Share

7

Di kamar neneknya, ruangan sempit berukuran tiga kali tiga meter, Yusuf berpose di hadapan cermin dengan tempelan lakban coklat yang memanjang di bagian tengah. Cermin yang terselip di kerangka rumah berbilik bambu itu tak lebih besar dari satu halaman buku tulis tetapi cukup membuat Yusuf terpana oleh bayangannya sendiri.

Yusuf lupa terakhir kali bercermin. Selama ini ia memang menganggap hal itu tidaklah penting. Maka, ketika melihat rahang yang melebar dan lekuk wajah yang tegas Yusuf hampir tak percaya apakah seseorang di dalam cermin itu benar-benar dirinya.

Yusuf melipat kerah kemeja flanel bermotif kotak warna hijau dan hitam yang ia beli di toko pinggir jalan, sepulangnya bekerja di kebun Pak Jajang. Terlihat kaos putih di bagian tengah, di antara belahan kemeja yang sengaja tidak dikancingkan.

“Wih, kasep euy!” tutur Yusuf sambil mesem-mesem.

Lengan kemeja dilipatnya sampai setengah siku. Lalu Yusuf memasukan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana jeans berwarna hitam. Dengan begitu Yusuf kini nampak seperti anak muda yang ‘kekinian’ kalau istilah jaman sekarang. Disebut begitu karena sehari-hari tampilan Yusuf seperti Si Kabayan, bersendal jepit, bercelana cingkrang dengan sarung yang di selempangkan di bahu.

Perlu kalian tahu, Yusuf sangat tidak pandai berdandan. Setelan seperti itu pun atas saran si penjual baju yang kini membuat Yusuf takjub sendiri.

Lalu, setelah puas memandangi pantulan wajahnya di cermin, tertegunlah Yusuf. Ia teringat permintaan Pak Jajang tadi sore. Yusuf bertanya-tanya, mengapa Pak Jajang tidak mencari pekerja baru. Di kampungnya, banyak anak muda lulusan SMA yang tentu lebih pandai darinya. Mengapa Pak Jajang malah repot-repot menyuruhnya kursus. Selain keluar biaya, hasilnya juga belum tentu sesuai harapan, batin Yusuf yang teringat akan kekurangan dirinya.

“Aih, kenapa aku tidak menolak? Bagaimana kalau aku tidak bisa? Mana sudah dibelikan baju dan celana,” Yusuf merasa rendah diri. Kepala Yusuf tiba-tiba pening memikirkannya.

“Sup…” serak kering suara nenek Yusuf memanggilnya. “Eleuh-eleuh… meuni keren kitu, gantenglah,” decak kagum Ni Cicah yang tiba-tiba muncul menyibak gorden pintu kamar.

Yusuf spontan kaget. Gagapnya kumat lagi. “Ni-ni-nini mah… Ka-ka-kaget Usup!”

“Kalau ganteng begini, bisa-bisa Neng Lilis naksir berat,” seloroh Ni Cicah.

“Ish, ai si Nini…” Yusuf mengelak.

“Bener ini teh Pak Jajang yang belikan?”

Yusuf mengangguk.

“Terus Pak Jajang nyuruh kursus-kursus segala?”

Yusuf mengangguk lagi, lebih kencang.

“Waduh… bener ini mah, bener! Kayanya kamu mau dijadikan mantunya Pak Jajang, hihihi…” Ni Cicah tertawa kecil.

“Aih… si-si-si Nini... U-u-usup mau tidur, ah,” ucap Yusuf sambil melengos dan berjalan keluar kamar. Malu Yusuf mendengar gurauan neneknya. Lagi-lagi Yusuf curiga, jangan-jangan neneknya juga tahu sesuatu yang terpendam di hatinya selama ini. Dan saat Ni Cicah menyebut ‘mantu’, tubuh Yusuf serasa mau terbang.

Tiba di kamar, Yusuf berganti pakaian. Bukannya digantung atau dilipat, Yusuf malah menaruh begitu saja baju dan celana barunya di atas kasur yang kemudian ia tindih saat merebahkan badan. Ditariknya sarung yang sudah pudar warnanya, teman tidur Yusuf selain bantal kapuk yang lepek dan bergerinjul.

Yusuf menatap langit-langit kamar yang teranyam dari bambu dengan seekor laba-laba yang betah tinggal disana. Lalu, seperti malam-malam kemarin, Lilis si gadis manis akan datang membasahi jiwa dan raga Yusuf, pemuda yang sedang membara gairahnya.

Oh Lilis bidadariku…

Pagi hari, kabut tebal menyelimuti Desa Cihejo yang hijau oleh hamparan kebun teh sepanjang mata memandang. Yusuf menerabas pekatnya kabut dengan lompatan-lompatan riang persis anak kecil habis dibelikan mainan. Saat menjumpai tanaman talas, Yusuf menepak daunnya seolah bertemu kawan lama. Begitu pula saat berpapasan dengan pohon nangka, Yusuf buru-buru memeluknya. Yusuf bersandar di pohon nangka sambil bersenandung lagu India. Kepalanya menengok ke belakang, membayangkan Lilis tengah menciumnya dari balik pohon.

Yusuf menebar senyum saat berpapasan dengan beberapa pekerja kebun teh.

“Sup! Mau kemana rapi sekali?” tanya salah seorang di antara mereka.

“Ma-ma-” belum sempat Yusuf menjawab, seorang yang lain menyerobot.

“Mau ngelamar Lilis, yah?” kelakarnya yang lalu dibalas tawa terkekeh para pekerja kebun yang lain.

Yusuf sudah terbiasa mendapat ledekan seperti itu. Maka, tanpa perlu mempedulikan mereka Yusuf mempercepat langkah kaki menuju rumah Pak Jajang.

Dengan langkah mantap dan dada membusung Yusuf memasuki pekarangan rumah Pak Jajang. Matanya langsung mencari sosok gadis manis penghuni rumah itu. Ia hendak memamerkan penampilan barunya yang bersih lagi keren. Namun sejenak kemudian Yusuf teringat, sepagi ini Lilis pastilah belum bangun.

Issh…

Bodohnya aku!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status