LOGINDania adalah seorang guru yang baru saja ditempatkan di kota masa kecilnya—tempat yang telah ia tinggalkan selama sepuluh tahun. Rasa bahagia menyelimuti hatinya. Ia tak sabar bernostalgia dan bertemu dengan teman-teman lamanya, terutama Anna—sahabat yang ia anggap seperti saudara sendiri. Namun kebahagiaan itu sirna ketika Dania mengetahui kenyataan pahit: Anna telah meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Kabar duka itu menjadi pembicaraan seluruh kota, sebab suami Anna, tengah mencalonkan diri sebagai walikota. Tragedi tersebut mengguncang citra politiknya. Masyarakat pun mulai bersuara, mendesak Ryan untuk segera mencari pendamping baru. Suatu malam, Mama Wulan—ibu Ryan—datang menemui Dania. Mereka sudah saling mengenal sejak lama, tetapi kunjungan kali ini membawa maksud yang tak disangka: ia melamar Dania untuk menjadi istri Ryan. Dania terkejut. Ia baru tahu bahwa Ryan adalah suami sahabatnya sendiri, Anna. Dengan halus ia menolak, namun bujukan Mama Wulan dan tekanan keadaan membuatnya akhirnya menerima pernikahan itu. Pernikahan mereka bukan karena cinta, melainkan demi menjaga citra. Di mata masyarakat, rumah tangga itu tampak sempurna—padahal di balik dinding megahnya, Dania hidup dalam penjara yang sunyi dan dingin. Lebih menyakitkan lagi, banyak orang menuduhnya merebut tempat sahabatnya sendiri. Hingga suatu hari, hadir Nicho—pria yang dengan tulus menawarkan perhatian dan cinta yang selama ini tak pernah ia rasakan. Dania pun dihadapkan pada pilihan paling sulit dalam hidupnya: bertahan demi nama baik dan harapan cinta yang mungkin takkan datang, atau mengikuti suara hatinya yang ingin bebas dan dicintai.
View MoreSebagai istri walikota, Dania dikenal sebagai sosok yang anggun dan berwibawa. Senyum lembutnya kerap menghiasi setiap acara resmi, sementara tutur katanya selalu terukur—tegas namun menenangkan. Di mata masyarakat, Dania adalah gambaran perempuan sempurna: pintar bergaul, aktif di kegiatan sosial, dan setia mendampingi suaminya di setiap langkah politik.
Pagi itu sama seperti biasanya. Dania bersiap menghadapi padatnya aktivitas. Dania duduk tenang di kursi belakang. Ia bersiap menghadiri acara peringatan Hari Guru Nasional—tanpa ditemani sang suami, seperti kebanyakan hari-hari lainnya.
Rintik hujan menari di kaca mobil semakin ramai, menciptakan suasana lembut yang memantul di telinganya. Langit tampak gelap, seolah menandakan hari yang muram. Setahunya, acara tersebut akan digelar di lapangan. Apakah acaranya akan dipindahkan karena hujan? pikir Dania khawatir.
Ia merogoh tasnya, berniat memastikan infromasi melalui telepon. Namun, jemarinya berhenti, alisnya berkerut. Ia membongkar semua isi tas.
“Loh, ponsel saya kemana, ya?” gumamnya panik.
“Kenapa, Bu?” tanya Pak Yanto—sopirnya yang setia menemani. Ia langsung memperlambat laju mobil.
“Sepertinya ponsel saya tertinggal di rumah,” jawab Dania, meski masih berusaha mengingat.
Tanpa menunggu perintah, Pak Yanto memutar arah mobil. Ia tahu, benda sekecil itu sangat berarti bagi majikannya. Mobil melaju sedikit lebih cepat menembus hujan sementara Dania hanya bisa berdoa dalam hati—semoga ponselnya memang tertinggal, bukan hilang.
Setibanya di rumah, Dania langsung berlari masuk tanpa melepas sepatunya. Rumah terasa lengang. Para asisten pasti sedang sibuk di dapur dan area belakang. Ia bergegas menuju kamar, tempat terakhir ia meletakkan ponsel—seingatnya.
Namun, langkahnya mendadak terhenti. Dari balik pintu tertutup, terdengar suara desahan dan panggilan manja. Suara itu terlalu akrab. Terlalu menusuk.
Dania menutup mata, mencoba menenangkan diri. Ia tahu pasti apa yang sedang terjadi di balik pintu itu. Suaminya—Ryan—lagi-lagi bersama perempuan lain.
“Ryan, kamu hebat sekali. Yang dalam.”
Suara itu sangat menjijikkan di telinga Dania. Ia mengepalkan tangannya. Emosinya memuncak. Ryan sudah sangat keterlaluan, tidak bisa diberitahu kalau Dania tidak mengizinkan perempuan murahan menaiki tempat tidurnya.
Ingin sekali Dania melabrak mereka, tapi ia tahu itu akan menjadi masalah besar baginya. Dania berdiri kaku di depan pintu, antara logika dan harga diri yang saling bertarung.
Kalau ia masuk, Ryan akan marah besar. Tapi kalau ia tak masuk, bagaimana ia bisa mengambil ponselnya?
“Tenang, Dania… ini bukan yang pertama kali,” gumamnya pelan sambil menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri.
Dania mengambil keputusan, meski ia akan dihukum. Tapi, ponsel itu sangat penting. Bagaimana dia bisa menjalani aktivitasnya hari ini kalau tidak ada ponsel itu. Dengan langkah gemetar, Dania mendekati pintu kamar.
Tok tok tok
“Aku cuma ingin mengambil ponselku ketinggalan,” ucapnya hati-hati. Suaranya nyaris tenggelam oleh detak jantungnya sendiri.
Hening. Tidak ada sahutan.
Sunyi itu justru membuatnya semakin takut. Ia menelan ludah, menggigir bibir bawahnya—sampai akhirnya,
Klik
Pintu terbuka.
Dania terperanjat. Napasnya tercekat melihat pemandangan di depan mata. Seorang Perempuan berdiri di balik Ryan, rambut acak-acakan, kulitnya basah oleh keringat, pakaian nyaris tak beraturan. Dan di sisi lain, Ryan menatapnya tajam, seolah Dania adalah penyusup di rumahnya sendiri.
Plak!
Suara tamparan menggema di seluruh ruangan. Panas dan nyeri langsung menjalar di pipi Dania. Ia terhuyung, tapi menahan diri agar tidak jatuh.
“Dasar pengganggu!” bentak Ryan dengan mati berapi. Tangannya terulur, menjambak rambut yang masih tertutup hijab. Perihnya membuat Dania mengerang pelan, tapi ia tidak berani melawan.
“Kamu tahu konsekuensi atas perbuatanmu, Dania?” desis Ryan.
Deru napas Ryan menyapu wajah Dania, mempersempit jarak di antara mereka. Tatapan matanya tajam, seperti binatang buas yang terganggu di tengah buruannya.
“Kamu pergi lah! Nanti asistenku akan mengirim uang kepadamu,” ucap Ryan pelan—namun nada suaranya dingin dan menusuk. Ia tidak sedang menawarkan, melainkan memerintah.
Perempuan itu mengangguk dan langsung buru-buru berpakaian, lalu keluar kamar dengan langkah tergesa. Namun ketika ia melewati Dania, ia sengaja menabrak tubuh tak berdaya itu. Dania meringis tapi tak bisa melawan karena rambutnya masih dipegang erat oleh Ryan.
Pintu tertutup.
Dania nyaris tak sempat bernapas ketika Ryan tiba-tiba menarik lengannya dengan kasar. Tubuhnya terhuyung, lalu jatuh ke atas ranjang.
“Ryan, sakit” bisikinya, tapi pria itu tak peduli.
Dengan posisi tengkurap, Dania merasakan rambutnya kembali ditarik hingga kepalanya menengadah paksa. “Kau mengganggu kesenanganku di pagi hari, Dania,” ucap Ryan dingin, matanya berkilat.
“Aku… cuma mau mengambil ponselku yang ketinggalan,” suara Dania nyaris tak terdengar. “Aku harus ke acara perayaan Hari Guru Nasional di Lapangan Merdeka.” Ia berharap nada lembutnya bisa melunakkna hati suaminya. Tapi harapan itu sirna.
Ryan berdiri, berbalik ke arah pintu, dan menguncinya rapat. Bunyi klik terdengar begitu jelas di telinga Dania—seperti tanda bahwa tidak ada jalan keluar.
Ia menatap Dania tanpa ekspresi, lalu mengambil ponselnya.
“Tara,” katanya melalui telepon, suaranya kembali datar dan tegas. “Urus semua kegiatanku pagi ini. Pindahkan ke siang hari dan untuk kegiatan Dania semuanya dibatalkan.”
Dania memejamkan mata mendengar perintah Ryan kepada asistennya. Ia bisa membayangkan bahwa hari ini ia akan terkurung dalam neraka dunia yang dibuat suaminya itu.
“Buka bajumu!” suaranya terdengar berat, dingin, dan penuh ancaman.
Dania tersentak kaget di tengah lamunannya. Dengan gemetar, ia membalikkan badannya, napasnya terengah. “Ryan… tolong, aku—”
“Cepat!” potong Ryan, bentaknya membuat udara di ruangan terasa menipis.
Dania memejamkan mata. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia merasa seperti kehilangan seluruh dirinya. Satu per satu kancing kemejanya dibuka—dengan terpaksa. Hatinya begitu sakit, entah sampai kapan Ryan bisa berubah baik kepadanya.
“Jangan ada sehelai kain pun yang tersisa di tubuhmu,” perintah Ryan lagi. Kemudian, ia berjalan ke arah sofa yang menghadap ranjang. Ia duduk di sana. Memperhatikan semua kegiatan Dania.
Tak bisa dipungkiri, ketika melihat tubuh Dania ada sesuatu dari dalam dirinya yang bereaksi berlebihan. Ryan tak mau mengakui itu tetapi dia sangat mendambakan. Ryan memejamkan mata sebentar, mengusir semua perasaannya. Ia harus memberi Dania pelajaran.
“Menungging!” perintahnya ketika melihat Dania yang berusaha menutupi area sensitifnya dengan kedua tangan. Yang Dania tidak ketahui bahwa Ryan sangat hapal semua benda itu.
Ryan berjalan, mengambil tali pinggangnya yang berserakan di lantai. Ia memukulkan tali pinggang itu ke lantai, sebagai penanda untuk Dania bahwa itulah hukumannya.
Tanpa menunggu aba-aba dan mengabaikan permohonan ampun Dania, ia mencambuk perempuan itu persis mengenai punggungnya.
Pyar.. Pyar
“Ampun… Ryan.” Suara Dania bergetar. Sungguh sakit sekali—bukan hanya di punggungnya, tapi juga hatinya.
“Sakit..” lirihnya, nyaris tak terdengar, ketika cambukan itu kembali mendarat.
Tubuhnya mulai kehilangan tenaga. Pandangannya berputar, lalu gelap.
“Dania…”
Ryan menjatuhkan tali pinggangnya. Suara logam itu berdenting di lantai. Dalam sekejap, kemarahannya lenyap tergantikan panik. Ia berlari, menangkap Dania yang terkulai.
“Dania! Hei!” serunya, suaranya parau.
Ia mengangkat tubuh lemah itu, menidurkannya di atas ranjang pelan, Ryan memiringkan tubuh Dania, menyusuri bekas kemerahan yang menjalari punggung putih istrinya. Hanya melihatnya saja, ia tahu betapa perih rasa itu.
Ryan berjalan ke arah lemari, mengambil pakaian dan memakaikannya perlahan pada tubuh Dania yang tak sadarkan diri. Tatapannya jatuh pada sebotol salep di atas nakas. Ia hendak meraihnya, namun berhenti di tengah jalan.
Ada sesuatu di dalam dirinya yang berbisik pelan tapi tajam, ‘Jangan pedulikan dia, Ryan. Dia pantas mendapatkannya.’
Ryan menunduk, menggenggam rambutnya dengan frustasi. Lalu, tanpa menoleh lagi, ia mengenakan bajunya sendiri dan melangkah keluar kamar.
“Obati punggung Bu Dania, dan kasih dia obat,” ujarnya datar kepada salah satu asisten rumah tangga sebelum benar-benar pergi.
Tara tak membuang waktu sejak pertemuannya dengan Dandy. Dari restoran itu, langkahnya langsung berbelok ke rumah sakit.Di depan kamar perawatan Dania, ia mendapati Ryan duduk dengan bahu merosot. Tatapannya kosong, menembus dinding kaca seolah pikirannya berada di tempat lain. Tara menghela napas sejenak, menenangkan diri, sebelum menghampiri.“Pak,” sapanya pelan. “Saya sudah selesai bertemu dengan Dandy.”Ryan sontak mendongak. Sorot matanya tajam, meski jelas lelah. “Apa hasilnya?”Tara menyerahkan map di tangannya—ragu, seolah sadar betul apa arti isi di dalamnya.Ryan menerima map itu. Jarinya terasa dingin saat membuka lembar demi lembar, namun raut wajahnya justru semakin tenang. Terlalu tenang. Seolah badai sedang dikurung rapat di balik ketenangan itu.Nama itu tercetak jelas.Ema — staf pribadi Pak Danny.Ryan menutup map perlahan, lalu menegakkan punggungnya. “Ini
Dunia Ryan seolah berhenti berputar. “Janin?” ulangnya pelan, nyaris tak bersuara.Dokter mengangguk pelan. “Masih sangat kecil. Perkiraan usia kandungan sekitar empat hingga lima minggu. Benturan dan stres berat memicu keguguran spontan.”Ryan terhuyung satu langkah ke belakang. Tangannya refleks menahan dinding lorong rumah sakit agar tidak jatuh. “Dania…” gumamnya. “Dia… hamil?” Kata itu terasa asing, sekaligus menghancurkan.Istrinya. Anaknya. Hilang—dalam satu hari yang sama.Bayangan Dania semalam terlintas jelas di kepalanya. Tawa kecilnya. Tatapan lembutnya. Candanya tentang “adik untuk Issa”.Dadanya sesak. Napasnya tercekat.Ryan menunduk, menekan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia kehilangan kendali sepenuhnya.“Pak Ryan,” suara dokter kembali terdengar, “secara fisik, masih ada risiko perdarahan lanjutan. Kami juga mengkhawatirkan kondisi psikologis pasien saat sa
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Dania tak melepaskan ponselnya sejak pagi. Layarnya terus menyala—notifikasi datang silih berganti, sebagian berisi pesan simpati, sebagian lagi hinaan tanpa wajah. Tangannya gemetar setiap kali membaca satu per satu.Sesekali ia meneguk air putih, lalu menangis lagi. Sejak Ryan pergi bekerja, Dania mengurung diri di kamar. Tirai tertutup rapat. Cahaya matahari hanya menyelinap tipis di sela-sela jendela, sama seperti harapannya hari itu—kecil dan rapuh.Ia tak peduli berapa kali pintu diketuk.Kadang suster Issa.Kadang ART.Semua diabaikan.Dania tak ingin siapa pun melihat dirinya dalam keadaan hancur. Lukanya cukup ia tanggung sendiri. Dunia hanya berhak melihat senyum palsunya—bukan kepedihan yang menggerogoti dada.Tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Aneh, ia tak merasa lapar sama sekali. Yang ada hanya mual dan sesak, seolah tubuhnya ikut menolak semua yang terjadi hari i
“Pak Ryan…” Suara Tara terdengar pelan namun tegas saat ia masuk ke ruang kerja Ryan. Ia menutup pintu dengan hati-hati, lalu menunduk sopan.Ryan mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas di meja. Pena di tangannya berhenti bergerak. Sorot matanya tajam—kebiasaan lama setiap kali ada interupsi di tengah pekerjaannya. “Ada apa, Tara?”“Pak Suryo mengundang Bapak makan siang di salah satu restoran,” lapor Tara singkat, tapi nada suaranya mengisyaratkan ada sesuatu yang tak biasa.Ryan menyandarkan punggung ke kursinya. Alisnya sedikit berkerut. “Dalam agenda apa?”Tara ragu sesaat, menimbang kata-kata sebelum menjawab. “Ajudannya hanya menyampaikan bahwa Pak Suryo ingin membahas beberapa hal secara privat dengan Bapak. Tidak dijelaskan detailnya.”Ryan melirik jam di pergelangan tangannya, lalu menatap kembali layar laptop. Berita pagi ini, isu yang menyeret nama Dania dan Issa












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.