Share

05 - Persiapan Eva Sania

Beberapa jam sebelumnya ....

"Lu yakin ini nggak ke kependekan, Ka?" 

Eva Sania bertanya sembari mematut diri di depan cermin, tak yakin sepenuhnya akan selera pilihan sahabat karibnya sendiri—Ika.

Mereka berdua sedang mempersiapkan dandanan Eva untuk sebuah acara bergengsi malam itu, Mitra Award.

"Pendek gimana, orang itu rok panjangnya sepanjang jalan kenangan." Ika menyahuti dari sisi lain ruangan, memilah-milah botol parfum yang berbaris rapi di atas makeup drawer.

"Maksud gue, belahan dadanya! Ini kan Indonesia, anda sopan kami segan." Mata Eva menelusuri potongan bagian torso dari baju yang saat ini ia kenakan. 

Dress sutra berwarna emas dengan tone merah jambu yang memantulkan kilatan cahaya halus setiap kali dia bergerak, dengan lengan panjang yang ditutup renda halus pada ujungnya, dan rok yang—benar kata Ika, panjangnya sepanjang jalan kenangan—jatuh dan sedikit menyeret beberapa senti di belakang kaki jenjang Eva, yang nantinya akan terbantu oleh sepatu super tinggi dengan hak 12 senti.

"Eva, Eva ... gue tau lu cantik, pinter, sukses, single, dan ber-chuan banyak. Tapi di balik semua kelebihan lu itu, ada satu kekurangan ...."

Eva menanti tanpa antisipasi akan lanjutan kalimat Ika.

"... lu itu tepos, sorry. Jadi lu nggak perlu khawatir akan sopan-tidak-sopan-nya belahan dada lu, karena emang enggak ada sama sekali!" Tegas sekali Ika mengejek sahabatnya.

Eva hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala mendengar deskripsi Ika akan ukuran dadanya. Kalau saja Eva masih SMA dan berusia belasan tahun, kalimat tadi akan menohok insecurity-nya secara fatal, membuatnya ogah makan dan keluar rumah, boro-boro menghadiri acara Mitra Award yang begitu penting malam ini.

"Emang acara ini penting banget ya?" Kali ini Eva menyuarakan pikirannya sendiri.

"Menurut lu? Hello! Coba bayangin, kerja keras lu sebagai jurnalis bisnis malam ini diapresiasi di depan orang-orang terkaya se-Indonesia Raya. Bayangin, gimana nama lu bakal keangkat, pamor lu bakal meroket, dan koneksi yang bisa lu dapetin di sana—"

"Udah kebayang, udah kejadian, dan gue nggak suka." Eva memotong kalimat Ika sambil menghela nafas, untuk kemudian duduk di kasur kamar apartemennya.

"Gue udah belasan kali hadir di acara beginian, Ka. Awalnya emang excited banget, tapi lama-lama, ya gitulah ... this kind of stuff is not for me." Eva menggeleng jengah.

Kali ini Ika yang memandangi sahabatnya itu dengan sungguh-sungguh, meneliti garis-garis wajah Eva yang telah dipulas riasan lebih tebal dari yang biasa ia kenakan saat on aireyeshadow smokey coklat tua, bulu mata palsu, dan bibir dipoles lipcream berwarna merah berry gelap.

"Tapi lu nggak bisa cabut gitu aja dong! Nggak setelah lu diundang langsung oleh tim Mitra-nya sendiri kan?" Ika bersikukkuh. 

"Iya, sih." Eva menjawab pasrah.

"Dan yang terpenting, lu udah dandan sebegini rupa masa jadi sia-sia sih?" lanjut Ika. Rupanya dia tak rela jika usahanya susah-susah mempermak Eva Sania malam ini terbuang begitu saja. 

Eva terkekeh lagi.

"Iya, iya ... kayaknya gue nggak punya pilihan lain, ya?" Akhirnya Eva bangkit dari duduknya.

Ika tersenyum maklum memandang sahabatnya, sementara Eva membalas senyuman itu juga.

"Yaudah lah! Screw it, let’s go. Lagian juga, gue nggak akan mati karena datang ke acara beginian." Eva mengibaskan rambutnya. Kepercayaan diri perempuan itu terpompa kembali.

"Betul! Nah, sekarang, lu mau pake parfum yang mana?" Ika mengalihkan percakapan.

Eva memiringkan kepala dan menyipitkan mata melihat dua botol yang ditimbang-timbang di masing-masing tangan Ika. Rupanya sahabat Eva itu baru saja meraih wewangian dari atas meja rias Eva dengan tangan kilatnya.

"Mana aja lah, bebas," putus Eva ringan, tanpa benar-benar membuat pilihan.

Mendengar itu, Ika tersenyum jenaka dan mendekati Eva dengan dua botol sekaligus, menyemprotkan isinya bertubi-tubi ke arahnya. Eva tertawa dan menutup wajah, menghindari hirupan partikel parfum yang bercampur aduk entah apa itu di sekitarnya.

"Udah, udah, jangan kebanyakan, ntar gue pusing!" Eva mengibaskan telapak tangan di sekitar kepalanya.

"Iye, iye, tapi baunya enak loh …," ucap Ika sambil menghirup udara sekitar, komplit dengan matanya yang terpejam, hingga akhirnya mengangguk penuh approval.

"Peduli amat. Yuk ah, cabut. First to come first to leave. Gue pengen rebahan habis ini." Eva meraih tas tangannya dengan cepat, yang berisikan ponsel pintar dan dompetnya.

Eva menyudahi sesi persiapan pra-acara itu, mengajak Ika meninggalkan kamarnya yang kini dipenuhi bau parfum—campuran segar antara Victoria's Secret Softy-fresh Matcha Lily, dan parfum bunga kemuning dari brand lokal yang dibelinya saat liburan di Jogja lebaran lalu.

**

‘Nightmare, nightmare, nightmare!’

Ini adalah mimpi buruk bagi Eva Sania. Dalam hati, perempuan itu menjerit: aku ingin pulang! Ah tidak—rasanya Evna Ingin mati saja. Sumpah, sepatu hak tinggi itu serasa membunuhnya. Eva yakin, bahwa dirinya positif akan mati sepulang dari acara ini.

Sepanjang jalannya acara Mitra Award, Eva merutuk. Siapa pun yang menciptakan hak setinggi 12 senti adalah orang paling jahat yang ada di muka bumi ini, begitu pikirnya. Tentu saja diikuti kesimpulan lain, bahwa siapa pun yang membeli benda jahanam ini adalah orang paling bodoh yang pernah dia temui (orang itu adalah Ika).

Coba bayangkan, kaki yang dipaksa berjinjit menyalahi kodrat postur alamiahnya, demi menopang seluruh massa badan di bagian ujung telapak kaki, sementara tumit serasa tertusuk paku bercampur krisis kepercayaan terhadap si sepatu itu sendiri setiap kali sang pemakai akan melangkah, itu semua karena heels yang menopang bagian belakang sepatu ini tipisnya bagaikan sebatang lidi yang terbuat dari kaca. 

Belum lagi, si bodoh Ika membelikan sepatu ini dengan ukuran satu nomor lebih kecil dari ukuran kaki Eva, membuat jari-jari kaki perempuan itu berdesakan terjepit di bagian depan sepatu. 

‘Kalau mimpi buruk bisa menjadi nyata, itulah sepatu ini,’ batin Eva.

Eva memaki di dalam hati sambil melepas alat siksaan itu dari kakinya, untuk kemudian memijit pergelangan kakinya yang (mungkin) keseleo. Duduk manis dan tidak berjalan ke mana-mana adalah rencananya sepanjang sisa malam ini. Dan hal itulah yang sudah ia lakukan selama 2 jam terakhir. Duduk. Manis. Tidak berjalan kemana-mana.

"... dan akhirnya, kita tiba pada penghujung acara—nominasi terakhir pada malam hari ini ...."

Kepala Eva yang berdenyut berat akibat cengkraman hairstyle cepol rendah menangkap sedikit kelegaan dari pengumuman host di atas panggung.

‘Kebebasanku akan segera tiba!’ pikir Eva dengan riang.

Tanpa pikir panjang, Eva menarik satu jepit lidi yang menyandang beban rambutnya—benda kecil nakal yang sedari tadi menusuk-nusuk kulit kepalanya. Kebebasan itu membuat Eva ketagihan, perempuan itu melepaskan satu lagi jepit di sisi lain rambut ....

"... most Impactful, On-screen Face Mitra Award dua-ribu-sekian-belas—Eva Sania, Channel 5, dengan acara Flash Headline ...."

JEDERRR! 

Rentetan tepuk tangan berpadu satu dengan suara petir di dalam kepala Eva. 

‘Apa barusan? Nominasi apa? Siapa? Aku?’ bingung Eva tanpa bisa berkata-kata.

Menggapai-gapai kesadaran yang beberapa detik tadi terbang entah kemana, Eva bangkit dari tempat duduk dan berjalan menuju panggung—tidak peduli lagi akan penampilannya yang jauh dari kata sempurna, tanpa alas kaki dan tatanan rambut yang luruh separuh, sebab apa yang ada di pikirannya adalah 'cepat lakukan dan selesaikan'.

Eva menerima mikrofon dan mengucapkan kata-kata diplomatis pada umumnya: ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang terkait; orang-orang di balik layar yang yang telah bekerja keras pada malam hari ini. 

Mendadak, sebersit rasa emosional menyeruak ketika Eva memandang wajah-wajah jauh yang duduk berjajar di seberang sana.

"Sejujurnya, saya nggak menyangka akan mendapat nominasi apapun malam ini. Sebuah kejutan yang menyenangkan ...." Oke, terlalu emosional. Akhiri sekarang, pikirnya.

"... dan seperti yang kalian semua lihat, saya sudah sangat siap untuk pulang dan meninggalkan tempat ini, jadi gimana kalau saya sudahi pidato panjang saya, dan kita tutup malam ini dengan rasa syukur sedalam-dalamnya. Sekali lagi, terima kasih."

Eva turun dari panggung menggenggam piala mungil berwarna perak, diiringi tepuk tangan yang sesekali sambut menyambut dengan gelagat tawa. Senyum terpampang di wajah cantik Eva Sania, terpasang selebar-lebarnya. Setidaknya, malam ini Eva tidak disiksa untuk hal yang sia-sia.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status