~Perlahan Leopard menerkam mangsanya~... "Apa kau yakin dengan keputusanmu?"Kedua obsidian-nya memandang redup hamparan salju di luar. Sesekali jemari panjangnya mengguncang minuman beralkohol itu menciptakan sebuah bunyi dan gumpalan yang melonjak"Ashton... Aku sedang bicara denganmu." Ben begitu jengah, melihat sahabatnya mulai hanyut dalam dunianya sendiri. Ia tahu Ashton tengah berfantasi mengerikan tentang anak itu. Saat ini mereka sedang berada di bar milik pamannya. Sedangkan waktu sendiri telah menunjukan pukul sembilan malam lebih."Aku akan menikmatinya.""Tck! Hei, berhentilah bersikap seperti pria psikopat!"Ashton terkekeh mendengarnya, dalam sekali gerakan ia memutar tubuh dan memandang lekat pria bernama Ben di hadapannya."Singa telah menerkam mangsanya, sangat menarik bukan?" desisan itu membuat dirinya terperangah, entahlah ia merasa Ashton tak hanya sekedar mengoceh. Terlebih tatapan obsidiannya terlalu rumit untuk ditafsirkan. Samar-samar Ben mencium niat terse
~Kita perlahan bergerak menantang takdir~...Ashton berjalan pelan memasuki ruang dimana tuan Ferland berada, pria berumur itu nampak sumringah melihat kedatangan Ashton."Akhirnya kau datang nak!""Ya, seperti itu." sahut Ashton sembari mendudukkan dirinya di depan tuan Ferland.Pria itu menatap Ashton menyeringai "Jadi bagaimana dengan rencana kita? Apakah berjalan lancar?'Ashton mengangguk dan tersenyum licik "Tentu, sepertinya psikis-nya mulai terganggu. Pagi ini ia bahkan dengan nekat menelan semua obatnya tanpa dosis dikarenakan sesuatu yang ku lakukan padanya." jelas AshtonTuan Ferland nampak keberatan mendengarnya, lelaki berumur tersebut berdiri sebentar mengitari ruangan tersebut. Ditiupnya seberkas debu pada jendela yang menopang."Jadi kau akan membunuhnya secara psikis? Tidak secara fisik?"Ashton menggeleng di balik pundak pria tersebut. "Tidak, saya di bayar bukan untuk membunuh psikis.. Seperti yang Tuan ketahui saya selama ini dibayar untuk membunuh secara fisik t
~Di dunia ini, tidak ada yang hidup dengan mudah.~...Kini Ashton telah mencengkram mangsanya, meski bukan mangsa utama yang selama ini diincarnya. Sedikit mengecewakan memang tapi setidaknya Lynelle bisa menjadikan lampiasan segala dendamnya. Putri keluarga Ainsley itu harus jauh lebih menderita di bandingkan dengan dirinya."A-Ashton?"Ashton tersentak dari lamunannya begitu mendengar panggilan lirih Lynelle. Ia menyipitkan mata, melihat wanita itu tampak berdiri gemetar di ambang pintunya."Hn!" gumam Ashton dingin, ia menatap Lynelle sesaat lalu setelahnya berpaling dan lebih memilih berkutat dengan gadget hitamnya."Antarkan aku ke Rumah sakit, perutku mengalami kram." ucap Lynelle tak kalah dingin begitu melihat tanggapan tak acuh Ashton.Namun Ashton menoleh cepat dan menatap tak suka pada dirinya."Pergilah Sendiri, aku sibuk!"Lynelle membulatkan mata lebar, tentu saja itu tidak baik. Udara sangat dingin tentu mengerikan jika ia harus menyetir."Aku tidak sedang ingin berde
~ Setiap orang memiliki rahasia dan kita tidak pernah menceritakannya~...Dalam temaran kamar, Lynelle menangis. Sangat memalukan! Dia sekali lagi menjatuhkan harga dirinya didepan Ashton, menunjukan betapa lemah dirinya sebagai wanita.Lynelle tidak tahu kenapa suasana hatinya tiba-tiba seperti ini, menangis dan menjadi cengeng tanpa alasan yang jelas. Ia ingin marah namun pada siapa? Orang di depannya yang menatapnya dengan obsidian yang memancarkan kebingungan? Ya, Lynelle juga berpikir begitu namun itu bukan Ashton. Dia marah pada dirinya sendiri yang menjadi seperti ini. Apa dia sangat melankolis?Tes.."Tolong jawab aku, apa kau merasa sakit?" Suara bass milik Ashton kembali menyapa gendangnya. Tak ada niat menjawab, karena jika sepatah kata keluar dari bibirnya maka tangisannya akan benar-benar pecah saat itu juga.Keterdiaman Lynelle terus berlangsung selama beberapa detik hingga tangan kasar milik Ashton menyentuh dagunya, memaksa hazel wanita itu menatap obsidian-nya.'Air
~Masa kini dan masa lalu memiliki korelasi dan itu tidak bisa di pisahkan.~...Lynelle POV...Peristiwa tragis itu terulang, menggangguku dalam tidur nyenyakku. Mimpi itu... Alisku berkerut. Di sana, pria yang paling ku hormati dalam hidupku terbaring tak bernyawa tepat di depan mataku. Air mataku tak terbendung, tangisanku pecah.Kaki kecilku hendak melangkah menghampirinya namun orang-orang yang ada terus menahanku, mencengkram kuat pergelangan kurusku."TIDAK AYAHH!” jeritku meraung.Aku benci ini, seandainya aku tidak mengajak ayah bermain ke taman, semuanya pasti akan baik-baik saja. Aku tidak perlu menyaksikan penembakan brutal itu. Aku tak tahu pasti, kejadian itu terjadi secara kilat. Dalam hitungan detik yang tak bisa ku prediksi.Disaat semua orang terfokus pada ayah yang tak bernyawa diujung sana, seseorang tiba-tiba berlari di belakangku. Pistol! Itu tersembunyi di balik jaketnya dan ujungnya nampak menonjol. Pria itu menoleh sesaat. Aku melihat jelas wajahnya dan seringa
~Terluka, dilukai, dan melukai adalah bukti bahwa kau hidup~...Ashton POV...Detik berganti menit, menit berganti jam... Terus terulang..Meskipun mataku terpejam namun aku tidak dapat tidur dengan nyenyak seperti biasanya. Pikiranku berkecamuk. Ada sesuatu yang mengganjal, yang membuatku sangat penasaran. Pengakuan Lynelle beberapa jam yang lalu mengusikku. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dan itu tersembunyi rapat dari jangkauanku. Tahun dimana ayah biologis Lynelle meninggal sama dengan tahun dimana ayahku merenggang nyawanya. Itu tidak kebetulan bukan?Aku memutuskan membuka mataku dan menghela nafas berat. Di sampingku, Lynelle telah tertidur. Ia Nampak tak nyaman dengan posisinya. Aku memperhatikannya dalam diam, di benakku ada berbagai pertanyaan yang ingin ku lontarkan padanya.Sesaat aku memandangi wajahnya yang nampak tenang. Perasaan bersalah menyergapku. Kemarin bukan tanpa alasan aku memperlakukannya dengan baik, sejujurnya aku hanya ingin membuat ken
~Ikuti perasaanmu dan semua akan baik-baik saja.~....Lynelle memandang hamparan salju yang ikut memeriahkan malam pergantian tahun bersama dengan letusan kembang api yang memekakkan.Ia disini, masih di tempat yang sama. Di balkon apartemen itu, menunggu tanpa kepastian berharap orang yang dinanti akan datang.Drrrt..Getaran benda persegi empat pada kantong celananya, membuat Lynelle tersentak pelan."Halo?""Hey Girl, apa kau tidak keluar berjalan-jalan bersama kami? Disini juga ada Jay, David, Bobby, dan masih banyak pria lainnya."Diujung sana Rose berujar antusias, teman baiknya itu nampak sangat bersenang-senang di akhir tahun ini."Lynelle, apa kau masih disana?" Suara diujung telfon kembali bertanya, memastikan orang yang ditujunya masih mendengarkan."Ya-Ya! Aku akan ikut, kalian berkumpul dimana?" Lynelle mengiyakan ajakan tersebut."Biasa... Kami di bar milik Ben."Setelah kalimat tersebut, sambungan terputus.Lynelle menatap layar handphone-nya sesaat lalu menghela nafas
~Ikuti perasaanmu dan semua akan baik-baik saja.~....Lynelle memandang hamparan salju yang ikut memeriahkan malam pergantian tahun bersama dengan letusan kembang api yang memekakkan.Ia disini, masih di tempat yang sama. Di balkon apartemen itu, menunggu tanpa kepastian berharap orang yang dinanti akan datang.Drrrt..Getaran benda persegi empat pada kantong celananya, membuat Lynelle tersentak pelan."Halo?""Hey Girl, apa kau tidak keluar berjalan-jalan bersama kami? Disini juga ada Jay, David, Bobby, dan masih banyak pria lainnya."Diujung sana Rose berujar antusias, teman baiknya itu nampak sangat bersenang-senang di akhir tahun ini."Lynelle, apa kau masih disana?" Suara diujung telfon kembali bertanya, memastikan orang yang ditujunya masih mendengarkan."Ya-Ya! Aku akan ikut, kalian berkumpul dimana?" Lynelle mengiyakan ajakan tersebut."Biasa... Kami di bar milik Ben."Setelah kalimat tersebut, sambungan terputus.Lynelle menatap layar handphone-nya sesaat lalu menghela nafas