Nayla rela melepas segalanya—kenyamanan hidup, kemewahan keluarganya, bahkan status sosialnya—demi mendampingi pria yang ia cintai, Galan. Sejak awal, Nayla percaya bahwa cinta yang mereka miliki bisa menaklukkan dunia. Ia membantu Galan membangun bisnis dari nol, menjadi kekuatan di balik layar yang tak pernah diperhitungkan. Ia menjual asetnya, meninggalkan keluarganya, dan hidup hemat demi satu tujuan: melihat Galan sukses. Namun, ketika puncak kesuksesan itu akhirnya tercapai, Galan berubah. Lelaki yang dulu begitu bergantung padanya kini bersikap seolah Nayla tak pernah ada. Dengan mudahnya Galan menggandeng wanita lain—putri seorang pengusaha kaya—dan mencampakkan Nayla seakan ia hanya bayangan masa lalu yang memalukan. Hancur, dikhianati, dan dibuang tanpa perasaan, Nayla nyaris kehilangan arah. Tapi takdir punya cara mempertemukan kembali seorang wanita yang tersakiti dengan kekuatannya yang lama dilupakan. Nayla kembali ke pelukan keluarganya, yang ternyata adalah salah satu keluarga paling berpengaruh di negeri ini. Dulu ia memilih menjauh karena ingin membuktikan diri tanpa nama besar keluarganya. Kini, ia kembali dengan satu tujuan: **balas dendam.** Tak lagi menjadi wanita yang mudah ditindas, Nayla bangkit. Ia membangun kembali dirinya—lebih kuat, lebih berkelas, dan lebih berbahaya. Dengan kecerdasan, pengaruh, dan kekuasaan yang ia miliki, Nayla perlahan-lahan menghancurkan dunia yang dibangun Galan. Tapi di tengah pembalasan, Nayla dihadapkan pada dilema yang lebih besar. Di antara dendam dan luka lama, muncul pria lain yang mampu melihatnya sebagai wanita yang utuh—bukan bayangan masa lalu siapa pun. Namun, bisakah cinta baru tumbuh di atas puing-puing pengkhianatan? **“Aku mungkin bukan wanita pertama yang kau lihat saat kau mulai meraih sukses, Galan. Tapi aku adalah wanita terakhir yang akan kau sesali karena pernah kau tinggalkan.”**
Lihat lebih banyakLangit senja memerah ketika Nayla berdiri di depan gerbang rumah megah keluarganya, koper kecil di tangan, dan tekad besar di dadanya. Udara musim penghujan mengembus lembut, membawa aroma tanah basah dan daun jati yang gugur. Rumah itu menjulang seperti istana kecil: pilar-pilar marmer putih, halaman luas dengan kolam ikan koi, dan suara air mancur di kejauhan yang biasa menenangkan hatinya saat kecil. Tapi kini, tak ada ketenangan. Hanya gemuruh batin yang tak bisa ia redam.
Di balik pintu itu, hidupnya selama dua puluh empat tahun bergulir dalam kenyamanan: sopir pribadi yang selalu menunggu di garasi, pelayan yang sigap menghidangkan teh sore di balkon, pesta sosial dengan gaun-gaun rancangan desainer internasional, dan segala fasilitas sebagai putri tunggal dari keluarga Hartono—dinasti pengusaha raksasa yang punya akar kuat di dunia politik dan bisnis.
Namun hari ini, semua itu ditinggalkannya.
"Sudah yakin, Nay?" Sebuah suara lembut terdengar dari arah dalam gerbang. Bu Sari, ibunya, berdiri dengan sorot mata lelah dan pipi yang masih basah bekas air mata. Gaun sutranya yang anggun tampak kusut, kontras dengan penampilannya yang biasanya selalu rapi.
Nayla menoleh, lalu mengangguk. Perlahan tapi pasti. “Sudah, Bu.”
Mereka berdiri dalam diam. Jarak beberapa langkah di antara mereka terasa seperti jurang yang sulit diseberangi. Akhirnya, Bu Sari melangkah mendekat, memegang bahu Nayla dengan tangan bergetar.
"Dia lelaki yang belum punya apa-apa, Nayla. Tanpa pekerjaan tetap. Hidupnya pas-pasan. Tinggal di kamar kos sempit. Apa kau sungguh ingin meninggalkan semua ini... untuknya?"
Nayla menghela napas. Ia sudah mendengar kalimat yang sama ratusan kali dari anggota keluarganya, dari ayahnya yang menentang keras, dari sepupunya yang mengejek, bahkan dari sahabatnya sendiri yang menganggap keputusannya gila.
“Dia tidak punya banyak, Bu. Tapi dia punya mimpi. Dan dia tidak pernah membuatku merasa kecil. Bukankah itu cukup?”
Sang ibu menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan kata-kata yang ingin meledak. "Cinta saja tidak cukup untuk membangun masa depan, Nay. Ayahmu dan aku sudah susah payah menyiapkan segalanya untukmu. Kamu tinggal jalani hidup mapan, tinggal memilih lelaki terhormat yang bisa menyambung garis keluarga kita. Tapi kamu memilih hidup seperti ini?”
“Aku tidak memilih hidup yang mudah. Aku memilih hidup yang benar untukku.”
Jawaban itu mengguncang Bu Sari. Ia mundur selangkah, seperti ditampar oleh keyakinan anaknya sendiri. Hening sesaat. Hanya terdengar suara gesekan roda koper di atas kerikil dan derik pelan pintu gerbang yang terbuka perlahan.
Di kejauhan, mobil tua berwarna biru muda menunggu. Catnya mengelupas sedikit di sisi pintu, dan suara mesinnya batuk-batuk seperti pria tua kelelahan. Tapi di balik kemudi, seorang pria muda tersenyum, memperlihatkan wajah yang penuh semangat meski lelah. Galan.
Nayla tersenyum kecil saat melihatnya. Matanya berbinar, seolah semua keraguan dan luka yang ditinggalkan di belakangnya tak lagi berarti.
“Aku tidak butuh dunia yang indah, Bu,” katanya, menatap ibunya untuk terakhir kali. “Aku hanya butuh seseorang yang ingin membangun dunia itu bersamaku.”
Langkahnya mantap, meski hatinya masih gentar. Ia tahu jalan di depan tidak akan mudah. Ia sudah siap untuk hari-hari tanpa AC, tanpa makanan mahal, tanpa pesta, tanpa nama besar. Tapi ia percaya—cinta dan kerja keras cukup untuk bertahan.
Galan membukakan pintu mobil untuknya, dan saat ia duduk di dalam, tangan mereka saling menggenggam erat.
“Kau yakin?” tanya Galan, setengah takut, setengah bersyukur.
“Aku tidak pernah seyakin ini dalam hidupku,” jawab Nayla. “Kalau pun nanti kau gagal, aku tetap akan bangga pernah memilihmu.”
Mobil itu melaju perlahan, meninggalkan gerbang megah yang perlahan menutup di belakang mereka. Di kaca spion, Bu Sari masih berdiri di tempatnya, tubuhnya membeku, dan mata tertuju pada punggung anak yang pergi membawa setengah dari hatinya.
**
Kos kecil tempat tinggal Galan terletak di gang sempit yang hanya bisa dilewati satu motor. Dindingnya lembab, atapnya bocor di beberapa sudut, dan suara dari kamar sebelah selalu terdengar jelas. Tapi bagi Nayla, tempat itu bukan tempat buangan—melainkan tempat memulai.
Hari pertama, ia merapikan kamar sempit itu, mengganti seprai lusuh dengan yang baru, menata dua cangkir teh di atas meja kecil, dan menempelkan catatan kecil di dinding: "Kita tidak harus besar hari ini, tapi kita tidak boleh berhenti melangkah."
Hari kedua, ia mulai belajar memasak dengan alat seadanya. Galan pulang dengan bau asap dan wajah lelah dari pekerjaan lepas sebagai kurir, tapi tersenyum ketika mencium aroma nasi goreng buatan Nayla.
Hari ketiga, mereka duduk berdua di lantai karena belum punya meja makan, makan sambil berbagi cerita tentang masa depan. Tentang rencana Galan membuka startup kecil. Tentang keinginan Nayla membangun yayasan untuk perempuan muda. Mimpi-mimpi itu belum berwujud, tapi di antara tawa dan bumbu yang terlalu asin, semuanya terasa mungkin.
Namun, dunia di luar tidak sebaik itu.
Keluarga Hartono mencabut seluruh fasilitas. Rekening Nayla dibekukan. Nama baiknya dicoret dari perwakilan bisnis. Sahabat-sahabatnya menjauh. Teleponnya sepi. Dunia yang dulu penuh pujian, kini penuh bisik-bisik dan hinaan.
"Dia pasti sudah gila. Meninggalkan semua kemewahan demi cowok miskin?"
"Kasihan, sudah dicuci otaknya." "Nayla Hartono? Sudah tamat riwayatnya."Galan mendengar semua itu. Diam-diam, ia merasa bersalah. Ia tahu Nayla kehilangan segalanya karena dia. Ia mencoba bekerja lebih keras, mengambil dua hingga tiga pekerjaan dalam sehari. Tapi tetap saja, hidup mereka jauh dari layak.
Suatu malam, hujan deras mengguyur atap kos yang bocor. Nayla duduk di bawah rembesan air, tubuhnya menggigil sambil memeluk lutut. Galan mendekat, membawakan selimut.
“Maaf,” katanya pelan. “Kalau saja aku lebih mampu, kamu tak harus hidup seperti ini.”
Nayla menatapnya. “Aku tahu apa yang kutinggalkan. Dan aku juga tahu kenapa aku memilih tinggal.”
Ia menyentuh wajah Galan, lalu berkata, “Asal kamu tidak menyerah, aku pun tidak akan pergi.”
Hujan terus turun. Tapi malam itu, di tengah gemuruh langit dan atap bocor, Nayla merasa lebih hidup dari sebelumnya. Ia tak lagi menjadi putri kecil yang dilindungi. Ia adalah perempuan yang memilih, melangkah, dan siap menerima risiko dari keputusannya.
Dan itu… adalah awal dari segalanya.
"Aku butuh jujur sama kamu. Dan sama diri aku sendiri."Mereka akhirnya duduk di sofa, dengan jarak yang cukup nyaman. Nayla menarik nafas dalam sebelum mulai bicara."Tadi dia minta maaf. Bilang dia menyesal, bilang dia sadar betapa besar kesalahannya. Dan aku... aku ngomong sama dia dengan tegas. Aku kasih tahu dia bahwa aku sudah tidak butuh dia lagi, bahwa aku sudah punya hidup baru.""Kedengarannya kamu handle dengan baik.""Iya, tapi..." Nayla menggigit bibir bawahnya. "Tapi pulang ke rumah, aku mulai nanya sama diri sendiri: apakah aku benar-benar sudah move on, atau aku cuma jadi kuat karena dendam?"Arvino tidak langsung menjawab. Dia menatap Nayla dengan serius, seolah sedang mencerna pertanyaan itu dengan hati-hati."Dan kenapa pertanyaan itu penting buat kamu?""Karena kalau aku masih hidup dalam bayang-bayang Galan—entah itu dendam, sakit hati, atau apalah—berarti aku belum siap untuk hubungan yang baru. Berar
Nayla sampai di apartemennya pukul sepuluh malam, tas tangan masih menggenggam invitation card acara peluncuran buku yang sudah lusuh karena diremas-remas selama perjalanan pulang. Dia melempar tas ke sofa dan langsung menuju kamar mandi, berharap air hangat bisa membasuh sisa-sisa perasaan yang masih menggumpal di dadanya.Tapi bahkan setelah mandi dan mengganti baju dengan kaos oversize dan celana pendek, rasa tidak nyaman itu masih ada. Seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokan, sesuatu yang ingin keluar tapi tidak tahu bagaimana caranya.Dia berjalan ke dapur, membuat secangkir teh chamomile, berharap bisa tidur lebih tenang. Tapi tangannya gemetar saat menuang air panas, dan dia harus meletakkan cangkir di meja untuk mencegahnya jatuh."Kenapa?" bisiknya pada dirinya sendiri. "Kenapa aku masih terguncang?"Dia pikir sudah cukup kuat. Dia pikir sudah bisa menghadapi Galan dengan tenang, dan memang dia berhasil melakukannya. Tapi sekarang, sen
Seminggu setelah percakapan itu, hidup kembali berjalan normal. Setidaknya, itu yang Nayla coba yakini. Di kantor, dia dan Arvino tetap profesional—presentasi berjalan lancar, meeting dengan klien seperti biasa, dan sesekali bercanda saat beban kerja mulai berat. Tapi ada sesuatu yang berubah dalam cara mereka saling melirik. Sekilas, hampir tidak terlihat, tapi cukup membuat udara di antara mereka terasa lebih hidup.Malam itu, Nayla menghadiri peluncuran buku karya salah satu kliennya di sebuah hotel mewah di kawasan Sudirman. Acara yang sederhana tapi elegan, dihadiri para penulis, editor, dan beberapa pengusaha kreatif. Nayla mengenakan blazer hitam dan celana kulot krem—formal tapi tidak berlebihan.Dia sedang berbincang dengan penerbit tentang strategi pemasaran digital ketika matanya menangkap sosok yang berdiri di dekat meja registrasi. Tinggi, berjas abu-abu, rambut disisir rapi ke belakang. Galan.Jantung Nayla berdetak lebih cepat, bukan karena rindu, tapi karena shock. Dia
Langit Jakarta malam itu menggantung berat, awan kelabu menutupi bintang-bintang. Hujan belum turun, tapi udara terasa lembap, seperti pertanda sesuatu yang belum selesai. Di dalam mobil yang terparkir di depan rumah Nayla, hanya suara mesin AC dan detak jam tangan yang terdengar.Arvino menyentuh kemudi tanpa niat menyalakan mobil. Mereka baru saja pulang dari pertemuan dengan komunitas pelaku UMKM, dan seperti biasa, Nayla duduk di sampingnya, lelah tapi enggan langsung masuk ke rumah. Ada sesuatu yang belum selesai—dan Arvino tahu waktunya sudah dekat."Nayla," suaranya pelan, hampir tenggelam oleh suara kota yang redup di luar, "kalau suatu saat aku ingin lebih dari sekadar rekan kerja... kamu akan?"Nayla tidak langsung menjawab. Tangannya memainkan resleting tas kecil di pangkuannya, matanya menatap ke depan tapi tidak melihat apa-apa. Lalu ia menggigit bibir bawahnya, sesuatu yang hanya dilakukan ketika ia sedang mencoba menahan sesuatu yang rapuh dari jatuh."Aku tidak bisa ja
Pukul delapan malam dan kantor sudah sepi ketika Nayla duduk kembali di meja rapat kecil lantai dua, berkas-berkas kasus klien baru masih berserakan di hadapannya. Di depannya, duduk seorang perempuan muda bernama Siska. Usianya tidak jauh berbeda dengan Nayla saat memulai usaha pertama kali.Tapi malam itu, bukan tentang bisnis atau strategi. Siska menangis pelan, tangannya menggenggam cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh."Dia bawa kabur uang tabungan kami. Semua hasil kerja keras catering kecil itu, hilang dalam semalam. Aku kira kami sedang bangun masa depan bersama... ternyata aku sendiri yang dibangun untuk ditinggalkan," suara Siska bergetar.Nayla tidak langsung menjawab. Matanya terfokus pada ekspresi Siska—patah tapi berusaha tegar. Familiar. Terlalu familiar."Apakah kamu mencurigai dia sebelumnya?" tanya Nayla pelan.Siska mengangguk lemah. "Pernah. Tapi aku memilih percaya. Karena... bukankah itu yang dilakukan pasangan? Saling percaya?"Pertanyaan itu menggema lebih
Hujan mengguyur jendela ruang kerja Nayla dengan ritme yang konstan, seperti ingin menyamakan diri dengan pikirannya yang tak berhenti berputar. Di meja kayu yang biasanya dipenuhi dokumen dan laptop, malam itu hanya ada satu benda yang jadi pusat perhatiannya: sebuah bingkai foto.Foto itu tak baru. Sudut kacanya sedikit retak, dan warnanya mulai memudar. Terlihat Nayla di usia awal 30-an, mengenakan kebaya biru muda, berdiri di samping pria yang sekarang hanya tinggal sebagai bagian dari masa lalu: Adrian.Suara pintu terbuka pelan, lalu tertutup lagi.“Aku ketuk dua kali tadi,” kata Arvino sambil masuk, sedikit basah karena gerimis.“Kamu selalu masuk pelan-pelan, ya,” gumam Nayla tanpa menoleh. Tangannya masih memegang bingkai foto itu, tapi wajahnya tertuju ke luar jendela.Arvino tak langsung menjawab. Ia hanya menarik kursi di seberangnya, duduk, dan memperhatikan wanita yang selama ini ia kenal sebagai pemimpin yang tak gentar bahkan saat diterpa tekanan besar. Tapi malam ini,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen