"Om Sebastian tidak pulang? Ini kan sudah malam, besok Om juga harus ke kantor, kan?" Shela berdiri di hadapan Sebastian yang duduk di sofa merangkul Tino dan Tiano yang tengah tertidur di atas sofa besar di dalam kamar inap VIP di mana Tiana dirawat. Iris mata hitam laki-laki itu pun terangkat menatap Shela. "Kau mengusirku?" "Emm, tidak, bukan begitu. Tapi kan-""Kalau aku pulang kau di sini sendirian hanya bertiga menjaga Tiana, kau yakin?" Sebastian kali ini berdiri tegap di hadapan Shela. Tatapan Sebastian kali ini tidak Shela hindari."Ke-kenapa harus tidak yakin? Aku terbiasa sendiri.""Kau memperlakukan aku seperti orang asing, Shela. Aku ini Om-mu! Aku adik Papamu, meskipun bukan Papa kandungmu, tapi Kak Ferdi tetaplah Papamu! Dan aku sangat peduli padamu seperti keponakanku sendiri!" Keponakan sendiri. Kata itu berkeliaran di benak Shela, gadis itu pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis. "Om kan orang yang sibuk, aku hanya tidak mau-""Apa kau pikir aku seteg
Setelah tiga hari Tiana dirawat di rumah sakit, akhirnya kini anak itu sudah boleh dibawa pulang. Dia bertingkah semakin manja pada Sebastian. Hingga Tiano juga ikut-ikut manja pada Paman kesayangannya. "Enak kalau punya Papi seperti Paman, sudah tampan, uangnya banyak, punya mobil bagus, kita terus dibelikan mainan banyak, dan eumm... Pokoknya enak sekali, iya kan Tino?!" Tiano merangkul pundak kembarannya. "Biasa aja! Yang tampan banyak kok, yang kaya juga ban-""Yang penting Papinya Tiana itu Paman!" sahut Tiana, anak perempuan manis yang berada dalam gendongan Sebastian. Laki-laki itu hanya tersenyum, bagaimana bisa Tino melawan dua kembarannya. Kedua adiknya sangat menyukai Sebastian, tapi Tino tidak mau punya Papi seperti Sebastian karena baginya, Sebastian itu galak dan suka sekali menyuruh-nyuruh Maminya, membuat Shela repot. Seolah sudah menjadi rutinitas, setiap pagi Sebastian harus menggendong Tiana sebelum pergi ke kantor. Tidak enak baginya kalau ia tidak memanjakan
"Shela, bangun... Kau pasti lelah kan?"Sebastian membungkukkan badannya di hadapan Shela dan mengusap pucuk kepalanya. Kedua mata gadis itu perlahan terbuka, hingga Shela tersentak begitu mendapati Sebastian di hadapannya tepat. "Om," lirihnya begeming. "Tiana sudah tidur, sudah aku bawa ke kamarmu. Sekarang kau cepat istirahat, jangan tidur di sini," tutur Sebastian tersenyum tulus. Shela mengangguk kecil, ia berdiri dan melangkahkan kakinya menuju anak tangga. Namun tiba-tiba kaki Shela seperti tertahan oleh sesuatu yang membuat ia terdiam di tempat. Perlahan gadis itu menoleh ke arah Sebastian yang duduk di sofa dan mendongakkan kepalanya, laki-laki itu menyunggar rambut hitamnya, dia terlihat sangat lelah. "Om sudah makan?" tanya Shela, urung ia melangkah ke kamar dan malah mendekati Sebastian. "Hem? Belum, aku bisa membuat makanan sendiri nanti," jawab Sebastian santai. "Mau aku buatkan kopi, atau-""Aku hanya minta padamu, istirahatlah. Kau tampak pucat sekali, kau kuran
Untuk pertama kalinya Tiano ikut bersama Sebastian ke kantor milik laki-laki yang sering ia panggil Paman tersebut. Sebastian menggendong Tiano dan mengajaknya masuk ke dalam gedung besar miliknya. Dan jelas saja mereka disambut banyak pasang mata yang menatapnya penuh tanda tanya. "Paman, ini tempat apa? Besar sekali... Tinggi! Wahh, ramai ya, kayak di mall!" seru Tiano tersenyum senang. Sebastian terkekeh. "Iya, ini namanya di kantor, Sayang" jawab Sebastian. "Wahh, bagus, bagus, Tiano suka. Di sini Bossnya yang mana? Galak tidak sama Paman?" tanya anak itu seraya memeluk leher Sebastian. "Tidak. Bossnya sangat baik, tampan, dan kaya raya." Anak itu menatap wajah Sebastian dari dekat dan dikecup pipinya sampai Sebastian melirik dan terkekeh. "Paman, Tiano panggil Papi ya? Kan di sini tidak ada Mami sama Kak Tino," pintanya, ia masih meminta izin. "Boleh, kapan saja boleh, Sayangku," jawab Sebastian, balik ia mengecupi gemas pipi anak manis dalam gendongannya. Tiano hanya me
"Kenapa bisa begini? Apa aku tadi bicara dan Tino mendengarkanku?" Shela mengusap wajahnya pelan, kepalanya terasa sangat pening. Ia duduk di bawah sofa menemani Tiana yang bermain, mereka sedang berdua saja di rumah, Tino marah pada Shela dan memilih tinggal di toko dengan Morsil. Pelan Shela menyeka air matanya. "Baru kali ini dia marah padaku, apa yang harus aku lakukan?" lirih Shela menangis tanpa suara. Tiana menoleh saat mendengar isakan pelan dari sang Mama. "Mami... Mami kok nangis? Siapa yang nakalin Mami?" Anak itu masih membawa mainannya, Tiana menunduk menatap wajah sang Mami. "Tidak Sayang, Mami tidak papa kok." Shela tersenyum manis. "Mami jangan nangis, nanti Tiana bilang ke Pa-"Ucapan Tiana terhenti bersamaan pintu rumahnya yang terbuka. Di sana muncul Sebastian dan Tiano yang baru saja pulang. Terlihat jelas wajah Tiano yang berbinar-binar kesenangan. Anak itu menggandeng tangan Sebastian masuk ke dalam rumah. "Tiano!" pekik Tiana berlari ke arahnya."Tiana
Tragedi Tino menangis semalam, membuat Shela sedih. Bahkan semalam Tino menolak bersama Shela, hingga ia tidur dalam gendongan Sebastian dan tidur bersamanya. Kini Shela berada di dapur, ia menyiapkan kopi dan juga sarapan untuk anak-anak dan juga Sebastian. Rumah sangat sepi, anaknya belum bangun. "Shela," sapa Sebastian, dia mengejutkan Shela saat tiba-tiba berjalan mendekatinya. Tatapannya dingin dan tak biasa. Shela menoleh. "Oh... Pagi Om, kopinya sudah aku aduk, sarapannya nan-"Ucapan Shela terhenti saat Sebastian tiba-tiba menarik lengan Shela dan mencekal erat kedua pundaknya. Satu langkah demi langkah kaki Sebastian membuat Shela mundur hingga punggungnya terhimpit lemari es. Tatapan iris hitamnya menekan Shela dengan desakan hebat. "Apa yang sebenarnya kau katakan pada Tino, tentang kita, aku terus kepikiran, kau tahu!" Sebastian mendekatkan wajahnya. "Anak kecil tidak akan pernah bisa berbohong, Tino tidak pernah sesedih ini kan, Shela? Harusnya kau jujur padaku, kala
"Paman, kita mau ke mana? Kok Paman minta Tiano pakai baju yang bagus? Mau jalan-jalan ya?" Anak itu berjalan membuntuti Sebastian masuk ke dalam kamar laki-laki itu bersama dengan Tino dan Tiana juga di belakangnya. "Iya, kita sudah rapi pakai baju yang bagus, mau ke mana sih, Paman? Rugi tahu kalau sudah tampan begini terus tidak ke mana-mana," protes Tino, dia naik ke atas ranjang kamar Sebastian. "Tentu saja mau jalan-jalan, lihat ikan paus dan ikan besar lainnya," jawab Sebastian seraya membuka lemari pakaiannya. Mendengar nama ikan paus, Tiana menoleh cepat dengan mata melebar. Anak itu, sangat ingin melihat ikan paus. Sejak dulu, bahkan Maminya hanya sekedar memberikan janji-janji saja dan belum pernah mewujudkannya. "Paman tidak bohong, kan?" Tiana sontak berdiri. "Tidak, anak pintar." Kembali Sebastian masuk ke dalam kamar ganti, ia mengganti pakaiannya cepat dengan sweeter hitam dibalut mantel hangat berwarna senada. Entah kenapa Sebastian ingin sekali menghabiskan
Setelah puas jalan-jalan, Sebastian mengajak Shela dan si kembar makan bersama di sebuah rumah makan mewah yang berada di hotel bintang lima Kota Birmingham. Anak-anak nampak puas dan bahagia, mereka tanpa komando memanggil Sebastian sebagai Papinya, meskipun sejatinya mereka bertiga tidak tahu kalau Sebastian benar-benar Papa biologisnya. "Mami, ini tidak mau... Ada kacangnya!" seru Tiana mendorong makanan dengan toping kacang. "Iya Tino juga, ini putih telurnya buat Mami, Tino tidak suka." Shela sibuk mengambil makanan yang mengganggu selera makan anak-anaknya, sementara Sebastian hanya menatap mereka dengan tatapan seksama. Kacang, putih telur, saus mayones, wijen hitam, semua itu makanan yang tidak Sebastian sukai. Menatap dua anak kecil yang duduk di hadapannya, bagai melihat cerminan dirinya sendiri. "Kenapa tidak suka kacang dan putih telur, Sayang?" tanya Sebastian pada mereka keduanya. "Dari kecil mereka tidak suka, mungkin menurun pada Papinya," jawab Shela tanpa sada