Tiara turun dari mobil Agung, diikuti bik Amah. Rumahnya gelap. Hanya lampu taman yang menyala. Ia heran. Jika Ben belum pulang, siapa yang menyalakan lampu taman.
Ia mendongak, melihat lambaian kain gorden di balkon kamar atas. Jendela kamarnya terbuka, tetapi lampu tidak menyala. Ia mulai was-was. Jangan-jangan… ada pencuri membobol rumahnya.
Tak mau dicereweti Agung, Tiara menyimpan kekhawatirannya.
“Sudah, tinggalin saja.” Ia menggebah Agung agar segera berlalu.
“Biarkan aku melihatmu masuk dulu.”
“Ini rumahku, Kakeeek.” Tiara mencibir, “Lagipula, ada Bik Amah.”
Agung menatapnya ragu.
“Bik, kalau ada apa-apa, teriak yang keras ya.” Agung beralih berbicara pada Bik Amah.
“Beres...” Bik Amah mengacungkan jempol.
Tiara dan Bik Amah menghampiri pintu. Tiara menekan gagang pintu, mencoba mendorongnya. Ternyata terkunci. Berarti tidak ada siapa-siapa di dalam.
‘Ah, mungkin waktu pergi, Ben lupa mematikan lampu taman dan menutup jendela kamar,’ pikir Tiara.
Ia mengeluarkan serenceng kunci dari dalam tas, memasukkan ke lubang kunci dan memutarnya. Didorongnya pintu perlahan, lalu melangkahkan kaki masuk. Ia mengerjap, membiasakan matanya pada kegelapan.
Tiara meraba dinding sebelah kanan pintu, tempat dua tombol lampu terletak. Satu untuk menyalakan lampu teras. Satu yang lain, tombol lampu gantung di ruang tamu. Ia menekan keduanya.
Nyala kekuningan lampu-lampu langsung membuat hatinya tenang. Sungguh tak nyaman berada dalam gelap. Bik Amah mengikutinya masuk.
“Bik, Bibik langsung ke kamar tengah di belakang ya.” Tiara mempersilakan Bik Amah yang sudah mengenal tata letak rumah ini.
Ia menyerahkan kunci pada Bik Amah. Yang dimaksud kamar belakang adalah kamar dekat taman, tempat biasanya ia menerima tamu. Ada tiga kamar yang menghadap kolam ikan di tengahnya. Sahabat Ben menempati kamar sebelah kiri.
Bukan baru pertama kali Bik Amah datang ke rumah ini. Ia selalu tidur di salah satu kamar itu. Bik Amah bukan pembantu, ia sudah menjadi bagian keluarga. Tidak ada jarak di antara mereka.
Tiara melepaskan sepatu. Bertelanjang kaki, ia menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Ia memutar tombol pintu. Ternyata tidak terkunci. Ia menggelengkan kepala dan menghela napas. Betapa ceroboh suaminya ternyata. Saat pulang nanti, ia akan protes panjang lebar.
Tiara mendorong pintu kamar. Kembali mencari tombol lampu. Dengan suara klik, ruangan itu seketika terang benderang.
Dan, Tiara terpekik.
Dua sosok telanjang yang semula bertindihan itu buru-buru bangkit. Hampir melompat dari tempat tidur.
Tiara membalikkan tubuh dengan cepat. Berlari menuruni tangga sambil menopang perutnya. Jantungnya berdegup kencang, oksigen berpacu keluar masuk hidungnya. Napasnya tersengal-sengal.
Memegangi perutnya, ia terus berlari, hampir terpeleset di anak tangga terakhir. Dan Ben, tidak keluar untuk mengejarnya.
Bik Amah tidak terlihat. Pasti ia sudah masuk kamar dan langsung tidur. Tiara berlari masuk ke kamar sebelah kanan. Dadanya naik turun, napasnya memburu.
Dengan tangan gemetar ia mengunci pintu. Beringsut ke sudut tempat tidur. Mengambil bantal di atas tempat tidur dan memeluknya, seolah itu penyelamat nyawa. Air mata berlomba tumpah dari balik bulu matanya yang panjang.
Ia menggeleng kuat-kuat. Ia hanya ingin menghapus bayangan yang tadi dilihatnya. Ia memejam-mejamkan mata, tetapi bayangan itu malah kian tercetak jelas, seperti layar film yang terpampang di hadapannya.
Mereka… Ternyata sepasang kekasih. Apakah reuni alumni Harvard itu juga hanya alasan agar mereka bisa berduaan? Mengapa tidak pergi ke hotel saja? Mengapa harus melakukannya di rumah? Di atas tempat tidur mereka!
‘Lalu aku ini dianggap apa? Apa?’ pekik Tiara dalam hati.
Ia teringat sumpah yang saling mereka ucapkan di hari pernikahan mereka. Dalam susah dan senang, dalam suka dan duka, bersama mengarungi hidup, melahirkan anak baginya, menjadi pendukung dalam segala keadaan, sampai maut memisahkan.
Tiara mulai tertawa dalam linangan air mata. Terus tertawa tanpa suara. Lalu ia mulai terisak. Bahunya berguncang, membenamkan kepala ke bantal agar suara sedu-sedannya tidak keluar.
Jangan pernah mengucapkan sumpah saat emosimu penuh. Penuh amarah, penuh cinta, penuh bahagia. Karena emosi yang penuh membuat hatimu bias. Endapkan dulu emosimu hingga hatimu jernih. Hati yang jernih akan membuatmu melihat yang tak terlihat.
“Hai… sweetheart senang sekali bertemu denganmu lagi,” Marcia memeluk Tiara erat, mencium pipinya kiri dan kanan. “Aduh, sudah berapa lama ini?” “Lima tahun?” Melihat Tiara mengacungkan tangannnya, Marcia membelalak. “Astaga! Waktu benar-benar tidak menunggu.” “Dan kamu…” Marcia menepuk lengan atas Tristan sambil mengernyit, berpura-pura marah. “Berani-beraninya membuat anakku menangis. Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu harus menebusnya! Apakah kamu sudah minta maaf?” Tristan mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah. “Ampun. Aku akan menebusnya seumur hidup. Aku berjanji, itu pertama dan terakhir aku membuatnya menangis. Mulai saat ini, aku hanya akan menyelimutinya dengan cinta. Hanya akan membuatnya tersenyum.” “Nah, itu baru benar!” Marcia masih mengerucutkan bibir. “Sudah kukatakan mataku tidak salah. Aku menangkap binar-binar cinta di mata kalian. Sekarang terbukti, bukan?” “Ya ya…” Tristan dan Tiara tertawa. “Itu juga sebabnya kami kembali ke sini, Tristan ingin
Jari Tristan menjalari seluruh lekuk tubuh Tiara, mereka berbaring berhadapan, belum kembali mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, masih dipenuhi peluh, masih mengatur napas yang nyaris habis. Tadi Tristan bagai kesetanan, menggumuli Tiara sampai merintih, melenguh, berteriak, hingga suaranya habis. Dan kini, tubuh Tiara tergolek tak bertenaga. “Kamu kuat banget,” Tiara berbisik. “Padahal sudah tidak muda lagi.” Tristan tertawa, “Jangan menganggap remeh orang tua. Aku masih kuat kalau kamu mau nambah. Napasku panjang karena aku sering lari, full marathon 42 km. Bagaimana, masih mau lagi?” Tristan menggoda Tiara, memindahkan jarinya dan memutar-mutar di sekitar areolanya. Tiara menggedikkan bahu, “Rasanya tidak nyaman. Sepertinya lecet, kamu sih terlalu ganas.” “Akibat menahan lima tahun, sayang. Oh bukan, kalau menghitung dari kita kenal, sebenarnya tujuh tahun.” Tristan menggosokkan hidungnya ke hidung Tiara. “Jadi, mulai sekarang kamu harus siap aku sergap untuk dib
“Meskipun telah berpisah, aku tidak langsung mencarimu. Aku ingin melihat apakah takdir akan kembali mempertemukan kita. Jika tidak, berarti kita memang tidak berjodoh, dan aku benar-benar akan menghapus segala harapan. Tetapi ternyata… kita kembali dipertemukan. Dan kali ini, aku tak akan melepaskanmu.” Tristan meremas tangan Tiara. “Tentu saja, jika kamu belum bertemu seseorang, dan jika kamu bersedia.” Tiara menunduk, jantungnya berdentum-dentum. “Waktu kamu ulang tahun, kita tidak berfoto. Sekarang, kita sudah bisa berfoto bersama.” Kata Tristan lagi. “Supaya aku bisa melihat bagaimana wajah kita berdua ketika berdampingan, dan aku bisa memandangainya ketika aku sendirian.” Wajah Tiara seketika merona. “Kamu kok jadi lebay begini, malu ah sudah tua.” Tiara kembali berusaha menarik tangannya, tetapi Tristan malah pindah tempat duduk dari depannya ke sebelahnya. “Melihat reaksi kamu, kamu pasti belum bertemu seseorang, dan kamu bersedia. Ya kan?” Di akhir kalimat, Tristan be
Berbeda dari biasanya, dimana Tiara hampir selalu hadir lebih dulu dan Tristan hampir selalu terlambat, kali ini, Tiara berjalan berlama-lama, ingin membiarkan Tristan menunggunya.Ia bahkan hampir menyesali telah setuju untuk menemuinya lagi, setelah susah payah membakar jembatan, sekarang jembatan itu akan dibangun kembali?Namun, kata-kata Tristan yang mengatakan ‘banyak yang ingin disampaikan’, telah menggelitik rasa penasarannya. Sebanyak apa? Apa yang dia pendam dalam lima tahun ini, dan mengapa harus disampaikan padanya? Bukankah semuanya telah selesai?Tiara tiba di depan Blue Elephant. Seorang penerima tamu menyambutnya dengan senyum ramah.“Selamat siang. Untuk berapa orang, Bu?”“Sepertinya teman saya sudah di sini,” Tiara agak melongokkan kepala. “Entah dia sudah sampai belum…”“Boleh saya cek namanya?”“Tristan.”Penerima tamu itu memeriksa daftar nama di meja, “Sudah datang, mari saya antar, Bu.” Dia berjalan mendahului Tiara.Tiara mengikutinya ke sebuah meja. Ini bahka
Tiara berdiri di depan sebuah jendela lebar yang tirainya disingkapkan, menatap jajaran box berisi bayi-bayi yang terbaring di dalamnya.Kirana berdiri di sebelahnya, berjingkat-jingkat sambil memanjangkan leher.“Yang mana ya Mam?” Kirana bertanya.“Kayaknya yang itu tuh, yang ketiga dari kiri.” Tiara meletakkan telunjuknya di kaca.Kirana menoleh padanya, “Kok Mami milih yang itu?”“Soalnya merah sendiri. Yang lain pada kuning.” Tiara menjelaskan alasan akan bayi yang dipilihnya.Kirana kembali mengalihkan pandang ke box bayi itu, berusa
And if you should ask mewhich you are,my answer is -you are a scar. -Lang Leav-Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa cinta tidak selalu benar. Cinta bisa jatuh di waktu yang salah, pada orang yang keliru, dalam keadaan yang tidak tepat. Pun ketidakbenaran itu tak menutupi kenyataan bahwa cinta itu hadir. Tak pula lalu meniadakan keberadaannya, bagaimana keras pun itu berusaha disingkirkan, dihapus, dilupakan.Pada akhirnya, itu hanya bisa dibiarkan mereda, mengendap, terkikis bersama waktu. Jika itu tak juga lenyap, dan rasa sakitnya terus terasa, kesakitan itu justru membuatnya nyata. Bahwa cinta itu ada. Pernah ada.Sebab siapa yang bisa menjamin apakah sebuah cinta akan berlangsung selamanya. Atau hanya hadir sesaat. Bukan kemampuan kita untuk melepaskan atau terus menggenggamnya yang akan menentukan rentang waktu cinta, melainkan kedalamannya. Terlepas dari apakah cinta itu benar, atau salah.Tiara menelusuri percakapan-percakapan di layar ponselnya. Semua percakapan denga