Home / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 40. Arena Berdarah

Share

Bab 40. Arena Berdarah

Author: Imgnmln
last update Last Updated: 2025-07-17 23:02:05

"Rayden Kalesvara, aku tahu kau bisa mendengarku! Keluar kau, pengecut! Hadapi aku seperti laki-laki!"

Gavin Bramasta, pakaiannya yang dulu selalu rapi kini compang-camping dan ternoda, rambutnya yang terawat kini acak-acakan, dan matanya merah menyala seperti bara api neraka. Ia bukan lagi sang jenius pewaris Keluarga Bramasta yang angkuh. Ia adalah hantu yang kembali dari kubur, seekor binatang buas yang telah kehilangan segalanya dan kini hanya memiliki satu hal tersisa: kebencian.

Energi spiritual yang liar dan merusak berputar-putar di sekelilingnya, membuat tanah pualam di bawah kakinya retak dan mengeluarkan asap tipis. Ia mengangkat kepalanya ke langit malam dan meraung, suaranya yang serak dan penuh penderitaan bergema di seluruh kota.

Di atap-atap gedung di sekitar alun-alun, puluhan pasang mata mengamati dalam diam.

Para pemimpin keluarga kecil yang baru saja tunduk pada Rayden, para mata-mata dari Keluarga Altair yang ingin melihat hasil akhir dari kekacauan ini, dan bebe
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 41: Kekalahan Telak

    Mireya yang menyaksikan pertarungan itu menahan napas, tangannya mencengkeram pagar pembatas begitu erat. Di sampingnya Alesia menutup mulutnya dengan ngeri. Mereka menyaksikan aura merah darah di sekitar Gavin Bramasta meledak menjadi inferno yang mengerikan."Ray, hati-hati!" teriak Mireya, suaranya nyaris hilang ditelan angin malam. "Energinya tidak stabil!"Di tengah alun-alun, Rayden bisa merasakan gelombang panas yang memancar dari tubuh Gavin. Kekuatan lawannya kini tidak lagi hanya kuat, tetapi juga liar dan tak terprediksi, seperti binatang buas yang telah melepaskan rantai terakhirnya.Gavin tidak lagi berteriak. Matanya yang merah kini kosong dari semua emosi kecuali niat membunuh yang murni. Dalam sekejap, sosoknya lenyap dari tempatnya berdiri.Bukan karena kecepatan biasa. Ia merobek udara.Rayden yang sejak tadi selalu selangkah lebih maju, kini merasakan insting bahayanya menjerit. Ia menyilangkan lengannya di depan dada tepat pada saat sosok Gavin muncul kembali di ha

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 40. Arena Berdarah

    "Rayden Kalesvara, aku tahu kau bisa mendengarku! Keluar kau, pengecut! Hadapi aku seperti laki-laki!"Gavin Bramasta, pakaiannya yang dulu selalu rapi kini compang-camping dan ternoda, rambutnya yang terawat kini acak-acakan, dan matanya merah menyala seperti bara api neraka. Ia bukan lagi sang jenius pewaris Keluarga Bramasta yang angkuh. Ia adalah hantu yang kembali dari kubur, seekor binatang buas yang telah kehilangan segalanya dan kini hanya memiliki satu hal tersisa: kebencian.Energi spiritual yang liar dan merusak berputar-putar di sekelilingnya, membuat tanah pualam di bawah kakinya retak dan mengeluarkan asap tipis. Ia mengangkat kepalanya ke langit malam dan meraung, suaranya yang serak dan penuh penderitaan bergema di seluruh kota.Di atap-atap gedung di sekitar alun-alun, puluhan pasang mata mengamati dalam diam. Para pemimpin keluarga kecil yang baru saja tunduk pada Rayden, para mata-mata dari Keluarga Altair yang ingin melihat hasil akhir dari kekacauan ini, dan bebe

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 39. Tantangan Sang Pecundang

    Lyra tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya melempar sebuah tablet tipis ke atas meja di tengah ruangan.Di layarnya, terpampang sebuah gambar yang diambil dari sudut jalan, menampilkan gerbang utama Kediaman Kalesvara yang megah dan kuno. Namun, keindahan arsitektur kayu jati itu telah dinodai.Di atas permukaan pintu yang kokoh, terukir beberapa kata besar yang dibakar dengan energi spiritual yang meluap-luap, begitu panas hingga kayunya menghitam dan masih mengeluarkan asap tipis. Pesan itu brutal, putus asa, dan ditujukan pada satu orang."Rayden Kalesvara. Aku tahu itu kau. Keluar dan hadapi aku, atau aku akan membakar kota ini sampai rata dengan tanah."Keheningan yang pekat menyelimuti markas itu. Wajah Alesia langsung pucat. "Gavin Bramasta, dia benar-benar sudah gila," bisiknya ngeri."Ini bukan lagi kegilaan," sahut Lyra dengan nada dingin. Matanya yang tajam menganalisis situasi. "Orang yang sudah kehilangan segalanya, keluarga, status, kehormatan, bahkan masa depan kultivasi

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 38. Badai Telah Reda

    Saat Rayden muncul kembali di markas bawah tanahnya, ia tidak lagi berjalan dengan aura seorang penakluk, melainkan terhuyung-huyung seperti prajurit yang baru saja pulang dari neraka.Jubah hitamnya robek di beberapa bagian, memperlihatkan luka bakar dan goresan dalam di bawahnya. Wajahnya pucat pasi, dan noda darah yang telah mengering di sudut bibirnya menjadi saksi bisu dari pertarungan brutal yang baru saja ia menangkan.Alesia yang sedang mondar-mandir dengan cemas di ruang utama, adalah yang pertama melihatnya. Ia terkesiap, kedua tangannya langsung membekap mulutnya."Kau... kau terluka!" serunya, nada riang dan genit yang biasa ia pakai lenyap tak berbekas, digantikan oleh kepanikan yang tulus dan tak terselubung.Mireya, yang sedang memeriksa beberapa data di meja, langsung bangkit dan berlari menghampiri. Reaksinya lebih terkendali, namun kekhawatiran di matanya sama dalamnya. "Ray! Apa yang terjadi? Kau berhasil?"Rayden hanya mengangguk lemah, terlalu lelah untuk menjelas

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 37. Pelajaran untuk Sang Ular Tua

    Wijaya menatap dengan kaget saat Rayden, yang seharusnya sudah di ambang kekalahan, kini berada tepat di belakangnya. Bisikan dingin di telinganya masih terngiang seperti mantra kematian.Sebelum ia bisa mengerahkan energi pelindung, tangan Rayden yang bersinar dengan cahaya keemasan terkompresi, menghantam titik di punggungnya. Itu bukan pukulan yang keras, tetapi terasa seperti ribuan jarum es yang menembus meridiannya, mencari dan menghancurkan simpul kendali spiritualnya."Argh!" Wijaya jatuh berlutut, wajahnya pucat pasi.Ia mencoba menggerakkan energi di dalam tubuhnya, tetapi sia-sia. Dantiannya terasa seperti terkunci rapat, dan semua jalur energinya tersumbat total. Ia menatap Rayden dengan ngeri."Bagaimana... bagaimana kau tahu titik kelemahanku?" tanyanya, suaranya bergetar tak percaya.Rayden menarik tangannya perlahan, napasnya masih berat karena lukanya sendiri. "Setiap ahli formasi memiliki kebiasaan," jawabnya dingin, seolah sedang menjelaskan sebuah teori sederhana.

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 36. Medan Perang

    Rayden berlutut dengan satu kaki, pedangnya yang tertancap di tanah menjadi satu-satunya penyangga yang menahannya agar tidak rubuh. Rasa sakit yang membakar di punggungnya terasa seperti lahar panas, dan setiap tarikan napas terasa seperti menelan serpihan kaca. Darah segar menetes dari bibirnya, membentuk kolam kecil di atas rumput yang telah hancur. Ia tampak seperti seekor naga yang sayapnya telah dipatahkan.Di hadapannya, dua Grandmaster Altair berdiri dengan angkuh. Gorga menyeringai puas, sementara Wijaya menatapnya dengan tatapan dingin penuh kemenangan.Di paviliun, Tetua Agung Altair menyesap tehnya seolah baru saja menyaksikan akhir yang tak terhindarkan.Meskipun terluka parah, Rayden mengangkat kepalanya. Tidak ada keputusasaan di matanya. Sebaliknya, sebuah senyum tipis yang dingin dan menakutkan terukir di bibirnya."Fondasi yang dibangun ratusan tahun," katanya, suaranya serak namun terdengar jelas di taman yang porak-poranda itu. "Terkadang bisa runtuh dalam sekejap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status