Beberapa Minggu Kemudian..."Oma datang kenapa tidak kabar-kabar dulu? Tahu begitu kan Tiana dan Aldrich bisa menjemput Oma di bandara." Tiana menatap Karen yang kini duduk di sofa setelah meletakkan tas besarnya di atas kursi kayu. "Tidak perlu repot-repot, Tiana. Oma juga masih punya nyali naik taksi menuju ke sini," jawab wanita itu seraya melepaskan selendang yang dia pakai. "Mama dan Papa tidak ikut ya, Oma?" tanya Tiana menanti-nanti. "Roghan mana mau bertemu dengan putranya. Dia kecewa dengan suamimu, anak satu diatur susah sekali!" Tiana terdiam dan tersenyum tipis, semakin ia merasa dan berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya sendiri. Apakah dirinya ini bentuk dari kegagalan seorang suami di mata keluarganya? Bila benar begitu, lantas kenapa Karen dan Emma tetap mengizinkan Aldrich untuk menikah muda. "Tenang... Tenang... Tidak sepenuhnya Roghan itu membencimu," kata Karen tersenyum tipis pada Tiana."Iya Oma." Gadis itu menganggukkan kepalanya kecil. Helaan napas t
"Kau tidak menyeriusi ucapan Oma, kan?" Aldrich berjalan mendekati Tiana yang kini tengah duduk di balkon kamar mereka. Suara Aldrich membuat Tiana menoleh ke belakang menatap suaminya. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya pelan. "Ya Sayang?" Aldrich duduk di sampingnya dan menggenggam satu tangan Tiana. "Jangan hamil dulu," ujar laki-laki itu langsung to the point. Kedua mata Tiana mengerjap seolah bertanya-tanya, mengapa? Mengapa tidak boleh?Tautan jemari Aldrich dibalas menjadi genggaman yang hangat oleh Tiana. Gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Aldrich dengan nyaman. "Kenapa jadi panik begini? Seorang anak itu lahir karena anugerah dari Tuhan, kalau diberi sekarang maka harus diterima, kalau belum diberi berarti belum mendapatkan anugerah tersebut. Iya kan?" Gadis itu menatap wajah Aldrich yang nampak ragu-ragu. "Ck! Pokoknya jangan dulu, Sayang!" seru laki-laki itu kesal. Tiana terkekeh geli dengan ekspresi kesal Aldrich pada istrinya ini. Perlahan Tiana mengulu
Aldrich memanggil dokter untuk memeriksa Tiana dan memastikan keadaan istrinya. Laki-laki itu khawatir dengan apa yang terjadi pada Istrinya saat ini. "Nyonya Tiana tidak papa, hanya kelelahan saja. Tolong untuk tidak mengabaikan kesehatannya ya, karena Nyonya juga butuh banyak waktu untuk beristirahat," ujar seorang dokter perempuan yang baru saja memeriksa Tiana. "Tapi sungguh tidak ada yang serius dengan istri saya, dok?" tanya Aldrich serius."Tidak ada Tuan. Hanya kekalahan biasa saja." Tiana memperhatikan suaminya yang begitu khawatir dengan keadaan Tiana saat ini. Sampai akhirnya dokter pun kini berpamitan, tinggal Aldrich dan Tiana saja yang ada di dalam kamar itu. Tiana mengulurkan tangannya meraih lengan Aldrich dan memintanya untuk duduk di sampingnya. Wanita cantik itu tersenyum sembari menggelengkan kepalanya mengisyaratkan kalau dia tidak papa. "Sayang, aku baik-baik saja kan! Tiana bilang juga apa, Tiana itu tidak papa," ujar Tiana tersenyum manis. Aldrich duduk
Malam ini Tiana tidur bersama Shela, gadis itu sejak tadi tidak enak diam. Meskipun tidak berbicara dan sudah mengatakan kalau dia mengantuk, namun Tiana masih terus menerus mengusap dan mengelus perutnya. Shela menatapi putrinya, sesungguhnya kedua mata Tiana sudah terpejam. "Sayang, Tiana kenapa?" tanya Shela beranjak duduk. "Kenapa nak, sakit perut?" "Tidak Mi... Tidak tahu kenapa maunya diusap terus," jawab Tiana berbaring miring. Shela menyibak selimutnya. "Mami buatkan teh dulu ya, mungkin Tiana masuk angin." Tiana menganggukkan kepalanya, gadis itu ikut dengan Shela bangun dan berjalan bersama turun ke lantai dasar. Di sana, ada Tiano yang hari ini pulang untuk menamani Mami dan adiknya. Tiano pun sedang duduk di pantry dapur dengan laptop di hadapannya. "Loh, belum tidur?" Tiano menoleh pada Tiana yang kini duduk di sampingnya dengan wajah lesu. "Sepertinya adikmu masuk angin," jawab Shela membuatkan teh hangat untuk Tiana. "Ck! Ada-ada saja sih, Tiana..." Tiano menyi
"Wahh, kau benar-benar bisa membuat Sushi! Hebat...! Padahal aku selalu gagal saat menggulung nasinya." Tiana tersenyum lebar duduk di kursi kayu di hadapan Sora. Gadis bermata sipit itu mengangguk dan menuangkan saos di mangkuk kecil. "Ayo Tiana, dihabiskan. Kalau kurang aku buatkan lagi," ujar Sora tersenyum senang. "Terima kasih, Sora..." Dengan senang hati Tiana memakannya, dan Sora sama sekali tidak memakan Sushi itu. Dia tidak suka olahan ikan mentah, makan seafood, Sora tidak terlalu menyukainya, hanya saja karena ada Tiano, dia menyediakan untuk laki-laki galak itu. "Kau tidak mau?" Tiana menyodorkan di hadapan gadis itu. "Emm... Aku tidak suka seafood," jawab Sora menggelengkan kepalanya. "Jadi sebanyak ini kau buatkan khusus untukku?""Tentu saja. Ini kan pertama kalinya kau ke sini, aku juga tidak pernah ke manapun apalagi punya teman, jadi aku sangat senang dengan kedatanganmu hari ini." Sora begitu tulus pada Tiana. Tiana menatapnya dalam-dalam, ia tahu pancaran m
Satu Minggu Kemudian..."Aldrich pulang sekarang? Mau Tiana masakin apa?" Suara Tiana tengah mengobrol dengan Aldrich di telfon membuat Shela tersenyum. Putrinya itu sangat perhatian dan manja mendengar kabar kepulangan suaminya. "Emmm, masa Aldrich pulang jauh-jauh dari luar kota tidak minta dimasakin apa-apa sama Tiana sih?" Tiana duduk merengut. "Ah ya sudah, sampai bertemu nanti... Bye Sayang!" Panggilan itu terputus, Tiana mengembuskan napasnya panjang dan tersenyum manis menatap layar ponselnya. Sebentar lagi suaminya akan pulang dan Tiana sudah sangat merindukannya satu minggu ini. "Mereka sudah sampai mana, Sayang?" tanya Shela dari arah dapur. "Masih mau berangkat pulang Mi," jawab Tiana seraya menatapi layar ponselnya. "Ohhh, Mami kira mereka sudah berangkat..." Tiana menoleh ke belakang menatapi Maminya. Gadis itu melangkah mendekat ke arah dapur dan duduk di samping meja marmer panjang. Sesekali Shela menoleh memperhatikan putrinya yang kini melihat apa yang Tiana
Pukul sebelas malam Tiana terbangun dari tidurnya, ia merasakan kecupan-kecupan kecil di wajahnya dan pelukan erat yang melilit di pinggangnya yang ramping. "Emmm, Aldrich kenapa?" Tiana mendorong pipi suaminya dan ia hendak beranjak bangun. "Tidak papa Sayang. Aku lapar," bisik Aldrich menyibak selimutnya. "Mau Tiana masakin apa?" tanya Tiana sembari duduk di tepi ranjang mengucek kedua matanya. Aldrich tidak menjawab, laki-laki itu berdiri di hadapan Tiana dan mengulurkan tangannya memberi usapan gemas. "Tidak usah repot-repot, biar aku masak sendiri saja. Tidur lagi kalau ngantuk," jawab Aldrich. "Tiana ikut..." "Ya sudah ayo. Pakai dulu kaca matanya, Tiana... Nanti kalau jatuh bagaimana?" Dengan sangat perhatian, Aldrich meraih kaca mata bening di atas meja. Ia memakaikan pada Tiana hingga mata gadis itu kembali terbuka lebar. Wajah cantik, manja, menggemaskan. Aldrich mengecup bibir Tiana dengan lembut, sontak hal itu membuat Tiana berjinjit merengkuh punggung kekar sang
"Bi, mulai sekarang jangan sampai Tiana membantu-bantu apapun ya. Kalau dia melakukan pekerjaan, ambil saja langsung. Dia butuh istirahat total!" Aldrich menasihati pembantunya, wanita dengan setengah baya itu menganggukkan kepalanya patuh. "Baik Tuan, saya setiap hari sebenarnya juga melarang Nyonya. Tapi Nyonya Tiana sendiri yang tidak bisa saya larang." Hal semacam itu sudah Aldrich duga. Istrinya memang sangat keras kepala. Apapun yang dia inginkan tidak akan bisa dibantah begitu saja. Aldrich tidak lagi kaget dengan sosok Tiana Morgan yang sangat dia cintai."Sayang... Sayang kau di mana?" Suara gadis itu membuat Aldrich menoleh ke lantai dua, Tiana berjalan keluar dari dalam kamar dengan wajah bantalnya. Dia baru saja bangun tidur, masih mengantuk dan lesu. "Hei, aku di sini!" Aldrich melambaikan tangannya. Sontak Tiana tersenyum lebar, gadis itu berjalan menuruni anak tangga dengan cepat dan berjalan mengulurkan kedua tangannya memeluk tubuh Aldrich."Kenapa sudah bangun