Share

5

“Lilis!” panggil Buk Martinah, ibunya Lilis. Itu adalah panggilan ketiga yang tidak juga mendapat respon sekalipun Buk Martinah berteriak kencang dari arah dapur. Urat-urat leher Buk Martinah sampai muncul saking kuatnya berteriak, beradu dengan suara dandang di atas kompor.

Lilis bukannya tidak mendengar, tetapi sudah tabiatnya malas menyahut panggilan orangtua sebab, Lilis tahu betul kalau ibunya memanggil pastilah mau menyuruh sesuatu. Alih-alih menjawab panggilan ibunya, Lilis malah asyik berjoged di depan layar ponsel.

Lilis mendekatkan wajahnya ke layar ponsel sambil menyibak rambut dan mengerlingkan mata. Lilis menggerak-gerakan mulutnya, kadang terbuka, kadang manyun, kadang nyengir, kadang tersenyum manis, kadang judes dan cemberut.

Lilis kemudian bergerak mundur. Ia menarik hotpant ketatnya dan mengangkat buah dadanya ke atas sampai menyembul keluar memperlihatkan belahannya dari balik tanktop kuning bertali tipis. Lilis lalu mengikuti gerakan seseorang yang ada di ponselnya diiringi suara musik jedag-jedug tak karuan. Lilis bergoyang maju mundur memamerkan bulat padat bokongnya.

“Astaghfirullah! anak teh bener-bener…” gerutu Buk Martinah sambil memotong sayur mentimun dengan hentakan-hentakan gemas. “Sampai kapan aku bisa sabar?” Anak perawan satu-satunya itu memang sering membuat darahnya naik. Buk Martinah biasanya meredam emosi dan membiarkan. Bukan apa-apa, karena kalau Pak Jajang ikutan marah malah muncul keributan besar antara anak dan bapak. Itu yang Buk Martinah hindari, alasannya satu, malu sama orang-orang.

“Sabar ya Buk, jangan lelah berdo’a sama Allah. Nanti juga kalau pemikirannya sudah dewasa insyaallah Neng Lilis berubah,” ucap Ni Cicah, nenek Yusuf yang sedang membelah batang-batang sayur kangkung.

“Sampai kapan, Ni? padahal Lilis bukan anak kecil lagi. Sudah delapan belas tahun, sudah lulus SMA! Dibiarin keterlaluan, dikerasin tambah menjadi-jadi,” keluh Buk Martinah.

“Iya, sabar… Buk,” ucap Ni Cicah sekali lagi. “Ngomong-ngomong, Buk. Itu sup kambingnya mau-” Ni Cicah menunjuk dandang berisi sup kambing yang airnya bergejolak mau tumpah.

“Eh iya, walah walah walah, wah….” Buk Martinah histeris sebab air sup kambing keburu meleber. Buk Martinah cepat-cepat mematikan kompor yang kebasahan. Ia mengambil lap yang ada di meja. Sialnya, baskom berisi potongan mentimun yang menindih lap malah jatuh tertarik. Mentimun pun berserakan di lantai.

Buk Martinah kesal, wajahnya memerah. “Duh, Lilis… dia tidak tahu apa di dapur sangat sibuk!”

Buk Martinah berjalan menuju kamar Lilis dengan dada sesak menahan emosi. Sampai di depan kamar Lilis Buk Martinah langsung menggedor-gedor pintu kamar yang terkunci.

“Lilis! Lilis!” teriak Buk Martinah.

Di saat yang bersamaan Pak Jajang datang hendak mengambil sesuatu dari dalam rumah.

“Ada apa, Buk?” tanya Pak Jajang.

Degh!

Buk Martinah kaget melihat suaminya. “Emm… ini, Pak. Ibu mau minta tolong Lilis bantuin masak di dapur,” jawab Buk Martinah. Tanpa banyak bertanya, Pak Jajang langsung menggedor pintu kamar Lilis kencang-kencang sambil berteriak memanggil anak gadisnya itu.

“Haduuh…” Buk Martinah risau sebab anaknya sama sekali tidak menyahut. Semakin lama perasaan Buk Martinah semakin tidak enak. “Jangan…jangan… jangan sampe ribut lagi,” bisik Buk Martinah.

“Minggir, Buk!” pinta Pak Jajang sembari melipat lengan kaos panjangnya. Pak Jajang bergerak mundur mengambil ancang-ancang sembari menarik kursi kayu di dekatnya, di ruang keluarga, lalu bersiap melemparnya keras-keras ke arah pintu.

Ceklek!

Pintu kamar Lilis dibuka. “Ada apa sih, ribut-ribut?” tanya Lilis bernada kesal.

“Astaghfirullahaladzim…” Pak Jajang syok melihat cara berpakaian Lilis dan, kursi pun terpelanting ke lantai. “Tidak malu kamu pakai baju secuil seperti itu?” bentak Pak Jajang.

“Kan di kamar, Pak!” Lilis menjawab.

“Seharian kamu di kamar terus! Boro-boro bantuin Ibu sama Bapak, dipanggil-panggil pun tidak menyahut. Mau jadi apa kamu? Bisa apa kamu kalau kerjaannya di kamar terus?” Emosi Pak Jajang meluap. “Lihatlah Yusuf, anaknya rajin, tidak banyak gaya, sopan sama orangtua.”

Merah telinga Lilis mendengar omelan bapaknya. Kalimat bapaknya itu seperti mengecap dirinya sebagai anak tidak berguna. Apalagi dibanding-bandingkan dengan si ‘Ucup Belewuk’-begitu Lilis menyebut Yusuf- yang dipandangnya bodoh, gagap, dekil lagi miskin.

Lilis tidak terima. Lilis berteriak sembari masuk ke dalam kamar, lalu dibantingnya pintu.

“Astaghfirullahal’adzim…” Buk Martinah mengelus dada.

Prang!Klentang!

Dari dalam kamar Lilis membanting gelas dan piring kaleng yang biasa ia bawa saat makan sambil tiduran dan nonton drama Korea.

Yusuf yang sedari tadi mendengar keributan dari dalam rumah Pak Jajang kaget namanya disebut-sebut. Lamat-lamat Yusuf mendengar gunjingan dua warga yang kebetulan sedang lewat di depan halaman rumah Pak Jajang.

“Anak gadis Pak Jajang sungguh bertabiat buruk,” ujar salah seorang.

“Iya, cantik-cantik sayang kelakukan seperti…” timpal yang lain sambil geleng-geleng kepala.

“Hush!” Yusuf segera membantahnya sembari meletakkan jari telunjuk di bibirnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status