Home / Romansa / Belahan Jiwa / 9. Hati Sekeras Batu

Share

9. Hati Sekeras Batu

Author: Dela Tan
last update Last Updated: 2024-05-30 22:13:38

Dari semua organ tubuh, hati adalah satu-satunya organ yang bisa memulihkan dirinya sendiri. Jika dikerat untuk didonorkan, itu akan tumbuh kembali dalam dua minggu hingga delapan puluh persen. Dan kembali utuh seratus persen dalam waktu dua hingga tiga tahun. 

Mungkin dari situlah asal istilah patah hati ketika putus cinta. Bukan patah jantung, atau patah ginjal misalnya. Karena suatu saat hati itu akan pulih kembali. Entah dalam dua minggu, dua bulan, dua tahun. Hanya hati yang memiliki kemampuan itu.

Menatap nyalang langit-langit kamar hingga pagi, hati Tiara mulai tumbuh dari retakan karena hantaman kenyataan semalam. Air matanya kering sudah. Ia tidak tidur. Ia berpikir. Apa yang harus dilakukannya? Pulang ke rumah Ibu? Lalu apa yang harus dia ceritakan? Tetap tinggal di sini? Bagaimana ia harus menatap Ben? 

Fajar sudah hadir, Tiara beranjak dari tempat tidur. Meluruskan kakinya yang bengkak, menyeretnya ke arah pintu. Ia menarik napas dan mengembuskannya dengan keras sebelum membuka pintu. 

Melangkah ke arah ruang tamu, Tiara mendekati meja tempat telepon terletak. Melirik jam besar dari tembaga bakar yang tergantung di dinding. Sudah jam enam, Ruby pasti sudah bangun.

“Rub,” katanya setelah mendengar kata halo diucapkan Ruby di seberang. “Kalau gak ada acara, hari ini lo kesini ya.”

“Pagi-pagi buta udah nyuruh orang datang, lo belum mau lahiran kan?” Suara Ruby terdengar heran.

“Belum.”

“Trus ngapain? Kangen?” Ruby terkekeh. 

“Gua mau cerai.”

***

Dalam dua jam Ruby sudah duduk di hadapannya. Menatap Tiara dengan gusar.

“Apa-apaan? Ibu hamil memang emosi gak stabil ya? Kalau cuma ribut kecil gak usah ekstrem begitu deh. Emang gak bisa baikan?” Ruby mengomel.

Tiara menghela napas panjang. Lalu mengembuskannya. Ia memberi isyarat agar Ruby mengikutinya ke dalam. Ruby menurut dan membuntutinya melangkah masuk. Mereka berpapasan dengan Bik Amah yang sudah bersiap pulang ke rumah Ibu. 

“Bibik pulang dulu ke rumah Ibu ya Non. Tadi kamar belakang sudah Bibik pel dua-duanya. Kamar atas juga. Den Ben dan teman bulenya itu sudah berangkat kerja ya Non? Tapi kok kamarnya terbuka dan kopernya ndak ada.”

Tiara tidak tahu. Sedari subuh ia tidak berpapasan dengan Ben. Ia belum berani naik lagi ke kamar atas. Tidak ada koper kata Bik Amah. Mungkin kekasihnya itu pindah ke hotel. Ia mengangkat bahu.

“Iya, Bik.” Tiara mengeluarkan selembar uang dan menyerahkannya pada Bik Amah. “Buat ongkos taksi, Bik. Gak usah naik bis.”

Bik Amah berlalu. Perhatian Ruby sepenuhnya tertuju pada Tiara.

Ada kantung di bawah mata Tiara. Bersahabat sejak SMA, Ruby tahu Tiara pasti baru menangis. Meski sekarang wajahnya terlihat keras, mendung masih menggelayut di matanya. 

“Apa yang terjadi?” Ruby menggenggam tangan Tiara. “Ceritain semuanya. Kenapa sampai lo mutusin mau cerai segala?”

“Ben… dan...” tangis Tiara langsung pecah. 

Manusia sering salah menilai kekuatannya. Tiara bisa saja mengeraskan hati. Membatukan emosi. Berpura-pura tegar. Namun, jauh di dalam, jiwanya terluka. Ia tak tahu harus menyalahkan siapa.

Ruby memeluknya, mengusap-usap punggungnya. “Gua tahu,” Ruby berbisik.

Tiara melepaskan pelukan. “Lo tahu? Dan lo gak bilang sama gua?” Tiara menatapnya dengan sorot menuduh.

“Bukan, bukan tahu.” Ruby meralat ucapannya, “Gua cuma menduga. Di pesta pernikahan kalian, gua melihat bagaimana mereka saling memandang.”

“Tapi...” Ruby memotong begitu melihat Tiara hendak membuka mulut. “Gua pikir, toh pernikahan kalian tetap berlangsung. Jadi mungkin Ben sudah milih elo. Karena itu, gua gak berhak bicara apa-apa kan, Ara? Mungkin gua salah. Apalagi elo langsung hamil. Gua makin yakin pasti gua salah.”

Tiara menggelengkan kepala. 

“Penglihatan lo, firasat lo, semua benar.” Ia mengambil selembar tisu. Mengusap air mata dengan gerakan kasar dan membuang ingus. Mengembuskan napasnya lagi dengan keras.

“Gua sudah bulat. Gua mau cerai. Lo tolongin gua, cariin pengacara perceraian.”

“Mending lo tenang dulu. Lo lagi hamil, setidaknya tunggu sampai lo lahiran baru dipikirkan lagi.”

“No!” Tiara membantah, “Justru gua mau sesegera mungkin, proses secepat dan sesingkat mungkin. Gua mau saat anak gua lahir nanti, hanya gua yang tercantum sebagai orang tuanya. Anggap ia tak punya ayah.”

“Ara!” Suara Ruby meninggi, menepuk-nepuk pipi sahabatnya. “Tenang, Ara. Pikirin yang matang. Pikirin perasaan Ibu dan Bapak.”

Mendengar Ibu dan Bapak disebut, hati Tiara serasa tertohok. Ia menggenggam tangan Ruby, mengguncangnya.

“Ibu dan Bapak tidak usah tahu. Elo musti bersumpah, tidak akan menceritakan apa pun pada mereka”

“Lalu… bagaimana kalau mereka tanya?”

“Lo bilang aja gak tahu.”

“Ara, urusan elo, Ibu Bapak pasti tahu gak mungkin gua gak tahu. Elo pertama haid aja lapornya ke gua! Dulu waktu pertama lirik-lirikan sama Ben aja lo ceritanya ke gua...” 

Sesudah mengatakan itu, Ruby menyesal. “Maaf,” bisiknya.

“Lo gua maafkan hanya jika lo bantu gua mencari pengacara yang bisa proses cerai sesegera mungkin.” Suara Tiara tegas.

“Kita ini masih muda, Ara. Gua juga masih kuliah, mana punya kenalan yang berprofesi pengacara? Coba kita tanya Alana, dia penulis, pasti sering berhubungan dengan hukum untuk urusan royalti bukunya.”

Tiara menggeleng, “Gua… gak mau Alana tahu. Semakin sedikit yang tahu tentang ini, lebih baik.”

“Kita gak mungkin menyembunyikan ini dari Alana, Ara. Kita tiga serangkai yang saling terbuka, gak pernah ada rahasia di antara kita. Kalau dia sampai tahu belakangan, dia pasti tersinggung. Dan lagi…” Ruby tampak ragu.

“Apa?” Tiara menatap Ruby penuh selidik.

“Alana juga sudah curiga. Jadi… tidak ada gunanya merahasiakan ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Belahan Jiwa   68. Ekstra 5 - Be My Wife (2) The End

    “Hai… sweetheart senang sekali bertemu denganmu lagi,” Marcia memeluk Tiara erat, mencium pipinya kiri dan kanan. “Aduh, sudah berapa lama ini?” “Lima tahun?” Melihat Tiara mengacungkan tangannnya, Marcia membelalak. “Astaga! Waktu benar-benar tidak menunggu.” “Dan kamu…” Marcia menepuk lengan atas Tristan sambil mengernyit, berpura-pura marah. “Berani-beraninya membuat anakku menangis. Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu harus menebusnya! Apakah kamu sudah minta maaf?” Tristan mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah. “Ampun. Aku akan menebusnya seumur hidup. Aku berjanji, itu pertama dan terakhir aku membuatnya menangis. Mulai saat ini, aku hanya akan menyelimutinya dengan cinta. Hanya akan membuatnya tersenyum.” “Nah, itu baru benar!” Marcia masih mengerucutkan bibir. “Sudah kukatakan mataku tidak salah. Aku menangkap binar-binar cinta di mata kalian. Sekarang terbukti, bukan?” “Ya ya…” Tristan dan Tiara tertawa. “Itu juga sebabnya kami kembali ke sini, Tristan ingin

  • Belahan Jiwa   67. Ekstra 4 - Be My Wife (1)

    Jari Tristan menjalari seluruh lekuk tubuh Tiara, mereka berbaring berhadapan, belum kembali mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, masih dipenuhi peluh, masih mengatur napas yang nyaris habis. Tadi Tristan bagai kesetanan, menggumuli Tiara sampai merintih, melenguh, berteriak, hingga suaranya habis. Dan kini, tubuh Tiara tergolek tak bertenaga. “Kamu kuat banget,” Tiara berbisik. “Padahal sudah tidak muda lagi.” Tristan tertawa, “Jangan menganggap remeh orang tua. Aku masih kuat kalau kamu mau nambah. Napasku panjang karena aku sering lari, full marathon 42 km. Bagaimana, masih mau lagi?” Tristan menggoda Tiara, memindahkan jarinya dan memutar-mutar di sekitar areolanya. Tiara menggedikkan bahu, “Rasanya tidak nyaman. Sepertinya lecet, kamu sih terlalu ganas.” “Akibat menahan lima tahun, sayang. Oh bukan, kalau menghitung dari kita kenal, sebenarnya tujuh tahun.” Tristan menggosokkan hidungnya ke hidung Tiara. “Jadi, mulai sekarang kamu harus siap aku sergap untuk dib

  • Belahan Jiwa   66. Ekstra 3 - Tak Akan Melepaskanmu

    “Meskipun telah berpisah, aku tidak langsung mencarimu. Aku ingin melihat apakah takdir akan kembali mempertemukan kita. Jika tidak, berarti kita memang tidak berjodoh, dan aku benar-benar akan menghapus segala harapan. Tetapi ternyata… kita kembali dipertemukan. Dan kali ini, aku tak akan melepaskanmu.” Tristan meremas tangan Tiara. “Tentu saja, jika kamu belum bertemu seseorang, dan jika kamu bersedia.” Tiara menunduk, jantungnya berdentum-dentum. “Waktu kamu ulang tahun, kita tidak berfoto. Sekarang, kita sudah bisa berfoto bersama.” Kata Tristan lagi. “Supaya aku bisa melihat bagaimana wajah kita berdua ketika berdampingan, dan aku bisa memandangainya ketika aku sendirian.” Wajah Tiara seketika merona. “Kamu kok jadi lebay begini, malu ah sudah tua.” Tiara kembali berusaha menarik tangannya, tetapi Tristan malah pindah tempat duduk dari depannya ke sebelahnya. “Melihat reaksi kamu, kamu pasti belum bertemu seseorang, dan kamu bersedia. Ya kan?” Di akhir kalimat, Tristan be

  • Belahan Jiwa   65. Ekstra 2 - Tak Ingin Lagi Kehilanganmu

    Berbeda dari biasanya, dimana Tiara hampir selalu hadir lebih dulu dan Tristan hampir selalu terlambat, kali ini, Tiara berjalan berlama-lama, ingin membiarkan Tristan menunggunya.Ia bahkan hampir menyesali telah setuju untuk menemuinya lagi, setelah susah payah membakar jembatan, sekarang jembatan itu akan dibangun kembali?Namun, kata-kata Tristan yang mengatakan ‘banyak yang ingin disampaikan’, telah menggelitik rasa penasarannya. Sebanyak apa? Apa yang dia pendam dalam lima tahun ini, dan mengapa harus disampaikan padanya? Bukankah semuanya telah selesai?Tiara tiba di depan Blue Elephant. Seorang penerima tamu menyambutnya dengan senyum ramah.“Selamat siang. Untuk berapa orang, Bu?”“Sepertinya teman saya sudah di sini,” Tiara agak melongokkan kepala. “Entah dia sudah sampai belum…”“Boleh saya cek namanya?”“Tristan.”Penerima tamu itu memeriksa daftar nama di meja, “Sudah datang, mari saya antar, Bu.” Dia berjalan mendahului Tiara.Tiara mengikutinya ke sebuah meja. Ini bahka

  • Belahan Jiwa   64. Ekstra 1 - Lima Tahun Kemudian

    Tiara berdiri di depan sebuah jendela lebar yang tirainya disingkapkan, menatap jajaran box berisi bayi-bayi yang terbaring di dalamnya.Kirana berdiri di sebelahnya, berjingkat-jingkat sambil memanjangkan leher.“Yang mana ya Mam?” Kirana bertanya.“Kayaknya yang itu tuh, yang ketiga dari kiri.” Tiara meletakkan telunjuknya di kaca.Kirana menoleh padanya, “Kok Mami milih yang itu?”“Soalnya merah sendiri. Yang lain pada kuning.” Tiara menjelaskan alasan akan bayi yang dipilihnya.Kirana kembali mengalihkan pandang ke box bayi itu, berusa

  • Belahan Jiwa   63. Kamu Adalah Luka Parut

    And if you should ask mewhich you are,my answer is -you are a scar. -Lang Leav-Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa cinta tidak selalu benar. Cinta bisa jatuh di waktu yang salah, pada orang yang keliru, dalam keadaan yang tidak tepat. Pun ketidakbenaran itu tak menutupi kenyataan bahwa cinta itu hadir. Tak pula lalu meniadakan keberadaannya, bagaimana keras pun itu berusaha disingkirkan, dihapus, dilupakan.Pada akhirnya, itu hanya bisa dibiarkan mereda, mengendap, terkikis bersama waktu. Jika itu tak juga lenyap, dan rasa sakitnya terus terasa, kesakitan itu justru membuatnya nyata. Bahwa cinta itu ada. Pernah ada.Sebab siapa yang bisa menjamin apakah sebuah cinta akan berlangsung selamanya. Atau hanya hadir sesaat. Bukan kemampuan kita untuk melepaskan atau terus menggenggamnya yang akan menentukan rentang waktu cinta, melainkan kedalamannya. Terlepas dari apakah cinta itu benar, atau salah.Tiara menelusuri percakapan-percakapan di layar ponselnya. Semua percakapan denga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status