Share

10 - Pertemuan Pertama Tian dan Eva

Waktu serasa berhenti. Bastian Cokro tak percaya kalau saat ini dia sedang berjabatan tangan dengan Eva Sania. 

Tian bisa merasakan lututnya lemas. Untung lagi duduk.

"Nah, pas sekali jika kamu mau jadi BA-nya Pandora ini, Eva. Pandora ini rencananya mau meluncurkan advertisement di tivi dan tub-tub juga. Pas, kan? Lho iya, Eva ini salah satu broadcaster kita yang paling bagus lho! Personality-nya itu ketangkep banget di kamera, wajahnya juga kalo masuk layar bisa pas gitu ...." 

Pak Bramono tampaknya belum menyerah dengan agresi militernya menggaet Eva menjadi Brand Ambassador perusahaan Tian. Pak Bram lanjut mengoceh, sementara wanita yang merasa namanya disebut itu mendadak jadi salah tingkah.

"Loh ... enggak pak, waduh." Pipi Eva tampak memerah. 

‘Manisnya,’ pikir Tian.

"Lho, bener! Makanya hanya selang berapa tahun saja, skill dan pamornya Eva ini sudah setara dengan senior broadcaster yang punya acara sendiri." Pak Bram semakin panas mengompori.

Tian berusaha menahan senyum melihat interaksi Eva dan superbosnya. Ia tak tahan melihat sosok wanita yang merajai alam bawah sadarnya itu mendadak dibuat kalang kabut oleh pujian bertubi-tubi. Ini kesempatannya untuk mencairkan es yang membatu.

"Oh ya? Kalau nggak salah. Eva ini ... yang dapet award piala Mitra tahun lalu, ya?" Tian membuka kata, berharap percakapan mengalir dan mencair dari mulut Eva. 

Namun sialnya, malah respon berbalik dari ekspektasi itu yang terwujud.

"Ehmm—"

"Ya benar! Itu!" Pak Bram lagi-lagi menyela.

Harapan Tian kempis ketika Pak Bram yang malah semangat menyahuti interaksi itu. Eva Sania bungkam, menyuguhkan senyum dari wajah yang terlihat tak nyaman.

Oke, Bastian Cokro tak akan menyerah karena serobotan anggota direksi yang terhormat. Ia menarik napas dan menata kalimat yang akan diucapkan.

"Kalau begitu, saya senang bisa berkenalan, Eva. Semoga kita bisa terus bekerja sama kedepannya." 

Kalimat itu Bastian ucapkan dengan jelas dan lugas, ditujukan telak kepada wanita spesifik yang masih bingung menata ekspresinya, menyisakan pilihan tunggal akan respon yang spesifik pula.

"Saya juga, Pak—em, Mas ...."

Akhirnya. Walau terbata, Tian puas bisa 'bicara' dengan Eva. Meskipun hanya berupa potongan kata tak tertata.

"Nah, kalau yang di sini, ini dari brand Telponsel, salah satu provider seluler terbesar, kamu tau kan? Nah kalo yang disana ..." Pak Bram melanjutkan kicauannya, menangkap lontaran kalimat Tian sebagai penutup sekaligus pembuka lembar baru di kemudian waktu.

Entah mengapa, rapat siang itu berkembang menjadi ajang berjalannya agenda rahasia antara Tian dan Nisa dalam 'menangkap' si licin Eva Sania, yang sepanjang rapat lebih banyak bungkam dan memasang wajah tawar seakan tidak tertarik akan project yang sedang mereka bahas. Wajar saja, sepertinya tempat Eva memang bukan di ruang rapat. Ia tampak bersinar di depan layar, bukan di belakangnya.

30 menit berlalu tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir wanita itu. Sampai di penghujung acara, Nisa memberanikan diri mengambil langkah.

"Mbak Eva? Halo, saya Nisa ...." Asisten Tian itu mengulurkan tangannya, menarik perhatian Eva yang sedang sibuk dengan ponselnya. Perlahan tapi pasti, Eva menyambut uluran tangan itu. 

‘Yes, berhasil!’ Sorak Tian dalam hati.

"Ya ... halo." Suara soprano Eva kembali terdengar di sela jabatan tangan. 

Tanpa buang tempo, Nisa mulai meracau.

"Sebelumnya mohon maaf, Mbak, jadi saya di sini mencatat seluruh kontak orang-orang yang terlibat dalam program ini, dan hanya kontak Mbak Eva yang saya belum ada ...."

Eva tampak memperhatikan sambil mulutnya membentuk huruf 'ooo' bisu.

"Kalau Mbak Eva berkenan, boleh saya mencatat kontaknya, Mbak? Email, nomor handphone, atau kartu nama?"

Dengan percaya diri, Nisa melancarkan jurus 'bagi kontak'-nya yang jarang gagal dalam meraup informasi orang-orang penting dalam industri itu. Namun kepercayaan diri Nisa—sekaligus Tian—luntur sedetik kemudian ketika Eva menjawab.

"Ohh, eh ... jadi gini Nisa, sebenarnya saya di sini hanya mewakili atasan saya saja, namanya Pak Adi. Dia kepala divisi Broadcast. Nah, gimana kalau kamu save kontak dia aja? Sebentar, nih ...."

Wanita itu kembali mengutak-atik ponselnya, tak mengindahkan Nisa yang kelabakan menerima penolakan itu."Eh ... Mbak, anu—-"

Terlambat.

"Nah, ini nih. Pak Adi Wijoyo, nih nomernya."

Eva Sania menyodorkan ponselnya. Nisa mati kutu seketika.

Tian bersusah payah menahan tawa ketika melihat interaksi mereka dari kursinya. Nisa, asistennya, sedang menunduk dengan muka merah padam karena tertolak sekaligus gagal mendapatkan nomor handphone Eva Sania, sang supermodel dalam bayangan Bastian dan ‘artis yang di-fans-in sama Masbos’ dalam kepala Nisa.

Entah apa yang asistennya dan Eva bicarakan, namun Tian dapat melihat Eva Sania mengambil catatan notes milik Nisa dan memotretnya, untuk kemudian siap beranjak pergi. 

‘Oh shut, aku harus bergerak cepat !’ pikir Bastian.

"Eva, kamu sudah makan siang? Kenapa nggak ikut lunch bareng kita aja?" 

Tanpa pikir panjang, kalimat itu terlontar dari mulut Tian. Wanita yang ia tuju menjawab dengan pandangan bisu, memandangi sosoknya yang entah sejak kapan sudah berdiri dari kursi.

Tian bisa mendengar degup jantungnya sendiri. 

‘Please say yes, please say yes ....'

"Maaf Mas, saya sudah ada janji."

Penolakan ganda yang diluncurkan untuk Nisa sekaligus Tian oleh wanita itu merupakan kalimat terakhir sebelum sosoknya melenggang meninggalkan ruangan. Tian terpaku di tempatnya berdiri, pasrah menerima pandangan asistennya yang menyaksikan itu semua.

**

"LUNCH?! HAHAHAHAHHAHAHA." Tawa Nisa menggelegar memenuhi Range Rover abu yang dikemudikan Tian.

"Ha-ha-ha. Lucu banget, ya? Kamu sendiri juga ditolak pas minta nomor hape." Tuan muda Cokro itu bersungut-sungut di balik roda kemudi, memberikan jeda untuk Nisa mengusap air matanya yang meleleh akibat tertawa terlalu keras.

"Tapi seenggaknya kan saya masuk akal, Mas. Minta kontak karena memang ada keperluan. Lah, Mas Tian? Ngga ada angin ngga ada hujan, ngajakin lunch ... HAHAHHA."

Tian mendesah pasrah, menelan kalah.

Ya, dia akui tadi itu memang... refleks. Apa ya? Formalitas? Spontanitas? Tololitas?

Apapun itu, walaupun hasilnya null, Tian tidak menyesalinya. Ia bersyukur bisa berinteraksi singkat dengan Eva Sania walaupun itu merupakan penolakan. 

‘Penolakan, ya ....’

Otak Tian mendadak dihampiri dengan sebuah pikiran yang mendesak. Dia benci sekali penolakan.

"Nis."

"Hehe ... hm? Kenapa, Mas?" Sang asisten masih meredakan tawa.

"Gimana kalau dia nolak beneran?"

"Ha, siapa? Nolak apa?" Nisa mulai kumat dengan lola-nya.

"Ck. Itu, si Kendall Jenner. Jadi BA."

Butuh beberapa detik sebelum otak Nisa selesai buffering mendengar kalimat Masbos-nya.

"Oh, kita masih ngomongin Mbak Eva? Eh ... memangnya beneran mau dijadiin BA, Mas? Mas sudah minta?"

Tian berdecak gemas.

"Ya belum sih, masih rencana ... tapi kok kayaknya bakal ditolak beneran, ya?"

"Kayaknya, sih." Nisa membenarkan dengan pesimis.

"Kita harus ngelakuin sesuatu, Nis. Gimana ya caranya supaya kita bisa nangkep perempuan itu ...." Tian berbicara dengan tatapan lurus ke arah jalan raya.

"Loh, memangnya kenapa harus ditangkep, Mas? Mas bener-bener naksir dia, ya?"

Tian menoleh sekilas sambil menyematkan senyum misterius.

"Ya nggak, lah!" ucap Bastian ringan.

Tanpa Tian sadari, wajah Nisa membulat dengan cepat seraya mulutnya terbuka lebar dan matanya melotot penuh gemilang cahaya harapan.

"Iya?! Beneran toh, Mas Tian ngesir dia! AAAAHH AKHIRNYA!! HEY JAKARTA, DENGERIN TUH! MASBOS-KU TERNYATA TIDAK HOMO!!" Teriakan wanita muda itu memenuhi mobil Tian, sang empunya kemudi mengernyitkan dahi menerima siksaan pada pendengarannya itu.

"Nis, please. Jangan norak." Gumaman Tian tertelan sendiri saat asistennya menari-nari random dengan riang gembira, tampaknya senang sekali dengan penemuan barunya.

“MASBOS BASTIAN COKRO SUKA CEWEK!! WUWUWUW!” Teriak Nisa lagi.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status