu simpul ayahnya, Imaniar Cokro.

Itu lah sebabnya Tian uring-uringan saat ia tau sang ayah memerintahkannya mewakili Cokro Group pada malam penghargaan Mitra tahun ini. Itu juga yang jadi penyebab dia mengamuk pada Nisa, asistennya, yang dengan patuh mengiyakan perintah Imaniar Cokro.

Tian sadar diri bahwa Pandora, perusahaan mungilnya yang baru menetas beberapa bulan ini, tak akan ada andil sama sekali dan mustahil masuk dalam list nominasi apa pun. Namun demikian, ia tak rela jika media menangkapnya sebagai 'penerus Cokro Group di masa depan' sebab ia petantang-petenteng muncul sebagai delegasi perusahaan keluarganya ini. Tian merasa integritasnya sedang dikudeta oleh sang Ayah. 

Inikah cara halus untuk menobatkan putra mahkota? Sial.

**

Komen (2)
goodnovel comment avatar
heather swaby
i only read english
goodnovel comment avatar
Reta Mariam Hazizah
Tian yang sabar nak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status