Share

04 - Mitra Award

Bastian melamun saat mobil yang membawanya berhenti di depan sebuah pintu masuk gedung, di mana terdapat kerumunan manusia bagaikan semut mengerumuni timbunan gula—semut di sini adalah media, wartawan, dengan genggaman kamera serta flash-flash yang berkedip setiap detik, sahut menyahut memanggil nama orang-orang yang berpose untuk menoleh ke arah kamera mereka. 

Tian mendesah berat dari kursi belakang.

"Goodluck ya, Mas, semoga perusahaan kita nggak menang apa-apa tahun ini," bisik Gita yang duduk di sampingnya, memasangkan sepasang kacamata bundar di wajah Bastian seraya menyerukan harap yang membuat embusan napas Tian diwarnai tawa ringan.

Penyamaran Tian malam ini cukup simpel: berpakaian rapi seperti biasa, namun sisir rambut belah tengah yang nggak banget, ditambah sematan kacamata bundar yang membuat wajahnya hampir tidak bisa dikenali.

"Iya, amin. Doakan Mas nggak di-notice media manapun, ya."

"Amin juga." Gita mengatupkan tangan.

Dan dengan iringan doa-doa unik tersebut, Tian turun dan melangkahkan kakinya menuju tempat yang sama sekali tak ia kehendaki malam itu.

Sepanjang perjalanan menuju kerumunan media yang hampir menghambat pintu masuk, Tian tak putus membatin.

Tuhan bersama hamba-hambanya yang sabar,

Tuhan bersama hamba-hambanya yang sabar,

Tuhan bersama hamba-hambanya yang sabar.

Sesungguhnya di balik kesulitan terdapat kemudahan,

Sesungguhnya di balik kesulitan terdapat kemudahan,

Sesungguhnya di balik kesulitan terdapat kemudahan.

Mantra doa itu dirapal berulang saat Tian akan mengambil langkah kaki hingga melakukan interaksi apa pun dalam gedung Mitra Award malam itu. Tanpa terasa, Bastian Cokro sudah tiba di depan pintu masuk.

Terdapat gelaran karpet merah berujungkan backdrop logo Mitra Award, di mana barisan orang-orang penting berpakaian glamor sedang dipotret untuk konsumsi media. Tian menyingkir, menyelip di antara punggung fotografer untuk menyelinap ke pintu masuk.

"Maaf, Mas, perwakilan dari mana, ya?"

Langkah kaki tian terhenti. Seorang lelaki dengan walkie-talkie dan ID-card terlampir di dada menghampirinya. Jelas sekali, dia adalah seorang Security.

"Cokro Group, tapi bukan undangan formal. Saya cuma Asisten—Manager. Ehm, Asisten merangkap Manager ... maksudnya, Asisten yang me-manage jadwal Pak Imanuel Cokro, yang mana tidak bisa hadir malam ini karena terjebak delay di Changi Airport, Pak. Jadi ... yah, saya cuma ... mewakilkan." Tian gelagapan. Lelaki itu buru-buru membenahi kacamatanya yang hendak melorot. Pelipisnya jadi licin karena keringat.

"Oke, dengan Mas ...?" Security tadi lanjut bertanya.

"Tian," jawab Bastian singkat.

"Tian saja? Nama panjang?"

Oh shit, lelaki itu mengumpat.

"Emmm … Bastian."

"Tian Bastian?" ulang Security tadi.

"... ya, betul." Persetanlah, pikir Tian.

"Oke. Baik, Mas Bastian, ya. Jadi ini in case Cokro Group masuk nominasi atau menang, kita langsung panggil saja Masnya—"

"Ah, jangan! Ehm, maksud saya … bisa di-skip saja, nggak, bagian seremonialnya? Bilang saja Pak Imanuelnya tidak bisa hadir, terus trophy atau penghargaan apa pun nanti dikirim ke alamat kantor pusat langsung saja, gimana?" tawar Bastian menekan segala kemungkinan. 

Kalau dia maju menerima penghargaan di depan publik, bisa kacau penyamarannya.

"Oh, iya, baik. Bisa diatur. Silakan, Mas Bastian." Security itu akhirnya memberi jalan.

Safe! Pintu masuk berhasil dilewati dengan mulus. Tian menghela napas lega.

Satu hal yang Tian syukuri malam itu adalah terwujudnya rapalan doa-doa yang ia panjatkan. Karena status sosialnya yang ia jaga rapat-rapat dan kebiasaan keluarganya untuk ketat menjaga privasi layaknya tupperware kedap udara, hampir tidak ada orang yang mengenali Tian sebagai Bastian Cokro, putra mahkota pewaris Cokro Group, perusahaan raksasa yang berjasa di balik berdirinya gedung-gedung tinggi pencakar langit Jakarta, alasan tertanamnya aspal jembatan tol dan lempengan besi halte Busway

Cokro Group adalah perusahaan konstruksi dan properti yang menggenggam proyek-proyek vital pertumbuhan ibu kota negara ini, semua dieksekusi dengan rapi dan lowkey, membuat sepak terjang keluarga Cokro hampir tidak tercium oleh khalayak luas selama tiga generasi sejak masa Orde Baru.

Hampir.

"Lho, Bastian? Kamu di sini? Ayah-ibumu kemana?"

Satu lagi hal yang Tian syukuri malam ini, adalah bagaimana ia dipertemukan dengan orang-orang yang tepat.

"Om Moel?" 

Tian berpapasan dengan pria yang familiar dengan setelan jas biru gelap dan dasi semerah delima saat ia melewati lorong utama. Bastian tersenyum mendapati pamannya yang bisa mengenali dandanan Tian dengan mudah itu. Ah, keluarga memang matanya pasti jeli.

"... Ayah sama Bunda masih di Singapore." Jawaban pendek itu ia keluarkan ketika melihat pamannya menunggu dengan sabar.

"Walah, jadi kamu sudah mulai mau turun tangan?" Senyum mengembang di wajah jenaka pamannya, membuat ketegangan di bahu Tian melunak sedikit.

"Nggak, Om, saya cuma ikut-ikut saja." Tian tersenyum memamerkan gigi yang sempurna, membuat lawan bicaranya terbahak sekilas—beberapa orang yang lewat melirik mereka sambil lalu.

"Oke, oke, bolehlah. Ikut-ikut saja dulu, terjun perlahan-lahan." Om Moel mengangguk paham.

Tian adalah model lelaki yang tidak ahli dalam hal basa basi, bahkan terhadap keluarganya sekalipun. Jadi, dalam kesempatan ini, ia berpikir akan menanyakan hal yang menurutnya penting tanpa membuang-buang waktu lagi.

"Om." Bastian maju satu langkah.

"Ya, Le?"

"Menurut Om, apa perempuan bisa jadi pemimpin perusahaan sebesar Cokro Group?"

Om Moel meneliti keponakannya, memandangi pria muda itu dari dahi hingga ujung kaki.

"Kamu mau jadi transpuan? HAHAH!" Om Moel malah tergelak tawa.

"Bukan, bukan begitu. Maksud saya, Gita,” ralat Tian sambil menggelengkan kepala.

"Oooh. Bilang toh. Gita ya ...."

Wajah jenaka Om Moel berubah menjadi serius selama beberapa detik, dari kerutan di keningnya tampak jelas jika ia sedang berpikir keras.

"Good. Bisa. Brigita adalah perempuan berkemauan keras, nah, yang jadi pe-er adalah, apakah mewarisi Cokro Group ini sejalan dengan kemauannya? Hehehe."

Kini giliran Tian yang termenung. Rasa bersalah mendadak menyikut ulu hatinya, sebab tak pernah terbesit pikiran mengenai kemauan adiknya hinggap di benak Tian. Selama ini, ia membebankan Gita dengan bayang-bayang tanggung jawab imajinatif sebab mewarisi perusahaan keluarga itu bukan kemauannya.

Tian tidak mau ambil andil masalah grup perusahaan keluarga, jadi target selanjutnya pastilah Gita. Benar, bukan?

Di tengah gamang dadakan yang disebabkan oleh percakapan singkat itu, Om Moel menggelegarkan tawanya kembali. Ia tak tahan melihat keponakannya terlampau serius memikirkan krisis masa depan.

"Gita akan baik-baik saja, Le. Kemauan, kewajiban, tanggung jawab, itu semua harus kalian pelajari sendiri. Kalian alami sendiri. Apa pun hasilnya, pastikan kalian selalu ada untuk satu sama lain, yo?"

Tian mencerna petuah itu sambil mengangguk dalam, membiarkan beberapa detik berlalu ditelan riuh rendah kebisingan. Dapat terdengar gaungan musik diikuti suara host acara mulai membacakan deretan nominasi di hall utama.

Tian segera menutup percakapan dengan ucapan terima kasih, berpamitan dengan pamannya, lalu melanjutkan langkahnya memasuki ruang utama untuk kemudian mencari kursi dengan nama belakang keluarganya.

Enam puluh menit di ruangan megah ini merupakan satu jam paling asing dan tidak nyaman yang pernah Tian alami. Namun, buah kesabarannya sepanjang malam ini terasa juga ketika Cokro Group hanya masuk dalam satu nominasi perusahaan paling tertib pajak tahun itu—yang mana tidak terlalu penting juga, dan tidak menarik banyak perhatian media sebab proses seremonial sudah diminta oleh Tian untuk ditiadakan. Intinya, Tian hanya perlu duduk diam dan menunggu acara ini selesai.

"... dan akhirnya, kita tiba pada penghujung acara—nominasi terakhir pada malam hari ini ...."

Tian menguap pelan, petikan kata 'penghujung' dan 'terakhir' dari pantulan mikrofon sang host di atas panggung memercikkan sedikit harapannya untuk segera meninggalkan tempat ini.

"... most Impactful, On-screen Face Mitra Award selama dua tahun berturut-turut—Eva Sania, Channel 5, dengan acara Flash Headline!"

Hah? Apa? 

Benak Tian belum pulih betul dari potongan kalimat yang mengandung nama familiar itu saat riuh rendah tepuk tangan menggema di ruangan ini.

"... Eva Sania telah mengudara dengan konsisten selama tiga tahun terakhir, membawakan informasi mengenai perkembangan ekonomi skala nasional dengan akurat, gurih, dan menarik ...."

Layar raksasa di panggung menangkap wajah wanita yang duduk di antara barisan orang-orang yang sedang bertepuk tangan untuknya, kamera meng-zoom sosok wanita tersebut.

Napas Bastian Cokro serasa tersedot hilang dari paru-parunya.

Pada proyeksi layar raksasa, Eva Sania sedang melongo beradu tatap dengan kamera, dengan kedua tangan menggenggam bagian belakang rambutnya—sebuah low bun yang rontok sebagian menjadi buntut mullet di belakang lehernya. Wajah cantiknya menampakkan ekspresi terkejut yang murni tanpa dibuat-buat. Ia tersenyum gagu sambil berdiri, membenahi gaun panjang satin berwarna rose gold dengan belahan dada rendah dan celah gaun tinggi bertemu di tengah-tengah.

Tian dapat melihat, dari layar raksasa, bahwa wanita itu duduk beberapa baris tepat di belakang kursinya.

Eva Sania, sedang melangkah berjalan menyusuri jalan setapak menuju panggung utama, dengan kaki jenjang yang berjalan anggun, dan ... tanpa alas kaki? Tian terperangah—ia duduk di kursi sisi pinggir setapak itu, bersiap kontak udara dengan feromon berjalan dalam wujud nyata.

I knew you were

You were gonna come to me

And here you are ...

Lonjakan musik instrumental salah satu lagu Katy Perry berjudul Dark Horse itu memantul seiring kaki panjang Eva Sania bergerak menyusuri tangga berkarpet di sisi Tian.

… But you better choose carefully

'Cause I'm capable of anything

Of anything and everything

Tepuk tangan autopilot yang Tian layangkan berkedok sebagai pengalihan isu dari dada nya yang bergemuruh riuh saat Eva Sania berpapasan langsung dengan kursinya. Dari jarak satu meter, Tian bisa menghirup aroma segar yang familiar—apa itu? Bunga Kemuning? Melati?

Momen itu merupakan satu detik yang ditarik paksa oleh hukum semesta, bahwa waktu harus berjalan terus. Begitu juga langkah kaki Eva Sania yang terus berjalan membawanya ke atas panggung, menyambut jabatan tangan sang host dan memulutkan kalimat 'terima kasih'.

Untuk pertama kali pada malam itu, perhatian Tian tersedot penuh menuju panggung utama.

"Terima kasih banyak, untuk team Mitra yang telah menganugerahi saya dengan penghargaan ini ... untuk semua kolega, rekan kru yang bertugas di acara Flash Headline, dan untuk para pemirsa yang setia mendukung dari rumah …”

Jeda sebentar, memberikan kesempatan Tian meneliti wajah wanita yang terpampang besar di layar panggung itu.  Wajah cantik itu berkedip dan menarik napas.

“... sejujurnya, saya nggak menyangka akan mendapat nominasi apa pun malam ini. Sebuah kejutan yang menyenangkan, dan … seperti yang kalian semua lihat, saya sudah sangat siap untuk pulang dan meninggalkan tempat ini ….”

Ruangan diisi dengan riuh-rendah tawa yang terpantul oleh kalimat jenaka Eva,

“... jadi gimana kalau saya sudahi pidato panjang saya, dan kita tutup malam ini dengan rasa syukur sedalam-dalamnya. Sekali lagi, terima kasih."

Eva Sania berjalan kembali menuju kursinya, ia bagaikan supermodel yang melenggang diatas catwalk, semakin dekat, dan dekat.

Bastian Cokro mempersiapkan indra penciumannya tanpa sadar, menghayati beberapa detik saat ia berpapasan dengan sosok Eva, lagi.

Apa ya ... segar. Tumbuhan kah? Rumput? Ah bukan bukan—teh hijau. Ya. Matcha.

Masih menerka-nerka aroma yang dibawa oleh tubuh wanita itu, Tian menggeleng dalam lamunannya.

Tidak tidak. Ayo Tian, jangan jadi orang aneh yang mengendus-endus aroma perempuan asing.

Dalam helaan napas berikutnya, pria itu merelakan momen tersebut berlalu. Ia mulai menyadari obsesinya pada wanita itu, dan dia harus berhenti—saat itu juga. 

Tidak boleh begini. Tidak lagi.

**

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Reta Mariam Hazizah
hayo loh. tiati Tian
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status