Beberapa minggu setelah mereka setuju untuk menjalani peran sebagai pasangan kontrak, Galendra dan Sera menghadiri sebuah pesta malam gala yang bergengsi di kota. Acara ini dihadiri oleh para elit bisnis dan tokoh masyarakat, menyediakan platform yang sempurna bagi mereka untuk memperkuat citra mereka sebagai pasangan yang solid.
Di atas tangga masuk, Galendra memberikan tangannya kepada Sera dengan penuh keanggunan, seperti pasangan yang benar-benar terbiasa dengan sorotan publik. Sera mengenakan gaun hitam yang elegan, sementara Galendra memakai setelan jas hitam yang memancarkan kepercayaan diri dan kekuasaan. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam ruang pesta yang gemerlap, di mana lampu-lampu gantung kristal memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Tamu-tamu lain memperhatikan mereka dengan rasa ingin tahu, sebagian besar penasaran tentang pasangan baru ini yang terlihat begitu cocok bersama. Saat mereka berdiri di tengah-tengah ruangan, Galendra memegang gelas sampanye dengan elegan dan tersenyum pada Sera. "Kamu terlihat luar biasa malam ini, Sera." Sera membalas senyumnya, meskipun dalam hati masih ada kekhawatiran dan ketidakpastian tentang peran yang mereka mainkan. "Terima kasih, Galendra. Kamu juga terlihat sangat berkelas." Seorang tamu mendekati mereka, seorang pengusaha terkenal dari kota itu, dan mengulurkan tangan kepada Galendra. "Galendra, Sera, senang bertemu dengan kalian. Saya mendengar banyak tentang kolaborasi bisnis baru kalian. Sungguh menarik!" Galendra menyambut dengan ramah, menggenggam tangan tamu tersebut dengan mantap. "Terima kasih, Pak Widodo. Kami senang bisa hadir malam ini." Obrolan mereka terus berlanjut, dengan Galendra dan Sera terlibat dalam percakapan yang santai namun tajam tentang tren bisnis terbaru dan proyek-proyek mereka. Mereka berdua saling melengkapi dengan baik: Galendra menunjukkan kepemimpinan dan wawasannya dalam dunia bisnis, sementara Sera menambahkan nuansa kehangatan dan kecerdasan emosional dalam setiap interaksi. Saat malam berlanjut, Sera merasa semakin nyaman berada di samping Galendra. Meskipun semuanya terasa seperti permainan, dia merasakan bahwa ada kekuatan di balik hubungan mereka yang mungkin lebih dari sekadar kontrak bisnis. Ketika akhirnya mereka meninggalkan pesta, Sera dan Galendra kembali ke mobil Galendra yang mewah. Di dalam, mereka duduk dengan diam sejenak sebelum Galendra memulai pembicaraan. "Sera, bagaimana perasaanmu setelah malam ini?" tanya Galendra dengan lembut. Sera menatap ke luar jendela sejenak, mencoba merangkum semua pengalaman malam ini. "Ini semua masih terasa surreal bagiku, Galendra. Tapi aku percaya bahwa kita bisa melakukannya dengan baik bersama." Galendra mengangguk, senyumnya hangat. "Aku juga percaya itu. Kita mulai dengan baik, dan aku yakin kita bisa mencapai tujuan kita dengan kerjasama ini." Sera menoleh kembali ke arah Galendra, matanya penuh dengan tekad. "Kita akan melakukan ini bersama-sama." Mereka berdua menatap satu sama lain, merasakan bahwa langkah mereka malam ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar permainan bisnis. Bagi Sera, ini adalah peluang untuk membalas dendam dan mendapatkan kembali kekuatannya. Bagi Galendra, ini adalah tentang membangun reputasi dan mencapai tujuan ambisiusnya. Dengan hati yang berdegup kencang, mereka melanjutkan perjalanan mereka sebagai pasangan kontrak, tidak sadar akan rintangan dan cobaan yang akan menanti mereka di masa mendatang. Malam itu, di restoran yang elegan dan tenang, suasana terasa tegang ketika Sera dan Galendra tiba bersama. Mereka duduk di meja yang terletak tidak jauh dari Arga, yang duduk dengan seorang wanita muda yang tampak sopan namun tegang di sebelahnya. Sera mengenakan gaun hitam yang elegan, sementara Galendra memakai setelan jas abu-abu gelap yang mencerminkan keanggunan dan kepercayaan diri. Arga, yang terkejut melihat Sera bersama Galendra, mencoba untuk menyembunyikan rasa tidak nyamannya di balik senyuman yang kaku. "Sera, siapa orang ini?" tanyanya dengan suara yang mencoba untuk tetap tenang meskipun jelas terlihat ada ketegangan di matanya. Sera, dengan sikap tenang dan mantap, menatap Arga dengan tatapan tajam. "Ini Galendra," jawabnya singkat namun jelas. "Calon suamiku." Arga menatap Galendra dengan pandangan yang sulit dipahami, mencoba untuk menutupi rasa kesal dan kecewa yang muncul. Dia merasa seakan-akan Sera sedang mencoba untuk menyakiti perasaannya dengan memperlihatkan kemesraan dengan Galendra di depannya. Namun, dia sadar bahwa perasaannya tidak bisa diungkapkan dengan terbuka di tempat umum ini. Anissa, wanita di sampingnya, mencoba untuk meredakan ketegangan dengan tersenyum ramah kepada Sera dan Galendra. "Senang bertemu dengan kalian berdua," ucapnya dengan nada yang berusaha untuk tetap santai. Galendra, dengan sikap yang tenang dan santai, menyambut sapaan Anissa dengan sopan. "Sama-sama, senang bertemu denganmu juga, Anissa." Sera, sambil mengambil gelas anggurnya dengan anggun, merasa kepuasan dalam dirinya. Dia tahu bahwa kehadirannya dengan Galendra di sini tidak hanya menunjukkan kedekatan mereka, tetapi juga memberinya kesempatan untuk menunjukkan kepada Arga bahwa dia telah bangkit dan menemukan kebahagiaan yang baru. Percakapan di meja terus berlanjut, walaupun suasana tetap terasa tegang di antara mereka. Galendra dengan bijaksana memimpin obrolan, mencoba untuk menjaga agar percakapan tetap ringan dan santai. Ketika makan malam mendekati akhirnya, Arga menemukan momen untuk bertanya lagi pada Sera, meskipun dengan suara yang sedikit tegang. "Galendra, apa yang membuatmu begitu spesial bagi Sera?" Galendra, tanpa merasa terganggu dengan pertanyaan itu, menjawab dengan sopan dan tegas. "Sera wanita yang baik dan menyenangkan.Dia begitu spesial dan istimewa!" Arga menelan ludah, merasa tidak puas dengan jawaban itu namun juga tidak bisa menunjukkan amarahnya secara langsung. Dia merasa bahwa Sera sedang berusaha untuk melukainya dengan menunjukkan hubungan dekatnya dengan Galendra di hadapannya. Sera, sambil memperhatikan reaksi Arga dengan hati-hati, menyadari bahwa dia telah berhasil mempengaruhi perasaan mantan suaminya itu. Dalam dirinya, dia merasa sedikit lega, mengetahui bahwa dia tidak lagi terjebak dalam perasaan terpuruk yang pernah dia alami. Ketika saatnya untuk berpisah di akhir malam, mereka saling bertukar senyum dan kata-kata perpisahan yang sopan. Sera berdiri dengan kepala tegak, merasa bangga dengan dirinya sendiri karena telah melewati pertemuan ini dengan tenang dan dengan kekuatan yang baru ditemukan. Mereka berdua keluar dari restoran dengan langkah mantap, udara malam yang sejuk memberikan mereka rasa lega setelah pertemuan yang intens tersebut. Sera melirik ke arah Galendra, yang tersenyum padanya dengan penuh pengertian. "Terima kasih, Galendra," ucap Sera dengan suara yang hangat. "Kamu telah memberiku dukungan yang sangat besar." Galendra tersenyum sambil mengangguk, "Kita melalui ini bersama-sama, Sera. Kita akan terus melangkah maju." Dengan keyakinan dan harapan baru dalam hati mereka, Sera dan Galendra melanjutkan perjalanan mereka sebagai pasangan kontrak. Mereka sadar bahwa tantangan dan rintangan mungkin menanti di depan, tetapi mereka yakin bahwa dengan saling mendukung, mereka dapat menghadapinya dengan baik.Daffi menutup telepon tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Suara napasnya terdengar berat, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang belum terurai. Giska mendekatinya, menaruh tangan lembut di pundaknya. “Kau baik-baik saja?” Daffi mengangguk pelan, meski ekspresinya menunjukkan konflik batin. “Aku tak bisa menolongnya, Giska. Dia telah menghancurkan hidup kita. Semua yang terjadi... luka yang ia tinggalkan... terlalu dalam.” Galen, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bersuara. “Kau sudah membuat keputusan yang benar, Nak. Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki begitu saja.” Sera mengangguk, mendukung pernyataan suaminya. “Dia hanya akan mempermainkanmu lagi. Ini bukan tentang dendam, Daffi, ini tentang melindungi dirimu dan keluargamu.” Daffi menarik napas dalam, seolah ingin mengusir beban berat dari dadanya. “Aku tahu. Tapi... ada rasa bersalah di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya. “Aku ingin percaya bahwa
Daffi menatap layar ponsel dengan tatapan yang semakin goyah. Matanya bergerak cepat, mengikuti gambar-gambar kenangan yang terpampang jelas di sana. Suara Giska terdengar dari rekaman itu, tawa lembut yang selama ini terasa begitu akrab namun asing di benaknya. Daffi mulai mengingat, kilatan memori muncul seperti kilat di tengah badai. “Giska?” bisiknya nyaris tak terdengar, namun semua orang di ruangan itu mendengarnya. Lily, yang berdiri di sampingnya, merasakan ancaman itu semakin nyata. Dengan cepat, dia menarik lengan Daffi, memaksa senyumnya yang paling manis meskipun dalam hatinya gemuruh ketakutan mulai melanda. “Daffi, sayang, jangan biarkan mereka membingungkanmu lagi. Kau tahu aku satu-satunya yang selalu ada untukmu,” kata Lily, nada suaranya mencoba mengunci perhatian Daffi. Namun, detik itu juga, Daffi menepis tangannya. “Cukup, Lily,” ucap Daffi dengan nada yang tak lagi ragu. Dia menatap Giska, melihat matanya yang memerah dan wajahnya yang dipenuhi luka hati. “
Giska menatap Daffi dengan mata yang berbinar penuh harapan, meski ada ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya. “Daffi, aku hanya ingin kau tahu satu hal—cinta kita bukan sekadar kenangan. Itu nyata, dan kau merasakannya sebelum semua ini terjadi.” Lily mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya, mencoba mempertahankan senyuman manis di wajahnya, meski hatinya bergejolak marah. “Daffi, kau tahu aku selalu di sini. Aku yang mendampingimu saat semua terasa gelap, bukan dia.” Daffi mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, Sera, yang menatapnya penuh kasih sayang. “Nak, pilih dengan hatimu. Kebenaran selalu datang pada saatnya.” Daffi terdiam, tatapannya beralih antara Giska yang penuh harapan dan Lily yang berusaha memancarkan keyakinan. Ingatan-ingatan kabur mulai terbangkitkan, seperti bayangan-bayangan samar yang muncul dan tenggelam. Rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak, membuatnya memegangi pelipisnya. “Aku... aku hanya butuh waktu untuk mengingat,” gumam Daffi,
Daffi berdiri di tengah ruangan, pandangannya terarah ke lantai, tampak kebingungan. Giska berdiri di sudut lain, memegang selembar kertas yang penuh bukti, matanya berkaca-kaca. Lily di sisi lain, menggenggam erat tangannya, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipisnya. “Semuanya sudah jelas, Daffi,” ujar Giska dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Aku istrimu. Kau harus tahu kebenarannya, bahkan jika kau tidak mengingatnya sekarang.” Daffi memandang Giska dengan sorot mata yang kosong, seolah mencoba mencari serpihan ingatan di balik kabut yang membelenggu pikirannya. “Tapi… aku tak mengerti. Kenapa aku tak bisa mengingatnya?” Lily, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya seolah diliputi ketegasan palsu yang dibuat-buat. “Daffi, mereka hanya ingin membuatmu ragu. Kau tak harus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang sudah hilang. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita,” katanya, suaranya mengalun lembut seperti mantra berbahaya. Sera, yang
Hari yang telah direncanakan Lily dengan penuh kegigihan akhirnya tiba—hari pernikahannya dengan Daffi. Di antara dekorasi mewah dan tamu-tamu yang hadir dalam suasana meriah, Daffi berdiri di sampingnya, mengenakan setelan yang elegan dan tampak siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Hanya Lily yang tahu kenyataan di balik semua ini—bahwa pria yang sekarang berdiri di altar dengannya adalah pria yang telah hilang ingatan, terlupa pada cintanya yang dulu, dan kini siap mengucapkan janji suci untuknya. Mata Lily berbinar penuh kemenangan saat pastor di depan mereka mulai mengucapkan sumpah pernikahan. Namun, suasana sakral itu tiba-tiba terpecah ketika pintu gereja terbuka lebar. Giska muncul di ambang pintu, wajahnya penuh tekad. Gaun sederhana yang dikenakannya tak mampu mengurangi auranya—keberaniannya memancar, menuntut perhatian semua orang di dalam gereja. “Daffi!” seru Giska, suaranya lantang namun penuh haru. Beberapa tamu menoleh, terkejut dengan kedatangan tak terd
Setelah pengumuman pernikahan Daffi dan Lily, suasana di keluarga Daffi menjadi campur aduk. Meski orang tuanya, Sera dan Galen, mencoba untuk mendukung keputusan Daffi, mereka tidak bisa menutupi kekhawatiran di wajah mereka. Daffi, di sisi lain, berusaha menampakkan sikap optimis saat merencanakan pernikahan. Hari-hari berlalu dan Daffi mulai menghadiri berbagai pertemuan untuk merencanakan hari besarnya. Dalam proses ini, Lily sangat bersemangat dan aktif, tetapi terkadang Daffi merasakan ketidaknyamanan yang samar, terutama ketika Lily terlalu banyak berbicara tentang masa lalu mereka. Suatu sore, saat Daffi sedang duduk di taman rumahnya sambil memikirkan detail pernikahan, Sera datang menghampirinya. “Daffi, bisakah kita bicara sebentar?” tanyanya lembut, duduk di sampingnya. “Ya, Mama. Ada apa?” jawab Daffi, berusaha tersenyum. Sera menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja dengan keputusan ini. Aku tahu kau berusaha