Share

Bab 71

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-05-31 23:19:50

Tiga hari setelah percakapan itu, Nayla sudah duduk di ruang rapat yang sama tempat ia dulu mendengar keputusan-keputusan penting keluarga sebagai penonton. Kini, ia duduk di kursi yang dulu kosong—kursi yang ditinggalkan ibunya ketika sakit mulai menggerogoti tubuhnya.

"Proyek pembangunan resort di Lombok mengalami hambatan," lapor Pak Hendro, manajer senior. "Izin lingkungan tertunda karena ada protes warga setempat."

Nayla mendengarkan dengan seksama. Ayahnya tak langsung memberi jawaban, melainkan menatap Nayla. "Apa pendapatmu?"

Semua mata tertuju padanya. Nayla merasakan jantungnya berdetak cepat, tapi ia ingat kata-kata ayahnya: bukan sebagai korban, tapi sebagai pewaris.

"Kita perlu turun langsung," kata Nayla pelan tapi tegas. "Bertemu warga, dengarkan kekhawatiran mereka. Mungkin ada solusi yang menguntungkan kedua belah pihak tanpa mengorbankan lingkungan."

Pak Hendro tampak ragu. "Tapi itu akan memakan waktu dan biaya tambahan, Nona."

"Reputasi keluarga ini dibangun atas k
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 209

    "Mama kamu akan datang besok pagi," jawab Nayla tanpa menatapnya. "Aku akan pulang setelah dia sampai."Galan tersenyum—senyum pertama yang genuine dalam berbulan-bulan. "Thank you.""Don't read too much into this, Galan," kata Nayla dengan suara firm tapi tidak kasar. "I'm here because you're a human being who needs help. Nothing more."Galan mengangguk pelan. "I know. Dan... that's enough."Keesokan paginya. Pukul 7 pagi.Mama Galan tiba dengan mata sembab dan rambut berantakan. Wanita berusia 60-an ini langsung memeluk Nayla sebelum mendekati anaknya."Nayla anak baik, terima kasih ya sudah jaga Galan semalam," katanya sambil menangis."Tidak apa-apa, Bu. Ini yang seharusnya dilakukan."Mama Galan menatap Nayla dengan mata penuh haru. "Galan cerita, dia udah nyakitin kamu bertahun-tahun lalu. Tapi kamu masih mau... masih mau peduli."Nayla tersenyum tipis. "Bu, saya tidak melakukan ini untuk Galan. Saya melakuka

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 210

    Nayla menatap amplop coklat di tangannya dengan perasaan campur aduk. Nama almarhum Bapak Dwipura Santoso tertera jelas di kop surat notaris. Ayah Galan yang selama ini ia kira masih hidup di Malang, ternyata sudah tiada tiga hari lalu."Bapak... kenapa meninggalkan wasiat untuk saya?" tanyanya dengan suara hampir berbisik.Notaris yang lebih tua, Pak Wijaya, menatapnya dengan ekspresi serius. "Sebaiknya Ibu baca sendiri isi suratnya. Tapi sebelumnya, kami perlu konfirmasi—apakah Ibu mengenal baik almarhum?""Saya... saya mantan kekasih anaknya. Galan."Kedua notaris itu saling bertatapan. "Ah, pantas. Almarhum sering menyebut nama Ibu menjelang akhir hidupnya."Nayla merasa dadanya sesak. "Menyebut nama saya?""Beliau bilang, 'Kalau ada apa-apa dengan saya, tolong sampaikan pada Nayla bahwa dia anak yang baik. Dia satu-satunya yang bisa menyelamatkan Galan dari dirinya sendiri.'"Air mata mulai menggenang di mata Nayla. Tanpa kata, ia membuka amplop itu dengan tangan bergetar.Tulisa

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 208

    RSUD Fatmawati, ruang UGD. Jam menunjukkan pukul 7 malam. Nayla berdiri di depan tempat tidur 7, menatap Galan yang terbaring dengan selang oksigen di hidungnya. Wajah pria itu pucat, mata tertutup, dada naik-turun dengan rhythm yang tidak stabil. Bandage menutupi dahinya yang terluka.Dr. Hendra, dokter jaga berusia 40-an dengan kacamata tebal, berdiri di sampingnya sambil memegang clipboard."Kecelakaan motor di Sudirman jam 5 sore," jelasnya dengan suara pelan. "Patah tulang rusuk, gegar otak ringan. Kondisi stabil, tapi perlu observasi 48 jam."Nayla mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari Galan. "Dia... sadar?""Sempat sadar saat dibawa kemari. Terus menyebut nama Ibu sebagai emergency contact. Bilang Ibu satu-satunya keluarga yang dia punya di Jakarta."Nayla menatap dokter itu dengan mata terkejut. "Satu-satunya?""Dia bilang orangtuanya di Malang, tapi... relationship-nya complicated." Dr. Hendra menurunkan suaranya. "Dan dia bil

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 207

    Apartemen sempit Kebon Jeruk. Galan duduk di lantai, punggungnya bersandar ke tembok yang cat putihnya mulai mengelupas. Di pangkuannya, ponsel Samsung lama—hasil jual iPhone 15 Pro Max untuk bayar uang makan sebulan. Layar menampilkan riwayat panggilan: Nayla Andara - 47 missed calls dalam tiga hari terakhir.Tangannya gemetar saat menekan tombol call sekali lagi."Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi..."Nada operator yang sama. Untuk yang ke-48 kalinya.Galan melempar ponsel ke sofa dengan frustrasi. Suara benda itu membentur bantalan lusuh terdengar menyedihkan di ruangan yang hening."Najla..." bisiknya, menggunakan nama panggilan yang dulu hanya ia yang tahu. "Please. Cuma sekali. Cuma lima menit."Tapi tentu saja, tidak ada yang menjawab.Lobby Andara Corporate Center Galan berdiri di dekat pilar marmer putih, mengenakan kemeja putih yang sama sejak tiga hari lalu—satu-satunya kemeja 'decent' yang masih

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 206

    Taman Menteng Central Park, pukul tujuh malam. Lampu-lampu mulai menyala, memantulkan cahaya ke daun-daun yang sebagian telah menguning. Udara malam terasa ringan, membawa aroma rumput basah dan sedikit wangi bunga dari sudut taman. Suara gemericik air mancur berpadu dengan tawa anak-anak di playground, walau perlahan mulai berkurang seiring matahari sepenuhnya tenggelam.Nayla duduk di bangku kayu menghadap kolam kecil. Blazer abu-abu yang ia pakai sejak meeting tadi masih melekat, tapi bahunya kini lebih rileks. Tangannya terlipat di pangkuan, matanya tak lepas dari riak air di permukaan kolam.Dari arah parkiran, Arvino muncul. Ia membawa dua cup kopi kertas, aroma espresso tercium samar di udara dingin. Langkahnya pelan, seolah mempertimbangkan setiap jarak yang ia tempuh.“Latte, extra shot,” ucapnya sambil menyodorkan salah satu cup begitu tiba di bangku itu. Ia duduk di ujung yang lain—cukup dekat untuk berbicara, tapi tidak sampai menyi

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 205

    Lantai dua puluh delapan, Andara Corporate Center.Ruang rapat utama terbentang megah, dinding kacanya menjulang dari lantai hingga langit-langit, memamerkan pemandangan skyline Jakarta yang berkilau di bawah cahaya sore.Di ujung meja panjang dari kayu mahoni mengilap, Nayla duduk tegak. Blazer abu-abu dengan potongan tegas membingkai sosoknya yang memang sudah memancarkan wibawa alami.Di sekelilingnya, lima anggota tim legal dan strategi perusahaan sudah siap. Di antara mereka, David Kusuma, kepala divisi legal, duduk paling dekat. Lelaki empat puluhan itu mengenakan kacamata berbingkai titanium dan membawa setumpuk dokumen tebal. Di sampingnya, Ratna Sari, direktur strategi bisnis, dengan rambut bob rapi dan laptop yang sudah terbuka.David memecah keheningan. Suaranya terdengar profesional, namun ada nada akrab setelah enam tahun bekerja bersama Nayla.“Nay, kami sudah analisis situasi PT Galan Mitra Solusi. Kesempatan sepert

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status