SALIRA hidup dalam bayang-bayang tragedi. Ayahnya tewas misterius, ibunya hancur, dan dunia yang ia kenal berubah jadi gelap. Semua jejak mengarah pada satu nama: ELANG GANENDRA, bos mafia paling ditakuti di Jayapuri. Dengan rencana terancang, Salira mendekati Elang. Namun satu malam yang seharusnya jadi awal kehancuran pria itu... justru mengubah hidup Salira selamanya. Ia hamil—oleh pria yang paling ingin ia hancurkan. Dalam dunia di mana cinta dan dendam berjalan beriringan, siapa yang akan tetap berdiri ketika kebenaran akhirnya terungkap?
view moreSalira menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi itu dengan napas tak teratur.
Kemeja putih milik Elang yang ia kenakan masih setengah terbuka, meningalkan bercak merah di leher dan dada—bekas ciuman atau mungkin gigitan. Kakinya terasa lemah. Bukan karena takut, tapi karena sensasi yang masih tersisa di setiap inci tubuhnya.
Malam itu telah membakar tubuhnya dalam ledakan gairah yang tak terhitung jumlahnya. Tapi bukan itu yang membuat matanya memerah.
Sebuah pistol hitam legam kini tersembunyi rapat di dalam tas makeup kecilnya.
Ia telah mencurinya. Tepat saat Elang tertidur, karena kelelahan usai mengguncang tubuhnya berkali-kali di ranjang mewah itu. Diam-diam Salira membuka laci meja berkode, yang sudah ia hafalkan dari pantulan cermin di kamar, ketika Elang menyimpan senjata itu. Ia tahu persis apa yang ia cari.
Dan kini, benda itu ada di tangannya.
Namun dada Salira terasa sesak, tertahan oleh pengorbanan yang ia lakukan hingga harus sejauh ini. Sebenarnya, ia bisa menghabisi Elang saat itu juga, dengan pistol yang baru saja ia curi. Satu tarikan pelatuk, dan semuanya selesai. Tapi itu akan terlalu mudah bagi Elang. Ia ingin melihat pria itu hancur berkeping-keping, merasakan penderitaan yang dalam, bukan hanya mengakhiri hidupnya dengan cepat.
“Sudah mau pergi, hm?”
Suara berat itu menghentak keheningan. Salira berbalik cepat. Diam-diam ia mendorong jauh tas makeup kecilnya. Berusaha menyembunyikannya dari Elang.
Elang berdiri di ambang pintu dengan tubuh setengah telanjang, hanya mengenakan celana panjang hitam. Memperlihatkan dada bidang dengan tato mawar artistik menghiasi sisi lehernya. Gurat tinta itu menjalar ke lengannya yang berotot, seperti lukisan hidup yang sarat akan makna. Dan di punggungnya yang tegap, seekor elang terukir megah—simbol kekuatan, sekaligus penanda siapa dirinya.
Tatapannya tajam, namun senyumnya menuntut. Ia seperti binatang buas yang baru saja kenyang, tapi belum ingin melepas buruannya.
Salira tersenyum kecil, mencoba menguasai dirinya.
“Waktuku sudah habis, Elang.”
Elang mendekat, satu tangannya menyentuh dagu Salira, mengangkatnya perlahan. Memaksa wanita itu menatap matanya.
“Di luar masih gelap. Untuk apa buru-buru?”
“Walau masih gelap, tapi ini sudah pagi.”
Elang menyentuh bibir Salira, dan membelainya perlahan. “Kamu bukan wanita biasa, Salira...” lalu ia mulai bergerak ke lehernya.
Salira tak menjawab. Ia tahu itu benar. Ia memang datang bukan sebagai wanita biasa.
Ia datang sebagai kehancuran yang dibungkus parfum mahal dan senyum lembut menggoda.
“Sebaiknya aku pulang sekarang.” ucapnya pelan, menghindari ciuman yang hampir mendarat di lehernya.
Namun Elang tak melepaskannya begitu saja. Ia mengangkat tubuh Salira dengan mudah, meletakkannya di atas wastafel. Kemudian, bibirnya kembali mencium bibir Salira. Awalnya lembut, tapi segera berubah menjadi ciuman yang menuntut, seperti ada keinginan yang membara dalam diri pria itu.
Salira terengah, tubuhnya mulai merespons tanpa bisa menahan. Ia mencoba untuk mendorong dada Elang dengan satu tangan.
“Hentikan, Elang,” ucapnya, berusaha mengendalikan gejolak dalam dirinya.
Elang tertawa pelan, rendah. “Kenapa? Biasanya para wanita memohon padaku untuk tinggal lebih lama.”
Salira membalas dengan senyum sinis. “Oh ya? Kau sendiri kan yang bilang aku bukan wanita biasa. Jadi jangan samakan aku dengan mereka.”
Dia menatap Elang dalam-dalam, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu.
“Sulit untuk berhenti memikirkanku. Dan aku tidak mau merusak kenangan semalam. Aku ingin mengenangmu dalam versi terbaikmu.”
Salira memberi ciuman singkat yang penuh hasrat. Elang kehilangan kesabaran.
“Aku bisa selalu jadi versi terbaik untumu.”
Ia segera menyentakkan kemeja Salira hingga terlepas, kemudian membawanya ke kamar mandi dengan bagian atas Salira yang kembali polos.
“Mandi bersamaku,” bisiknya, suaranya tegas dan penuh godaan.
Air hangat dari shower mulai mengalir. Di bawah guyuran itu, tubuh mereka kembali berpadu. Ciuman Elang semakin mendalam, sentuhan tangan pria itu menjelajahi setiap inci kulit Salira tanpa ragu. Desahan-desahan kenikmatan mulai terdengar. Dan Salira, meski berusaha mengendalikan diri, tidak bisa menahan dari hasrat liarnya.
Tak berhenti sampai di situ, Elang membopong Salira ke dalam bathtub yang dipenuhi air hangat. Dalam ruang yang sempit itu, mereka semakin tenggelam dalam gelora hasrat. Di sanalah petualangan panas mereka berlanjut.
Salira harus bisa tetap berpikir jernih, walau kenikmatan yang Elang berikan mampu memberikan sensasi luar biasa padanya, dan membuat pandangannya berkabut.
“Kau ingin aku berhenti?” bisik Elang, suaranya menggoda, namun penuh tantangan.
Salira memejamkan mata, bibirnya bergetar. “Jangan,” desisnya, “Jangan berhenti.”
Elang tersenyum puas, ia kembali menghujami Salira dengan kenikmatan tak terbatas.
Salira mengambil alih. Ia duduk di atas Elang, tangan-tangannya memegang erat pundak pria itu, dan bibir mereka kembali saling menyatu dengan api yang tak bisa dipadamkan.
Salira memimpin permainan itu, menggoyangkan dunia kecil mereka dalam bathtub yang sempit, namun terasa luas oleh gelora yang membara di antara mereka. Hingga akhirnya, ia merasakan sesuatu mengaliri tubuhnya. Kehangatan yang tak hanya membungkus raga, tapi juga mengetuk hati yang selama ini beku.
Salira menjatuhkan tubuhnya ke dada Elang yang hangat. Napasnya masih tersengal. Elang menyambutnya dengan elusan lembut di punggung, mengecup pelan lehernya, lalu menyentuhkan bibirnya di bahu telanjang wanita itu.
“Tetaplah di sini, Salira. Jadi milikku,” desah Elang, suaranya serak penuh kepuasan. “Aku bisa melakukan ini bersamamu, sepanjang hari.”
Salira hanya tersenyum. Senyum getir yang tersembunyi di balik kehangatan pelukannya. Ia bersandar di dada Elang, namun matanya menyimpan sorot yang berbeda. Dendam yang belum padam. Tapi saat ia menengadah menatap pria itu, bibirnya justru melengkung dalam senyum lembut.
“Memangnya kau mau menikahiku?” bisiknya menggoda.
Elang menatap langit-langit sejenak, lalu berkata datar, “Pernikahan tidak cocok dalam duniaku.”
“Dan aku juga tidak minat terjebak dalam duniamu,” sahut Salira ringan. Ia mengecup pipi Elang sekilas, lalu bangkit. Tangannya meraih handuk, membalut tubuh polosnya dengan elegan.
Tatapan Elang tak beranjak dari dirinya. Matanya mengikuti setiap gerakan Salira dengan intensitas yang sulit dijabarkan.
“Tinggalkan nomor rekeningmu di meja. Orangku akan mengurus sisanya,” ucapnya tanpa nada, seperti sebuah kebiasaan.
Salira menghentikan langkah, lalu duduk di tepian bathtub. Senyum menggoda terbit di wajahnya saat ia menatap Elang. Pria itu mengulurkan tangan, mengelus pahanya, turun perlahan ke betis.
“Aku bukan gundikmu, Elang. Aku lebih suka menyebut semalam sebagai... hubungan menguntungkan antara dua orang asing,” katanya sembari mengedipkan mata.
Ia berdiri lagi, melangkah ringan menjauh, meninggalkan jejak aroma sabun dan misteri. Senyum tipis terbit di wajahnya—nyaris tak terlihat, namun cukup bagi mereka yang jeli menangkap isyarat.
Elang hanya tersenyum tipis. Ia tahu, perempuan itu tak akan mudah dilupakan. Hanya Salira yang sanggup menyalakan sisi liar dalam dirinya.
Dengan gerakan tenang, ia membuka ruang rahasia di sisi bathtub. Di dalamnya, tersimpan sepucuk pistol lain miliknya dan sebungkus rokok. Ia mengambil satu batang, menyulutnya, dan mengisap dalam-dalam—seolah ingin mengendapkan rasa yang tak pernah selesai. []
Hening. Tak ada lagi langkah kaki. Tak ada suara.Salira menahan napas, lalu perlahan melangkah keluar dari persembunyiannya. Bayangan dinding masih menyelimuti separuh tubuhnya, tapi ia tahu waktunya untuk bergerak.Matanya menyapu sekeliling. Sepi. Aman—setidaknya itu yang ia kira.Satu langkah. Dua langkah.Lalu suara itu datang, menghantamnya dari arah belakang. Suara yang dulu pernah ia dengar sekilas, saat ia meninggalkan mansion Elang.“Kau mau ke mana, Salira?”Pram. Salah satu anak buah Elang yang paling loyal.Salira membeku, enggan menoleh. Insting bertahan hidupnya lebih kuat. Ia langsung berlari. Sekencang yang ia bisa.Suara langkah kaki menyusul cepat di belakangnya. Lalu teriakan menggelegar.“Jangan kabur, pencuri!”Kengerian merambat di tulang punggungnya. Salira menoleh sesaat—bukan hanya Pram. Tiga, mungkin empat orang ikut mengejar.Tak peduli napasnya memburu atau dadanya nyeri sekalipun, ia harus terus berlari. Tapi ketika berbelok di tikungan gelap menuju mulut
Di dalam ruang kerja bergaya kolonial yang penuh ukiran kayu jati dan aroma tembakau tua, Darmadi Wijaya duduk menghadap jendela besar yang membingkai taman kecil. Kedua tangannya mengepal di atas meja, dengan urat-urat yang menegang. Napasnya pendek-pendek, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar amarah.Suara laporan terakhir masih bergema di kepalanya.“Putra Anda, Pak. Tewas di tempat. Satu peluru bersarang di leher, dua di dada.”“Sidik jari ditemukan di senjata—kami sedang menelusuri pemiliknya.”Elang.Nama itu berputar di benaknya, bukan lagi sebagai pesaing—tapi sebagai kutukan. Dulu, Elang hanyalah bayangan muda dalam rapat-rapat kartel. Anak muda berani dengan mata yang terlalu tajam untuk usianya. Sekarang, bayangan itu telah tumbuh menjadi monster besar, tak terkontrol. Yang kini telah merenggut sesuatu yang tak bisa diganti.Langkah kaki mendekat dari belakang. Kinanti, istrinya, masuk. Mata perempuan itu sembap, wajahnya pucat, tapi nadanya tajam.“Ada perkembang
Malam penembakan Arman...Warung tua itu nyaris tak terlihat dari jalan utama seolah ditelan malam. Cat dindingnya mengelupas, lampunya redup. Tapi Salira tahu, tempat ini bukan sembarang tempat. Ini tempat pertemuan diam-diam, bagi orang-orang seperti Arman Wijaya.Orang yang merasa kebal hukum. Orang yang pernah menghancurkan hidupnya.Sudah berjam-jam Salira menunggu di dalam warung tua itu. Menunggu umpan berdarahnya. Hingga tak lama, sebuah mobil hitam datang, dan berhenti tepat di belakang warung.Salira mengintai. Umpannya datang sendirian.Ponselnya bergetar. Ia melihat pesan masuk dari Arman.Aku sudah di lokasi. Salira lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar di aspal lembab. Topi masih menutupi wajah, masker belum ia lepas. Ransel di punggung, berat dan dingin. Kedua tangannya mengenakan sarung tangan.Pintu mobil dibuka. Seorang pria berbadan besar dengan jam tangan mencolok dan jas tipis abu-abu keluar dari sana.Arman Wijaya.Ia
Pintu kamar terbuka dengan hentakan. Elang melangkah masuk, hampir setengah berlari. Tak ada waktu untuk berpikir. Hanya satu hal memenuhi kepalanya—pistol itu.Langkahnya berat tapi cepat, sepatu mahalnya menghentak lantai marmer. Memantulkan gema di dinding kamar luas dan dingin. Elang menuju meja kerja di sudut ruangan. Napasnya mulai tak teratur. Tangannya gemetar sedikit saat meraih laci bagian bawah. Laci yang hanya dia seorang yang tahu kodenya.Tiga digit kombinasi. Klik. Lalu Elang menariknya.Kosong.Beberapa lembar dokumen masih rapi. Sebotol pelumas senjata masih ada. Tapi Glock-19 hitam miliknya—yang didesain khusus dengan inisial ‘E’ terpatri di gagangnya—menghilang.Elang membatu sejenak. Lalu...BRAK!Tangannya menghantam tepi meja. Laci dibanting kembali masuk dengan dentuman logam menghantam kayu. Napasnya semakin memburu. Rahangnya mengatup kuat. Sumpah serapah meledak dari bibirnya.“Brengsek!!”Tiba-tiba, suara dalam kepalanya menggema. Ucapan Rahardian saat menel
Elang terbangun lebih pagi dari biasanya.Biasanya, tidur adalah tempat ia lari dari kenyataan. Tapi pagi ini, justru kenyataan yang mengusiknya keluar dari gelap.Malam itu masih terekam jelas—panas, liar, dan... anehnya, penuh sesuatu yang tak bisa ia beri nama. Salira bukan seperti perempuan lain yang pernah menghangatkan ranjangnya. Ia bukan wanita hotel. Ia bukan pelarian sesaat.Ia berbeda.Dan entah bodoh atau jenuh, Elang membawanya pulang.Ke ranjangnya.Ke mansion-nya.Ke ruang yang tidak pernah disentuh siapa pun, bahkan anak buahnya sendiri.Elang mengerjapkan mata, duduk di tepi ranjang dengan napas berat. menyalakan rokok, dan menatap ruangan dalam diam. Ia bukan pria yang peduli soal perempuan pergi begitu saja. Tapi kali ini ada sesuatu yang mengganggu.Apa yang terjadi padaku?Pertanyaan itu mengganggu, tapi harus dikubur. Tak ada ruang untuk perasaan dalam bisnis ini. Apalagi hari ini, pekerjaan besar menantinya.Ponselnya berbunyi. Gani mengirim pesan singkat.Perte
Salira dengan cekatan membereskan barang-barangnya. Tangannya menggenggam erat tas makeup—tempat ia menyembunyikan pistol milik Elang, yang diam-diam berhasil ia curi. Setelah memastikan penampilannya rapi, ia melangkah keluar dari kamar megah itu tanpa menoleh ke belakang.Di depan mansion, Pram—anak buah Elang—sudah menunggunya. Ia membukakan pintu mobil dengan sopan. Salira masuk tanpa sepatah kata pun, lalu menatap pantulan bayangan rumah itu di kaca jendela. Mansion megah, dingin, dan gelap. Penuh rahasia yang tak tertebak.Mobil melaju perlahan disupiri oleh Gani—anak buah Elang yang lain. Pagi masih diselimuti kabut. Salira duduk diam, kedua tangannya bertumpu di atas tas makeup yang menyimpan pistol milik seorang raja kriminal.Tatapannya menusuk jauh ke depan. Dendam yang ia simpan nyaris mendidih di balik ketenangannya. Satu langkah telah ia taklukkan. Tapi ini baru permulaan.Setelah diturunkan di Simpang Lima oleh Gani, Salira berdiri sejenak di tepi trotoar. Matanya koson
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments