Suara serangga di malam hari begitu menenangkan hingga membuat Bingwen terlena. Dia sampai tidak mendengar panggilan Mei Lin.Gadis itu mengambil tempat di samping Bingwen. Sinar bulan malam itu pun begitu terang menyinari malam yang dingin itu. "Kamu sedang apa? Serius amat," ucap Mei Lin. Gadis itu masih belum mengetahui rencana Bingwen, seandainya dia tahu sudah pasti Mei Lin akan merengek ingin ikut dengannya. Benar-benar seperti tidak ingin terpisahkan dari Bingwen lagi. Alasan itulah yang membuat Bingwen tidak berani untuk mengatakannya pada Mei Lin. Rasa takut kehilangan gadis itu melebihi rasa takut dirinya yang terancam bahaya. Bingwen masih mengingat dengan jelas raut wajah Mei Lin yang pucat pasi, bak mayat. Tubuh Mei Lin yang dingin saat itu juga masih dapat dia rasakan. "Aku tidak ingin merasakan semua itu lagi," gumamnya. Karena tidak ada respon dari Bingwen, Mei Lin menepuk punggung pemuda itu sekeras mungkin. "Aduh! Sakit loh, Mei Lin. Kamu ini jadi gadis itu y
Suasana hati Mei Lin sungguh buruk, dari pagi tidak terlihat senyum di wajah manisnya. Iya, Mei Lin bukan tipe gadis yang memiliki paras cantik nan rupawan. Namun dia memiliki wajah yang manis, yang tidak akan membuat orang lain bosan saat melihat wajahnya itu. Apa lagi jika Mei Lin tersenyum, makin manislah gadis itu. Yang bisa membuat para pemuda terkesima dan menginginkannya. Hanya saja, untuk gadis yang tidak begitu suka menanggapi lawan jenis ketika mereka mengajaknya berkenalan. Menjadikan Mei Lin menjomblo sampai sekarang, padahal teman sebayanya sebagian besar sudah berumah tangga. Bukan hal aneh di zaman itu, anak gadis yang sudah menginjak usia 14 dan 15 tahun menikah. Bagi kebanyakan orang tua, beranggapan bahwa seorang perempuan tidak perlu untuk melakukan hal lain selain pekerjaan rumah. Karena bagi mereka, seorang perempuan hanya memiliki tugas utama dalam sebuah keluarga. Apa lagi jika bukan kasur, sumur, dan dapur. Mei Lin beruntung, sebab dia terlahir dari keluarga
Hari demi hari sudah Bingwen dan Ming lalui, keduanya masih belum sampai di tempat yang akan mereka tuju. Hutan demi hutan, berbagai rintangan telah mereka hadapi. Sebagian besar memang Bingwen lah yang menghadapi semuanya. Ming juga turut membantu walau tidak sebanyak yang dilakukan Bingwen. Sudah hampir dua minggu lamanya, perbekalan mereka juga semakin menipis. Beruntungnya Bingwen yang sudah pernah hidup di tengah hutan, delapan tahun silam. Hingga pengalamannya itu dapat dia manfaatkan sekarang, Bingwen yang berburu hewan buruan untuk menghemat bekal yang mereka bawa. Sementara Ming yang mengolah hewan hasil tangkapan Bingwen.Keduanya saling melengkapi kekurangan masing-masing, berharap semua jerih payah yang mereka rasakan dapat berbuah manis kedepannya. Malam itu cuaca cerah, sinar bulan purnama yang begitu terang membuat Bingwen dapat melihat bintang yang bertaburan di atas sana. Sinar bintang yang berkelap-kelip mengingatkan Bingwen akan Mei Lin. Gadis itu sangat suka meli
Suara gelak tawa dua orang anak remaja mengudara di pegunungan siang itu, mereka menertawakan salah seorang temannya yang terkapar penuh luka. "Hahaha... Dasar payah! Begitu saja kamu tidak bisa melawanku." "Benar, dia itu lemah sekali. Aku bahkan tidak tahu kenapa Guru Bao mau mengangkatnya jadi murid," sahut temannya. "Bingwen, kenapa kamu tidak menyerah saja akan mimpimu itu. Dengan fisikmu yang lemah tersebut, kamu tidak akan bisa. Melawan kami saja kamu kewalahan. Jangan mimpi menjadi seorang swordmaster!" Anak itu bangun dengan susah payah, tubuhnya yang kurus kering dan ringkih itu berusaha untuk bangkit kembali. Namanya Bingwen, remaja berusia tiga belas tahun. Namun karena fisiknya yang kecil, dia terlihat seperti anak kecil berusia sembilan tahun. "Ni Lou, apa hakmu melarangku? Guru saja tidak menghalangi mimpiku. Guru selalu berpesan agar aku terus berlatih, kelak hasil latihanku akan terlihat," balas Bingwen.Sorot mata tajam Bingwen saat membalas ucapan Ni Lou dan Ni
Degup jantung Bingwen menggila, setelah dia mengetahui sesuatu yang menghampirinya adalah seekor harimau. Geraman dan sorot mata harimau itu begitu tajam, hingga Bingwen merasa kalau harimau tersebut tengah mengincarnya. "S--sialan... Kenapa harus ketemu dengan harimau itu sekarang? Ternyata rumor kalau ada harimau di pegunungan ini itu benar. Apa yang harus aku lakukan?" Bingwen memutar otaknya, dia tidak mau mati konyol diterkam harimau kelaparan yang sering kali memakan hewan ternak penduduk di lereng gunung. "Ayo berpikirlah, Bingwen. Gunakan otakmu jika tubuhmu tidak bisa diajak kerja sama!" Bingwen mengutuk dirinya sendiri. Biarpun Bingwen lemah, tapi dia memiliki otak yang cerdas. Dia lambat dalam melawan balik serangan Ni Lou, tapi dengan daya observasi yang Bingwen miliki dia berhasil mengelak dari serangan Ni Lou. Kalau saja Bingwen tidak pandai mengamati gerakan lawannya, mungkin sudah lama Bingwen mati di tangan Ni Lou. "Karena aku tidak bisa lari dan juga terlalu be
Bingwen berhasil berteduh di gua yang berada di dekat dia tadi jatuh. Gua itu tidak begitu besar dan tidak pula menyeramkan. "Semoga tidak ada hal buruk lagi. Izinkan aku istirahat demi memulihkan kondisiku," gumam Bingwen. Disekanya air hujan di wajahnya, karena luka cakaran harimau itu masih mengeluarkan darah. Bingwen merobek baju yang dia kenakan, untuk menutup luka tersebut. Jangan ditanya gimana rasanya, tentu sakit sekali. Namun Bingwen tidak bisa berbuat apapun selain menahan rasa sakit itu. Mungkin akibat kelelahan dan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Bingwen pun terlelap begitu saja. Tanpa dia mengkhawatirkan akan adanya hewan buas lainnya. Malam makin larut, hujan di luar gua juga sekarang sudah berhenti. Meninggalkan dingin yang membuat tubuh Bingwen menggigil. Bingwen terbangun dari tidurnya, kondisinya masih belum begitu pulih. Akan tetapi jauh lebih baik dari pada sebelumnya. "Syukurlah ternyata gua ini jauh lebih aman dari pada tempat latihan." Bingwen mulai mengam
"Sebaiknya kita pulang sekarang, luka luarmu harus segara ditangani juga," ucap Guru Bao setelah dirinya selesai mengobati luka dalam Bingwen. "Terima kasih banyak, Guru. Berkat Guru kondisi saya jauh lebih baik sekarang.""Masih belum, kita harus menyembuhkan luka luarmu juga. Naiklah ke punggungku, kita pulang sekarang." "A--apa? Guru, saya tidak mau merepotkan Guru lagi. Pasti berat, lagi pula jalan pegunungan juga pasti licin sehabis hujan deras tadi," ujar Bingwen. Rasa malu dan bersalah saat itu menghantui dirinya, Bingwen bukan anak yang tidak tahu diri. Dia tidak ingin merepotkan gurunya lagi. "Sudah jangan banyak mikir, kamu harus segera mendapat pengobatan," sanggah Guru Bao. Butuh waktu beberapa saat, sampai akhirnya Bingwen mau mengikuti saran dari sang guru. "Saya pasti berat, Guru. Maafkan saya karena menyusahkan Guru," ucap Bingwen setelah dia berada di punggung gurunya. "Kamu kurus begini, berat dari mana. Coba kamu cek ulang apa ada barang yang ketinggalan," tit
Beberapa hari kemudian, Bingwen yang sudah hampir sembuh segera bersiap untuk mengunjungi gua waktu itu. Anak lelaki itu sibuk menyiapkan apa yang patut dia bawa, sesekali Bingwen bersenandung. Suasana hatinya sedang bagus hari ini. Pintu rumah terbuka dan Mei Lin muncul dengan raut wajah heran, "Kamu mau ke mana?" "Aku mau ke gua waktu itu." "Ngapain? Baru juga sembuh," ucap Mei Lin lalu dia duduk di kursi yang ada di sebelah Bingwen. "Ada hal yang mau aku periksa. Gimana kamu mau ikut?" tanya Bingwen. "Hm, boleh juga. Aku bosan, Ayah juga sibuk dengan serangakaian urusannya," keluh Mei Lin. Guru Bao memang sudah dua hari ini selalu pulang pergi ke pusat kota, saat ditanya Guru Bao selalu bilang kalau dirinya punya pekerjaan tambahan. Sedangkan sesi latihan dilakukan oleh murid senior yang ditunjuk sebagai pelatih sementara. Mei Lin yang terjebak diantara para murid Guru Bao yang kebanyakan laki-laki, hanya bisa memantau dari jauh. Mei Lin tidak diizinkan untuk berlatih belad