Akhirnya disepakati bahwa pembicaraan mengenai hari pernikahan ditunda hingga ada kejelasan mengenai ayah Alisha. Kulirik wajahnya. Ketegangan sepertinya telah menguap dari sana.
Lihat saja, bagaimana dia memanfaatkan kesempatan yang baru saja kuciptakan.
Kuputuskan untuk mengantar mereka pulang sekaligus mengambil buku nikah milik Tante Santi. Om Karim beserta keluarga telah lebih dulu bertolak karena harus menghadiri pesta pernikahan seorang kolega.
Baru saja keluar dari kafe, sebuah mobil March merah masuk area parkir. Kulihat Alisha tertegun, dia pasti mengenali mobil itu.
"Ayo, pulang," ajakku, tetapi dia bergeming.
Seorang anak lelaki kecil keluar sambil berlari. "Bu Guru!" serunya menyongsong Alisha.
"Baruna?" balas Alisha, nyaris tak terdengar.
Aku yakin nama yang disebut Dirga saat di telepon adalah Lintang. Kenapa jadi Baruna?
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Alisha lagi, berjongkok hingga tingginya sama dengan anak kecil itu.
"Mau puding!" seru anak lelaki itu semringah. Dengan gembira ia berlari menuju kafe.
Dirga keluar setelah selesai memarkir mobil. Wajahnya memperlihatkan keheranan tingkat tinggi begitu melihatku di samping Alisha. Dia pasti tak diberitahu apa-apa mengenai ta'aruf yang sedang dijalani pacarnya.
Kulirik Alisha yang menatap gelisah. Biar saja dia melihat konsekuensi dari keputusan bodohnya.
Kusodorkan tangan untuk bersalaman dengan Dirga. "Assalamu'alaikum, ketemu lagi, Pak Dirga."
Dia berusaha santai menyambut uluran tanganku. Namun rasa canggung itu tak bisa ditutupi. "Wa'alaikumsalam, Mas Akbar, kan?" balasnya.
Aku mengangguk, sedikit meremas tangannya. "Ya, Akbar, calon suami Alisha."
Sekilas, kulihat Alisha terkejut. Dirga malah lebih parah, mukanya terlihat memucat.
"Yah, tutup!" seru Baruna yang telah berada di depan pintu kafe. Wajah berpipi tembam itu langsung berubah manyun.
Kualihkan pandangan kepada Pak Ali. Tanpa perlu penjelasan apa pun, Manajer La Luna itu sudah paham apa yang harus dilakukan. Dengan setengah bertongkat lutut, ia bicara kepada Baruna, "Mau puding?"
Anak itu mengangguk perlahan.
"Rasanya, saya masih nyimpen di kulkas. Mau?" lanjut Pak Ali lembut.
Wajah muram itu segera berubah cerah. "Mau! Mau!" serunya antusias, kemudian berlari kembali kepada Alisha, "Bu Guru, ayo kita makan puding!"
"Bu Guru mau pulang," potongku cepat.
Air muka anak itu langsung berubah. Alisha melempar tatapan kesal kepadaku, entah kenapa.
Gadis itu berjongkok lagi di depan Baruna. "Ibu pulang dulu, ya. Kapan-kapan kita makan puding sama-sama," katanya disertai senyuman.
"Bungkusin aja buat Bu Guru, ya?" pinta anak kecil itu agak memaksa.
Alisha tersenyum. "Boleh. Makasih, ya." Kemudian mereka berbasa-basi, yang menurutku kelamaan, sebelum akhirnya berpamitan.
***
"Bisa, ngga, sih, ngomong manis dikit? Sama anak kecil, gitu, loh," gerutu Alisha sambil memasang sabuk pengaman.
Kumundurkan mobil untuk masuk ke jalan raya yang ramai.
"Heh, kamu denger, ngga?" lanjutnya masih dengan nada kesal.
"Hm? Bicara denganku?"
"What?" Suaranya mulai meninggi. "Kamu pikir aku ngomong sama dashboard?"
"Syukurlah, ternyata kamu tidak terlalu bodoh."
Kulirik matanya yang membulat kesal. Kenapa dia terlihat lucu sekali dengan ekspresi begitu?
Melalui kaca spion, kulirik Tante Santi di jok belakang. Matanya memejam meski bibir menyungging senyum. Mungkin dia terlalu lelah untuk berkomentar. “Kaki kursinya bisa dinaikkan kalau Tante mau sedikit selonjor,” kataku sambil menunjukkan tombol-tombol yang bisa beliau gunakan agar menjadi lebih nyaman selama perjalanan.
Tak ada kata-kata lagi setelah itu. Tante Santi terdengar mendengkur halus di jok belakang, sementara Alisha mulai menguap-nguap. Hanya tinggal tunggu waktu hingga ia juga tertidur. Pukul dua siang begini memang waktu paling menggoda untuk tidur.
***
"Udah nyampe mana kita?" Alisha bangun sambil mengucek mata.
Kubelokkan mobil ke Jalan Malaka 2. Rumahnya tinggal beberapa meter lagi.
"Wow! Kamu udah tahu rumahku?"
"Jalan Malaka 2, nomor 11. Ada di resume." Tidak juga. Aku tahu rumah di seberang rumahnya, Jalan Malaka 2, nomor 12.
Kuhentikan mobil di depan rumah Alisha. Dia pun membangunkan ibunya sebelum turun dari mobil.
Namun, mataku tak bisa lepas dari rumah di seberangnya. Rumah itu terlihat berbeda. Cat dindingnya telah diubah menjadi biru muda. Pagar kayunya pun telah berganti menjadi besi. Lama sekali tak ke sini lagi. Saat itu umurku baru tujuh belas, berarti sebelas tahun yang lalu.
Kubuka pintu mobil, kulangkahkan kaki ke sana, ke rumah yang dulu kusinggahi tiap hari. "Akbar!" Panggilan Alisha menghentikan langkahku tepat sebelum menekan tombol bel.
Astaghfirullah! Aku salah melangkah.
Seorang lelaki berkaus singlet keluar menenteng plastik sampah hitam. Dia terkejut melihatku.
Aku pun begitu. Cepat-cepat kukuasai diri lagi, mengajukan pertanyaan untuk menutupi canggung, "Maaf, apa betul ini rumah Pak Wondo?"
"Oh, Pak Wondo, yang tinggal di sini dulu, ya? Udah pindah, Mas. Sekarang saya yang tinggal di sini," jawabnya ramah.
"Akbar." Tahu-tahu Alisha sudah ada di sampingku.
Aku pamit pada lelaki berkaus singlet dan berbalik menuju rumah Alisha. Sebelas tahun berlalu, ternyata masih ada yang terasa kosong di hatiku.
"Ngapain kamu?" tanyanya menahan tawa setelah kami duduk di ruang tamu. "Kirain beneran tau rumahku," katanya lagi sambil mengikik. Dia terlihat senang sekali memergokiku zone out beberapa saat.
Tawanya terhenti ketika mamanya datang dengan buku nikah di tangan. "Eh, Icha," sergahnya sebelum duduk, "kok, Mas Akbar ngga dibikinin minum?"
"Oh, iya," Alisha membalas dengan senyum dimanis-maniskan, "mau kopi atau teh, Mas Akbar?"
Mas? Perasaanku jadi tak enak mendengarnya terlalu sopan. "Kopi saja, terima kasih."
Dia pun pamit untuk membuat kopi. Tante Santi menyodorkan buku nikah kepadaku. "Ada fotonya, memang. Tapi foto lama, dua puluh lima tahun yang lalu," katanya.
"Ngga apa-apa," jawabku, "ini sudah ada NIK-nya juga. Bisa lebih mudah. Kuambil gambar buku nikah tersebut dengan ponsel. Buku itu bersih, tak ada catatan apa pun hingga lembar terakhir. "Tante belum bercerai?" tanyaku spontan.
Tante Santi tersenyum halus. "Malas ngurus ke pengadilan. Lagian buat apa? Dia juga ngga pernah nyariin anaknya."
Aku manggut-manggut. Sudahlah, status pernikahan orangtua Alisha memang bukan urusanku.
Alisha datang membawa secangkir kopi, lalu meletakkannya di hadapanku dengan hati-hati. "Silakan, Mas Akbar," ujarnya masih dengan nada dimanis-maniskan.
Suara dering ponsel sedikit mengejutkan Tante Santi. "Maaf, ya, hape Tante bunyi," pamitnya, agak tergesa masuk kamar. Suara tawa renyah kemudian terdengar samar menggantikan dering ponsel.
Kuseruput kopi hangat dari bibir cangkir. Rasanya betul-betul mengejutkan lidah. Perpaduan gila dari pahit kopi ditambah asin garam bercampur banyak sekali micin.
"Gimana rasanya?" tanya Alisha tanpa rasa bersalah.
"Hm, masih bisa diminum."
"Oh, abisin, ya. Jangan mubazir, loh. Mubazir itu, kan, temennya setan," lanjutnya seperti guru TK sedang memotivasi anak-anak untuk menghabiskan bekal.
"Hm. Boleh minta dibungkus? Aku mau balik sekarang."
"Ih, kok, buru-buru, sih? Ngga suka, ya, ngobrol sama aku?" Nada suaranya dibuat seperti anak kecil sedang merajuk. Sedikit menggemaskan sebenarnya, cukup untuk membuatku mengabaikan soal rasa kopi yang amburadul barusan.
"Iya, takut khilaf."
Dia merapatkan bibir dan mengernyit. Mungkin tak paham apa maksudku.
"Tolong sampaikan pada Tante Santi, saya pamit," kataku, berdiri dan keluar.
Di depan pagar, rumah di seberang kembali mencuri perhatian. Ternyata aku belum bisa melupakannya. Dari sini, seolah masih kulihat senyum Zara.
"Nah, ngelamun lagi!" Alisha berseru dari balik pundakku.
Aku berbalik. Di belakang Alisha, ibunya datang menghampiri. "Mas Akbar mau pulang?" ujar Tante Santi berbasa-basi, "buru-buru banget?"
Tanpa menjawab, aku mengangguk mengiakan. Dengan sedikit menunduk kubisikkan satu pesan di telinga Alisha, "Pikir ulang keputusanmu." Kemudian kembali menghadap Tante Santi dan mengucap salam untuk berpamitan.
Tante Santi tampak tertegun. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Sumpah! Aku liat dia senyum! Tipis, sih, tapi yakin, deh, itu senyum! Biarpun cuma dari balik kaca depan mobil, aku ngga mungkin halu buat hal kaya gini. Lagian ngga butuh juga disenyumin sama dia. Justru aneh rasanya ngeliat makhluk kutub itu bisa senyum. "Aha!" Mama ngagetin banget sampe aku hampir kelompat. "Ternyata kamu beneran suka sama Mas Akbar, kan?" "Ish, Mama apa-apaan, sih?" "Nah, itu mukanya merah," ledek Mama sambil ngakak. "Ngga! Merah apaan?" Kuusap pipi. Ngga mungkin mukaku merah. Yang bener aja! "Nah, itu merahnya sampe kuping!" Mama makin semangat ngeledek. Refleks megang kuping. "Apaan, sih, Mama!" Tinggalin aja di teras. Kesel.
Astaghfirullah! Kenapa bisa salah menekan nomor? Kulihat lagi daftar panggilan barusan. Nama Alisha Maharani di urutan teratas. Diikuti Cinta Zara di urutan kedua. Ya Allah! Ada apa dengan diriku? Ponsel di tangan bergetar. Nama Alisha Maharani terpampang di layar. Kutarik napas sebelum menekan tombol hijau. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Enak banget, udah ngebangunin orang, trus dimatiin gitu aja?" "Maaf, silakan tidur lagi," jawabku agak merasa bersalah. "Aku minta kompensasi karena sekarang jadi ngga bisa tidur lagi," lanjutnya seperti pegawai disuruh lembur. "Apa? Bedtime sto
Astaga! Ternyata Akbar chef di sini. Berarti puding itu bikinan dia? Kok, bisa? Jadi selama ini aku salah sangka? Pantesan Dirga ngga pernah mau bikinin puding lagi. Kenapa dia ngga bilang? "Apa Anda tahu bedanya garam dengan gula?" Dirga makin nge-gas. Kutarik lengannya biar duduk aja. Ngga ada gunanya berdebat sama makhluk kutub. Akbar cuma manggut-manggut dari tadi. Gila! Mukanya bener-bener ngga ada ekspresi. Jangan-jangan dia emang bukan manusia, tapi patung es. "Jadi Anda sengaja memasukkan garam ke dalam kopi?" Akbar ngangguk lagi, masih ngga pake ekspresi. "Saya menyajikan kopi kesukaan calon isteri saya, apa itu masalah buat A
Dia menangis seperti anak kecil. Terisak-isak, sesenggukan di lenganku. Tak mungkin tangisan sehebat itu hanya karena film kartun konyol.Pasti karena membiarkan kekasihnya pergi. Bodoh sekali. Jika memang sangat mencintai Dirga, mengapa tidak memperjuangkannya?Suara dehaman Pak Ali mengalihkan perhatian. Entah sudah berapa lama dia berdiri di situ. "Klethikan buat Mbak Naila dan teman-teman sudah habis, Pak," lapornya.Kuanggukkan kepala menerima laporan singkat itu. "Kita bikin stik ubi pakai ubi ungu yang kemarin," tukasku."Baik, Pak." Dengan cekatan, ia mengambil ubi ungu dari kulkas dan mulai mengupasnya."Aku masak dulu," kataku pad
"Syukurlah, lidahmu cukup cerdas," katanya datar.Maksudnya apa coba? Udah gitu langsung pergi aja lagi. Ngga sopan. Padahal aku udah nawarin buat jadi pendengar curhat yang baik. Huh! Kutarik penawaran tadi!Bodi boleh seksi, tapi kelakuan bikin makan hati. Ngomong-ngomong, dia ikut olahraga apa sampe perutnya kotak-kotak gitu. Apa karena jadi chef, makanya roti sobek jadi nempel di badannya?Argh! Sialan! Kenapa tadi malah pake baju di depanku? Jadi ngebayangin kebalikannya, kan? Tutup muka pake tangan.Eh, tanganku masih megang hape. Dia lupa ngambil lagi hapenya. Hehehe, apa perlu aku ceki-ceki?Huahahahaha! Dasar CEO, layarnya pun ngga
Terima, ngga? Kalo diterima, ntar jadi oleng lagi. Kehangatannya, kelembutannya, perhatiannya, ugh, susah ditolak. Gimana, dong?Kalo ngga diterima, ntar marah. Biarpun sebenernya dia ngga pernah marah. Baru tadi ngeliat dia semarah itu. Kesel banget kayanya, padahal cuma kopi doang. Akbar aja dapet kopi kaya gitu bisa tetep kalem. Tapi, patung es ngga bisa dijadiin pembanding, sih. Kayanya dia emang ngga punya perasaan.Getar hape akhirnya brenti. Napasku bisa ngalir lagi. Cuma beberapa detik, trus getar lagi.Ya, ampun! Apa diblokir aja nomernya? Tapi, gimanapun, dia, kan, wali murid, mana mungkin diblokir?Trus? Cuekin aja?Tapi aku juga pengen tahu gimana reaksinya. Lagian, belom ada kata putus yang bener-bener jelas. Kay
Dasar Naila! Dia pikir bisa membodohiku.Kutemui para remaja beranjak dewasa itu. "Adek-adek, sudah selesai belajarnya?"Anak-anak baru lulus SMA itu serempak mengeluh. "Udah capek, Bang. Butuh hiburan, nih. Sekarang aja nontonnya."Hm, ini yang terjadi ketika belajar menjadi kewajiban. "Udah zhuhur. Shalat, makan, setelah itu baru nonton."Mereka bersorak lagi. Tentu saja, hanya Naila dan anak lelaki itu yang diam saling memandang."Musholla ada di kebun belakang, ada keran buat wudhu di sana, tapi tidak ada toilet," jelasku singkat."Oke, Bang!" sahut salah satunya. Tanpa perlu diperintah, para remaja menjelang dewasa ini merapi
"Aku udah milih!" kataku, dikuat-kuatin. Padahal mata udah mau nangis.Ngapain juga Dirga dateng lagi ke sini? Kenapa dia jadi kaya gitu? Dateng-dateng main pukul?"Ayo, shalat," ajak Akbar datar, trus pergi aja, ngga pake nunggu.Aku lagi ngantre toilet. Jadi orang terakhir di antrean itu ngga enak. Terpaksa harus ngantre sendiri.Naila keluar toilet dan langsung pamit ke pintu belakang yang ada di ujung koridor. Aku iyain aja, lagian masih harus ke toilet, kan?Baru aja mau masuk toilet, kedengeran langkah kaki buru-buru. Aku balik dan auto-terpaku. Dirga berhenti selangkah di depanku.Dia juga kayanya terpaku, cuma ngeliatin ngga pake ngomong sedikit pun. Akhirnya kuputus