Ketegangan dari dalam rumah Pak Jajang rupanya merambat ke dada Yusuf yang berdegup-degup terbawa suasana. Pak Jajang yang dikenal berwibawa dan cukup dipandang di desanya itu rupanya masih bisa kena hardik anaknya sendiri.
Lalu keluarlah Pak Jajang dari dalam rumah dengan wajah merah karena marah. Dan saat pria berusia empat puluh tahun itu menatap Yusuf, ia membatin. Bagaimana jika anaknya yang liar dijodohkan saja dengan pemuda rajin dan baik itu. Pemuda itu juga tidak jelek, hanya miskin dan kurang merawat badan. Jika terus aku bimbing, insyaallah ia menjadi pemuda yang pandai mengelola kebun ini. Dengan begitu aku punya pewaris usaha yang jujur lagi dapat diandalkan.
“Yusuf, boleh kemari sebentar?” panggil Pak Jajang.
Yusuf menoleh. “I-i-ya, Pak.” Yusuf menghampiri Pak Jajang sembari sedikit menundukkan kepalanya.
“Bapak mau tanya, waktu itu kamu pernah cerita… kamu putus sekolah pas SMP, betul?”
Yusuf termangu, heran dengan sikap Pak Jajang yang tiba-tiba bertanya seperti itu padanya.
“Suf?” panggil Pak Jajang lembut sebab anak muda itu diam terpaku.
“Be-betul, Pak,” jawab Yusuf sambil cengengesan.
“Memangnya sekarang usiamu berapa? Dua puluh tahun ada?”
“Du-dua puluh dua, Pak!”
“Emm…” Pak Jajang manggut-manggut mendengar jawaban Yusuf. Pak Jajang belum melanjutkan bicaranya. Ia menatap lekat wajah Yusuf yang nampak bingung dan malu-malu, lalu manggut-manggut lagi.
Sikap Pak Jajang yang hanya diam dan tampak mengamatinya setelah mengetahui umurnya memancing rasa penasaran Yusuf. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya, “Ka-kalau boleh tahu, ke-kenapa, Pak?” Yusuf bertanya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Pak Jajang ingin sekali menyampaikan maksudnya, tetapi tiba-tiba urung setelah berpikir bagaimana kalau Lilis, anaknya yang angkuh itu menolak Yusuf mentah-mentah. Maksud hati ingin memberi kabar baik, nanti malah Yusuf sakit hati mengingat anak gadisnya itu berlidah tajam bagai silet, suka mencemooh dan meremehkan orang.
“Begini, Nak! Bapak lihat usaha wisata kebun ini sangat potensial untuk lebih dikembangkan. Para pengunjungnya juga semakin banyak. Selain itu, saat Bapak diajak main ke curug sama kamu waktu itu, kamu ingat?”
Yusuf mengangguk meski belum paham kemana arah pembicaraan Pak Jajang.
“Curug yang sangat indah dan belum banyak orang tahu, Bapak berpikir untuk membuat paket-paket wisata alam,” tutur Pak Jajang yang hanya dibalas senyuman bingung pemuda lugu di hadapannya.
“Maksudnya… Bapak butuh tenaga kerja yang bisa membantu Bapak mengelola usaha ini. Mulai besok kamu kursus publik speaking dan bahasa Inggris, yah!”
Hah? Kening Yusuf mengkerut.
“Iya, kamu tahu sendiri kan, para pengunjung bisa datang ramai-ramai dalam sekali waktu. Sebetulnya Bapak kewalahan melayani mereka. Nah, Bapak mau… nanti kamu yang bantu. Biar urusan merawat kebun nanti bapak carikan tambahan tenaga.
Yusuf melongo mendengar permintaan Pak Jajang yang baginya terdengar aneh. Bapak ini lupa yah kalau dirinya gagap, jangankan berbahasa Inggris, ngobrol sehari-hari saja sukar rasanya, pikirnya dalam hati. Dan apa itu? Pa-pa-pablik spiking?
“Sudah, jangan bingung. Besok Bapak antar kamu ke tempat kursusnya, yah. Dan ini…” Pak Jajang merogoh sesuatu dari dalam saku celananya. “Ini uang, kamu belikan baju, celana dan sepatu baru.” Pak Jajang menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan.
“Ti-tidak usah, Pak.” Yusuf mengelak. Sungguh Yusuf tak enak hati menerima uang itu. Baginya, selama ini Pak Jajang sudah terlalu baik dengan mempekerjakannya di kebun dan mempersilakan ia dan neneknya mengambil buah atau sayuran untuk dimasak di rumah.
Pak Jajang tersenyum. Ia hafal betul sifat pemuda itu. Ia baru akan menerimanya setelah berkali-kali ditawarkan.
“Ambilah, Suf! Teu nanaon.” Pak Jajang merangkul dan menjabat tangan Yusuf sembari mengepalkan uang itu ke tangannya. “Besok berdandanlah yang rapi, yang wangi, biar Lilis tertarik.”
Degh!
Dabh! Dibh! Dubh!
Jantung Yusuf mencelos demi mendengar bisikan Pak Jajang di telinganya. Mendengar nama gadis itu disebut, spontan ia gugup. Wajah Yusuf pucat pasi, mulutnya menganga karena terkejut. Yusuf buru-buru memalingkan wajahnya dengan menunduk saat sekelebat melihat senyum tipis di wajah Pak Jajang.
Jangan-jangan, selama ini Pak Jajang memperhatikanku.
Mati aku!
“Selamat pagi!”“Pagi!”“Semangat!”“Semangat! Yes! Yes! Yes!”Sorak sorai penuh semangat membaur dengan cuitan burung-burung yang telah keluar dari sarang. Rona gembira menyibak kabut liar, elemen terbaik milik alam Cihejo di pagi hari. Mereka, gerombolan wisatawan dari kota, tujuh orang banyaknya, empat laki-laki dan tiga perempuan nampak begitu antusias menjajal wahana permainan air yang disebut river tubing. Di tepi sungai Harerang, setiap intruksi yang diberikan oleh pemandu mereka simak dengan baik, walaupun ada sebagian yang lebih asik bercanda dengan menggodai temannya.“Selamat datang di Harerang River Tubing!” Lilis sudah mengenakan pakaian sport muslimahnya saat menyambut mereka. Menjadi pemandu wisata air adalah pekerjaannya selain mengelola kebun wisata stroberi. Berkat tangan dinginnya, gadis itu berhasil menarik lebih banyak wisatawan dengan menawarkan beberapa paket wisata, river tubing ini salah satunya. Lima tahun lalu, Sungai Harerang hanyalah sungai alami milik w
Seringkali Loulia membayangkan betapa suatu hari ia akan menjadi seorang bintang, melenggang anggun melintasi red carpet di tengah keranuman tatapan kagum. Pada saat itulah ia akan merasakan percikan lampu kamera menjadi lebih hangat dari ciuman pertama, dan keredap cahaya yang memantul dari gaun berwarna peraknya liar memikat selera semua mata hingga hanya tertuju padanya.“Sungguh, A! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma seorang bintang…” Loulia berbicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Kemudian orang-orang berebut untuk berfoto bersamaku.”Yusuf yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau Aa punya keinginan seperti kamu, Aa pasti memilih menjadi kabut.”“Kenapa?”“Biar Aa bisa dicumbui kamu persis saat kamu menyesap aroma kabut sampai matamu merem melek. Biar Aa bisa menyusup ke rongga paru-parumu, mendekam
Desing suara mesin mobil pengangkut sayur yang beradu dengan gemeretak batu-batu kerikil yang digilas ban di halaman rumah berhasil mengalihkan pikiran Lilis sejenak dari ruwet pikirannya yang seperti benang kusut itu. Ia segera menyerbu pintu, persis anak kecil yang telah menunggu lama sang ayah pulang dari bekerja.Seorang laki-laki 40 tahunan turun dari mobil. Sambil mengelap peluh di wajahnya dengan handuk yang tersangkut di leher laki-laki itu berjalan menghampiri Lilis. Dari pintu mobil yang lain melompat seorang pemuda jangkung lagi kerempeng. Pemuda itu langsung menyalakan sebatang rokok setelah menemukan pojok yang pas untuk berjongkok.“Macet lagi, Pak?” tanya Lilis sambil menerima beberapa lembar nota dan kunci mobil yang disodorkan laki-laki itu.“Iya, Neng. Biasalah, kalau lewat pas lagi bubar karyawan pabrik pasti macet.”“Pak Asep, saya bikinin kopi ya,” seru Buk Martinah yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.“Nggak usah, Buk. Saya mau langsung pulang saja. Sudah kemale
Tak! Tuk! Tak! Tuk!Bagi Farhan jarum jam yang berdetak di ruang pemeriksaan tak sekadar berjalan meniti waktu, namun terasa begitu tajam menusuk tempurung kepalanya. Dokter muda itu mengerjapkan mata berulang kali, juga mengatur napasnya yang kacau namun semampunya ia sembunyikan. Farhan tak ingin efek yang terjadi pada tubuhnya sebagai seorang lelaki dewasa normal disadari oleh gadis itu. Bahkan saat pasiennya itu melepas pakaian atasnya hingga terpampang nyata dua benda bulat berharga miliknya, Farhan masih bisa bersikap tenang.“Oke,” gumam Farhan setelah mengamati dua bukit kembar milik Erna. Lalu kembali menambahkan catatan di kertas yang ditopang papan dada. Seolah sedang melakukan pemeriksaan biasa, Farhan tak menampakkan reaksi berarti. Sikap datarnya itu justru memancing rasa penasaran Erna.“Apakah baik-baik saja, Dok?” Erna sengaja melembutkan suaranya seiring dengan sorot matanya yang mendalam pada dokter muda itu.&ld
“Silakan…” Gadis itu masuk ke ruang pemeriksaan diikuti Farhan yang berjalan setengah gusar. Rupanya Farhan tak lupa pada sebuah batasan yang ia buat sendiri, sesuatu yang ia pegang demi menjaga kredibilitasnya sebagai dokter muda. Ia tak boleh menerima pasien perempuan di luar jam kerja, apalagi seorang diri tanpa ditemani perawat. Keputusan spontan yang ia ambil beberapa menit yang lalu kini mengganggu pikirannya. Entah mengapa ia tak kuasa menolak gadis itu, yang jika dilihat sekilas tak nampak kesakitan atau menderita cedera serius yang harus segera ditangani. Ketika gadis itu melewatinya, Farhan kembali mencium aroma memabukkan itu. Seketika darahnya berdesir, beruntung ia mampu menguasai diri sebelum gadis itu menoleh ke arahnya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” “Dengan Mbak siapa?” Farhan menarik pulpen dan mulai mencatat di atas secarik kertas. “Erna.” “Baik. Mbak Erna, kalau tidak salah siang tadi kita bertemu di… supermarket?” “Iya betul, Dok. Saya karyawannya calon i
Melihat mulut Lilis terkatup rapat, dan serat-serat kelopak matanya terangkat, Buk Martinah tahu kalau anaknya tengah menanggung beban pikiran yang sangat berat. Sejumput sesal kemudian menghentak dada Buk Martinah. Bila saja ia bisa menyimpan pesan itu, paling tidak sampai suasana hati Lilis kembali riang seperti biasa, itu akan lebih baik mengingat gadis semata wayangnya akan menikah dalam waktu dekat. Tapi hati siapa yang tak terganggu dengan keluh dari seorang perempuan renta, yang siang tadi tetiba mengetuk pintu rumah Buk Martinah. Perempuan itu sudah sangat sepuh namun bersikukuh ingin menukar peluh dengan beberapa lembar uang, sayur, buah atau apa pun itu yang dapat menyambung hidupnya.Lilis yang duduk persis di samping Buk Martinah sejak sepuluh menit lalu terus memeluk gelas berisi teh manis hangat dengan telapak tangannya. Pandangannya mengambang setengah putus asa. Di teras rumah, suara jangkrik dan tonggeret mengiringi kesenduan batinnya; mengisi keheningan yang