Dada Ben terasa sesak, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia bisa merasakannya. Aura yang sama dalam balutan fisik yang berbeda. Tidak! mata Ben tak akan bisa dibohongi.
"Mungkinkah, wanita itu ...?" Ben tak berani berspekulasi lebih jauh. Ia hanya diam dan terus mengamati. Belum saatnya untuk mengambil kesimpulan. Lebih baik diam dan mengamati.Ketika duduk di mejanya, Ben terus mengawasi Mayyanti. Kewaspadaan dalam dirinya seketika meningkat dua kali lipat. Ada rasa penasaran yang belum terpuaskan dalam diri seorang Ruben."Kau pesan apa, Mayya?" tanya Leo ramah. Ia mengangsurkan buku menu pada Mayyanti."Samakan dengan pesanan Tuan saja," jawab Mayyanti kikuk. Entah mengapa sejak bersirobok dengan Ben, Mayyanti jadi merasa tidak nyaman.Mayyanti dan Leo duduk pada sebuah meja yang berbeda dengan Ben. Membuat Ben lebih mudah mengawasi gerak-gerik mereka dengan lebih teliti. Ben tidak makan, hanya terus me"Dendam itu menghancurkan hati, sebagaimana racun menghancurkan tubuh."Mayyanti memandang Ben aneh. Dalam hatinya ia berpikir, "Bagaimana Ben bisa tahu aku jijik dengan sikapnya barusan? Apakah dia telah mengenaliku?"Ben membalikkan tubuhnya, pria itu memandang Mayyanti dan tersenyum ramah. "Apakah ada yang bisa kubantu lagi?" tanya Ben. "Tidak, Pak Ruben. Semua sudah siap. Te-terima kasih. Permisi," pamit Mayyanti bergegas pergi. Ben tersenyum penuh arti sambil memandang kepergian Mayyanti memasuki klinik kecantikan yang dikelola oleh dr. Patricia. Pria itu kini sudah sangat yakin dengan firasatnya."Instingku tidak pernah salah untuk dapat mengenalimu," desis Ben. Pria itu meregangkan tubuhnya bersiap memejamkan mata.Sementara Mayyanti merasa jantungnya berdebar-debar. Ada banyak kecemasan yang dirasa saat diperlakukan Ben seperti tadi. Untung saja kali ini ia sangat sibuk sehingga tak punya banyk waktu untuk memikirk
"Gue akan memeriksa legalitas hukum status kepemilikan perusahaan. Gue yakin masih ada hak gue di sana," jawab Mayyanti. "Ya ampun, May. Kenapa, kenapa hidup elo bisa serumit ini. Padahal dulu, kita mulai semuanya dengan bahagia. Beneran ya, uang bisa merubah segalanya," keluh dr. Patricia iba. "Enggak apa-apa, Patric. Semuanya sudah terlanjur bergulir seperti ini. Gue harus tuntaskan semuanya. Bagaimanapun sudah terlalu banyak nyawa yang dikorbankan. Andail Leo enggak serakah dan menghancurkan semuanya, mungkin kami enggak perlu harus sampai seperti ini," ujar Mayyanti sambil menatap dr. Patricia nanar. Mayyanti sengaja berjalan memutar agar tidak ada yang mengawasinya lagi. Semenjak kejadian di klinik dr. Patricia, ia merasa semakin banyak mata-mata yang mengawasinya. Di kantor ia melihat Leo telah memeriksa berkas miliknya di bagian personalia. Pria itu juga semakin intens menghabiskan waktu dengan Mayyanti. Entah apa maksudnya. L
"Tidak! Tidak! Jangan! Tolong!" jerit Rosemaya histeris. Wanita tiga dasawarsa itu terbangun dengan wajah kusut masai. Ia mengusap peluh yang menetes di pelipisnya. Membuat anak rambutnya terjuntai basah berantakan."Kau kenapa, Rose?" tanya Leo. Suaminya yang ikut terbangun karena teriakan Rosemaya."A-aku ... aku! Entahlah, Bang! Sepertinya aku mimpi buruk," jawab Rosemaya tergagap. Nyawanya masih belum terkumpul sempurna.Ia memang seperti mengalami mimpi, namun nampak begitu nyata. Ia yakin dirinya belum tertidur dan sedang menyesap minuman hangat di meja makan rumahnya. Namun mengapa tiba-tiba ia terbangun dan sudah bersimbah peluh di atas ranjang tidurnya?"Tidurlah, Rose! Ini masih sangat malam. Kita butuh beristirahat untuk bisa keraktivitas esok hari," ujar Leo. Lelaki itu kembali menarik selimut dan tidur sambil membelakangi istrinya.Ah ... ya! Leo benar, mereka harus segera tidur. Besok adalah hari b
Ada apa sebenarnya?Mengapa akhir-akhir ini Rosemaya merasa hidupnya sedang terancam. Gangguan kecemasan, insomnia dan tak jarang wanita itu mengalami delusi. Melihat bayangan atau kejadian yang tidak nyata. Semacam halusinasi yang berlebihan.Semenjak kematian Welly, Rosemaya memang nampak sangat terguncang. Ia masih menyimpan kecurigaan yang besar bahwa ada orang-orang yang sengaja membunuh putra semata wayangnya itu."Ikhlaskan, Rose. Apapun yang terjadi dalam hidupmu, semua sudah menjadi kehendak sang pencipta," nasihat Bu Widi, ibu kandungnya. Wanita lemah lembut itu terus mendampingi Rosemaya semenjak cucunya meninggal.Bu Widi sengaja datang dari Surabaya untuk menghadiri pemakaman cucunya. Sebagai seorang ibu, ia memahami bahwa Rosemaya, putrinya sedang butuh pendampingan."Aku tidak bisa mengikhlaskannya begitu saja, Bu! Ibu tahu bagaimana aku memiliki Welly. Ibu tahu bagaimana perjuan
Bagaimana selanjutnya kehidupan Rosemaya setelah ditinggal ibunya? Ke mana juga Leo? Mengapa tak mendampingi istrinya yang sedang begitu kehilangan?Tanah pemakaman Welly dan Bu Widi masih basah. Rosemaya bersimpuh dan menangis sejadi-jadinya di antara dua gundukan tanah merah tersebut.Agama memang melarang kita menangisi mereka yang telah berpulang. Akan menjadi pemberat langkah mereka menuju fase kehidupan di alam selanjutnya.Namun kehilangan kali ini adalah pukulan telak yang sangat berat dalam hidup Rosemaya. Perempuan ini harus merasakan duka berkalang nestapa yang mengguncang jiwa. Sungguh begitu dalam kesedihan yang dirasakannya.Dua orang dari sumber semangat hidup Rosemaya telah direnggut paksa dari hidupnya. Mereka pergi dan tak akan pernah kembali."Mengapa semua ini begitu beruntun terjadi padaku? Apa salah dan dosaku, ya Allah," keluh Rosmaya di sela isak tangisnya.
"Cindy! Jemput aku di lokasi yang tadi kukirimkan. Wanita gila itu mulai berbahaya dan menyerangku!"Mata Rosemaya membelalak tak percaya. Leo itu menelepon wanita lain untuk menjemput setelah berkonflik dengannya. Berani betul Leo melakukan hal itu?Apakah dia sudah tidak ingin bersama Rosemaya lagi? Sungguhkah sejijik itu Leo padanya? Salah apa Rosemaya pada lelaki itu?Ketika dahulu seorang Leonardo Suniarta melamarnya hanya dengan modal uang seratus ribu, wanita itu menurut saja. Ketika lelaki itu berkata bahwa dia terpaksa di usir keluarganya yang non muslim karena menikahainya. Rosemaya dan keluargannya menerima pria itu dengan tangan terbuka. Bahkan ayah dan ibu Rosemaya mau menampung pasangan muda itu dalam rumah mereka yang sederhana di Surabaya.Harusnya Leo sama seperti Rosemaya. Turut merasakan kehilangan yang sanga
Hei, apa ini? Benarkah aku gila?"Rosemaya membuka mata dan ia telah berada dalam ruang serba putih dengan bau desinfektan serta obat-obatan yang menyengat. Sebuah tempat yang familiar, namun berbeda dengan kondisi kamar di istananya. Rosemaya menyadari ia tengah berada di tempat lain, bukan di rumahnya."Ah, aku di mana? Pukul berapa ini? Mengapa tak terlihat sinar mentari yang masuk dari sela-sela jendela?" tanya Rosemaya dalam hati.Ia ingin beranjak bangun untuk mengambil wudu serta melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Namun tubuh Rosemaya terasa kaku dan tak bisa digerakkan. Wanita itu yakin saat ini pasti telah subuh atau zuhur."Ah, mengapa tubuhku begitu kaku dan sulit di gerakkaan?" Kembali Rosemaya hanya bisa membatin tanpa bersuara.Dalam ruangan serba putih berukuran 3 x 5 meter persegi itu terdapat semua fasilitas lengkap. Ada televisi yang menyala dan sedang m
Leo menoleh dan memicingkan matanya tak percaya. Apakah Rosemaya, istrinya telah sadar?Perlahan Leo memeriksa tubuh Rosemaya yang terkulai tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Tubuh yang tengah tak sadarkan diri itu tertutup selimut hingga dada. Nampak tenang dan lelap. Sesekali matanya bergerak-gerak."Ah ... mungkin ini fase tidur REMnya. Bisa jadi otaknya aktif bekerja saat mimpi buruk itu kembali mengganggunya," pikir Leo menenangkan diri. Pria itu menghela napas dan meninggalkan Rosemaya di atas ranjangnya.Leo tak curiga meski melihat mata Rosemaya bergerak. Lelaki itu paham betul tentang fase tidur seseorang. Pada fase REM (RapidEyeMovement), mata akan bergerak-gerak akibat aktifitas otak dan detak jantung yang meningkat.Lelaki itu lalu memeriksa ke sekeliling ruangan untuk melihat benda apa yang