Home / Romansa / Belahan Jiwa / 1. Belahan Jiwa (1)

Share

Belahan Jiwa
Belahan Jiwa
Author: Dela Tan

1. Belahan Jiwa (1)

Author: Dela Tan
last update Last Updated: 2024-05-15 21:00:30

Bapak mencoret-coret di kertas. Tisu berlogo yang tadi digunakan untuk melapisi cangkir kertas berisi Cafe Latte panas pesanannya. Mereka sedang duduk menikmati sarapan di Starbucks. Jam sepuluh nanti Tiara ada meeting dengan beberapa pemasok. 

Sudah dua bulan ini Tiara selalu mengajak Bapak setiap ia pergi kerja di luar. Saat Tiara meeting nanti, Bapak akan menunggunya di kursi terpisah. Jika Tiara harus ke luar kota, giliran Agung adiknya yang bertugas mengajak Bapak. Ia tidak mau membiarkan Bapak di rumah seorang diri. 

Tiara memotong Spinach Quiche di atas piring di depannya, makanan yang selalu ia pesan setiap berkunjung ke sini. Mengoleskan sambal tipis-tipis, lalu mengunyahnya pelan tanpa suara. 

Melihat Bapak menulis, ia mengangkat cangkir berisi teh Camomile panas ke bibirnya. Panas air teh langsung mengusir rasa pedas di lidahnya. Cangkir teh itu hanya caranya agar tidak terlalu terlihat sedang mengintip apa yang sedang ditulis Bapak.  

Surat untuk Ibu. Lagi. 

Menulis surat adalah ritual Bapak yang dilakukannya tiap hari, sejak Ibu pergi mendadak setahun lalu. Di kertas tisu itu, Bapak menulis:

Atik…

Hari ini aku ikut Ara jalan. Ada meeting dengan pemasok katanya.

Sekarang ngopi dulu di Starbucks, tadi pagi berangkat dari rumah terburu-buru, tidak sempat sarapan.

Doakan semua lancar buat Ara. 

Aku tahu kamu melihat kami semua dari sana.

Kami baik-baik saja. Anak-anak baik-baik saja.

Kamu tidak usah khawatir…

Bapak melipat kertas itu. Memasukkannya ke dalam kantong kemejanya. Lalu memandang ke luar jendela. Tiara buru-buru mengalihkan pandang. 

Setiap kali melihat Bapak menulis, hatinya selalu mencelos. Yang ditulis Bapak bukan surat cinta mendayu-dayu. Atau surat protes mengapa Ibu meninggalkannya begitu saja tanpa ucapan perpisahan. Namun, Tiara bisa melihat, betapa dalam kerinduan Bapak pada Ibu. Teramat dalam. 

Dulu, ke mana-mana mereka selalu berdua. Masih selalu bergandengan tangan meski sudah sama-sama keriput. Tak terpisahkan. Sampai maut membentangkan jurang, merenggut Ibu dengan cara yang paling menyakitkan. Tanpa pesan. Tanpa pamit. Tanpa tanda-tanda. Mendadak. Menyentak.

Waktu itu Ibu ikut Tiara meeting ke Surabaya. Katanya sudah lama tidak bertemu kerabat dan saudara. Kebetulan salah satu sepupu Ibu dari Kalimantan sedang berkunjung ke rumah anaknya di Surabaya. 

“Sudah puluhan tahun kami tidak bertemu. Jadi akan diadakan reuni kecil mengenang masa muda,” katanya. “Ibu ingin tinggal seminggu, tidak akan ikut Ara pulang ke Jakarta malam itu juga. Ibu bisa pulang sendiri. Nanti biar Paman Adi yang mengantar ke bandara.” 

Tiara mengizinkan. Membelikan tiket pesawat di tanggal berbeda untuk Ibu pulang. Tiara tidak punya firasat apa-apa. Ibu terlihat bahagia, semringah, segar-bugar.

Suara ponsel yang berdering-dering tanpa henti membuat Tiara menggerutu. Ia membuka mata dengan malas, meraba-raba di tengah gelap. Layar ponselnya menunjukkan waktu. Jam setengah dua pagi! 

Siapa yang menelepon di tengah malam buta! Ia mengumpat, memicingkan mata karena silau oleh cahaya di layar ponsel, melihat nomor yang tertera di layar. Dari Ibu!

Tiara langsung terduduk. Rasa malas dan kantuknya menguap seketika. Degup jantungnya mengencang. Ada apa Ibu meneleponnya di jam yang tidak umum begini? Tiara mengerutkan kening. 

“Selamat malam. Betul ini dengan Ibu Tiara?” Suara seorang laki-laki memasuki telinganya begitu ia menjawab halo.

“Betul. Bapak siapa? Kenapa ponsel ibu saya ada di Bapak?” Tiara mengernyit bingung. Mencoba berpikir jernih, Tiara menduga mungkin ponsel Ibu hilang dan Bapak penelepon itu menemukannya. Tapi apakah harus menelepon di waktu yang ganjil seperti ini?

“Maaf... maaf menelepon malam-malam, Bu. Saya Ario, petugas bandara Juanda Surabaya.” Suaranya terdengar ragu, “Nomor Ibu Tiara ada di daftar nomor telepon darurat, jadi saya menghubungi Ibu.”

“Nomor darurat? Di mana ibu saya sekarang? Apa yang terjadi?” Suara Tiara meninggi karena cemas, hatinya tiba-tiba seolah diremas kencang. Ia menggenggam ponsel lebih erat, keringat mulai membasahi telapak tangannya.

“Mohon maaf, Bu. Kuatkan diri Ibu. Ibu Anda... Ibu Anda meninggal di kursi tunggu di ruang boarding tadi sore...” Suara petugas bandara itu simpatik dan pelan, namun Tiara seolah mendengar suara langit pecah karena gelegar guntur.

“Gak mungkin… gak mungkin!!” Dari bisikan menjelma teriakan, bergantian terlompat dari bibirnya. Kemarin siang Ibu masih mengirimkan foto-foto. Ia sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya ketika muda. Tertawa lebar di tengah adik, kakak dan para sepupunya. 

[Ibu masak banyak, semua saudara berkumpul di sini.] Tulis Ibu di aplikasi pesan kemarin.

Momen yang tidak biasa karena sepertinya Ibu mengumpulkan semua orang yang dikenalnya di Surabaya, padahal tidak ada peristiwa penting apa-apa. Sekarang Tiara paham, rupanya Ibu sedang berpamitan. 

“Bu… Ibu Tiara… masih di sana?” Suara di seberang membawanya kembali ke kenyataan. Tiara merasa suara itu mengiris hatinya pelan-pelan.

“Ya Pak, saya masih di sini...” Tiara tidak mengenali suaranya sendiri, itu sangat serak dan basah dengan tangis tertahan.

“Tenangkan diri Ibu. Kami sudah membawa ibu Anda ke rumah sakit terdekat. Segala prosedur baru selesai sekitar jam sepuluh malam tadi, dan kami kesulitan mencoba mencari nomor kontak keluarga, karena itu baru bisa menelepon di waktu ini. Sekarang ibu Anda disemayamkan di ruang mayat rumah sakit dekat bandara. Saya akan kirimkan alamatnya. Mohon Ibu bisa segera terbang ke Surabaya untuk menjemput jenazah.”

Ucapan petugas bandara itu terdengar asing dan mengerikan di telinganya. Kamar mayat… jenazah… 

Tubuh Tiara merosot dari tempat tidur,  Tiara terduduk di lantai. Tanpa disadari, pipinya telah basah oleh air mata. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Lavinka
Nyesek banget ditinggal oleh orang terkasih. semangat Tiara
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Belahan Jiwa   68. Ekstra 5 - Be My Wife (2) The End

    “Hai… sweetheart senang sekali bertemu denganmu lagi,” Marcia memeluk Tiara erat, mencium pipinya kiri dan kanan. “Aduh, sudah berapa lama ini?” “Lima tahun?” Melihat Tiara mengacungkan tangannnya, Marcia membelalak. “Astaga! Waktu benar-benar tidak menunggu.” “Dan kamu…” Marcia menepuk lengan atas Tristan sambil mengernyit, berpura-pura marah. “Berani-beraninya membuat anakku menangis. Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu harus menebusnya! Apakah kamu sudah minta maaf?” Tristan mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah. “Ampun. Aku akan menebusnya seumur hidup. Aku berjanji, itu pertama dan terakhir aku membuatnya menangis. Mulai saat ini, aku hanya akan menyelimutinya dengan cinta. Hanya akan membuatnya tersenyum.” “Nah, itu baru benar!” Marcia masih mengerucutkan bibir. “Sudah kukatakan mataku tidak salah. Aku menangkap binar-binar cinta di mata kalian. Sekarang terbukti, bukan?” “Ya ya…” Tristan dan Tiara tertawa. “Itu juga sebabnya kami kembali ke sini, Tristan ingin

  • Belahan Jiwa   67. Ekstra 4 - Be My Wife (1)

    Jari Tristan menjalari seluruh lekuk tubuh Tiara, mereka berbaring berhadapan, belum kembali mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, masih dipenuhi peluh, masih mengatur napas yang nyaris habis. Tadi Tristan bagai kesetanan, menggumuli Tiara sampai merintih, melenguh, berteriak, hingga suaranya habis. Dan kini, tubuh Tiara tergolek tak bertenaga. “Kamu kuat banget,” Tiara berbisik. “Padahal sudah tidak muda lagi.” Tristan tertawa, “Jangan menganggap remeh orang tua. Aku masih kuat kalau kamu mau nambah. Napasku panjang karena aku sering lari, full marathon 42 km. Bagaimana, masih mau lagi?” Tristan menggoda Tiara, memindahkan jarinya dan memutar-mutar di sekitar areolanya. Tiara menggedikkan bahu, “Rasanya tidak nyaman. Sepertinya lecet, kamu sih terlalu ganas.” “Akibat menahan lima tahun, sayang. Oh bukan, kalau menghitung dari kita kenal, sebenarnya tujuh tahun.” Tristan menggosokkan hidungnya ke hidung Tiara. “Jadi, mulai sekarang kamu harus siap aku sergap untuk dib

  • Belahan Jiwa   66. Ekstra 3 - Tak Akan Melepaskanmu

    “Meskipun telah berpisah, aku tidak langsung mencarimu. Aku ingin melihat apakah takdir akan kembali mempertemukan kita. Jika tidak, berarti kita memang tidak berjodoh, dan aku benar-benar akan menghapus segala harapan. Tetapi ternyata… kita kembali dipertemukan. Dan kali ini, aku tak akan melepaskanmu.” Tristan meremas tangan Tiara. “Tentu saja, jika kamu belum bertemu seseorang, dan jika kamu bersedia.” Tiara menunduk, jantungnya berdentum-dentum. “Waktu kamu ulang tahun, kita tidak berfoto. Sekarang, kita sudah bisa berfoto bersama.” Kata Tristan lagi. “Supaya aku bisa melihat bagaimana wajah kita berdua ketika berdampingan, dan aku bisa memandangainya ketika aku sendirian.” Wajah Tiara seketika merona. “Kamu kok jadi lebay begini, malu ah sudah tua.” Tiara kembali berusaha menarik tangannya, tetapi Tristan malah pindah tempat duduk dari depannya ke sebelahnya. “Melihat reaksi kamu, kamu pasti belum bertemu seseorang, dan kamu bersedia. Ya kan?” Di akhir kalimat, Tristan be

  • Belahan Jiwa   65. Ekstra 2 - Tak Ingin Lagi Kehilanganmu

    Berbeda dari biasanya, dimana Tiara hampir selalu hadir lebih dulu dan Tristan hampir selalu terlambat, kali ini, Tiara berjalan berlama-lama, ingin membiarkan Tristan menunggunya.Ia bahkan hampir menyesali telah setuju untuk menemuinya lagi, setelah susah payah membakar jembatan, sekarang jembatan itu akan dibangun kembali?Namun, kata-kata Tristan yang mengatakan ‘banyak yang ingin disampaikan’, telah menggelitik rasa penasarannya. Sebanyak apa? Apa yang dia pendam dalam lima tahun ini, dan mengapa harus disampaikan padanya? Bukankah semuanya telah selesai?Tiara tiba di depan Blue Elephant. Seorang penerima tamu menyambutnya dengan senyum ramah.“Selamat siang. Untuk berapa orang, Bu?”“Sepertinya teman saya sudah di sini,” Tiara agak melongokkan kepala. “Entah dia sudah sampai belum…”“Boleh saya cek namanya?”“Tristan.”Penerima tamu itu memeriksa daftar nama di meja, “Sudah datang, mari saya antar, Bu.” Dia berjalan mendahului Tiara.Tiara mengikutinya ke sebuah meja. Ini bahka

  • Belahan Jiwa   64. Ekstra 1 - Lima Tahun Kemudian

    Tiara berdiri di depan sebuah jendela lebar yang tirainya disingkapkan, menatap jajaran box berisi bayi-bayi yang terbaring di dalamnya.Kirana berdiri di sebelahnya, berjingkat-jingkat sambil memanjangkan leher.“Yang mana ya Mam?” Kirana bertanya.“Kayaknya yang itu tuh, yang ketiga dari kiri.” Tiara meletakkan telunjuknya di kaca.Kirana menoleh padanya, “Kok Mami milih yang itu?”“Soalnya merah sendiri. Yang lain pada kuning.” Tiara menjelaskan alasan akan bayi yang dipilihnya.Kirana kembali mengalihkan pandang ke box bayi itu, berusa

  • Belahan Jiwa   63. Kamu Adalah Luka Parut

    And if you should ask mewhich you are,my answer is -you are a scar. -Lang Leav-Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa cinta tidak selalu benar. Cinta bisa jatuh di waktu yang salah, pada orang yang keliru, dalam keadaan yang tidak tepat. Pun ketidakbenaran itu tak menutupi kenyataan bahwa cinta itu hadir. Tak pula lalu meniadakan keberadaannya, bagaimana keras pun itu berusaha disingkirkan, dihapus, dilupakan.Pada akhirnya, itu hanya bisa dibiarkan mereda, mengendap, terkikis bersama waktu. Jika itu tak juga lenyap, dan rasa sakitnya terus terasa, kesakitan itu justru membuatnya nyata. Bahwa cinta itu ada. Pernah ada.Sebab siapa yang bisa menjamin apakah sebuah cinta akan berlangsung selamanya. Atau hanya hadir sesaat. Bukan kemampuan kita untuk melepaskan atau terus menggenggamnya yang akan menentukan rentang waktu cinta, melainkan kedalamannya. Terlepas dari apakah cinta itu benar, atau salah.Tiara menelusuri percakapan-percakapan di layar ponselnya. Semua percakapan denga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status