Godaan Panas Sang Asisten CEO

Godaan Panas Sang Asisten CEO

last updateHuling Na-update : 2025-11-11
By:  Dezaa_AuthorOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
5Mga Kabanata
15views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

Shenina kembali dengan identitas baru, menyusup ke keluarga Karlsson untuk balas dendam atas kematian ibunya 15 tahun lalu. Ia muncul sebagai asisten pribadi dan membuat dua pewaris keluarga itu jatuh ke dalam permainannya: Leon, CEO dingin yang tak pernah kalah, dan Eren, dokter sempurna yang sulit ditolak. Namun, permainan hati tak pernah berjalan sesuai rencana…

view more

Kabanata 1

1. Dosa Pertama Keluarga Bronze

“Sayang… cepatlah. Aku sudah tidak tahan.”

Napas panas Thomas Bronze, pengusaha berusia 40 dengan sisa wibawa di wajahnya, mengalir di telinga Maria Karlsson, asistennya. Tangan besar pria itu menarik pinggang wanita tersebut dan mencium bibirnya dengan rakus.

Maria terkekeh kecil saat blouse kerjanya ditarik kasar hingga kancingnya beterbangan.

“Sabarlah, Thomas. Apa kau yakin aman melakukannya di sini?” godanya, tatapannya licik.

Thomas menghirup napas pendek, tak peduli. “Ini rumahku. Tidak ada yang berani menyentuhku. Di mana pun kita bercinta, tak masalah.”

Blouse Maria jatuh ke lantai. Thomas membenamkan wajahnya ke dada wanita itu.

Maria melirik foto pernikahan Thomas dan Briana yang tergantung di dinding kamar, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Bagaimana kalau istrimu tahu? Ini kamar kalian, bukan?”

Thomas tak menjawab, terlalu tenggelam dalam nafsu.

Di balik pintu kamar yang tidak tertutup rapat, sepasang mata kecil menyaksikan semuanya.

Shenina, putri 10 tahun Thomas dan Briana, berdiri membeku. Air matanya mengalir tanpa suara. Ini bukan pertama kalinya ia melihat Maria di rumah mereka, tapi tetap pertama kalinya ia menyaksikan mereka melakukannya di kamar utama, seolah ibu dan dirinya tidak pernah ada.

Tanpa menoleh lagi, Shenina berlari ke ruang kerja ibunya, sambil menahan isak yang tak bisa dihentikannya.

“Ibu… Ayah dengan…”

Kata-katanya tercekat. Ia ingin bicara, ingin mengeluarkan semuanya, tapi lidahnya terasa terlalu berat untuk bergerak.

Briana, ibu Shenina hanya tersenyum, tapi senyum yang tak seperti dulu, yang tampak kuat. Tangannya yang dulu selalu kuat menggenggam Shenina saat ia takut, kini hanya memutar roda pelan agar kursi itu sedikit mendekatinya.

“Lupakan apa yang kamu lihat. Maafkan Ibu tidak bisa melindungimu,” ucap Briana lirih.

Ucapan itu menusuk lebih keras daripada apapun yang Shenina lihat sebulan lalu, saat wanita itu mendorong Ibu dari tangga rumah.

Shenina masih ingat suara tubuh Ibu membentur lantai, jeritan Ibu, dan bagaimana semua orang pura-pura tidak mendengar.

Sejak hari itu, kaki Briana tak bisa bergerak lagi. Sejak hari itu juga, rumah mereka berubah menjadi tempat asing.

“Ibu… wanita itu dan Ayah…” Shenina berusaha bersuara, tapi suaranya bergetar. Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi begitu melihat tatapan pasrah di wajah Ibunya, semuanya terasa keliru. 

“Ibu, kita harus mengusir mereka dari rumah ini!” seru Senina lagi dengan napas memburu. “Ini rumah Ibu! Rumah dari Kakek! Bukan rumah mereka!”

Shenina tahu asal semua harta ini. Ia tahu seharusnya siapa yang berkuasa di sini. Mereka tidak berhak memperlakukan ibunya seperti ini. Ayahnya seharusnya melindungi ibunya, bukan membawa wanita lain dan membiarkannya menguasai rumah mereka.

Shenina menatap wajah Ibu, berharap melihat kekuatan lama itu kembali. Tapi Ibu hanya terdiam.

“Shenina, sudahlah lupakan saja semua ini,” kata Briana akhirnya.

Belum sempat Shenina kembali bersuara, tiba-tiba—

BRAK!

Suara pintu yang dibanting membuat jantung Shenina seakan melompat keluar dari dada. Ia refleks mundur selangkah. Maria berdiri di ambang pintu dengan gaun tidur milik ibunya yang dulu hanya dipakai saat tidur dengan ayahnya. Sekarang berada di tubuh wanita itu.

“Kau… buatkan aku makanan,” kata Maria dingin, tangannya menyilang di dada, sorot matanya hanya berisi penghinaan.

“Aku bukan pelayan…” bisik Shenina, meski suaranya terdengar gemetar. Ia ingin mempertahankan harga dirinya, setidaknya itu yang tersisa.

Namun, kalimat itu belum selesai sepenuhnya sebelum ekspresi Maria berubah menjadi wajah beringas.

“Kau berani menolak perintahku? Apa kau ingin melihat nasibmu jadi sama seperti ibumu yang sudah lumpuh itu?!” teriaknya.

Shenina berkeringat dingin. Tenggorokannya mengering. Ia ingin bicara lagi, mau membalas, mau bilang bahwa ini rumah Ibu, bukan rumah Maria, tapi sebelum mulutnya terbuka…

Maria melesat ke arahnya.

Tangan Maria meraih rambutnya dan menariknya kasar.

“ARGH!” Shenina menjerit, tubuhnya terhempas ke depan saat rambutnya dijambak kuat-kuat.

“Anak tak berguna! Cuma bisa menangis! Kau pikir siapa kau di rumah ini?!” Maria menarik rambutnya lebih keras, membuat kulit kepala Shenina seperti terbakar. “Kau pikir kau berharga?! Tidak ada yang menginginkanmu!”

“Ibu… Ibu…” Shenina meraih udara, menangis keras tanpa bisa melawan.

“Berhenti Maria! Lepaskan anakku!” Briana berteriak, mendorong roda kursinya secepat mungkin meski tangannya gemetar.

Tapi begitu kursi roda itu mendekat, Maria menatapnya dengan jijik dan mendorong kursi itu dengan kakinya hingga terguling.

Briana jatuh ke lantai dengan suara keras, tubuhnya menabrak marmer dingin.

“Ibu!!” jerit Shenina sambil merangkak dengan rambut masih setengah berada dalam genggaman Maria.

Namun Maria tidak berhenti. Ia mendekati Briana, lalu menendang kaki Briana seperti menendang benda mati.

“Lihat dirimu! Istri sah apa ini? Wanita cacat yang sudah tidak ada gunanya!” teriak Maria sambil menendang lagi. “Kalau kau mau tetap hidup di sini, kau harus tahu tempatmu!”

“Berhenti!!” Shenina menubruk Maria dari belakang, bukan karena berani, tetapi karena rasa takut kehilangan ibunya jauh lebih besar dari rasa takut pada Maria.

Maria terdorong sedikit, namun dengan cepat membalik dan menampar Shenina dengan keras.

Pipi Shenina panas, penglihatannya buram oleh air mata. Tapi ia tetap merangkak ke arah ibunya, memeluk tubuh Briana yang gemetar, mencoba menjadi perisai tipis untuk wanita yang selama ini selalu melindunginya.

“Kenapa ribut sekali di sini?!”

Shenina langsung menoleh dengan mata penuh harapan. “Ayah… dia mendorong Ibu dan menjambakku. Ayah, tolong…”

Tapi Thomas bahkan tidak melihat Briana yang tergeletak di lantai, ia hanya menatap Maria.

“Dia membentakku lebih dulu,” ucap Maria manja. “Aku cuma minta dia membuat makanan.”

Air harapan di dada Shenina langsung retak.

“Kau melawan Maria?” suara Thomas merendah penuh ancaman.

“Ayah, bukan begitu—”

PLAK!

Tamparan itu mengenai pipinya begitu cepat hingga ia limbung.

“Kalau Maria suruh, kamu kerjakan! Jangan membantah! Dia yang urus rumah ini sekarang!”

“Ayah… ini rumah Ibu…” bisik Shenina, mencoba bertahan.

“Kalau bukan karena ibumu nggak becus, aku nggak perlu cari wanita lain!” bentak Thomas. “Cepat bangunkan ibumu, minta maaf pada Maria, lalu buatkan makanan!”

Shenina membeku, sementara Maria tersenyum puas.

Shenina menunduk perlahan, menahan isak. Ia tahu bila membantah, Ibu yang akan jadi sasaran. Akhirnya, ia hanya bisa menuruti semua perintah itu.

___

Shenina bangun di kamarnya sendirian. Ibunya sudah tidak ada di sampingnya. Dengan kepala berat dan mata bengkak, ia menuju kamar untuk bersiap sekolah. Pintu kamar mandi terbuka sedikit, ia mendorongnya pelan.

“Ibu…?”

Tubuhnya langsung gemetar.

Briana terbaring di dalam bathtub. Air di dalamnya merah gelap. Lengan ibunya terluka, wajahnya pucat dan tenang dengan cara yang membuat Shenina langsung berteriak.

“Ibu!!”

Shenina jatuh berlutut di lantai. Air matanya turun tanpa suara.

Pemakaman berlangsung cepat tanpa ada pelukan. Tidak ada yang bertanya pada Shenina apakah ia baik-baik saja karena kakek dan nenek dari ibunya telah tiada, sementara ibunya adalah anak tunggal.

Setelah semua orang pergi, Thomas berdiri dengan wajah datar. Maria melempar koper ke arah kaki Shenina. “Kau tidak punya tempat di sini lagi. Ibumu sudah mati, kau tidak pantas lagi di sini.”

Shenina menatap Thomas, berharap sedikit saja pembelaan. Tapi pria itu hanya menghela napas kesal. “Jangan membantah dan keluar dari rumah ini.”

Tidak ada belas kasihan. Tidak ada tempat untuk menangis.

Dengan tangan gemetar, Shenina mengambil koper itu dan keluar. Pintu dibanting keras tepat di belakangnya.

Shenina berdiri di halaman, sendirian, membawa seluruh hidupnya dalam satu koper paling lusuh di rumahnya.

Hari itu, Shenina menangis untuk terakhir kalinya. Dalam hatinya ia berbisik, “Suatu hari, aku akan kembali. Dan mereka akan berlutut minta maaf.”

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Walang Komento
5 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status