“Lilis!” panggil Buk Martinah, ibunya Lilis. Itu adalah panggilan ketiga yang tidak juga mendapat respon sekalipun Buk Martinah berteriak kencang dari arah dapur. Urat-urat leher Buk Martinah sampai muncul saking kuatnya berteriak, beradu dengan suara dandang di atas kompor.
Lilis bukannya tidak mendengar, tetapi sudah tabiatnya malas menyahut panggilan orangtua sebab, Lilis tahu betul kalau ibunya memanggil pastilah mau menyuruh sesuatu. Alih-alih menjawab panggilan ibunya, Lilis malah asyik berjoged di depan layar ponsel.
Lilis mendekatkan wajahnya ke layar ponsel sambil menyibak rambut dan mengerlingkan mata. Lilis menggerak-gerakan mulutnya, kadang terbuka, kadang manyun, kadang nyengir, kadang tersenyum manis, kadang judes dan cemberut.
Lilis kemudian bergerak mundur. Ia menarik hotpant ketatnya dan mengangkat buah dadanya ke atas sampai menyembul keluar memperlihatkan belahannya dari balik tanktop kuning bertali tipis. Lilis lalu mengikuti gerakan seseorang yang ada di ponselnya diiringi suara musik jedag-jedug tak karuan. Lilis bergoyang maju mundur memamerkan bulat padat bokongnya.
“Astaghfirullah! anak teh bener-bener…” gerutu Buk Martinah sambil memotong sayur mentimun dengan hentakan-hentakan gemas. “Sampai kapan aku bisa sabar?” Anak perawan satu-satunya itu memang sering membuat darahnya naik. Buk Martinah biasanya meredam emosi dan membiarkan. Bukan apa-apa, karena kalau Pak Jajang ikutan marah malah muncul keributan besar antara anak dan bapak. Itu yang Buk Martinah hindari, alasannya satu, malu sama orang-orang.
“Sabar ya Buk, jangan lelah berdo’a sama Allah. Nanti juga kalau pemikirannya sudah dewasa insyaallah Neng Lilis berubah,” ucap Ni Cicah, nenek Yusuf yang sedang membelah batang-batang sayur kangkung.
“Sampai kapan, Ni? padahal Lilis bukan anak kecil lagi. Sudah delapan belas tahun, sudah lulus SMA! Dibiarin keterlaluan, dikerasin tambah menjadi-jadi,” keluh Buk Martinah.
“Iya, sabar… Buk,” ucap Ni Cicah sekali lagi. “Ngomong-ngomong, Buk. Itu sup kambingnya mau-” Ni Cicah menunjuk dandang berisi sup kambing yang airnya bergejolak mau tumpah.
“Eh iya, walah walah walah, wah….” Buk Martinah histeris sebab air sup kambing keburu meleber. Buk Martinah cepat-cepat mematikan kompor yang kebasahan. Ia mengambil lap yang ada di meja. Sialnya, baskom berisi potongan mentimun yang menindih lap malah jatuh tertarik. Mentimun pun berserakan di lantai.
Buk Martinah kesal, wajahnya memerah. “Duh, Lilis… dia tidak tahu apa di dapur sangat sibuk!”
Buk Martinah berjalan menuju kamar Lilis dengan dada sesak menahan emosi. Sampai di depan kamar Lilis Buk Martinah langsung menggedor-gedor pintu kamar yang terkunci.
“Lilis! Lilis!” teriak Buk Martinah.
Di saat yang bersamaan Pak Jajang datang hendak mengambil sesuatu dari dalam rumah.
“Ada apa, Buk?” tanya Pak Jajang.
Degh!
Buk Martinah kaget melihat suaminya. “Emm… ini, Pak. Ibu mau minta tolong Lilis bantuin masak di dapur,” jawab Buk Martinah. Tanpa banyak bertanya, Pak Jajang langsung menggedor pintu kamar Lilis kencang-kencang sambil berteriak memanggil anak gadisnya itu.
“Haduuh…” Buk Martinah risau sebab anaknya sama sekali tidak menyahut. Semakin lama perasaan Buk Martinah semakin tidak enak. “Jangan…jangan… jangan sampe ribut lagi,” bisik Buk Martinah.
“Minggir, Buk!” pinta Pak Jajang sembari melipat lengan kaos panjangnya. Pak Jajang bergerak mundur mengambil ancang-ancang sembari menarik kursi kayu di dekatnya, di ruang keluarga, lalu bersiap melemparnya keras-keras ke arah pintu.
Ceklek!
Pintu kamar Lilis dibuka. “Ada apa sih, ribut-ribut?” tanya Lilis bernada kesal.
“Astaghfirullahaladzim…” Pak Jajang syok melihat cara berpakaian Lilis dan, kursi pun terpelanting ke lantai. “Tidak malu kamu pakai baju secuil seperti itu?” bentak Pak Jajang.
“Kan di kamar, Pak!” Lilis menjawab.
“Seharian kamu di kamar terus! Boro-boro bantuin Ibu sama Bapak, dipanggil-panggil pun tidak menyahut. Mau jadi apa kamu? Bisa apa kamu kalau kerjaannya di kamar terus?” Emosi Pak Jajang meluap. “Lihatlah Yusuf, anaknya rajin, tidak banyak gaya, sopan sama orangtua.”
Merah telinga Lilis mendengar omelan bapaknya. Kalimat bapaknya itu seperti mengecap dirinya sebagai anak tidak berguna. Apalagi dibanding-bandingkan dengan si ‘Ucup Belewuk’-begitu Lilis menyebut Yusuf- yang dipandangnya bodoh, gagap, dekil lagi miskin.
Lilis tidak terima. Lilis berteriak sembari masuk ke dalam kamar, lalu dibantingnya pintu.
“Astaghfirullahal’adzim…” Buk Martinah mengelus dada.
Prang!Klentang!
Dari dalam kamar Lilis membanting gelas dan piring kaleng yang biasa ia bawa saat makan sambil tiduran dan nonton drama Korea.
Yusuf yang sedari tadi mendengar keributan dari dalam rumah Pak Jajang kaget namanya disebut-sebut. Lamat-lamat Yusuf mendengar gunjingan dua warga yang kebetulan sedang lewat di depan halaman rumah Pak Jajang.
“Anak gadis Pak Jajang sungguh bertabiat buruk,” ujar salah seorang.
“Iya, cantik-cantik sayang kelakukan seperti…” timpal yang lain sambil geleng-geleng kepala.
“Hush!” Yusuf segera membantahnya sembari meletakkan jari telunjuk di bibirnya.
Ketegangan dari dalam rumah Pak Jajang rupanya merambat ke dada Yusuf yang berdegup-degup terbawa suasana. Pak Jajang yang dikenal berwibawa dan cukup dipandang di desanya itu rupanya masih bisa kena hardik anaknya sendiri.Lalu keluarlah Pak Jajang dari dalam rumah dengan wajah merah karena marah. Dan saat pria berusia empat puluh tahun itu menatap Yusuf, ia membatin. Bagaimana jika anaknya yang liar dijodohkan saja dengan pemuda rajin dan baik itu. Pemuda itu juga tidak jelek, hanya miskin dan kurang merawat badan. Jika terus aku bimbing, insyaallah ia menjadi pemuda yang pandai mengelola kebun ini. Dengan begitu aku punya pewaris usaha yang jujur lagi dapat diandalkan.“Yusuf, boleh kemari sebentar?” panggil Pak Jajang.Yusuf menoleh. “I-i-ya, Pak.” Yusuf menghampiri Pak Jajang sembari sedikit menundukkan kepalanya.“Bapak mau tanya, waktu itu kamu pernah cerita… kamu putus sekolah pas SMP, betul?”
Di kamar neneknya, ruangan sempit berukuran tiga kali tiga meter, Yusuf berpose di hadapan cermin dengan tempelan lakban coklat yang memanjang di bagian tengah. Cermin yang terselip di kerangka rumah berbilik bambu itu tak lebih besar dari satu halaman buku tulis tetapi cukup membuat Yusuf terpana oleh bayangannya sendiri.Yusuf lupa terakhir kali bercermin. Selama ini ia memang menganggap hal itu tidaklah penting. Maka, ketika melihat rahang yang melebar dan lekuk wajah yang tegas Yusuf hampir tak percaya apakah seseorang di dalam cermin itu benar-benar dirinya.Yusuf melipat kerah kemeja flanel bermotif kotak warna hijau dan hitam yang ia beli di toko pinggir jalan, sepulangnya bekerja di kebun Pak Jajang. Terlihat kaos putih di bagian tengah, di antara belahan kemeja yang sengaja tidak dikancingkan.“Wih, kasep euy!” tutur Yusuf sambil mesem-mesem.Lengan kemeja dilipatnya sampai setengah siku. Lalu Yusuf memasukan kedua telapak ta
Pagi itu, tak seperti biasa Lilis sudah bangun bahkan sudah rapi dan wangi. Dua jam Lilis berdandan demi menonton syuting sinetron di kebun teh yang tak jauh dari rumahnya.“Hai! Ketemu lagi sama aku, Loulia Barsha,” riang Lilis menyapa orang-orang di dalam ponsel yang disebutnya ‘sahabat online’. “Hari ini aku mau ketemu sama idola aku… tebak siapa? Emh…pokoknya dia ganteng banget, cool… Ah, jadi nggak sabar. Hihihi,” ucap Lilis.Saat Lilis keluar kamar, Buk Martinah yang sedang sibuk beberes rumah menegur, “Wah, anak perawan ibu sudah cantik. Senangnya ibu ada yang bantuin masak di dapur.”“Ish, siapa yang mau masak? Lilis mau pergi yah. Mau ketemu artis,” jawab Lilis sambil memilah sandal di rak sepatu.“Loh, mau kemana? Mau ngapain? Sudah bilang belum sama Bapak?” tanya buk Martinah setengah berteriak.“Ah… Ibu banyak tany
Si gagap, dekil, miskin. Yusuf latah, ia langsung mencium aroma tubuhnya saat mendengar Lilis menyebutnya belewuk. Bagi Yusuf, belewuk adalah sebutan yang berlebihan dan menghina. Bukankah ‘belewuk’ adalah julukan untuk sesuatu yang kotor, jijik dan bau. Mendengarnya bahu Yusuf terkulai lemas.Sebegitu bencikah ia padaku? Ini di depan umum. Tak bisakah ia sedikit menjaga harga diriku. Biar begini, aku juga lelaki, batin Yusuf menjerit.Ia bahkan belum mengungkapkan sendiri perasaannya terhadap Lilis. Namun, sore itu semua kata-kata Lilis tentangnya, ia garis bawahi.Sementara, Lilis juga terhenyak oleh ucapannya sendiri. Ia tak menyangka laki-laki itu ada di belakangnya setelah temannya memberi tahu dengan tatapan resah.Lilis memang tidak suka pada Yusuf, terlebih ketika ia sering mendapati Yusuf mencuri-curi pandang padanya yang membuat Lilis merasa risih. Lalu, karena gelagat Yusuf yang amat kentara, maka Lilis sering dibercanda-i oleh tema
Enam bulan berlalu, dan Yusuf mulai mahir berbicara bahasa Inggris. Hal itu terbukti ketika ada bule datang ke kebun wisata Pak Jajang atau minta diantar ke curug di sekitar kaki Gunung Salak. Yusuf tak canggung menemaninya. Berbekal keahlian barunya itu, Yusuf kini jadi seorang pemandu wisata yang kesohor di kawasan Taman Nasional Kaki Gunung Salak.Decak kagum sering kali Yusuf dapatkan dari orang-orang kampung terkait perubahannya yang signifikan. Yusuf yang sekarang tidak lagi menunduk saat berpapasan dengan orang di jalan, tidak juga cengengesan saat sedang diajak ngobrol. Yusuf selalu menampakkan sikap percaya diri dan pembawaan yang tenang. Yusuf kini bahkan sudah tidak gagap berkat terapi yang ia dapatkan di tempat kursus publik speaking.Yusuf yang semula cuek dengan penampilannya, kini lebih pandai merawat diri. Kesan lusuh, dekil dan bau tak lagi melekat. Yusuf sudah mampu membeli jaket, celana olahraga, kemeja, sandal gunung dan segala per
Malam itu Yusuf duduk sendiri di batu besar di pinggir sungai, tempat ia biasa nongkrong sendiri, merenungi jalan hidupnya. Awan mendung di langit sesekali melontar cahaya kilat bergemuruh. Namun Yusuf, bersikukuh menghabiskan sebatang lagi rokoknya. Dihisapnya dalam-dalam lalu asap rokok dihembuskannya perlahan sembari teringat pada sosok Lilis.Sudah enam bulan berlalu, gadis itu ternyata berubah semakin cantik dan jelita. Tubuhnya berlekuk-lekuk indah, tinggi semampai dimahkotai rambut hitam lebat yang tergerai panjang, memikat. Kulitnya bening bersinar dan mulus seperti gelas kaca.Yusuf takut tak bisa mengendalikan sikapnya seperti dulu, yang terlalu jelas terlihat menyukai gadis itu. Ternyata, masih tersisa rasa rendah diri di hatinya. Tentulah karena hinaan yang pernah terlontar dari bibir manis milik Lilis, anak semata wayang Pak Jajang.Yusuf harus jujur, ia gagal menghapus bayang-bayang Lilis di benaknya. Selama ini ia terus dipenuhi perasaan galau tak
Malam itu, di atas tempat tidurnya, Lilis tengkurap dengan kepala tegak menghadap layar ponsel. Bola matanya naik turun melihat slide demi slide kehidupan orang di berbagai tempat di belahan dunia. Dan seperti biasa, setelah Lilis lelah berselancar di dunia maya, Lilis akan merutuk pada dirinya sendiri bahwa betapa nahas kehidupannya.Terpenjara di sebuah desa, jauh dari pusat hiburan dan perbelanjaan membelenggu batin Lilis tiga tahun lamanya. Ada sebuntal hasrat yang tak mampu ia salurkan, dan rasanya setiap malam sebelum menutup mata, hasrat di dadanya semakin membuncah bak air bendungan yang sudah melebihi kapasitas dan bisa jebol kapan saja. Lilis tak menyadari, bahkan desa yang ia anggap sebagai penjara itu adalah surga yang dimimpikan banyak orang.Tap!Jempol Lilis berhenti mengusap layar ponsel, tertahan oleh sebuah video yang menampilkan seorang gadis cantik tengah berurai air mata. Kemudian datang seorang lelaki tampan, mengusap pipi
Trekking dimulai setelah Pak Herman memarkir mobil sport putihnya di sebuah lapangan kecil, khusus parkir wisatawan. Saat itu hari mulai terang dan aroma embun segera menyergap indera penciuman mereka.“Jadi, kamu di Indonesia untuk liburan?” tanya Lilis pada Rio. Di mobil, di sepanjang jalan menuju kawasan hutan, Lilis dan Rio banyak berbincang. Rio yang supel membuat mereka cepat akrab.“Ya, hanya satu bulan aku di Indonesia. Selanjutnya aku harus pergi lagi ke London,” jawab Rio sembari melakukan gerakan-gerakan stretching.“Wow… bagaimana rasanya tinggal di kota besar itu? Pasti menyenangkan sekali,” ucap Lilis.“Ya. Menyenangkan bisa main ke beberapa spot wisata favorit dunia dan berjumpa banyak orang dari berbagai macam latar belakang. But, sometimes I feel bad, saat banyak sekali tugas kuliah dan… saat kangen suasana kampung seperti ini,” tutur Rio ser