LOGINWanita yang kutolak berubah cantik saat aku datang ke kampus jadi narasumber dan dia moderatornya. Siapa sangka dia kini akrab dengan seorang lelaki yang merupakan dosen muda. Yang membuatku terkejut dan m4ti kutu, lelaki itu adalah...
View MoreNamaku Sasti Ayuandira. Aku pernah ditolak seorang lelaki dengan alasan aku tidak pantas untuknya. Aku masih ABG, tubuhku kurus, muka jelek, kelakuan bar-bar. Mengenaskan sekali nasibku. Setelah lima tahun aku bertemu kembali dengannya. Dia mungkin tak mengenaliku. Yang jelas, aku pantang balikan sama lelaki itu.
Bab 1 Brakk, dentuman keras menggema di sebuah jalan raya. Memaksa pengendara mobil keluar dengan tampang tak bersahabat. "Hey, punya mata enggak, sih? Lihat tuh motormu menabrak mobilku," teriak wanita cantik berpakaian press body. Terlihat angkuh, ia mengibaskan rambut panjangnya yang tengah digerai. "Pokoknya kamu harus ganti rugi," teriaknya lagi dengan lantang. "Tunggu dulu. Mbaknya yang salah kenapa minta ganti rugi. Harusnya saya dong yang minta, nih motor teman saya rusak," ucap wanita yang lebih muda tak mau kalah. Sasti namanya, mahasiswi tahun pertama jurusan sains. "Enak aja. Kalau nggak mau ganti rugi. Aku bisa jebloskan kalian ke penjara," ancam wanita bernama Almira itu. Ia berucap penuh percaya diri. Sebab penumpang yang ada di dalam mobilnya seorang lelaki tampan anggota kepolisian. Dia baru saja menjemput laki-laki bernama Agha dari bandara. "Sudah, Sas. Sepertinya dia orang kaya yang punya bekingan kuat," ucap lirih sahabat Sasti. "Nggak, nggak bisa, Nin. Kita nggak salah. Dia yang mendadak masuk ke jalur lambat. Kita udah bener lah jalannya di sini," terang Sasti. "Awas kalian berdua kalau bersekongkol nggak mau ganti rugi ya. Aku panggilkan polisi." Deg "Gimana, Sasti. Aku nggak mau masuk penjara," rengek Nina. Namun wajah Sasti tampak tenang saja dengan gertakan wanita itu. "Dia mau kemana, Sas. Kok buka mobilnya?" Sasti hanya mengedikkan bahu. Netranya mengikuti langkah Almira yang sedang membuka pintu mobil. Terlihat lelaki yang ada di kursi penumpang terlelap dan dibangunkan dengan paksa. "Mungkin pacarnya polisi, Sas. Gimana nih, mampus kita. Mana nggak ada duit nih kantong. Cuma ada recehan buat makan siang nanti," gerutu Nina setengah gugup. "Tenang aja, Nin. Kita tunggu apa yang dilakukan wanita itu. Mentang-mentang orang kaya mau nindas kita. Ya nggak maulah. Kita wajib membela diri tahu, nggak?" "Tapi, Sas. Cowoknya itu....hmm, gimana nih, beneran dia panggil polisi. Itu, Sasti, dilihat seragamnya... Duh, mamak, aku belum nikah. Aku nggak mau dipenjara." "Diam bisa nggak sih, Nin. Jangan nunjukin wajah ketakutan. Nanti kita malah diinjak-injak." "Mas, mereka nabrak mobilku sampai penyok gini. Aku mau nuntut ganti rugi. Tapi mereka nggak mau kasih. Laporin aja biar dipenjara, bisa nggak?" "Apa sih, Al? Baru juga tiba di sini sudah ngajak rib....ut." Agha masih berusaha mengumpulkan kesadarannya. Sontak saja, lelaki berseragam polisi yang ditarik keluar mobil langsung melepas kaca mata hitam yang bertengger di wajahnya. Sasti menelan ludah susah payah. Ingatannya terlempar ke masa lima tahun yang lalu. Lelaki itu telah menorehkan jejak luka yang mendalam. 'Sial banget, kenapa harus ketemu dia di sini, huh," Sasti sedikit memalingkan muka menghindari bersitatap dengan lelaki di depannya. "Apa yang terjadi?" tanya lelaki itu bersiap menginterogasi. "Dia yang salah," tunjuk Sasti pada Almira. "Kalau diajak bicara jangan berpaling. Kamu pasti takut, kan. Dikira aku cuma bohongan mau lapor polisi. Nih, langsung datang orangnya," protes Almira. Sasti tak gentar segera menatap lawan bicaranya dengan kepala tegak. Sebenarnya dia gugup bukan takut melainkan canggung bertemu lagi dengan masa lalu. Rasanya luka tak berdarah yang belum kering itu kembali terbuka. "Kamu...." ucapan Agha berjeda, seraya mengamati wajah yang tak asing baginya. Namun, otaknya masih buntu. Siapakah dia, wanita muda yang penuh percaya diri. Berjilbab simple, wajah kuning lansat dan postur tubuh bisa dibilang ideal. Agha sungguh tak bisa mengenali. Hanya sudut hatinya tergelitik kalau ia pernah ketemu wanita yang sikapnya sama dengan ini. "Mana SIM nya?" Glek. Sasti tersentak, sedikit lega karena lelaki di depannya tidak mengenalinya. "Hmm, maaf saya lupa tidak bawa," ungkap Sasti asal. "Sas, bukannya kamu memang nggak punya SIM? Duh gimana ini, Sas. Celakalah kita sudah jatuh kena tangga lagi," bisik Nina. Reflek Sasti menyikut tangan Nina yang mengusap lengannya. "Tidak bawa, atau nggak punya? Dasar orang kampung naik motor ugal-ugalan, nggak punya SIM lagi. Udah nabrak gak mau ganti rugi. Bisa dikenai pasal berlapis tuh. Iya kan, Mas?" Agha memberi kode pada Almira untuk tidak menyela hingga membuat wanita itu tersenyum masam sambil menghentakkan kakinya. "KTP?" "Maaf lupa juga. Dompet saya ketinggalan di kampus. Tadi kami tergesa mau ambil barang," terang Sasti sambil menatap ke arah lain. Jelas ia tak mau menatap lawan bicaranya lama-lama. Sebab melihat wajah lelaki di depannya membuat rasa kesal bercampur benci lima tahun yang lalu naik sampai ke ubun-ubun. "Ckkk, lain kali hati-hati naik motornya. Kalau belum punya SIM nggak usah bawa motor. Berbahaya, bukan untuk diri sendiri tapi juga orang lain," nasehat Agha. Sasti bukannya tidak punya SIM atau KTP. Hanya saja, ia tidak mau Agha mengenalinya. Terlihat Agha tidak kaget saat mereka berhadapan tadi. Sekalian saja ia pura-pura tidak kenal. "Ya. Makasih," balas Sasti seraya menghela napas lega. 'Untung dia nggak mengenaliku. Hufh, kalau ingat kelakuannya dulu, menyebalkan sekali. Ingin rasanya aku mencakar mukanya. Meski ganteng tapi, ah sudahlah...' Agha lalu menyilakan Sasti dan temannya pergi. "Eh kok cuma gitu, Mas. Mobilku?" Agha menahan tubuh Almira yang hendak mengikuti dua wanita muda itu. "Sudahlah, Al!" "Tapi, Mas. Nanti dia ngelunjak. Seenaknya nggak mau ganti rugi." "Kamu juga salah, kenapa lewat jalur sini," terang Agha membuat Almira makin kesal. Perdebatan kecil keduanya justru disambut Sasti dengan senyuman karena terbebas dari Almira. Tanpa sengaja Sasti saling pandang dengan Agha. Kedua netra merrka saling bersirobak. Ternyata lelaki itu masih mengamatinya sedari tadi. Senyum singkat Sasti justru menstimulus otak Agha untuk merespon cepat. "Tunggu!" Lelaki berbadan tegap dengan tinggi sekitar 170cm itu melangkah lebar menuju Sasti dan temannya yang sudah bersiap di atas motor. Almira hanya mampu menatap curiga ke arah mereka sambil bersedekap. "Apalagi?" Sasti mengucap dengan tenang sambil pura-pura membetulkan posisinya yang siap berkendara. Kedua tangannya mere mas stang kemudi untuk mengaburkan kegugupan. Entah kenapa rasa benci justru membuat Sasti gugup. Detak jantung sesaat tidak bisa diajak kompromi. Semakin lama menatap wajah lelaki itu, semakin membuat level kebenciannya memuncak. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" ****** Kisah AKP Agha Rahmawan (31)--biasa dipanggil Kapten Agha karena memimpin sebuah misi. Dia bertemu Sasti Ayuandira (21) saat bertugas di pelosok Kalimantan lima tahun lalu.Bab 6"Sasti, Maaf ya saya tadi nggak sempat jemput kamu dan Nina. Mama minta diantar arisan dengan teman-temannya. Jadi, Saya minta Pak Agha yang jemput karena sejalan," ungkap Rizky dengan wajah penuh penyesalan."Tidak apa-apa, Pak. Lagipula saya dan Nina naik motor pun nggak masalah," balas Sasti dengan sopan. Nina turut mengangguk."Ya, janganlah. Malam-malam nggak baik keluar naik motor.""Iya betul kata Pak Rizky," ujar Agha sependapat. Ia masih mengamati dengan seksama sikap sepupunya yang memberi perhatian lebih pada Sasti. Sejak pertama menyambut di acara sosialisasi, Rizky terlihat berbeda perlakuan terhadap Sasti. Ternyata sampai detik ini pun sama.Nina sendiri hanya tersenyum mengamati sambil membati. Dia sudah hafal kalau Sasti adalah mahasiswi kesayangan dosennya. Ia pun tidak cemburu atau iri hati justru mengompori agar Sasti membalas serupa. Namun, Sasti terlihat enggan, dan memilih fokus kuliahnya."Baiklah, ayo Pak Agha kita ajak masuk. Sepertinya makanan sudah sia
Dua hari berlalu...."Kesel, kesel, kesel. Hwaaa nyebelin banget." Sasti mengomel-ngomel sendiri sambil duduk memeluk lutut di atas kasur kamar kosnya. Ingat malam dua hari yang lalu sungguh membuat hatinya di remas-remas. Siapa yang ajak makan malam siapa juga yang batalin.Ya, Sasti malam itu akhirnya menyetujui mandat dosennya, Rizky."Kalau bukan Pak Rizky yang minta, ogah aku pergi makan malam. Kapten Agha tambah nyebelin. Aku nggak bakal percaya lagi sama dia," gerutu Sasti sambil mengacak selimut dan bantal gulingnya."Hey, Sasti. Katanya mau ke Resto Nusantara. Ayo, jadi enggak? Aku dah dandan, malah kamunya santai-santai, masih pakai babydoll lagi." Nina yang datang dengan pakaian rapi menelisik heran penampilan Sasti yang masih sama seperti tadi siang."Ihh, Nina kamu nggak ngerti, sih. Aku masih kesel tahu. Nanti kalau tiba-tiba dibatalin kayak kemarin-kemarin gimana? Makan hati tahu, nggak?" Mendengar curhatan itu, Nina justru terbahak."Astaga, malah ketawa. Seneng ya lih
"Baik, langsung saja materi yang ingin saya sampaikan adalah tentang bahaya Napza. Akhir-akhir ini banyak berita kriminal yang muncul salah satunya diakibatkan penggunaan Napza."Sasti menyimak dengan seksama. Pandangannya tak henti mengamati Agha dalam bertutur."Mas Agha tidak pernah berubah. Selalu terlihat cerdas. Kenapa sekarang semakin mempesona. Astaga, ingat Sasti pantang balikan sama masa lalu. Dia sudah mempermalukan dan menyakitimu."Sejenak logika Sasti berjalan normal lagi. Gegas ia mengalihkan pandangan ke audiens. Suara Agha kembali menggema. Semakin Sasti mencoba menepis rasa kagumnya suara itu semakin menembus kalbu."Perlu diketahui bahwa salah satu bentuk penerapan P4GN (Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkotika), kitap berkomitmen untuk turut serta dalam proses terapan P4GN di masyarakat, karena napza ini memang sangat merusak kaum muda, korbannya sudah banyak” papar Agha.Pecandu napza akan menyebabkan berbagai efek negatif seperti :
'Ishhh, kenapa dia jadi tambah nyebelin. Hufh, dulu aja... ingatan Sasti terlempar ke masa lima tahun lalu. Saat itu, ia baru lulus SMP."Mas Agha, mau nggak jadi pacarku?" Dengan pedenya Sasti yang bertubuh mungil kulit sawo matang mengungkapkan perasaannya. Padahal usianya masih sangat muda. Sedangkan Agha yang bertugas di pelosok kampung Sasti saat itu berusia 26 tahun. Lelaki yang ditugaskan secara paksa atas perintah bapaknya sendiri itu hanya menganggap ucapan Sasti sebuah candaan."Anak kecil tuh belajar yang rajin biar pinter. Nggak usah pacaran. Besok kalau udah besar baru cari pasangan.""Eh nikah maksudnya, Mas?""Iyalah, ga usah pacaran nanti ujung-ujungnya nggak jadi. Kamu yang rugi sendiri.""Oh jadi Mas Agha nggak punya pacar, ya?" tanya Sasti antusias. Ia bermain di markas Agha tanpa rasa canggung dan takut. Padahal di sana penghuninya kaum Adam semua. Ada sih yang tukang masak tapi bisa dihitung jari."Nggak." Agha menjawab disela kesibukannya membetulkan tenda semba












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews