LOGINSeorang mahasiswi magang yang cerdas dan idealis harus bekerja di bawah pengawasan seorang Asisten Manajer yang dingin, perfeksionis, dan terkenal kejam. Awalnya mereka bertentangan karena perbedaan etos kerja dan kelas sosial, namun perlahan mereka menemukan bahwa di balik profesionalisme yang kaku, ada kerentanan dan ketertarikan yang tak terduga.
View MoreAnya sudah tahu bahwa hari pertamanya di Artha Yudhistira Group perusahaan real estat terbesar di Asia Tenggara tidak akan mudah. Tapi ia tidak menyangka hari itu akan terasa seperti skenario terburuk dari mimpi demam yang ia alami setelah begadang semalaman.
Semua salah taksi online yang tiba-tiba mogok di tengah Jalan Sudirman, salah heels diskonnya yang haknya copot, dan salah dirinya sendiri yang bodohnya lupa mengecek isi tas pagi itu. Ia tiba di lantai 32 tepat pukul 08:05, lima menit terlambat. "Lima menit, Nona," suara bernada es yang menusuk itu datang dari belakangnya, tepat saat Anya baru saja mengatur napas di depan pintu masuk departement SDM. Anya berbalik, jantungnya langsung mencelos ke perut. Di sana, berdiri tegak lurus seperti patung marmer mahal yang baru dipoles, adalah Rio Dirgantara. Rio, Asisten Manajer yang fotonya kemarin ia lihat di intranet, yang terlihat terlalu sempurna untuk menjadi manusia kini jauh lebih mengintimidasi dalam wujud aslinya. Setelan abu-abu gelapnya seperti dibuat oleh penjahit dewa, rambutnya tersisir rapi, dan kacamata berbingkai tipis bertengger sempurna di hidungnya yang mancung. "Ma..maaf, Pak Rio. Ada masalah di jalan. Saya..." "Masalah jalan adalah urusan Anda, bukan urusan perusahaan," potongnya dingin, tanpa jeda, tanpa emosi. "Di kantor ini, ketepatan waktu bukan pilihan, itu kewajiban. Anda di sini bukan untuk magang mencari pengalaman, Anda di sini untuk bekerja. Jika Anda tidak bisa mematuhi aturan sekecil ini, sebaiknya Anda putar balik, sekarang juga." Wajah Anya memanas. Ia tidak suka diremehkan, apalagi setelah ia menghabiskan dua bulan terakhir berjuang mendapatkan posisi magang ini. Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk membayar biaya kuliah semester depan. "Saya mengerti, Pak. Saya janji ini tidak akan terulang lagi," ujar Anya, mencoba mempertahankan nada profesional, meskipun nadanya bergetar. Rio hanya mendengus, seperti ia baru saja mendengar lelucon usang. Ia memberikan tas kerja Anya. "Ruangan Anda ada di deretan sana, di sebelah pantry. Tugas Anda hari ini: merapikan semua berkas klien dari tahun 2018 hingga sekarang, dan menyusunnya berdasarkan abjad dan tanggal akuisisi. Anda punya waktu sampai jam lima sore. Jika ada satu kertas yang hilang, Anda akan langsung saya panggil ke ruangan saya." Mendengar jumlah berkas yang disebutkan Rio, mata Anya membelalak. Ia yakin itu adalah tumpukan kertas yang tingginya mencapai langit-langit. "Tapi, Pak, apakah itu tidak terlalu banyak untuk satu hari?" "Itu adalah tugas yang saya berikan. Jika Anda tidak sanggup, sekali lagi, pintu keluar ada di belakang Anda." Rio tidak menunggu jawaban. Ia membalikkan badan dan melangkah pergi, aura dinginnya meninggalkan jejak yang membuat bulu kuduk Anya merinding. Anya menghabiskan sisa pagi itu terbenam di antara tumpukan kertas berwarna krem yang sudah menguning. Bau debu dan kertas lama menyesakkan paru-parunya. Area kerjanya sekarang terletak di pojok yang dingin, hampir seperti kubikel penyiksaan. Rekan-rekan kerja lain sesekali meliriknya dengan tatapan kasihan. "Hei," sapa seorang wanita muda dengan name tag Dina. Dina adalah staf administrasi senior yang tampak ramah. "Jangan terlalu dipikirkan kata-kata Pak Rio. Dia memang seperti itu. Dingin, tapi sangat efisien. Dia hanya menguji Anda." "Menguji atau menyuruh saya bunuh diri pelan-pelan?" gumam Anya sambil mengelap keringat di dahinya. "Ini berkas empat tahun, Dina. Dia jelas tidak suka saya." Dina terkekeh pelan. "Dia tidak suka semua orang, Anya. Kecuali mungkin dirinya sendiri. Tapi dengarkan saya, jika Anda bisa bertahan di bawah Pak Rio selama tiga bulan magang ini, Anda bisa bekerja di mana saja di dunia." Nasihat itu sedikit melegakan, tapi tidak banyak membantu tumpukan berkas yang menjulang. Saat jam makan siang tiba, perut Anya berteriak protes. Ia memutuskan untuk mengambil kopi terkuat yang tersedia di pantry untuk mengusir rasa kantuk dan lapar. Ia kembali ke mejanya, membawa mug besar berisi kopi hitam pekat. Tepat saat ia ingin duduk, ia melihat Rio berdiri di mejanya. Rio sedang memegang berkas di tangannya—berkas yang ia yakini adalah resume magangnya. "Anya, saya ingin melihat laporan kemajuan berkas..." Rio memulai, suaranya kembali datar dan menuntut. Anya yang terkejut, mencoba meletakkan kopi di meja, tapi sikunya tak sengaja menyenggol tepi mug. BYUURR! Kopi hitam panas itu tumpah. Bukan ke lantai. Melainkan tepat di kemeja putih mahal yang dikenakan Rio Dirgantara. Cairan cokelat pekat itu langsung menyebar di area dada kanannya. Keheningan melanda area kerja. Bahkan keyboard di kubikel sebelah mendadak berhenti berbunyi. Semua mata, termasuk mata Dina, tertuju pada adegan bencana itu. Rio membeku. Ia tidak berteriak, tidak panik, bahkan tidak mengumpat. Ia hanya menatap Anya. Tatapan itu, yang dipenuhi campuran kejutan, kemarahan yang tertahan, dan kekecewaan, jauh lebih mengerikan daripada teriakan. Anya segera menyambar tisu di mejanya dan panik mengusap kemeja Rio. "Ya Tuhan, Pak Rio! Saya benar-benar minta maaf! Saya... saya ceroboh sekali! Biar saya bersihkan. Ini tidak akan..." Rio menarik dirinya dengan cepat, membuat Anya hampir terjungkal. "Jangan sentuh saya," desisnya. Nada suaranya sangat rendah dan berbahaya. Rio mengambil tisu dari tangan Anya, tapi hanya menepuk-nepuk kecil kemejanya, seolah sadar bahwa kerusakan sudah total. "Masuk ke ruangan saya. Sekarang," perintah Rio. Rio berbalik dan berjalan menuju kantor pribadinya, yang terletak di ujung lorong kaca, meninggalkan jejak aroma kopi pekat dan ketakutan yang mencekam. Anya menelan ludah. Ia tahu, jam kerjanya dan mungkin masa depannya akan segera berakhir di dalam ruangan Rio. Ia menghela napas panjang, meremas mug kosong di tangannya, dan berjalan perlahan menuju jeruji kaca Asisten Manajer yang dingin itu. Anya masuk ke kantor Rio. Ruangan itu didominasi warna gelap: meja kayu mahoni besar, dinding kaca yang menghadap langsung ke panorama kota Jakarta, dan satu sofa kulit hitam. Rio berdiri di depan jendela, memunggungi Anya. Ia melonggarkan dasinya, sedikit membuka dua kancing kemejanya yang basah. Pemandangan itu, meskipun seharusnya tidak relevan, membuat jantung Anya berdebar tidak karuan. "Tutup pintunya," kata Rio tanpa menoleh. Anya menurut, menutup pintu kaca berat itu, membuat mereka berdua sepenuhnya terisolasi dari dunia luar. Rio berbalik, tatapannya kini lebih tajam dari sebelumnya. "Anda tahu berapa harga kemeja ini, Anya?" Anya menggelengkan kepala. "Maaf, Pak. Saya akan ganti rugi." "Ini bukan masalah uang," Rio maju selangkah. "Ini masalah profesionalisme. Anda terlambat. Anda merusak properti. Dan sekarang, Anda merusak pakaian kerja saya. Dalam sembilan jam, Anda sudah melanggar hampir semua etika dasar yang harus dimiliki seorang magang." "Saya tahu. Saya benar-benar minta maaf. Saya sangat membutuh..." "Tidak ada yang peduli pada kebutuhan Anda di sini, Anya," Rio memotong, suaranya keras, membuat Anya tersentak. Rio mendekat ke meja, mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya bertumpu pada permukaan kayu mahoni. "Dengar baik-baik. Magang Anda di sini adalah uji coba tiga bulan. Setelah hari ini, saya punya hak penuh untuk mengakhiri kontrak Anda. Dan jujur saja, saya sangat mempertimbangkan untuk melakukannya." Anya merasakan air mata perih di sudut matanya. "Tolong, Pak Rio. Beri saya kesempatan kedua. Saya janji akan bekerja dua kali lebih keras. Saya akan membereskan semua berkas itu dan saya akan ganti rugi kemeja Bapak. Saya... saya sangat membutuhkan pekerjaan ini." Rio menatapnya, matanya yang dingin mencari kebohongan di wajah Anya, tapi yang ia temukan hanya keputusasaan yang tulus. Rio menarik napas, lalu menghela perlahan. "Baiklah. Saya akan memberikan Anda satu kesempatan. Satu. Tapi dengan syarat." Anya mendongak, matanya penuh harapan. "Syarat apa, Pak?" Rio tersenyum sinis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Mulai besok, Anda bukan hanya akan membereskan berkas. Anda akan menjadi asisten pribadi saya. Selama jam kerja, saya akan menjadi kendali tunggal Anda. Anda tidak akan bergerak tanpa persetujuan saya. Saya ingin melihat apakah saya bisa mengubah seorang gadis ceroboh menjadi profesional yang layak. Jika Anda gagal, Anda keluar. Jika Anda berhasil, saya yang memutuskan nasib Anda selanjutnya." Rio maju selangkah lagi, hingga jarak mereka hanya sejengkal. Aroma cologne mahal bercampur kopi pahit kini menusuk indra Anya. "Bagaimana, Anya? Di Bawah Kendali Asisten Manajer, atau di luar sana mencari pekerjaan lain?" Anya mengunci tatapan dengan Rio, merasakan tantangan, ancaman, dan harapan di mata Rio. Ia tidak punya pilihan lain. "Baik, Pak Rio," jawab Anya, nadanya kini tegas, menghilangkan semua getaran. "Saya terima." Anya tidak tahu, bahwa menerima kendali Rio Dirgantara adalah kesalahan terbesarnya, dan juga kesempatan yang akan mengubah seluruh hidupnya.Pagi hari setelah insiden 'tunangan pura-pura' terasa aneh bagi Anya. Hubungannya dengan Rio Dirgantara kini terasa seperti kabel listrik bertegangan tinggi sangat berbahaya, tetapi tidak bisa ia hindari. Perjanjian kemarin malam seharusnya dilupakan, tapi setiap kali Rio keluar dari ruangannya, memori sentuhan Rio saat memasangkan kalung safir kembali terlintas.Rio datang tepat waktu, pukul 07:45, mengenakan setelan charcoal yang membuatnya tampak dingin dan tak terjangkau, kembali menjadi Asisten Manajer yang didominasi logika murni.Ia langsung memanggil Anya.“Anya, kita punya tiga rapat hari ini. Saya tidak mau ada kesalahan. Setiap laporan yang saya gunakan harus sudah diletakkan di sudut kanan atas meja sebelum saya masuk ke ruangan. Dan yang paling penting: jangan pernah lagi mengusik urusan pribadi saya. Apa yang Anda lihat di luar jam kerja adalah rahasia perusahaan,” perintah Rio, tatapannya tajam dan tegas, mengabaikan apa pun yang terjadi semalam.Anya mengangguk, mengam
Anya tahu ia dalam masalah besar. Tatapan Rio di lorong tadi, meski tanpa kata, membawa bobot yang lebih berat daripada omelan keras apa pun. Itu adalah peringatan, pengingat mutlak bahwa ia tidak boleh mengganggu urusan pribadi Rio.Begitu Anya kembali ke mejanya, Rio memanggilnya melalui interkom.“Masuk.”Anya menelan ludah, merapikan kemejanya, dan melangkah ke kantor Rio. Rio sudah kembali duduk di balik mejanya yang besar, memproses laporan dengan kecepatan kilat.“Duduk,” katanya, tanpa mengangkat pandangan dari layar.Anya duduk di kursi tamu, menunggu hukuman.Setelah sekitar lima menit hening—lima menit yang terasa seperti penyiksaan—Rio akhirnya menoleh.“Anda melanggar etika profesional, Anya. Tugas Anda adalah membantu pekerjaan saya, bukan menginterogasi atau mengawasi kehidupan pribadi saya,” Rio memulai, nadanya sangat tenang, yang justru membuat Anya semakin takut.“Maaf, Pak Rio. Itu tidak akan terulang lagi. Saya… saya hanya penasaran,” jawab Anya jujur, menghindari
Setelah melewati hari pertama yang penuh bencana dan hari kedua yang penuh peraturan ketat, hari ketiga di bawah kendali Rio Dirgantara terasa seperti sedang berjalan di ladang ranjau. Anya sekarang resmi dipindahkan ke meja di luar kantor Rio. Posisi baru ini membuatnya merasa seperti ikan mas dalam akuarium terlihat oleh semua orang, tetapi yang paling penting, selalu terlihat oleh Rio.Pagi itu, Rio datang dan langsung memberikan tugas yang aneh."Saya ada pertemuan bisnis penting dengan perwakilan dari Timur Tengah sore nanti. Mereka sangat memperhatikan detail kecil," kata Rio, tanpa membuang waktu. "Tugas Anda bukan menyiapkan berkas, tapi menyiapkan profil lengkap semua kebutuhan spesifik mereka. Apa yang mereka benci, apa yang mereka sukai, dan apa yang harus ada di ruang rapat."Anya mengerutkan dahi. "Maksud Bapak, seperti profil diet atau preferensi minuman?""Lebih dari itu, Anya. Saya tidak mau ada kecelakaan diplomasi. Saya pernah kehilangan kontrak jutaan dolar karena
Anya kembali ke kubikelnya dengan kepala yang terasa dipenuhi udara panas. Rekan kerjanya, Dina, langsung menghampiri dengan ekspresi cemas.“Astaga, Anya! Apa yang terjadi di dalam? Kami semua berpikir kamu dipecat. Kemeja Pak Rio itu...itu pasti harganya setara uang kuliah satu semester,” bisik Dina, matanya melirik waspada ke kantor kaca Rio.Anya menyandarkan punggungnya ke kursi, mengambil napas dalam-dalam. "Aku tidak dipecat. Tapi keadaannya… lebih rumit.""Rumit bagaimana?""Mulai besok, aku bukan hanya mengurus berkas. Aku adalah Asisten Pribadi Pak Rio, di bawah kendali penuhnya." Anya tidak bisa menyembunyikan nada putus asa dari suaranya.Dina terdiam sesaat, lalu matanya membelalak kaget. "Kamu serius? Anya, itu… itu neraka berbalut jas Armani! Dia terkenal kejam pada asistennya. Dia mengganti tiga asisten dalam enam bulan terakhir karena mereka tidak tahan dengan standarnya yang mustahil!"Peringatan Dina membuat perut Anya melilit. Ia sudah tahu Rio Dirgantara terkenal,






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.