Beranda / Romansa / Balada Cinta ShaBar / 4. Akbar: Puding Kenangan

Share

4. Akbar: Puding Kenangan

Penulis: Nesri Baidani
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-16 11:45:14

Menggunakan kalimat bersayap untuk menyampaikan keputusan tentang masa depan. Bodoh sekali!

Amah Hana dan Tante Santi terlihat sangat bahagia. Mereka langsung terlibat percakapan hangat bernuansa nostalgia. "Inget banget waktu acara walimatul 'ursy saya, Akbar tiba-tiba ngilang. Sampe-sampe Bang Karim ikutan turun panggung buat nyariin. Heboh satu gedung, deh, waktu itu," lagi-lagi Amah Hana menceritakan kisah lama itu.

Alisha tampak tak mendengarkan. Dia masih menunduk, khusyuk menyendok nasi uduk di piring.

Naila menendang kakiku agak keras. Dengan ujung dagu, ditunjuknya Alisha yang seolah sedang menyingkir dari hiruk pikuk meja makan.

Kukedikkan bahu, malas. Siapa suruh tak jujur dengan perasaan sendiri!

Kulambaikan tangan pada Pak Ali agar dia mulai menyiapkan hidangan penutup. Dengan cekatan, manajer La Luna tersebut mengambil piring-piring yang telah kosong.

Alisha menyusun sendok dan garpu secara paralel di piring, pertanda ia telah selesai makan. Dia tidak terlihat berselera. Nasi uduk di piring hanya dihabiskan sepertiga, menyisakan dua pertiga bentuk hati yang bubrah. Tahu bacem, daun kemangi, dan ayam goreng, hanya itu yang dimakannya.

Pak Ali menghidangkan puding susu ubi ungu dengan cekatan. "Wah! My favourite!" seru Naila antusias, "makasih, Bang."

Wajah muram Alisha sedikit berubah begitu melihat puding terhidang di hadapan. Perlahan, tangannya menyendok puding susu itu. Gerakan halus tangan itu terhenti begitu sendok masuk ke mulut. Matanya membulat, tak lama kemudian berkaca-kaca.

"Permisi," katanya, menyelempangkan tas kecil di bahu lalu berdiri meninggalkan meja.

Dasar bodoh! Lihat akibatnya ketika mengambil keputusan yang salah.

"Permisi." Aku berdiri, meninggalkan meja makan.

***

Di pintu toilet, terdengar suara isakan perempuan. Sesuai perkiraan, gadis itu menangis. Kusandarkan badan ke dinding merah marun di samping pintu. 

Kuembuskan napas kesal. Harusnya kubiarkan saja dia menerima konsekuensi keputusan. Buang-buang waktu berdiri di sini.

Pintu toilet terbuka setelah agak lama. Alisha keluar dengan wajah tanpa make up. Terlihat lebih segar. Sejujurnya, dia lebih manis begini.

Dia menatapku sebentar kemudian berlalu. "Masih ada waktu," kataku, "pikirkan baik-baik keputusanmu."

Kakinya berhenti melangkah. Berbalik mendekatiku, ia berujar lirih penuh penekanan, "Kalo ngga mau nikah, kenapa ngga kamu aja yang putusin?" Kemarahan terlukis jelas di matanya. Setelah berkata begitu, ia berbalik, meninggalkanku sendiri lagi.

Dasar bodoh!

"Aku ngga pernah ketemu ibuku," kataku menghentikan langkahnya, "Allah manggil dia, bahkan sebelum sempat menyusuiku."

Dia berbalik, menunggu kelanjutan kata-kataku.

"Jadi kupikir, ngga ada ruginya membantu orang lain berbakti kepada ibunya."

Dia masih berdiri di sana, menatapku lekat tak berkedip.

"Tapi itu sebelum aku tahu kamu punya pacar ...."

"Ssst!" Dia buru-buru kembali mendekatiku. "Cuma kamu yang tahu soal Dirga," katanya dengan suara sangat rendah, "dan ngga perlu tambah orang lain lagi!"

Kukedikkan bahu, tak peduli. "Terserah. Ini hidupmu. Aku cuma memperingatkan. Kamu sudah menangis hanya beberapa menit setelah menerima pernikahan ini. Apa kamu mau menjalani sisa hidup seperti ini?"

Dia bergeming.

"Pikirkan lagi putusanmu!" Kutinggalkan dia dan masuk ke toilet.

Sesuatu berpendar di wastafel, sebuah ponsel. 

Nama Dirga tertera di layar. Bodoh sekali, gadis itu meninggalkan ponselnya di toilet umum. Kubiarkan benda pipih itu berpendar dan bergetar hingga berhenti sendiri.

Kutimang ponsel itu. Ada notifikasi panggilan tak terjawab sebanyak tiga kali. Tiga-tiganya dari Dirga. Di bagian paling bawah, tulisan slide to unlock terlihat sangat menggoda. Namun, aku masih menganggap ponsel sebagai barang pribadi, tak selayaknya diutak-atik tanpa seizin si empunya.

Tiba-tiba layar berubah warna, diikuti getar halus yang merambat di tangan. Kemudian nama Dirga kembali tertera di sana. 

Setelah berpikir sebentar, kuputuskan untuk mengusap tombol hijau yang terpampang di layar. Suara seorang lelaki masuk ke telinga. "Ah, akhirnya. Sorry, tadi lagi bantuin Lintang di kamar mandi, jadi ngga bisa bales WA."

Apa aku harus merespons permintaan maafnya?

"Kamu marah, Yang?"

Hmm, apa perlu kuberitahu bahwa saat ini ponsel Alisha sedang dipegang calon suaminya?

"Sorry, aku ngga bermaksud ngebo'ong. Aku cuma ngga bilang kalo puding itu aku beli di La Luna. Abis kayanya kamu seneng banget ngerasa udah dibikinin puding."

Oh, puding itu punya kenangan istimewa rupanya. Menu ini baru diluncurkan akhir tahun lalu. Berarti paling lama hubungan mereka baru berusia sekitar enam bulan, masih baru. 

"Yang? Kamu marah?"

Sebaiknya kumatikan saja. Dia tak perlu tahu bahwa sekarang tidak sedang berbicara dengan kekasihnya.

"Kok, kamu tahu puding itu ada di La Luna? Kamu lagi di La Luna? Tapi barusan aku cek IG-nya, ngga ada pemberitahuan buka."

Tentu saja. Hari ini La Luna buka hanya untuk acara keluarga.

"Kalo kamu ngga mau jawab juga, aku ke La Luna sekarang."

Terserah! Aku tak peduli.

"Yang?"

Kutekan tombol merah. Beralih ke daftar panggilan, hapus panggilan terakhir. Selesai.

Kembali ke meja makan, kuletakkan ponsel di samping piring puding Alisha. Dia tampak terkejut tapi mulutnya tetap lirih mengucap terima kasih. Agak buru-buru dinyalakannya layar kemudian diusap-usapkannya jari di sana. Hanya beberapa detik, lalu dengan wajah sedikit kecewa diletakkannya kembali ponsel di meja.

"Gimana menurutmu, Bar?" Pertanyaan Amah Hana mengalihkan perhatianku. "Sebulan cukup, kan?" tanyanya lagi.

"Sebulan?" Aku tak mengerti topik yang sedang dibicarakan.

Amah Hana membalas santai, "Iya, sebulan buat persiapan pernikahan, cukup, kan?"

Astaghfirullah! Kulirik Alisha. Rona mukanya pun memucat seketika.

"Kan, semua udah siap. Gedung, kita udah ada. Catering, ready. Kalo kamu mau walimahan di kapal pesiar kaya bapakmu juga bisa," lanjut Amah Hana lagi.

Kutarik napas dalam. Itu semua hanya urusan teknis, sama sekali tak masalah. "Apa tidak perlu rembukan dulu dengan ayahnya Alisha?" tanyaku pada Om Karim.

"Ah, ya, benar," sahut Om Karim, "anak perempuan ngga bisa menikahkan dirinya sendiri. Dia butuh wali."

"Apa ngga bisa pake wali hakim aja?" balas Amah Hana enteng.

"Iya, saya juga udah lama ngga berhubungan lagi sama ayahnya Alisha," timpal Tante Santi ketus.

"Bisa saja, tapi aku lebih memilih mengusahakan buat ketemu wali nikahnya dulu sebelum memutuskan pakai wali hakim." Kupandangi semua yang hadir. Tak satu pun tampak berniat angkat bicara. "Kalau semua yang ada dalam daftar wali nikah sudah tidak ada lagi yang bisa menjadi wali, baru kita minta alihkan ke wali hakim."

Kulihat Tante Santi menghela napas. "Tapi saya bener-bener ngga tahu mau nyari ke mana," ujarnya lirih.

"Tante masih ingat nama lengkap dan tanggal lahirnya, kan?" tanyaku.

Tante Santi mengangguk. "Apa cukup pake itu aja?" tanyanya tak percaya.

"Cukup. Sisanya biar kita suruh orang buat cari tahu," jawabku, "kalo Tante masih nyimpen buku nikah, lebih bagus lagi. Di situ biasanya juga ada foto."

Tante Santi terperangah. "Kayanya masih ada di rumah," jawabnya sedikit ragu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Catish13
aku biasanya gak baca cerita dgn genre ini, karna banyak yg membosankan dan bikin aku 'mual' (trauma) tapi ini seru
goodnovel comment avatar
Catish13
seru ya ternyataa, kagum deh sama yg bisa bikin cerita dgn flow selembut iniii ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Balada Cinta ShaBar   105. Akbar: Galau

    Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.

  • Balada Cinta ShaBar   104. Alisha: On Fire!

    Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.Astaghfirullah, tobat, Sha.Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.

  • Balada Cinta ShaBar   103. Alisha: Ujian

    Pagi-pagi, Sari udah buru-buru ngedatengin aku pas lagi sarapan. “Mobil hotel sedang dipakai mengantar tamu, Bu. Saya sedang berusaha menghubungi travel untuk meminjam salah satu mobil mereka,” katanya dengan wajah agak cemas. Kayanya takut dimarahin karena ngga bisa ngurus soal mobil doang.Dalam hati, ketaw. Kebayang, dong, gimana kalo yang lagi dilaporin kaya ginian Akbar. Kalo aku, sih, cuma manggut-manggut trus kasih senyum semanis mungkin. Dia pasti udah berusaha keras buat dapetin mobil buat PJS Presdir. “Kalo pake taksol aja, gimana?” usulku.Sari keliatan lega dan ngangguk seneng. “Baik, Bu. Nanti kalo ngga dapat jawaban dari travel, saya akan langsung

  • Balada Cinta ShaBar   102: Akbar: Aaaargh!

    Naila terbahak. "Gayamu, Bang, kaya yang sanggup aja matiin orang." Kubiarkan dia menyelesaikan tawanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya tertawa selepas itu, tetapi pelayan malah menginterupsi dengan meletakkan lemon tea di hadapannya. "Biasanya kamu pesan cappucinno," kataku. "Kopi ngga bagus buat ibu hamil." Aku terdiam. Dia terdiam. Kami bertatapan. "Jadi udah fixed?"

  • Balada Cinta ShaBar   101. Akbar: Bukan Salahmu

    Pikiranku kacau, hilang fokus. Aku harus segera menata ulang lagi isi otak kalau mau tetap on track.Setelah mempelajari gmaps, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ada sebuah taman yang terlihat cukup menarik untuk dijelajahi.Setelah pamit kepada Ibu Topan, aku keluar dengan menautkan ritsleting jaket. Layar ponsel memang menunjukkan bahwa suhu di luar cuma dua belas derajat, tetapi dengan angin yang lumayan kencang, rasanya jadi lebih rendah dari itu, mungkin sepuluh derajat.Alisha pasti sudah menggigil di cuaca sedingin ini. Kulirik ponsel, tak ada notifikasi apa pun. Masih pukul delapan pagi di Yogya, mungkin dia m

  • Balada Cinta ShaBar   100. Akbar: Kesempatan Kedua

    Aku terbangun di atas sajadah dengan selimut menutupi badan. Sepertinya aku tertidur setelah salat subuh dan entah siapa menyelimutiku. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela, menyilaukan mata. Kualihkan pandang ke kolong meja yang gelap. Sinar matahari menghangatkan kuping yang terasa beku.Aku malas bangun. Andai boleh memilih, aku tidak ingin menjalani hari ini.Ayah pasti akan memarahiku kalau bermalas-malasan seperti ini, tetapi dia sendiri ....Argh! Kenapa sulit sekali menerimanya? Baiklah, dia pernah bersalah, tetapi selama dia menjadi ayah, dia telah melakukan segala yang terbaik. Apa itu tidak cukup untuk menerimanya?Kenapa meributkan satu orang pacar Ayah, tetapi memaklumi sepuluh mantan Alisha?Ya,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status