Share

5

Author: Mala Anggi
last update Last Updated: 2022-01-17 09:49:32

“Lilis!” panggil Buk Martinah, ibunya Lilis. Itu adalah panggilan ketiga yang tidak juga mendapat respon sekalipun Buk Martinah berteriak kencang dari arah dapur. Urat-urat leher Buk Martinah sampai muncul saking kuatnya berteriak, beradu dengan suara dandang di atas kompor.

Lilis bukannya tidak mendengar, tetapi sudah tabiatnya malas menyahut panggilan orangtua sebab, Lilis tahu betul kalau ibunya memanggil pastilah mau menyuruh sesuatu. Alih-alih menjawab panggilan ibunya, Lilis malah asyik berjoged di depan layar ponsel.

Lilis mendekatkan wajahnya ke layar ponsel sambil menyibak rambut dan mengerlingkan mata. Lilis menggerak-gerakan mulutnya, kadang terbuka, kadang manyun, kadang nyengir, kadang tersenyum manis, kadang judes dan cemberut.

Lilis kemudian bergerak mundur. Ia menarik hotpant ketatnya dan mengangkat buah dadanya ke atas sampai menyembul keluar memperlihatkan belahannya dari balik tanktop kuning bertali tipis. Lilis lalu mengikuti gerakan seseorang yang ada di ponselnya diiringi suara musik jedag-jedug tak karuan. Lilis bergoyang maju mundur memamerkan bulat padat bokongnya.

“Astaghfirullah! anak teh bener-bener…” gerutu Buk Martinah sambil memotong sayur mentimun dengan hentakan-hentakan gemas. “Sampai kapan aku bisa sabar?” Anak perawan satu-satunya itu memang sering membuat darahnya naik. Buk Martinah biasanya meredam emosi dan membiarkan. Bukan apa-apa, karena kalau Pak Jajang ikutan marah malah muncul keributan besar antara anak dan bapak. Itu yang Buk Martinah hindari, alasannya satu, malu sama orang-orang.

“Sabar ya Buk, jangan lelah berdo’a sama Allah. Nanti juga kalau pemikirannya sudah dewasa insyaallah Neng Lilis berubah,” ucap Ni Cicah, nenek Yusuf yang sedang membelah batang-batang sayur kangkung.

“Sampai kapan, Ni? padahal Lilis bukan anak kecil lagi. Sudah delapan belas tahun, sudah lulus SMA! Dibiarin keterlaluan, dikerasin tambah menjadi-jadi,” keluh Buk Martinah.

“Iya, sabar… Buk,” ucap Ni Cicah sekali lagi. “Ngomong-ngomong, Buk. Itu sup kambingnya mau-” Ni Cicah menunjuk dandang berisi sup kambing yang airnya bergejolak mau tumpah.

“Eh iya, walah walah walah, wah….” Buk Martinah histeris sebab air sup kambing keburu meleber. Buk Martinah cepat-cepat mematikan kompor yang kebasahan. Ia mengambil lap yang ada di meja. Sialnya, baskom berisi potongan mentimun yang menindih lap malah jatuh tertarik. Mentimun pun berserakan di lantai.

Buk Martinah kesal, wajahnya memerah. “Duh, Lilis… dia tidak tahu apa di dapur sangat sibuk!”

Buk Martinah berjalan menuju kamar Lilis dengan dada sesak menahan emosi. Sampai di depan kamar Lilis Buk Martinah langsung menggedor-gedor pintu kamar yang terkunci.

“Lilis! Lilis!” teriak Buk Martinah.

Di saat yang bersamaan Pak Jajang datang hendak mengambil sesuatu dari dalam rumah.

“Ada apa, Buk?” tanya Pak Jajang.

Degh!

Buk Martinah kaget melihat suaminya. “Emm… ini, Pak. Ibu mau minta tolong Lilis bantuin masak di dapur,” jawab Buk Martinah. Tanpa banyak bertanya, Pak Jajang langsung menggedor pintu kamar Lilis kencang-kencang sambil berteriak memanggil anak gadisnya itu.

“Haduuh…” Buk Martinah risau sebab anaknya sama sekali tidak menyahut. Semakin lama perasaan Buk Martinah semakin tidak enak. “Jangan…jangan… jangan sampe ribut lagi,” bisik Buk Martinah.

“Minggir, Buk!” pinta Pak Jajang sembari melipat lengan kaos panjangnya. Pak Jajang bergerak mundur mengambil ancang-ancang sembari menarik kursi kayu di dekatnya, di ruang keluarga, lalu bersiap melemparnya keras-keras ke arah pintu.

Ceklek!

Pintu kamar Lilis dibuka. “Ada apa sih, ribut-ribut?” tanya Lilis bernada kesal.

“Astaghfirullahaladzim…” Pak Jajang syok melihat cara berpakaian Lilis dan, kursi pun terpelanting ke lantai. “Tidak malu kamu pakai baju secuil seperti itu?” bentak Pak Jajang.

“Kan di kamar, Pak!” Lilis menjawab.

“Seharian kamu di kamar terus! Boro-boro bantuin Ibu sama Bapak, dipanggil-panggil pun tidak menyahut. Mau jadi apa kamu? Bisa apa kamu kalau kerjaannya di kamar terus?” Emosi Pak Jajang meluap. “Lihatlah Yusuf, anaknya rajin, tidak banyak gaya, sopan sama orangtua.”

Merah telinga Lilis mendengar omelan bapaknya. Kalimat bapaknya itu seperti mengecap dirinya sebagai anak tidak berguna. Apalagi dibanding-bandingkan dengan si ‘Ucup Belewuk’-begitu Lilis menyebut Yusuf- yang dipandangnya bodoh, gagap, dekil lagi miskin.

Lilis tidak terima. Lilis berteriak sembari masuk ke dalam kamar, lalu dibantingnya pintu.

“Astaghfirullahal’adzim…” Buk Martinah mengelus dada.

Prang!Klentang!

Dari dalam kamar Lilis membanting gelas dan piring kaleng yang biasa ia bawa saat makan sambil tiduran dan nonton drama Korea.

Yusuf yang sedari tadi mendengar keributan dari dalam rumah Pak Jajang kaget namanya disebut-sebut. Lamat-lamat Yusuf mendengar gunjingan dua warga yang kebetulan sedang lewat di depan halaman rumah Pak Jajang.

“Anak gadis Pak Jajang sungguh bertabiat buruk,” ujar salah seorang.

“Iya, cantik-cantik sayang kelakukan seperti…” timpal yang lain sambil geleng-geleng kepala.

“Hush!” Yusuf segera membantahnya sembari meletakkan jari telunjuk di bibirnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   61

    “Selamat pagi!”“Pagi!”“Semangat!”“Semangat! Yes! Yes! Yes!”Sorak sorai penuh semangat membaur dengan cuitan burung-burung yang telah keluar dari sarang. Rona gembira menyibak kabut liar, elemen terbaik milik alam Cihejo di pagi hari. Mereka, gerombolan wisatawan dari kota, tujuh orang banyaknya, empat laki-laki dan tiga perempuan nampak begitu antusias menjajal wahana permainan air yang disebut river tubing. Di tepi sungai Harerang, setiap intruksi yang diberikan oleh pemandu mereka simak dengan baik, walaupun ada sebagian yang lebih asik bercanda dengan menggodai temannya.“Selamat datang di Harerang River Tubing!” Lilis sudah mengenakan pakaian sport muslimahnya saat menyambut mereka. Menjadi pemandu wisata air adalah pekerjaannya selain mengelola kebun wisata stroberi. Berkat tangan dinginnya, gadis itu berhasil menarik lebih banyak wisatawan dengan menawarkan beberapa paket wisata, river tubing ini salah satunya. Lima tahun lalu, Sungai Harerang hanyalah sungai alami milik w

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   60

    Seringkali Loulia membayangkan betapa suatu hari ia akan menjadi seorang bintang, melenggang anggun melintasi red carpet di tengah keranuman tatapan kagum. Pada saat itulah ia akan merasakan percikan lampu kamera menjadi lebih hangat dari ciuman pertama, dan keredap cahaya yang memantul dari gaun berwarna peraknya liar memikat selera semua mata hingga hanya tertuju padanya.“Sungguh, A! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma seorang bintang…” Loulia berbicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Kemudian orang-orang berebut untuk berfoto bersamaku.”Yusuf yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau Aa punya keinginan seperti kamu, Aa pasti memilih menjadi kabut.”“Kenapa?”“Biar Aa bisa dicumbui kamu persis saat kamu menyesap aroma kabut sampai matamu merem melek. Biar Aa bisa menyusup ke rongga paru-parumu, mendekam

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   59

    Desing suara mesin mobil pengangkut sayur yang beradu dengan gemeretak batu-batu kerikil yang digilas ban di halaman rumah berhasil mengalihkan pikiran Lilis sejenak dari ruwet pikirannya yang seperti benang kusut itu. Ia segera menyerbu pintu, persis anak kecil yang telah menunggu lama sang ayah pulang dari bekerja.Seorang laki-laki 40 tahunan turun dari mobil. Sambil mengelap peluh di wajahnya dengan handuk yang tersangkut di leher laki-laki itu berjalan menghampiri Lilis. Dari pintu mobil yang lain melompat seorang pemuda jangkung lagi kerempeng. Pemuda itu langsung menyalakan sebatang rokok setelah menemukan pojok yang pas untuk berjongkok.“Macet lagi, Pak?” tanya Lilis sambil menerima beberapa lembar nota dan kunci mobil yang disodorkan laki-laki itu.“Iya, Neng. Biasalah, kalau lewat pas lagi bubar karyawan pabrik pasti macet.”“Pak Asep, saya bikinin kopi ya,” seru Buk Martinah yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.“Nggak usah, Buk. Saya mau langsung pulang saja. Sudah kemale

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   58

    Tak! Tuk! Tak! Tuk!Bagi Farhan jarum jam yang berdetak di ruang pemeriksaan tak sekadar berjalan meniti waktu, namun terasa begitu tajam menusuk tempurung kepalanya. Dokter muda itu mengerjapkan mata berulang kali, juga mengatur napasnya yang kacau namun semampunya ia sembunyikan. Farhan tak ingin efek yang terjadi pada tubuhnya sebagai seorang lelaki dewasa normal disadari oleh gadis itu. Bahkan saat pasiennya itu melepas pakaian atasnya hingga terpampang nyata dua benda bulat berharga miliknya, Farhan masih bisa bersikap tenang.“Oke,” gumam Farhan setelah mengamati dua bukit kembar milik Erna. Lalu kembali menambahkan catatan di kertas yang ditopang papan dada. Seolah sedang melakukan pemeriksaan biasa, Farhan tak menampakkan reaksi berarti. Sikap datarnya itu justru memancing rasa penasaran Erna.“Apakah baik-baik saja, Dok?” Erna sengaja melembutkan suaranya seiring dengan sorot matanya yang mendalam pada dokter muda itu.&ld

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   57

    “Silakan…” Gadis itu masuk ke ruang pemeriksaan diikuti Farhan yang berjalan setengah gusar. Rupanya Farhan tak lupa pada sebuah batasan yang ia buat sendiri, sesuatu yang ia pegang demi menjaga kredibilitasnya sebagai dokter muda. Ia tak boleh menerima pasien perempuan di luar jam kerja, apalagi seorang diri tanpa ditemani perawat. Keputusan spontan yang ia ambil beberapa menit yang lalu kini mengganggu pikirannya. Entah mengapa ia tak kuasa menolak gadis itu, yang jika dilihat sekilas tak nampak kesakitan atau menderita cedera serius yang harus segera ditangani. Ketika gadis itu melewatinya, Farhan kembali mencium aroma memabukkan itu. Seketika darahnya berdesir, beruntung ia mampu menguasai diri sebelum gadis itu menoleh ke arahnya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” “Dengan Mbak siapa?” Farhan menarik pulpen dan mulai mencatat di atas secarik kertas. “Erna.” “Baik. Mbak Erna, kalau tidak salah siang tadi kita bertemu di… supermarket?” “Iya betul, Dok. Saya karyawannya calon i

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   56

    Melihat mulut Lilis terkatup rapat, dan serat-serat kelopak matanya terangkat, Buk Martinah tahu kalau anaknya tengah menanggung beban pikiran yang sangat berat. Sejumput sesal kemudian menghentak dada Buk Martinah. Bila saja ia bisa menyimpan pesan itu, paling tidak sampai suasana hati Lilis kembali riang seperti biasa, itu akan lebih baik mengingat gadis semata wayangnya akan menikah dalam waktu dekat. Tapi hati siapa yang tak terganggu dengan keluh dari seorang perempuan renta, yang siang tadi tetiba mengetuk pintu rumah Buk Martinah. Perempuan itu sudah sangat sepuh namun bersikukuh ingin menukar peluh dengan beberapa lembar uang, sayur, buah atau apa pun itu yang dapat menyambung hidupnya.Lilis yang duduk persis di samping Buk Martinah sejak sepuluh menit lalu terus memeluk gelas berisi teh manis hangat dengan telapak tangannya. Pandangannya mengambang setengah putus asa. Di teras rumah, suara jangkrik dan tonggeret mengiringi kesenduan batinnya; mengisi keheningan yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status