Ah, Jangan Kakak Ipar

Ah, Jangan Kakak Ipar

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-11-10
Oleh:  senjaaaaaaOngoing
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
6Bab
20Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Risa menikahi suaminya karena terpaksa, tapi suaminya—Bara hanya mau tubuhnya. Saat anaknya lahir, ASI-nya tak keluar, bayinya rewel, tubuhnya lelah, namun Bara tak pernah peduli. Saat Damar, kakak angkat Bara, datang tinggal sementara, ia akhirnya melihat sendiri bagaimana Risa diperlakukan. Bara makin sering pergi. Damar makin sering ada di sisi Risa. Dan tanpa pernah direncanakan, Damar mulai menjadi sosok yang seharusnya menjadi peran Bara. "Mas, ini kayanya gabisa kalau dikompres aja. Kalau mas bantu hisap— mas bisa, gak ya?”

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1 - Awal Masalah

“Risa! Urusin anak kamu itu! Berisik banget!”

Hentakkan itu membuat Risa mendongak. 

Pasalnya, dari pagi ia menahan sakit di tubuhnya. 

“Tapi Sara nangis terus dari tadi, Mas. Badanku masih lemes banget ...,” lanjut Risa sembari mengayun tubuh Sara penuh kelembutan. Sebulir keringat mulai bercucuran menandakan bagaimana rasa lelah yang ia derita.

“Kamu baru segitu aja ngeluh. Gimana aku yang baru pulang kerja! Aku tuh capek! Urus anak kamu yang berisik banget!”

Pelipisnya makin basah oleh keringat, satu tangan menimang Sara yang terus menangis tanpa jeda. Matanya sayu, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil di bawah lampu redup yang nyaris padam.

Risa menahan napas, menatap bayinya yang menangis di pelukannya.

“Aku cuma minta tolong bikinin susu, Mas,” bisiknya.

“Ya udah, gendong aja. Ntar juga diem sendiri,”

Suara Bara membelah kamar sempit itu seperti cambuk. Jemarinya sibuk menggulir ponsel, seakan dunia Risa dan anak mereka hanya suara latar yang mengganggu.

Risa menatap suaminya lama, antara lelah dan putus asa.

“Mas, tolong banget, aku takut jatuh kalau jalan ke dapur. Aku cuma minta tolong bikinin susu, sebentar aja…” katanya lirih, tapi di akhir kalimatnya suaranya bergetar.

“Risa, kamu tuh bisa nggak sih jangan manja?” Bara mengangkat wajahnya dengan tatapan menusuk. “Lagian kenapa ASI kamu nggak keluar-keluar juga, hah? Pantes anakmu rewel mulu.”

Risa menelan ludah, mencoba tetap lembut. “Aku udah coba, Mas. Tapi—”

“Udah, bawa aja anak kamu keluar. Aku mau tidur.”

Tangannya gemetar. Pandangannya buram.

Risa menggoyang tubuh Sara pelan, memohon pada bayi itu untuk berhenti menangis. Tapi tubuhnya sendiri limbung—dan sebelum sempat ia sadari, langkahnya goyah ke belakang.

Sebuah tangan sigap menahan bahunya.

“Pelan-pelan, Ris.”

Suara itu terdengar melegakan.

Risa menoleh, dan menemukan Damar berdiri di ambang pintu—kaus abu-abu yang dikenakannya kusut, rambutnya sedikit berantakan.

Sudah beberapa hari ini Damar menumpang di rumah itu. Rumah tua peninggalan orang tuanya—yang kini ditempati Bara dan Risa—masih menyimpan aroma masa lalu yang belum sepenuhnya hilang. Karena proyek kerjanya di Berlin baru saja selesai, Damar memutuskan pulang untuk sementara, menunggu waktu sebelum kembali terbang ke luar negeri.

“Mas Damar…,” panggil Risa pelan, suaranya hampir tenggelam di antara detak canggung yang memenuhi udara.

Risa terdengar ragu, seperti takut keberadaannya justru akan memperburuk keadaan.

Damar menatap sekilas pintu kamar yang tertutup rapat, lalu menatap Risa lagi. “Udah, sini. Aku bantu.”

Ia menahan bahu adik iparnya itu, membimbingnya perlahan ke kursi di ruang makan.

Langkah-langkah kecil Risa terdengar samar di sela tangisnya yang melemah.

“Biar aku aja yang buatin susunya,” ucap Damar akhirnya.

“Eh, nggak usah, Mas. Nanti Mas tambah capek … Mas kan baru sampai dari Berlin.”

“Tapi kamu bisa jatuh kalau tetap maksain diri,” potongnya lembut, tanpa nada perintah, tapi juga tak memberi ruang untuk bantahan.

Risa hanya bisa diam, menatap punggung Damar yang kini bergerak di dapur. Suara sendok, air panas, dan botol kaca beradu menenangkan hatinya lebih dari apapun.

Tak lama kemudian, lelaki itu kembali dengan botol kecil berisi susu hangat.

“Coba, ini. Udah pas.” Ia mengetes suhu di pergelangan tangan sebelum menyerahkan ke Risa. 

Gerakannya hati-hati, nyaris seperti seorang ayah sejati. Oh— sejak kapan ia memikirkan ini?

“Terima kasih, Mas,” bisiknya, suaranya bergetar pelan.

Damar hanya mengangguk, lalu duduk di kursi seberang. Pandangannya tak pernah benar-benar meninggalkan Risa, tapi juga tidak menelanjangi. Ada sesuatu di sana—campuran kasihan, marah, dan sayang yang belum punya nama.

Sara mulai menyusu perlahan.

“Kamu kelihatan pucat,” ucap Damar lirih. “Udah makan?”

Risa menggeleng. Damar menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Abis ini makan, ya. Aku jagain Sara dulu.”

Suara isapannya membuat ruangan itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

“Bara kayak gitu terus?” Damar akhirnya bertanya, suaranya rendah tapi menusuk.

Risa tak menjawab. Ia hanya menunduk, matanya berkaca. “Dia cuma lagi capek, Mas…” katanya menutupi luka yang tak bisa ditutup.

Ia mengepalkan tangannya di atas meja, lalu melepaskannya lagi perlahan.  Damar menghela napas pelan, lalu berdiri, mendekat ke arah mereka.

Saat ia berjongkok, tangan mungil Sara tiba-tiba mencengkeram jari telunjuknya kuat-kuat, membuat lelaki itu tertegun.

Risa ikut menatap pemandangan itu. Ada kehangatan yang menjalar pelan di dadanya—campuran aneh antara haru dan rasa yang tak bisa ia namai.

Ia menghembuskan napas panjang.

“Kamu istirahat dulu. Gantian aku yang jagain Sara,” ujarnya menatap Risa sekilas.

Risa kembali menggelengkan kepalanya, meski matanya tampak sayu akibat rasa lelah yang tak lagi bisa ia tahan. “Nggak usah, Mas. Aku masih kuat kok. Lagian ... aku juga takut kalo Sara nangis dan ganggu tidurnya Mas Bara,” jujur Risa dari lubuk hatinya.

Damar menatap Risa lama dengan alis yang bertaut, seakan ingin mengatakan banyak hal pada adik iparnya itu, tapi ia memutuskan untuk menahannya. “Kamu nggak perlu maksain diri kamu,” ucapnya pelan. “Kamu juga butuh istirahat, kalo kamu tumbang, gimana mau jagain Sara?”

Risa menunduk, di sudut hatinya, ia ingin sekali memejamkan mata, tapi di sudut lainnya, ia tak tega membiarkan pria itu menimang anaknya seorang diri, apalagi Damar tak pernah memegang Sara sebelumnya, pikirannya melayang pada sore itu ketika tangisan Sara yang menggema dan berhasil membuat Bara naik pitam, seakan darah dagingnya itu adalah pengganggu baginya.

“Aku udah biasa, Mas ... nanti juga sembuh sendiri,” jujur Risa dengan nada getir.

 Damar menghela napas panjang, tatapan tajam dan menusuk berhasil membuat Risa tak berkutik. “Ris,” pangilnya tegas, membuat Risa mendongakkan kepalanya dan membalas tatapannya. “Tidur.”

Risa terdiam, antara ingin menuruti atau kembali menolak dan bersikukuh dengan pemikirannya sendiri.

Risa terdiam, antara ingin menuruti atau kembali menolak. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Damar bergerak—meletakkan bantal di sisinya, jaraknya hanya sejengkal dari tempat Risa berbaring sementara jemari Damar masih dalam genggaman Sara.

“Kamu nurut, ya,” tukasnya pelan. “Nanti aku bangunin kalau susunya habis.”

Suara itu datar— namun entah mengapa bergetar untuk pertahanannya. Mana pernah suaminya seperti ini?

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
6 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status