Semua berawal dari Revan yang sedang mencari pekerjaan. Melalui temannya, ia yang merupakan seorang mahasiswa, mendapati sebuah lowongan pekerjaan sebagai sopir pribadi. Namun ketika ia melamar... tanpa diduga, lelaki itu mendapatkan suatu hal yang lebih menarik dari sebuah pekerjaan, yaitu menjadi simpanan tante-tante!
Lihat lebih banyak"Gimana Van? Apa lo cocok tinggal di sini?" tanya Badru, teman Revan yang memberitahu tempat kos sederhana ini pada Revan.
"Lumayan sih, rapih dan bersih. Sekarang tinggal cari kerja sampingan nih. Lo ada channel gawean nggak buat gue?" tanya Revan. "Gue denger dari anak-anak, ada lowongan sopir pribadi. Gajinya lumayan, kerjanya juga nggak ribet. Yang penting lo bisa bawa mobil dan punya SIM." "Sopir pribadi? Buat siapa?" tanya Revan dengan nada penasaran. "Katanya buat orang kaya di kawasan elit. Lo bisa sambil kuliah juga, soalnya mereka fleksibel asal lo bisa diandalkan," jawab Badru sambil menyulut rokoknya. Revan terdiam sejenak, mempertimbangkan. Ia memang butuh pekerjaan, dan menjadi sopir sepertinya tak terlalu buruk. Ia juga punya SIM A, jadi syarat itu tak jadi masalah. "Oke, gue mau coba," ujar Revan akhirnya. "Lo tahu alamatnya?" Badru menyerahkan secarik kertas kecil dengan alamat yang tertera. "Ini, gue dapet dari kenalan gue. Coba aja, siapa tahu mereka cocok sama lo." "Thanks Dru, besok gue coba ke sana deh." Revan memasukan kertas tersebut ke dalam tas ranselnya yang sudah lusuh. Revan baru saja menyewa kamar kecil di sudut gang yang cukup nyaman untuk ukuran kantong mahasiswa semester empat sepertinya. Namun, Revan tahu betul, uang tabungannya tak akan bertahan lama. Ia butuh pekerjaan sampingan secepat mungkin. Keesokan harinya, Revan berdiri di depan sebuah gerbang tinggi berwarna hitam. Rumah yang menjulang di baliknya sangat megah, dengan taman luas dan deretan mobil mewah di garasi. Ia sempat merasa ragu, namun akhirnya memberanikan diri menekan bel di samping gerbang. Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya dengan seragam security menghampirinya. "Ada perlu apa, Mas ?" tanyanya dengan ramah. "Saya mau melamar jadi sopir pribadi. Katanya ada lowongan di sini," jawab Revan dengan sopan. Si penjaga memandang Revan dari ujung kepala hingga kaki, lalu mengangguk. "Tunggu sebentar, ya. Saya kasih tahu Bu Elma dulu." Security itu bergegas masuk ke dalam rumah besar itu. "Bu Elma?" gumam Revan pelan menyebut calon bosnya itu. Ia membayangkan wanita bernama Elma itu adalah sosok seorang wanita paruh baya yang angkuh, seperti bos-bos besar pada umumnya. Tak berapa, security rumah itu kembali lagi dan menyuruh Revan masuk ke dalam. "Mari ikut saya, Bu Elma sudah menunggu," ujarnya mengajak Revan masuk. "Silakan tunggu di sini, Mas," ujar security, menunjuk ke sebuah sofa di ruang tamu yang luas. Revan duduk dengan hati-hati, merasa asing di tempat semewah ini. Tak lama kemudian, suara langkah sepatu hak terdengar, dan seorang wanita muncul. Rambutnya yang hitam tergerai rapi, wajahnya cantik dengan aura kharismatik yang begitu kuat. Ia mengenakan setelan kerja elegan Elma mempunyai bentuk tubuh yang aduhai dengan melon besar yang menghiasi penampilannya. Pikiran Revan yang kotor telah membayangkan jika ia bisa memainkan melon segar itu. Pasti nikmat rasanya. "Ehem...!" Dehaman Elma membuyarkan lamunan Revan dan membuat pria itu sedikit gugup. Elma duduk di depan Revan, menatapnya dengan dingin namun penuh wibawa. Kesan pertama yang Revan rasakan saat melihat calon majikannya itu adalah cantik dan seksi. Tubuhnya terlihat cukup sin tal dan padat. Sungguh sangat beruntung pria yang jadi suaminya. Namun ia juga merasa kalau Elma ini adalah wanita yang galak dan tegas membuat Revan sedikit merinding. "Kamu yang melamar jadi sopir pribadi?" tanyanya langsung, suaranya tegas. Ia memandang Revan dari ujung kepala hingga kaki. "Iya Bu, nama saya Revan," jawab Revan dengan sopan. "Kamu tinggal di mana sekarang?" "Saya baru pindah ke kos-kosan di daerah Tebet, Bu. Dekat kampus saya." "Oh jadi kamu mahasiswa?" Elma sedikit terkejut dengan status Revan yang seorang mahasiswa. "Iya, Bu. Saya kuliah semester empat di jurusan Ekonomi," jawab Revan dengan santai. Elma mengangkat alisnya. "Mahasiswa sambil kerja? Bukannya itu berat?" "Mungkin berat, Bu. Tapi saya sudah terbiasa membagi waktu. Saya harus kerja untuk membiayai kuliah saya." Elma menatapnya beberapa detik, mencoba membaca kesungguhan di wajah pemuda itu. "Pernah jadi sopir sebelumnya?" lajut Elma. "Belum, Bu. Tapi saya punya SIM A, dan saya sering mengemudi untuk keluarga atau teman. Saya juga cepat belajar." "Oke. Bagaimana dengan jadwal saya? Kadang saya butuh sopir pagi-pagi sekali, kadang malam hari. Kamu bisa fleksibel?" "Selama saya tahu jadwalnya lebih awal, saya bisa atur, Bu. Kuliah saya kebanyakan pagi atau siang, jadi saya bisa bekerja di luar jam itu." "Tanggung jawabnya besar. Kalau saya ada acara penting, saya tidak mau ada kesalahan. Kamu yakin bisa diandalkan?" "Saya yakin, Bu. Saya selalu serius dengan pekerjaan saya." Elma kembali memandangi Revan, kali ini dengan sorot mata yang lebih lembut, seolah melihat sesuatu yang menarik. "Baiklah, saya beri kesempatan. Tapi ini masa percobaan. Kalau kamu tidak bisa memenuhi ekspektasi saya, kamu harus mundur." "Terima kasih, Bu. Saya akan bekerja keras." Revan tersenyum sumringah. Ia senang karena langsung diterima bekerja. Elma mengangguk, lalu berdiri. "Besok pagi jam tujuh kamu sudah harus di sini. Pakaiannya harus rapi dan jangan terlambat." "Siap, Bu." Revan mengangguk mantap. Revan berangkat lebih awal, pukul tujuh kurang, agar tidak terlambat sampai di rumah Elma. Ia mengenakan pakaian serba hitam yang rapi dan menyesuaikan diri dengan seragam sopir pribadi yang diberikan. Setelah menghindari kemacetan, ia akhirnya tiba di rumah Elma tepat pukul tujuh pagi. Begitu sampai, ia disambut oleh penjaga yang membukakan gerbang untuknya. "Mas Revan langsung masuk saja Mas, Ibu sedang sarapan di ruang makan," ujar security itu. "Maksudnya saya di suruh masuk langsung ke ruang makan?" tanya Revan masih bingung. "Ya, tadi Bu Elma bilang begitu." Security itu mengangguk. "Baiklah kalau begitu." Revan akhirnya melangkahkan kakinya menuju ruang makan rumah itu. Namun sebelum ia masuk lebih dalam terdengar suara orang yang sedang berbincang. Revan menghentikan langkahnya dan memilih menunggu untuk sedikit menguping. "Mas, aku ingin bercerai." Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Elma saat dia dan Aditya sedang sarapan pagi itu. Aditya terdiam sejenak, seolah mencerna kalimat itu. Ia tidak menyangka kalau Elma akan mengatakan hal tabu itu. "Bercerai?" Aditya mengulang kata itu dengan nada datar, seolah tak merasa terkejut. "Ya, jangan tanya alasan kenapa aku minta cerai, tanpa aku jelaskan kamu pasti sudah tahu alasannya kan?" cecar Elma yang sudah muak sekali dengan pernikahan ini. Baginya pernikahan ini seperti neraka karena Aditya sama sekali tidak pernah menganggapnya sebagai istri. Lelaki itu malah lebih sering menghabiskan waktunya dengan Arumi, kekasih gelap Aditya. Aditya hanya tersenyum tipis. Ia menatap sejenak wajah Elma yang masam. "Jangan macam-macam El, kamu juga pasti tahu kalau kedua keluarga kita tidak akan mengizinkan perceraian ini. So, lebih baik kita jalani saja pernikahan ini dengan santai. Toh aku juga membebaskan kamu untuk mencari lelaki lain yang kamu sukai." Kata-kata itu seperti tamparan keras bagi Elma. Hatinya mendidih mendengar nada dingin suaminya. "Apa maksudmu, Mas?" Elma menahan napas, mencoba mengendalikan emosinya yang mulai meledak. "Kamu suruh aku selingkuh seperti kamu dan Arumi ?" lanjut Elma dengan kesal. "Jangan bawa-bawa Arumi! Ini urusanku dengan kamu, tidak ada hubungannya dengan Arumi." Emosi Aditya memuncak dan seketika selera makannya rusak. Pria itu bangkit dari duduknya dan menyambar tas kerjanya. "Mau kemana kamu Mas, kita belum selesai!" Elma melihat Aditya bersiap pergi. "Malas aku berdebat sama kamu, jadi lebih baik aku berangkat kerja saja." Aditya menjawab sambil berjalan keluar. "Kenapa kamu begitu egois, Mas?" Elma tak bisa menahan amarahnya lagi. Namun teriakan Elma tidak mendapatkan balasan apapun dari Aditya. Pria itu berjalan dengan tergesa-gesa menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan rumah megah milik Aditya dan juga Elma. Elma merasa seperti ada sesuatu yang patah di dalam hatinya. Dia tahu dia telah mencoba, berusaha bertahan, tetapi di hadapan suaminya yang semakin asing, dia merasa seperti wanita yang tak lagi dihargai. "Mas, kita tidak lagi saling memahami. Aku merasa sendirian, bahkan saat kita tinggal di rumah yang sama. Aku lelah menunggu perubahan yang tak kunjung datang," ujar Elma, suaranya perlahan melemah. Revan yang sedang menguping menatap miris ke arah wanita cantik yang tampak sakit hati itu. Namun kehadirannya segera diketahui oleh Elma. "Ngapain kamu di situ?" tanya Elma dengan suara tegas. Tak ada lagi raut kesedihan di wajahnya. Elma begitu cepat mengubah suasana hatinya. "Em... maaf Bu, saya disuruh security untuk ke sini." Revan terlihat canggung dan berjalan menghampiri Elma. Elma terdiam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu. Tak berapa lama wanita itupun mendongak dan menatap wajah Revan. "Apa kamu sudah punya pacar?" tanya Elma tiba-tiba. "Me-memangnya kenapa Bu?" "Em, tapi tidak masalah kalaupun kamu punya pacar. Begini Revan..." Elma bangun dari duduknya dan berjalan mengelilingi Revan yang masih berdiri terpaku. "Aku akan kasih kamu uang yang sangat banyak asal kamu mau jadi selingkuhanku." "Apa?"sambungan... Namun, belum sempat ia beranjak untuk mengambil air, ia melihat wajah Elma yang memerah. la menyentuh dahi istrinya yang terasa makin panas. Elma hanya mengerang pelan, matanya setengah tertutup. Revan segera mengambil ponselnya dan menghubungi Karina. "Karina, tolong datang ke apartemen sekarang. Elma sakit, dan aku nggak tahu harus gimana," pintanya dengan nada cemas. "Aku akan segera ke sana," jawab Karina tanpa ragu. Tidak butuh waktu lama, Karina tiba dengan tas medisnya. la langsung menghampiri Elma yang masih terbaring lemas di tempat tidur. Karina memeriksa suhu tubuh Elma dengan termometer dan memeriksa tekanan darahnya. "Revan, jangan terlalu panik," kata Karina sambil tersenyum kecil. "Ini hal yang biasa terjadi pada ibu hamil, terutama kalau emosinya sedang tidak stabil. Lonjakan emosi bisa mempengaruhi fisik mereka." "Jadi, dia baik-baik saja, kan? Ini bukan sesuatu yang serius?" tanya Revan penuh kekhawatiran. Karina mengangguk. "Dia akan bai
Sambungan... Dia balas menangkup kedua pipi Elma dan tanpa aba-aba pria itu langsung meraup bibir ranum Elma. Badru yang melihat adegan berbahaya itu hanya bisa menahan napas dan memalingkan wajahnya ke arah lain. "Sialan si Revan, sempat-sempatnya dia nyosor dalam keadaan seperti ini," gerutu Badru dalam hati. Elma sedikit membelalak, namun ia merasakan kelembutan bibir Revan dan ketulusan pria itu hingga ia hanya bisa membiarkan Revan melakukan apa yang dia mau. Elma bahkan membalas pagutan itu dengan tak kalah panas. "Sayang... jangan..." Elma memekik saat tangan nakal Revan mulai merambah mere mas kedua melonnya yang membusung. "Kenapa?" Kedua mata Revan berubah sayu. la masih belum sadar kalau sekarang dia masih berada di kost-an Badru. "Lo mau sewa Kost-an gue?" tanya Badru sengit. Revan sontak menoleh ke arah Badru dan baru sadar kalau sekarang dia bukan berada di apartemen. "Dru, sorry gue..." Revan memijit pelipisnya yang kembali berdenyut. Badru mendeka
Sambungan.... "Revan?" Tanpa sadar Elma keluar dari kamarnya dengan maksud mencari keberadaan Revan. Biasanya jam segini Revan baru pulang bekerja. Tapi apartemen masih dalam sunyi saat itu. Ingatan Elma kembali. Dia baru sadar kalau Revan baru saja mengkhianatinya dengan selingkuh dengan Arumi. Elma duduk di atas ranjang dengan tubuh lemas, mencoba mengumpulkan kekuatannya untuk bergerak. Namun, pikirannya kembali pada Revan, pria yang selama ini ia cintai dan percayai, tapi kini terasa bagai pisau tajam yang melukai hatinya. Elma menghela napas panjang. Matanya menatap kosong ke arah jendela. "Kenapa kamu tega mengkhianatiku, Revan?" bisiknya dengan suara lirih. Setiap kenangan manis bersama Revan berkelebat di kepalanya, tapi rasa sakit akibat pengkhianatan pria itu terus mendominasi. Elma kembali menangis terisak. Namun beberapa saat kemudian wanita itu mengangkat wajah seperti baru mengingat sesuatu yang penting. "Bukankah aku pernah memasang cctv di mobil itu tanpa sepen
Revan melangkah cepat menuju apartemen. Wajahnya tegang, pikirannya dipenuhi pertanyaan bagaimana menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia tahu Elma mudah terpancing emosi, dan situasi ini membuatnya harus berhati-hati dalam memilih kata.Pintu apartemen terbuka, Revan langsung berhadapan dengan Elma yang berdiri dengan tatapan tajam. Kedua mata wanita itu menyiratkan kemarahan yang besar."Sayang.. aku bisa menjelaskannya, tenanglah dulu." Revan berusaha mendekat tapi Elma mendorong tubuhnya."Jangan menyetuhku Revan! Kamu menjijikkan!" Elma menatap tajam pada Revan."Sayang... dengarkan dulu penjelasanku." Revan menatap nanar pada Elma yang semakin marah."Apalagi yang harus aku dengarkan? Apa aku harus dengarkan penjelasan detailmu selama bercinta dengan Arumi." Mata Elma mulai berkabut."Aku tidak bercinta dengan Arumi Sayang. Arumi bohong. Arumi hanya ingin membuat kita salah paham seperti ini. Aku mohon percayalah padaku." Revan memohon.Namun, Elma tidak terpengaruh. Dia mengangkat
lanjutan..."Kenapa sih harus seperti itu terus? Sudah cukuplah Arumi." Rio menghembuskan napas kasar ke udara."Tidak akan pernah cukup Rio, dari semenjak kuliah aku dan Elma memang sudah sering kali bersaing dalam segala hal. Dan malangnya aku selalu kalah. Aku selalu jadi nomor dua setelah dia dan sekarang, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi." Kedua rahang Arumi mengeras dengan sorot mata dipenuhi kebencian.Arumi melirik jam yang melingkar di tangannya. Sebentar Revan lagi Revan pasti akan datang. Dan pria itu tidak boleh melihat Rio di sini."Rio, kamu harus segera pergi dari sini. Aku tidak ingin Revan melihat kamu.""... oke aku pergi." Dengan wajah masam, Rio pun akhirnya pergi dari cafe tersebut."Uangnya akan aku transfer setelah kamu mendapatkan orang yang akan menjalankan rencana kita, Sayang," ucap Arumi sebelum Rio benar-benar pergi.Rio hanya mengangguk dan dengan cepat pergi dari tempat itu.
Rio terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Arumi yang begitu mengejutkan. "Menyingkirkan Elma?" tanyanya, memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Wajahnya menyiratkan kebingungan sekaligus keterkejutan.Arumi, yang duduk dengan punggung tegak, memandang Rio dengan sorot mata penuh tekad."Iya, Rio. Aku ingin dia pergi dari dunia ini. Aku tidak tahan lagi melihatnya bahagia sementara aku selalu terpuruk," ujarnya dengan nada dingin, seolah-olah rencana itu sudah lama terpatri di pikirannya.Rio menggeleng pelan, mencoba meredam gejolak dalam pikirannya. "Arumi, apa kamu benar-benar serius? Ini bukan masalah yang bisa kamu anggap sepele. Bukankah Elma itu orang yang udah nolongin kamu?" tanya Rio dengan mimik serius."Tapi aku juga udah nolongin dia, aku kasih bukti perselingkuhanku dengan Aditya, jadi aku anggap kami impas." Arumi menjawab dengan enteng,Rio menggeleng pelan, meski dia bukan lelaki baik, namun untuk menyingkirkan ses
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen