All Chapters of Balas Dendam Sang Pendamping Setia: Chapter 1 - Chapter 10

26 Chapters

Bab 1 – Aku Dipilih, Lalu Dibuang

Langit senja memerah ketika Nayla berdiri di depan gerbang rumah megah keluarganya, koper kecil di tangan, dan tekad besar di dadanya. Udara musim penghujan mengembus lembut, membawa aroma tanah basah dan daun jati yang gugur. Rumah itu menjulang seperti istana kecil: pilar-pilar marmer putih, halaman luas dengan kolam ikan koi, dan suara air mancur di kejauhan yang biasa menenangkan hatinya saat kecil. Tapi kini, tak ada ketenangan. Hanya gemuruh batin yang tak bisa ia redam.Di balik pintu itu, hidupnya selama dua puluh empat tahun bergulir dalam kenyamanan: sopir pribadi yang selalu menunggu di garasi, pelayan yang sigap menghidangkan teh sore di balkon, pesta sosial dengan gaun-gaun rancangan desainer internasional, dan segala fasilitas sebagai putri tunggal dari keluarga Hartono—dinasti pengusaha raksasa yang punya akar kuat di dunia politik dan bisnis.Namun hari ini, semua itu ditinggalkannya."Sudah yakin, Nay?" Sebuah suara lembut terdengar dari arah dalam gerbang. Bu Sari, i
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

Bab 2 – Kos Sempit, Hati Luas

Kamar itu hanya seukuran 3x4 meter. Lantainya dari keramik kusam yang sebagian sudah retak di sudut-sudutnya. Dindingnya lembab, dengan bercak kehitaman yang tumbuh di pojok atas, pertanda jamur dan kebocoran bertahun-tahun. Bau apek mengambang samar di udara, bercampur aroma minyak kayu putih dan sabun mandi murah yang belum mengering.Suara tetesan air dari kamar mandi kecil di pojok ruangan tak henti-henti, menjadi latar belakang permanen yang mengusik keheningan. Lampu neon yang tergantung di langit-langit berkedip beberapa kali sebelum menyala stabil, memberi penerangan pucat yang dingin.Di tengah ruangan, sebuah ranjang kayu tua berderit saat Nayla menaruh tas ransel kecilnya. Spontan, tangannya menyentuh permukaan kasur yang terasa tipis, hampir tak ada pegasnya. Di atas kasur itu hanya ada satu bantal lusuh dan selimut tipis yang warnanya telah pudar.Namun mata Nayla tidak menunjukkan kekecewaan. Ia mengedarkan pandangan, menyentuh benda-benda seadanya dengan hati-hati. Ada
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

Bab 3 – Pengorbanan Pertama

Pagi itu, sinar matahari belum sepenuhnya menyelinap melalui celah jendela kecil kamar kos mereka. Jam dinding berdetak pelan, menunjukkan pukul 05.12. Udara masih dingin, menyisakan embun di permukaan kaca dan rasa enggan di tubuh siapa pun yang ingin beranjak dari kasur.Tapi Nayla sudah bangun lebih dulu.Dengan rambut digelung seadanya dan kaki telanjang menyentuh lantai yang dingin, ia berjalan pelan ke dapur mungil di sudut kamar. Ia membuka laci kecil tempat mereka menyimpan bahan makanan, mengambil sebungkus mi instan dan dua butir telur yang tersisa.Ia menyalakan kompor portable, mengisi panci kecil dengan air, lalu mulai memasak dengan hati-hati. Tangannya bergerak cekatan, tapi tatapannya penuh kehangatan. Setiap gerakan seperti menyulam cinta ke dalam sarapan pagi.Ia memecahkan telur, mengocoknya dalam mangkuk plastik, lalu menuangkannya ke wajan. Suara desis telur bersentuhan dengan minyak panas menjadi irama pertama pagi itu. Aroma sedap mulai memenuhi ruangan.“Hmm… b
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

Bab 4 – Rintangan Awal, Cinta Tetap Bertahan

Hari-hari berlalu lebih cepat dari yang Nayla kira.Bukan karena waktu bergerak lebih cepat, tapi karena segala sesuatu terasa seperti perlombaan—berlari dari pagi ke malam, dari harapan ke kecewa, dari tawa ke diam. Dan di tengah perlombaan itu, Nayla dan Galan bertahan sebisa mungkin.Setelah pertemuan pertama dengan calon investor yang memberi secercah harapan, Galan mulai tenggelam dalam ritme baru. Ia sibuk menyesuaikan proposal, mengatur jadwal meeting, menghadiri presentasi, bahkan belajar dari nol bagaimana membuat business plan yang sesuai standar pasar.“Nay, aku pulang duluan ya,” ujar Galan pada suatu pagi sambil meneguk kopi instan. “Ada meeting dadakan jam sepuluh.”“Kamu belum makan apa-apa.”“Nggak apa-apa. Nanti beli gorengan di jalan,” jawab Galan cepat sambil menyambar tas kerja lusuhnya.Nayla hanya bisa menghela napas. Ia tahu ini bagian dari perjuangan. Tapi sejak kapan perjuangan membuat seseorang terlihat begitu jauh?**Siang itu, Nayla berdiri di balik meja k
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

Bab 5 – Janji yang Jadi Tumpuan

Ruangan itu tak besar, bahkan lebih mirip aula sewaan untuk seminar kecil daripada acara formal. Tapi malam itu, lampu-lampu gantung berjajar rapi di langit-langit, tirai hitam dipasang untuk menutupi tembok usang, dan di sudut ruangan, sebuah layar proyektor menampilkan logo startup dengan huruf kapital berwarna biru muda: VIVARA.“Visi Baru untuk Era Baru.” Begitu tagline yang tertulis di bawahnya.Galan berdiri di atas panggung kecil berkarpet tipis. Ia mengenakan kemeja putih yang baru saja disetrika Nayla tadi siang, dipadukan dengan jas hitam bekas pinjaman temannya. Tangannya sedikit bergetar saat memegang mikrofon, tapi wajahnya memancarkan semangat dan keberanian.“Selamat malam, semuanya,” ucapnya membuka pidato. “Saya Galan Mahesa, founder dari Vivara Tech. Startup ini belum punya kantor, belum punya tim besar, dan modal kami pun masih terbatas. Tapi kami punya satu hal: keyakinan.”Beberapa kepala di antara audiens mulai menoleh. Di deretan kursi baris ketiga dari depan, s
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

Bab 6 – Wanita Seribu Peran

Jam di dinding berdetak lambat, seakan tahu bahwa malam ini Nayla tak ingin cepat berlalu. Angka digital merah di pojok ponselnya menunjukkan pukul 22.07. Suara mesin jahit manual yang ia gunakan sejak sore mulai melemah. Tangan kanannya terasa berat, jari-jarinya pegal karena menjahit puluhan badge seragam sekolah untuk anak-anak SD di lingkungan sekitar.Benang terakhir ia potong dengan gunting kecil, lalu disusun rapi seragam-seragam itu di atas kursi lipat. Satu pesanan lagi selesai. Satu langkah kecil untuk membayar tagihan listrik minggu depan.Nayla menghela napas panjang. Lehernya kaku, bahunya terasa seperti tertusuk jarum. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding lembab kamar kos berukuran 3x4 itu. Di pojok ruangan, galon air sudah lama kosong. Bahkan suara 'gluk-gluk' terakhir dari dispenser tadi siang masih membekas di kepalanya.“Besok pagi harus angkat galon baru...” gumamnya, matanya mengarah pada botol air minum yang tinggal seperempat.Di sudut ruangan yang lain, Galan
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

Bab 7 – Peluh yang Tak Terlihat

Matahari sudah turun ke balik awan kelabu ketika Nayla berdiri di halte. Udara sore itu padat oleh asap kendaraan dan debu jalanan, membuat napas terasa berat. Di kedua tangannya, ia menenteng dua kantong besar berisi baju pesanan pelanggan onlinenya—masing-masing dibungkus rapi dengan plastik, diberi label alamat tulisan tangan. Tangannya bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena kelelahan.Baru satu jam lalu ia menyelesaikan les privat dengan seorang anak SD. Anak itu sedang persiapan lomba matematika dan Nayla sudah menjanjikan tambahan waktu belajar. Mata dan pikirannya nyaris kosong saat itu, tetapi senyum anak kecil itu menguatkannya.Sekarang, ia harus buru-buru kirim paket ke agen ekspedisi sebelum tutup. Kalau terlambat, rating tokonya bisa jatuh, dan ia tak punya waktu atau tenaga untuk menjelaskan ke semua pelanggan yang mungkin komplain.Di seberangnya, jalanan macet total. Klakson bersahut-sahutan. Bus mini yang ditunggunya belum juga datang. Ia mengusap peluh di dahi
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

Bab 8 – Keringat yang Tak Dianggap

Langit malam menumpahkan hujan seperti kemarahan yang sudah lama dipendam. Petir membelah langit, menyinari jalanan basah tempat Nayla berjalan terseok dengan dua tangan penuh. Tas jinjing di satu tangan berisi paket pesanan, dan tangan satunya menahan kotak makanan yang mulai hancur terendam air.Langkahnya terhuyung saat melewati genangan air. Sepatu kanvas murahan yang sudah usang mengeluarkan bunyi ceplak-ceplok, menandakan bahwa satu-satunya alas kaki itu mungkin tak akan bertahan seminggu lagi.Ia baru saja selesai mengantar paket COD ke seorang pelanggan yang menuduhnya lambat, padahal Nayla sudah menerobos tiga lampu merah dan menumpang ojek online demi sampai tepat waktu. Namun nyatanya, ia tetap dimarahi. Dituduh menipu. Dibentak seolah harga dirinya tak lebih mahal dari plastik pembungkus barang itu sendiri.Tapi Nayla hanya tersenyum, menunduk, lalu meminta maaf. Karena ia tahu, pelanggan puas berarti satu ulasan bintang lima. Dan ulasan itu, bisa jadi harapan untuk hari e
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

Bab 9 – Di Antara Cinta dan Harga Diri

Pagi itu, matahari memancar hangat dari balik jendela kamar kos yang mulai lembap di beberapa sudut. Di dapur kecil, aroma tumisan sederhana menyebar. Nayla mengenakan daster lusuh bermotif bunga, rambutnya dikuncir asal. Di tangannya, sendok kayu bergerak pelan mengaduk telur orak-arik yang dicampur potongan tahu.Meja makan diisi dua piring nasi dan dua cangkir teh manis hangat. Ia mengecek jam dinding—07.18.“Galan belum bangun,” gumamnya pelan. Lalu, seperti biasa, ia membangunkan lelaki itu dengan lembut.Setelah sarapan, Galan berdiri di depan cermin, merapikan kerah kemeja biru langit yang sudah Nayla setrika malam sebelumnya. Ia tampak bersemangat pagi ini—senyum merekah, matanya berbinar.“Aku mau ke coworking space hari ini. Ada acara pitching kecil-kecilan. Kayaknya bakal ketemu orang-orang penting juga,” katanya sambil menyemprotkan parfum.Nayla mengangguk. “Kamu bawa proposalnya?”“Udah. Semua udah siap. Oh iya,” Galan berbalik cepat, “kemarin aku ketemu sama partner bis
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

Bab 10 – Cinta yang Tertatih

Hujan turun perlahan di luar jendela. Tetesannya menari di atas atap seng, menciptakan irama yang dulu bisa membuat Nayla tertidur pulas. Tapi malam ini berbeda. Hujan bukan lagi lagu nina bobo, melainkan denting-denting kesepian yang memantul di dinding hatinya.Di atas ranjang tipis itu, Nayla duduk bersandar pada dinding yang dingin. Tubuhnya lelah luar biasa. Tulang punggungnya nyeri karena duduk terlalu lama menjahit seragam pesanan pelanggan. Tangan kanannya masih terasa panas akibat setrika rusak yang menyemburkan uap tak teratur. Dan di matanya, kelelahan itu tak hanya berasal dari tubuh—tapi dari hati yang mulai retak, perlahan.Ponselnya tergeletak di samping dompet tipis berisi uang kertas lima puluh ribu yang terlipat rapi. Uang itu adalah sisa dari pengiriman paket tadi sore. Nayla ingat betul ekspresi remeh dari ibu-ibu pelanggan yang berkata, “Masa ongkir segini mahal banget, padahal bajunya biasa aja.” Nayla hanya tersenyum, menunduk, dan mengangguk seperti biasa.Lalu
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more
PREV
123
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status