Share

4. Akbar: Puding Kenangan

Menggunakan kalimat bersayap untuk menyampaikan keputusan tentang masa depan. Bodoh sekali!

Amah Hana dan Tante Santi terlihat sangat bahagia. Mereka langsung terlibat percakapan hangat bernuansa nostalgia. "Inget banget waktu acara walimatul 'ursy saya, Akbar tiba-tiba ngilang. Sampe-sampe Bang Karim ikutan turun panggung buat nyariin. Heboh satu gedung, deh, waktu itu," lagi-lagi Amah Hana menceritakan kisah lama itu.

Alisha tampak tak mendengarkan. Dia masih menunduk, khusyuk menyendok nasi uduk di piring.

Naila menendang kakiku agak keras. Dengan ujung dagu, ditunjuknya Alisha yang seolah sedang menyingkir dari hiruk pikuk meja makan.

Kukedikkan bahu, malas. Siapa suruh tak jujur dengan perasaan sendiri!

Kulambaikan tangan pada Pak Ali agar dia mulai menyiapkan hidangan penutup. Dengan cekatan, manajer La Luna tersebut mengambil piring-piring yang telah kosong.

Alisha menyusun sendok dan garpu secara paralel di piring, pertanda ia telah selesai makan. Dia tidak terlihat berselera. Nasi uduk di piring hanya dihabiskan sepertiga, menyisakan dua pertiga bentuk hati yang bubrah. Tahu bacem, daun kemangi, dan ayam goreng, hanya itu yang dimakannya.

Pak Ali menghidangkan puding susu ubi ungu dengan cekatan. "Wah! My favourite!" seru Naila antusias, "makasih, Bang."

Wajah muram Alisha sedikit berubah begitu melihat puding terhidang di hadapan. Perlahan, tangannya menyendok puding susu itu. Gerakan halus tangan itu terhenti begitu sendok masuk ke mulut. Matanya membulat, tak lama kemudian berkaca-kaca.

"Permisi," katanya, menyelempangkan tas kecil di bahu lalu berdiri meninggalkan meja.

Dasar bodoh! Lihat akibatnya ketika mengambil keputusan yang salah.

"Permisi." Aku berdiri, meninggalkan meja makan.

***

Di pintu toilet, terdengar suara isakan perempuan. Sesuai perkiraan, gadis itu menangis. Kusandarkan badan ke dinding merah marun di samping pintu. 

Kuembuskan napas kesal. Harusnya kubiarkan saja dia menerima konsekuensi keputusan. Buang-buang waktu berdiri di sini.

Pintu toilet terbuka setelah agak lama. Alisha keluar dengan wajah tanpa make up. Terlihat lebih segar. Sejujurnya, dia lebih manis begini.

Dia menatapku sebentar kemudian berlalu. "Masih ada waktu," kataku, "pikirkan baik-baik keputusanmu."

Kakinya berhenti melangkah. Berbalik mendekatiku, ia berujar lirih penuh penekanan, "Kalo ngga mau nikah, kenapa ngga kamu aja yang putusin?" Kemarahan terlukis jelas di matanya. Setelah berkata begitu, ia berbalik, meninggalkanku sendiri lagi.

Dasar bodoh!

"Aku ngga pernah ketemu ibuku," kataku menghentikan langkahnya, "Allah manggil dia, bahkan sebelum sempat menyusuiku."

Dia berbalik, menunggu kelanjutan kata-kataku.

"Jadi kupikir, ngga ada ruginya membantu orang lain berbakti kepada ibunya."

Dia masih berdiri di sana, menatapku lekat tak berkedip.

"Tapi itu sebelum aku tahu kamu punya pacar ...."

"Ssst!" Dia buru-buru kembali mendekatiku. "Cuma kamu yang tahu soal Dirga," katanya dengan suara sangat rendah, "dan ngga perlu tambah orang lain lagi!"

Kukedikkan bahu, tak peduli. "Terserah. Ini hidupmu. Aku cuma memperingatkan. Kamu sudah menangis hanya beberapa menit setelah menerima pernikahan ini. Apa kamu mau menjalani sisa hidup seperti ini?"

Dia bergeming.

"Pikirkan lagi putusanmu!" Kutinggalkan dia dan masuk ke toilet.

Sesuatu berpendar di wastafel, sebuah ponsel. 

Nama Dirga tertera di layar. Bodoh sekali, gadis itu meninggalkan ponselnya di toilet umum. Kubiarkan benda pipih itu berpendar dan bergetar hingga berhenti sendiri.

Kutimang ponsel itu. Ada notifikasi panggilan tak terjawab sebanyak tiga kali. Tiga-tiganya dari Dirga. Di bagian paling bawah, tulisan slide to unlock terlihat sangat menggoda. Namun, aku masih menganggap ponsel sebagai barang pribadi, tak selayaknya diutak-atik tanpa seizin si empunya.

Tiba-tiba layar berubah warna, diikuti getar halus yang merambat di tangan. Kemudian nama Dirga kembali tertera di sana. 

Setelah berpikir sebentar, kuputuskan untuk mengusap tombol hijau yang terpampang di layar. Suara seorang lelaki masuk ke telinga. "Ah, akhirnya. Sorry, tadi lagi bantuin Lintang di kamar mandi, jadi ngga bisa bales WA."

Apa aku harus merespons permintaan maafnya?

"Kamu marah, Yang?"

Hmm, apa perlu kuberitahu bahwa saat ini ponsel Alisha sedang dipegang calon suaminya?

"Sorry, aku ngga bermaksud ngebo'ong. Aku cuma ngga bilang kalo puding itu aku beli di La Luna. Abis kayanya kamu seneng banget ngerasa udah dibikinin puding."

Oh, puding itu punya kenangan istimewa rupanya. Menu ini baru diluncurkan akhir tahun lalu. Berarti paling lama hubungan mereka baru berusia sekitar enam bulan, masih baru. 

"Yang? Kamu marah?"

Sebaiknya kumatikan saja. Dia tak perlu tahu bahwa sekarang tidak sedang berbicara dengan kekasihnya.

"Kok, kamu tahu puding itu ada di La Luna? Kamu lagi di La Luna? Tapi barusan aku cek IG-nya, ngga ada pemberitahuan buka."

Tentu saja. Hari ini La Luna buka hanya untuk acara keluarga.

"Kalo kamu ngga mau jawab juga, aku ke La Luna sekarang."

Terserah! Aku tak peduli.

"Yang?"

Kutekan tombol merah. Beralih ke daftar panggilan, hapus panggilan terakhir. Selesai.

Kembali ke meja makan, kuletakkan ponsel di samping piring puding Alisha. Dia tampak terkejut tapi mulutnya tetap lirih mengucap terima kasih. Agak buru-buru dinyalakannya layar kemudian diusap-usapkannya jari di sana. Hanya beberapa detik, lalu dengan wajah sedikit kecewa diletakkannya kembali ponsel di meja.

"Gimana menurutmu, Bar?" Pertanyaan Amah Hana mengalihkan perhatianku. "Sebulan cukup, kan?" tanyanya lagi.

"Sebulan?" Aku tak mengerti topik yang sedang dibicarakan.

Amah Hana membalas santai, "Iya, sebulan buat persiapan pernikahan, cukup, kan?"

Astaghfirullah! Kulirik Alisha. Rona mukanya pun memucat seketika.

"Kan, semua udah siap. Gedung, kita udah ada. Catering, ready. Kalo kamu mau walimahan di kapal pesiar kaya bapakmu juga bisa," lanjut Amah Hana lagi.

Kutarik napas dalam. Itu semua hanya urusan teknis, sama sekali tak masalah. "Apa tidak perlu rembukan dulu dengan ayahnya Alisha?" tanyaku pada Om Karim.

"Ah, ya, benar," sahut Om Karim, "anak perempuan ngga bisa menikahkan dirinya sendiri. Dia butuh wali."

"Apa ngga bisa pake wali hakim aja?" balas Amah Hana enteng.

"Iya, saya juga udah lama ngga berhubungan lagi sama ayahnya Alisha," timpal Tante Santi ketus.

"Bisa saja, tapi aku lebih memilih mengusahakan buat ketemu wali nikahnya dulu sebelum memutuskan pakai wali hakim." Kupandangi semua yang hadir. Tak satu pun tampak berniat angkat bicara. "Kalau semua yang ada dalam daftar wali nikah sudah tidak ada lagi yang bisa menjadi wali, baru kita minta alihkan ke wali hakim."

Kulihat Tante Santi menghela napas. "Tapi saya bener-bener ngga tahu mau nyari ke mana," ujarnya lirih.

"Tante masih ingat nama lengkap dan tanggal lahirnya, kan?" tanyaku.

Tante Santi mengangguk. "Apa cukup pake itu aja?" tanyanya tak percaya.

"Cukup. Sisanya biar kita suruh orang buat cari tahu," jawabku, "kalo Tante masih nyimpen buku nikah, lebih bagus lagi. Di situ biasanya juga ada foto."

Tante Santi terperangah. "Kayanya masih ada di rumah," jawabnya sedikit ragu.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Catish13
aku biasanya gak baca cerita dgn genre ini, karna banyak yg membosankan dan bikin aku 'mual' (trauma) tapi ini seru
goodnovel comment avatar
Catish13
seru ya ternyataa, kagum deh sama yg bisa bikin cerita dgn flow selembut iniii ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status