Share

Bab 77

last update Last Updated: 2025-02-02 23:38:10

~Wijaya Prasetya~

"Sudah dapat senyumannya, cuman belum dapat hatinya aja."

"Mas, kamu insinyur?" Kedua mata hazel itu melebar. Dan aku, selalu menikmatinya.

Kubiarkan dia terus bicara sampai lelah sendiri. Jujur, sejak pertama melihatnya di rumah sakit itu, aku langsung jatuh hati. Herannya lagi, Allah langsung memberikan jalan dengan takdir yang tak pernah kuduga sebelumnya.

Aku menikahinya setelah 40 hari menyebut namanya dalam tahajud. Sebegitu inginnya aku memiliki dia, sampai berambisi dan langsung meminta pada pemiliknya. Ternyata, dia anak sahabat bapak. Yang kerap sekali dulu datang belanja.

Hingga akhirnya, sekarang dia menjadi milikku. Setiap gerakan bibirnya, aku tersenyum. Membayangkan, bagaimana kelak aku punya anak darinya.

"Mas!" Dia membuatku kaget kali ini.

"Hah?"

"Aku tanya!"

"Apa, sih, Dek?"

"Kamu insinyur? Kamu arsitek?"

"Ya gitu lah. Kenapa memang?"

"Kenapa enggak bilang?"

"Lah, memangnya kenapa harus bilang?"

"Ya dari awal aneh aja ka
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   105

    "Aku enggak nyangka, masa anak baru umur berapa bulan, udah positif lagi." Humaira mengeluh. "Hem, gimana lagi, Sayang. Udah terlanjur juga. Kamu gimana? Masih kuat, kan? Masih muda juga." Aku tertawa saat Humaira mencubit perutku. Kami duduk di kursi ayunan samping rumah sambil menimang balita kecil itu. "Mas Jaya," panggil kekasihku itu. Aku sangat mencintainya. "Ada apa, Sayang?" Kubelai rambutnya yang tergerai panjang. Kebetulan area sini masih private, tak ada yang boleh masuk setelah kukunci pintu samping. Tukang kebun yang ingin merawat tanaman pun kuminta nanti saja. Sampai istriku puas menikmati waktu berdua denganku dan anak kami. "Mas. Mas sayang enggak sama aku?""Kamu beneran nanya ini sama aku? Kenapa, Sayang? Apa kamu masih ragu?" Aku kaget dia tanya seperti itu. Padahal, aku sangat mencintainya."Aku dengar, perempuan kalau sudah melahirkan, sudah enggak cantik lagi. Suaminya pasti udah enggak berselera lagi.""Eh, kata siapa? Aku enggak gitu. Kamu percaya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 104

    Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 103

    "Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 102

    Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 101

    "Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 100

    "Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status