"Kapan rabi (nikah) kamu?" Suara Bulik Melda terdengar.
Nah kan, pikir Tian. Lelaki itu tersenyum maklum.
"Belum nemu jodo, Bulik," jawabnya.
"Halah, alasannya begitu , Im! Padahal dia itu nolak terus lho, kalau mau aku kenalin ke anak-anak gadisnya temenku!" Ibunda Tian buka suara.
"Ealah, Le ... Le …." Bulik Melda hanya bisa menggelengkan kepala.
"Makanya, Mas Tian jangan kebanyakan body shaming! Susah, ‘kan calonnya pada ilfil." Lisa ikutan membuka kalimat, yang langsung mendapat pelototan protes dari mamanya, Bulik Moel. Gadis itu buru-buru menyumpal mulutnya dengan manisan kubik lagi, menahan senyum.
Tian berdecak gemas, namun mengurungkan niat untuk menjitak kepala Lisa di hadapan orang tua mereka. Bastian Cokro harus selalu menjaga sikap.
"Ada acara apa nih, Bulik sama Om kemari?" Tian duduk di sofa tunggal yang belum terisi, sengaja mengalihkan alur pembicaraan.
"Ini, Ommu ada seminar enterprener." Ibunda Lisa menjawab ringan.
"Wah, ngisi seminar, Bulik?" Tian bertanya penasaran.
"Ahhh, bukan, cuma ikut-ikut saja." Kali ini Om Moel yang menjawab, lengkap dengan tawa khasnya yang menggoyangkan kumis.
Tian mengangguk-angguk paham. Ia sadar betul jika kalimat 'ikut-ikut saja' mempunyai makna terbersit yang lebih dalam dari kelihatannya.
Tian tahu dengan pasti bahwa Om Moel adalah narasumber penting dalam seminar tersebut. Mereka memang suka merendah, bahkan terhadap keluarga sendiri.
Oke, jadi si Om ikut seminar, dan seluruh keluarga juga ikut untuk 'dukungan moral' yang berujungkan rekreasi bersama, simpul Tian yang masih tak habis pikir akan gelagat hangat kerabatnya dari bagian timur pulau Jawa ini.
Percakapan antara keluarga Tian dan Om Moel berlanjut, mereka bercengkrama hangat sembari menikmati suguhan kopi dari ART keluarga Cokro.
"Gimana, gimana, piye kamu ini? Sibuk sama kerja terus, ya?" Om Moel membuka kata saat Tian mengendurkan dasinya.
"Ya, biasa Om. Renovasi kantor, jadi kerjaannya nambah lagi." Tian menjawab santai sambil menerima segelas teh hangat dari nampan Bik Tum, ART keluarga mereka. Bastian Cokro menghindari kopi. Penyakit maag yang kerap kambuh karena asam kafein membuatnya ogah berada dekat-dekat dengan minuman itu.
"Oooh, begitu. Bagus lho! Makin berkembang usahamu. Jadi sekarang kamu rangkep arsitek juga? Hahaha." Tawa Om Moel menggelegar kencang, Tian ikut tertawa sopan.
"Ah, enggak lah Om. Saya cuma ikut-ikut saja ...." Nah, itu dia.
Ikut-ikut saja versi Tian adalah membuat keputusan penting mulai dari approval desain interior hingga budgeting segala benda dan jasa yang diperlukan dalam proyek renovasi kantor pusat perusahaan besutannya, Pandora.
“Kalau kamu butuh modal lagi, bilang saja sama Om, ya, Le? Barangkali kamu keserimpet (tersandung) sama vendor yang ndak jujur.” Om Moel menyeruput kopinya.
“Jangan kamu manja terus menerus anak ini, Moel.” Terdengar suara ayah Bastian yang baru saja berjalan memasuki pintu depan.
Sang ayah, Imaniar Cokro, dengan sigap menyambut kerabat yang sedang berkunjung. Lelaki paruh baya itu mencium pipi kanan-kiri saudarinya, Imelda Cokro, dan mengecup kening keponakannya, Elizabeth.
“Kamu tho yang jangan terlalu keras sama anak sendiri, Yar,” protes Om Moel.
“Rasanya Bastian ini sudah seperti anakmu dewe (sendiri), Moel. Sekalian saja ambil itu, adiknya, si Brigita. Anak perempuan kok nambeng tenan (nakal sekali), kuliah sengaja dilama-lamakan.” Ayah Bastian menyenggol nama adik Tian yang sedang berkuliah di luar kota—Gita.
“Semua anakmu itu anakku pisan (juga), Niar. Ini Lisa juga mbok anggep (kamu anggap) anak sendiri, tho? Hahaha.” Om Moel tertawa melepaskan debat kecil mereka.
Ya, benar. Tian diberkati dengan keluarga yang hangat, kerabat yang dekat, dan orang tua yang, yah … tidak memanjakannya. Dan itulah yang persis Tian inginkan: tidak dimanjakan. Tidak bergantung pada privilege—kemudahan.
Percakapan sore itu—diselingi beberapa teguk teh hangat dan kopi—sedikit banyak telah berhasil menghangatkan hati Tian tanpa ia sadari.
Hingga malam menjelang, saat keluarga Cokro sudah membubarkan diri dari ruang tamu, dan kemeja kerja Tian telah berganti kaos piyama dan celana katun ringan, lelaki itu mendapati sepupunya, Lisa, sedang menguasai ruang TV sendirian saat jarum jam sudah menunjuk pukul 23.35.
"Masih jadi kalong kamu, Lis?" Tian meneguk air mineral dari gelas yang ia genggam.
"Mas kok nggak bilang, sih, kalo punya film Gravity?" Pertanyaan Tian berbalas celetukan Lisa. Tian memperhatikan layar datar yang menampilkan file bertuliskan judul film yang dimaksud sepupunya itu, Gravity (2013).
"Iya, Mas sengaja d******d buat kamu. Ada yang lebih baru tuh, sci-fi juga mix romance judulnya Passengers, kamu pasti suka." Tian mengambil posisi duduk di sofa sebelah Lisa—yang meringkuk dalam pelukan selimut bulu, menggenggam remote TV penuh kuasa.
"Wah. Aku copy boleh ya, Mas?" Lisa menanggapi dengan antusias, membuat Tian tersenyum puas. Hatinya semakin hangat.
Ia tau pasti, sepupunya yang tergila-gila dengan segala apa yang berbau Astronomi dan outer space ini akan keranjingan ketika Tian menyuguhkan film-film sci-fi berbau luar angkasa yang telah ia kurasi tersebut.
"Boleh, dong." Jawaban itu membuat Lisa melonjak girang,
"Kamu masih suka banget, ya, sama yang begini-gini?" Pertanyaan Tian membuat Lisa menoleh sebentar.
"Ya suka."
"Oh ... nggak kamu terusin? Kuliah lagi, gitu. Jurusan Astronomi. Jadi Astronot, atau minimal kerja di Bosscha?" Tian bertanya sambil mendudukkan diri, santai.
Tiba-tiba, Lisa terdiam seketika.
"Nggak deh Mas ...." Suara itu lirih."... lagipula, aku udah sibuk sama kerjaan sekarang, nggak mungkin ngulang lagi kan?" lanjut Lisa, dengan nada yang sama sekali tak terdengar antusias.
Sebersit rasa getir menggigit hati Tian.
“Sorry, Lis. Kamu masih anti sama hal begituan karena masih patah hati, ya? Karena ditinggal mantan pacarmu itu?” Tian bersimpati pada sepupunya.
“Ah, nggak juga.” Lisa menjawab dengan nada pahit, menandakan jelas ada kebohongan di sana.
Bastian mendesah. Dia tau sepupunya itu adalah tipe gadis hiperaktif yang jika jatuh cinta pada sesuatu, maka dia akan benar-benar cinta dan enggan untuk melepaskan. Entah itu hobi, atau pun laki-laki. Sialnya, hobi tidak akan meninggalkan dia, sementara laki-laki bisa.
“Om Moel bilang kamu sering ambil double shift di kerjaan kamu sekarang ini, Lis. Benar itu?” tanya Tian sambil membenahi posisi duduknya.
“Mas Tian kepo, ih,” jawab Lisa sambil mengubur setengah wajah dalam selimut.
“Ngga baik loh, ngeforsir tubuh untuk cari distraksi dari masalah hati. Mas tau kamu berusaha cari pengalihan, kan?“
“Ihh, Mas Tian tenang aja! Aku kan 50% Cokro, ya wajar dong kalo demen kerja. Keluarga kita kan gitu, Mas. Uang, uang, uang. Hahahah." Lisa menertawakan humornya sendiri yang dipaksakan.
Melihat Bastian tak tersenyum sedikitpun, Lisa akhirnya menghela napas.
“Iya, deh, iya. Aku nggak akan lupa untuk istirahat, kok. Asal Mas tau, ya, aku ini masih bagus loh ngalihinnya ke kerjaan, bukan ke mainan cowok.”
“Iya, tapi apa yang berlebihan itu selalu nggak bagus, Lis. Begitu juga sama kerja.”
Lisa mengangguk, akhirnya. “Beruntung, ya, calonnya Mas Tian nanti. Dia kayaknya ngga bakal dibolehin kerja berlebihan. Ya nggak, Mas?” celetuk gadis itu kemudian.
“Alah, ikut-ikutan aja kamu! Udah, anak kecil ngga usah ngomong calon-calonan!” Tian tertawa sambil menjitak kepala Lisa, dengan kasih sayang tentu saja.
"Emangnya, tipe cewek Mas Tian itu yang kayak gimana, sih?" tanya Lisa. Gadis itu menurunkan selimutnya dan mencondongkan diri ke arah Tian, membuat mas sepupunya itu mengerutkan kening.
"Hmmm, tipe, ya? Ada sih, contohnya satu orang. Dia penyiar berita. Wajahnya itu mirip-mirip model di majalah Vogue gitu, muka eksotis, mahal, dan—"
"Berita? Di mana? Nama stasiun TV nya apa?!" sanggah Lisa seketika. Lalu, dengan gerakan luwes, gadis itu memungut smartphone-nya yang tergeletak di meja pendek dekat sofa. Dengan gesit, jemari Lisa mengetikkan kalimat di search engine ponselnya.
"Wah, iya!" pekik gadis itu takjub.
"Dia pembaca berita di Flash Headline, Mas! Oh, dulu pernah jadi wartawan juga. Liat nih, ternyata udah ada yang bikin blog post," lanjut Lisa, membuat Tian menyodorkan wajahnya mendekati ponsel sepupunya.
Benar saja, di layar itu, terpampang paragraf demi paragraf tulisan di bawah judul 'Top 5 Doppelganger Seleb Luar Versi Lokal. Nomor 4 Dijamin Bikin Kaget!' diselingi foto-foto terselip pada tiap sub-judulnya. Di posisi 2, terpampang wajah familier yang Tian saksikan tadi siang.
"Kamu bisa tau semua info ini dari Googling??" heran Bastian.
"Namanya Eva Sania, Mas." Lisa malah menunjuk layar ponselnya, sepenuhnya mengindahkan perkataan Tian.
"Eva Sania, ya..." bisik Tian lirih, matanya tak lepas memandangi layar ponsel itu.
"Wong Jowo iki, Mas! Asal Jogja mix Arab? Wahh pantes alisnya bagus gitu ...." Komentar Lisa yang masih membaca keterangan pada blog tersebut, yang dibalas dengan heningnya Tian, masih memandangi foto-foto perbandingan dua wanita yang belum pernah ia temui seumur hidupnya itu.
Tanpa Tian sadari, Lisa mematung memandangi abang sepupunya.
"Jangan bilang ...." Lisa menyipitkan mata.
"Hm?" Tian menoleh membalas tatapan Lisa.
"Mas naksir dia, ya?!"
Tian membeku sepersekian detik, sebelum tersedak tawa yang kemudian pecah menggema dan memantul di ruangan itu.
"Hmpp—HAHAHAHAH."
"Mas?"
"Hahahahhh ... ehm ...."
"Ih, Mas Tian udah sinting, nih."
"Hehehe, maaf. Habisnya, kamu nyimpulin dari mana, coba? Gimana bisa aku suka sama orang yang belum pernah ketemu, lihatnya dari TV, pula! Hahaha."
Lisa berdecak kesal. "Hati-hati kemakan omongan sendiri kamu, Mas!"
**
“HACHIM!!!”Eva menggosok hidungnya yang gatal karena bersin. Debu dari sudut planetarium ini sepertinya telah membangkitkan alerginya—atau mungkin, ada yang sedang membicarakannya di luar sana. Entahlah.“Gimana, Mbak?” tanya Gama yang kini menghampiri Eva.Pemuda itu mengecek smartphone-nya beberapa kali, hasil memotret sudut-sudut museum dan planetarium ini, sementara Bisma dan Fardi sibuk merekam berbagai lokasi dan ruangan dengan kamera mereka, sebagai bahan laporan dan rekaman untuk episode pilot nanti.“Kok tanya saya? Menurut kalian sendiri, gimana ini lokasinya?” Eva melemparkan pertanyaan balas pada Gama.“Hehe. Maksudnya, gimana menurut Mbak Eva, memungkinkan nggak ng
Pagi yang padat menjadi pembuka hari Bastian di Surabaya. Selain mendampingi Eva sebagai orang kepercayaan Channel 5, dia sendiri juga memiliki beberapa agenda pribadi yang harus dijalankannya. “Lho, Mas Tian nggak ikut ke lokasi kedua? Ini beneran saya saja sama anak-anak kreatif, nih?” Gama bertanya ketika Tian hendak melepas kepergian mereka ke lokai kedua. “Iya, saya ada janji dengan salah satu investor Pandora. Nanti kita ketemu lagi pas makan malam,” jelas Tian kepada rombongannya. “Oke Mas Tian, hati-hati!” Fardi melambaikan tangan. Salah satu anggota tim kreatif itu sedang membawa tas kamera yang terlihat lumayan berat. “See you soon, then ….” Eva melepas Tian dengan senyum tipis. Berpisah sementara memberi Tian
“Uhuk—uhuk!!!” Tian menepuk-nepuk dadanya. Eva refleks ikut menepuk punggung kukuh lelaki itu, untuk kemudian tersadar akan apa yang dia lakukan, dan buru-buru kembali menarik tangan. Batuk Tian itu masih berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya CEO Pandora itu berucap, “kamu salah sangka, Gama.” Lelaki yang diajak bicara oleh Tian itu seketika mengerutkan kening. “Maksud Mas?” tanyanya. “I—itu ...” Kini giliran Eva yang membuka suara. “Anu, Gama, tolong di-keep dulu masalah ini. Jangan sampai ketahuan orang luar, apalagi media. Bahkan orang kantor juga … please, kalau bisa jangan sampai tau.” Perkataan Eva barusan tidak hanya membuat Gama bungkam, tapi juga Tian yang seketika melongo. Pasalnya, Eva seakan-akan mengkonfirmasi jika ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang rancu. “Ooooh, jadi beneran toh,” simpul Gama. Empat rekan tim kreatif yang lain ikut manggut-manggut juga. “Tenang aja, Mbak. Rahasia Mbak Eva sama Mas Tian aman kok sama
Bastian Cokro terbangun dengan perasaan senang yang baru. Ada aroma familier yang menggelitik hidungnya; paduan teh hijau dan eucalyptus yang segar dan halus. Saat membuka mata, dia melihat Eva Sania terlelap di ranjang hadapannya. ‘Kemenangan kecil’, begitu gumam Tian dalam benaknya sebelum bangun dari sofa bed tempatnya semalaman. Tian merasa sukses karena dia sudah bisa menjaga sikap, tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk membuat Eva tidak nyaman. Kalau Tian brengsek, bisa saja malam tadi dia menggunakan modus untuk bisa seranjang dengan perempuan idamannya itu. Tapi tidak, Tian masih menghormati Eva, dan juga dia lebih memikirkan efek jangka panjangnya. Kenikmatan sesaat bisa saja menjadi tiket menuju hancurnya hubungan secara permanen. Tian, tentu
Malam sudah terlampau larut. Sepertiga terakhir menunjukkan waktu dini hari, namun Bastian Cokro masih berstatus tamu buangan karena tidak menemukan tempat untuk bermalam.Sudah lebih dari sepuluh menit dia duduk di sofa lobi Celestial Hotel, menggulir gawainya untuk mencari penginapan lain untuk disinggahi. Hasilnya selalu sama: unavailable, fully booked.Ah, mencari kamar dadakan di ibukota provinsi pada jam-jam segini memang sungguh misi yang mustahil.“Sudahlah, Mas, di kamar ini saja. Saya nggak keberatan, kok, kita sharing berdua.”Eva masih setia menemani Tian di lobi, masih menggenggam kartu kamar terakhir yang dipesankan Nisa untuk rombongannya, dan masih belum naik ke kamar itu sendiri.&ldqu
Turbulensi ringan menyambut kedatangan Eva, Tian, dan rombongan di bumi Surabaya. Penerbangan singkat dari bandara Soekarno-Hatta menuju Juanda itu berjalan lancar, malahan, dua orang dari tim kreatif, Bisma dan Fardi, tertidur pulas di kursi mereka.Eva menanggapi posisinya sebagai satu-satunya perempuan di rombongan itu dengan santai. Toh dia dikelilingi orang-orang yang dikenal dan terpercaya; adalah Tian dan juga rekan-rekan satu kantornya di Channel 5.Sembari menunggu pesawat mendarat dan mereka diperbolehkan turun, terlihat Gama hendak mengajak Eva bicara.“Mbak Eva nanti katanya yang bakal nge-lead gantiin Pak Bram, ya?” Suara Gama, pemuda dari tim kreatif yang duduk dua kursi di sebelah kirinya, menyapa Eva.“Emmm … iya sih, rencananya g