Di kamar neneknya, ruangan sempit berukuran tiga kali tiga meter, Yusuf berpose di hadapan cermin dengan tempelan lakban coklat yang memanjang di bagian tengah. Cermin yang terselip di kerangka rumah berbilik bambu itu tak lebih besar dari satu halaman buku tulis tetapi cukup membuat Yusuf terpana oleh bayangannya sendiri.
Yusuf lupa terakhir kali bercermin. Selama ini ia memang menganggap hal itu tidaklah penting. Maka, ketika melihat rahang yang melebar dan lekuk wajah yang tegas Yusuf hampir tak percaya apakah seseorang di dalam cermin itu benar-benar dirinya.
Yusuf melipat kerah kemeja flanel bermotif kotak warna hijau dan hitam yang ia beli di toko pinggir jalan, sepulangnya bekerja di kebun Pak Jajang. Terlihat kaos putih di bagian tengah, di antara belahan kemeja yang sengaja tidak dikancingkan.
“Wih, kasep euy!” tutur Yusuf sambil mesem-mesem.
Lengan kemeja dilipatnya sampai setengah siku. Lalu Yusuf memasukan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana jeans berwarna hitam. Dengan begitu Yusuf kini nampak seperti anak muda yang ‘kekinian’ kalau istilah jaman sekarang. Disebut begitu karena sehari-hari tampilan Yusuf seperti Si Kabayan, bersendal jepit, bercelana cingkrang dengan sarung yang di selempangkan di bahu.
Perlu kalian tahu, Yusuf sangat tidak pandai berdandan. Setelan seperti itu pun atas saran si penjual baju yang kini membuat Yusuf takjub sendiri.
Lalu, setelah puas memandangi pantulan wajahnya di cermin, tertegunlah Yusuf. Ia teringat permintaan Pak Jajang tadi sore. Yusuf bertanya-tanya, mengapa Pak Jajang tidak mencari pekerja baru. Di kampungnya, banyak anak muda lulusan SMA yang tentu lebih pandai darinya. Mengapa Pak Jajang malah repot-repot menyuruhnya kursus. Selain keluar biaya, hasilnya juga belum tentu sesuai harapan, batin Yusuf yang teringat akan kekurangan dirinya.
“Aih, kenapa aku tidak menolak? Bagaimana kalau aku tidak bisa? Mana sudah dibelikan baju dan celana,” Yusuf merasa rendah diri. Kepala Yusuf tiba-tiba pening memikirkannya.
“Sup…” serak kering suara nenek Yusuf memanggilnya. “Eleuh-eleuh… meuni keren kitu, gantenglah,” decak kagum Ni Cicah yang tiba-tiba muncul menyibak gorden pintu kamar.
Yusuf spontan kaget. Gagapnya kumat lagi. “Ni-ni-nini mah… Ka-ka-kaget Usup!”
“Kalau ganteng begini, bisa-bisa Neng Lilis naksir berat,” seloroh Ni Cicah.
“Ish, ai si Nini…” Yusuf mengelak.
“Bener ini teh Pak Jajang yang belikan?”
Yusuf mengangguk.
“Terus Pak Jajang nyuruh kursus-kursus segala?”
Yusuf mengangguk lagi, lebih kencang.
“Waduh… bener ini mah, bener! Kayanya kamu mau dijadikan mantunya Pak Jajang, hihihi…” Ni Cicah tertawa kecil.
“Aih… si-si-si Nini... U-u-usup mau tidur, ah,” ucap Yusuf sambil melengos dan berjalan keluar kamar. Malu Yusuf mendengar gurauan neneknya. Lagi-lagi Yusuf curiga, jangan-jangan neneknya juga tahu sesuatu yang terpendam di hatinya selama ini. Dan saat Ni Cicah menyebut ‘mantu’, tubuh Yusuf serasa mau terbang.
Tiba di kamar, Yusuf berganti pakaian. Bukannya digantung atau dilipat, Yusuf malah menaruh begitu saja baju dan celana barunya di atas kasur yang kemudian ia tindih saat merebahkan badan. Ditariknya sarung yang sudah pudar warnanya, teman tidur Yusuf selain bantal kapuk yang lepek dan bergerinjul.
Yusuf menatap langit-langit kamar yang teranyam dari bambu dengan seekor laba-laba yang betah tinggal disana. Lalu, seperti malam-malam kemarin, Lilis si gadis manis akan datang membasahi jiwa dan raga Yusuf, pemuda yang sedang membara gairahnya.
Oh Lilis bidadariku…
Pagi hari, kabut tebal menyelimuti Desa Cihejo yang hijau oleh hamparan kebun teh sepanjang mata memandang. Yusuf menerabas pekatnya kabut dengan lompatan-lompatan riang persis anak kecil habis dibelikan mainan. Saat menjumpai tanaman talas, Yusuf menepak daunnya seolah bertemu kawan lama. Begitu pula saat berpapasan dengan pohon nangka, Yusuf buru-buru memeluknya. Yusuf bersandar di pohon nangka sambil bersenandung lagu India. Kepalanya menengok ke belakang, membayangkan Lilis tengah menciumnya dari balik pohon.
Yusuf menebar senyum saat berpapasan dengan beberapa pekerja kebun teh.
“Sup! Mau kemana rapi sekali?” tanya salah seorang di antara mereka.
“Ma-ma-” belum sempat Yusuf menjawab, seorang yang lain menyerobot.
“Mau ngelamar Lilis, yah?” kelakarnya yang lalu dibalas tawa terkekeh para pekerja kebun yang lain.
Yusuf sudah terbiasa mendapat ledekan seperti itu. Maka, tanpa perlu mempedulikan mereka Yusuf mempercepat langkah kaki menuju rumah Pak Jajang.
Dengan langkah mantap dan dada membusung Yusuf memasuki pekarangan rumah Pak Jajang. Matanya langsung mencari sosok gadis manis penghuni rumah itu. Ia hendak memamerkan penampilan barunya yang bersih lagi keren. Namun sejenak kemudian Yusuf teringat, sepagi ini Lilis pastilah belum bangun.
Issh…
Bodohnya aku!
Pagi itu, tak seperti biasa Lilis sudah bangun bahkan sudah rapi dan wangi. Dua jam Lilis berdandan demi menonton syuting sinetron di kebun teh yang tak jauh dari rumahnya.“Hai! Ketemu lagi sama aku, Loulia Barsha,” riang Lilis menyapa orang-orang di dalam ponsel yang disebutnya ‘sahabat online’. “Hari ini aku mau ketemu sama idola aku… tebak siapa? Emh…pokoknya dia ganteng banget, cool… Ah, jadi nggak sabar. Hihihi,” ucap Lilis.Saat Lilis keluar kamar, Buk Martinah yang sedang sibuk beberes rumah menegur, “Wah, anak perawan ibu sudah cantik. Senangnya ibu ada yang bantuin masak di dapur.”“Ish, siapa yang mau masak? Lilis mau pergi yah. Mau ketemu artis,” jawab Lilis sambil memilah sandal di rak sepatu.“Loh, mau kemana? Mau ngapain? Sudah bilang belum sama Bapak?” tanya buk Martinah setengah berteriak.“Ah… Ibu banyak tany
Si gagap, dekil, miskin. Yusuf latah, ia langsung mencium aroma tubuhnya saat mendengar Lilis menyebutnya belewuk. Bagi Yusuf, belewuk adalah sebutan yang berlebihan dan menghina. Bukankah ‘belewuk’ adalah julukan untuk sesuatu yang kotor, jijik dan bau. Mendengarnya bahu Yusuf terkulai lemas.Sebegitu bencikah ia padaku? Ini di depan umum. Tak bisakah ia sedikit menjaga harga diriku. Biar begini, aku juga lelaki, batin Yusuf menjerit.Ia bahkan belum mengungkapkan sendiri perasaannya terhadap Lilis. Namun, sore itu semua kata-kata Lilis tentangnya, ia garis bawahi.Sementara, Lilis juga terhenyak oleh ucapannya sendiri. Ia tak menyangka laki-laki itu ada di belakangnya setelah temannya memberi tahu dengan tatapan resah.Lilis memang tidak suka pada Yusuf, terlebih ketika ia sering mendapati Yusuf mencuri-curi pandang padanya yang membuat Lilis merasa risih. Lalu, karena gelagat Yusuf yang amat kentara, maka Lilis sering dibercanda-i oleh tema
Enam bulan berlalu, dan Yusuf mulai mahir berbicara bahasa Inggris. Hal itu terbukti ketika ada bule datang ke kebun wisata Pak Jajang atau minta diantar ke curug di sekitar kaki Gunung Salak. Yusuf tak canggung menemaninya. Berbekal keahlian barunya itu, Yusuf kini jadi seorang pemandu wisata yang kesohor di kawasan Taman Nasional Kaki Gunung Salak.Decak kagum sering kali Yusuf dapatkan dari orang-orang kampung terkait perubahannya yang signifikan. Yusuf yang sekarang tidak lagi menunduk saat berpapasan dengan orang di jalan, tidak juga cengengesan saat sedang diajak ngobrol. Yusuf selalu menampakkan sikap percaya diri dan pembawaan yang tenang. Yusuf kini bahkan sudah tidak gagap berkat terapi yang ia dapatkan di tempat kursus publik speaking.Yusuf yang semula cuek dengan penampilannya, kini lebih pandai merawat diri. Kesan lusuh, dekil dan bau tak lagi melekat. Yusuf sudah mampu membeli jaket, celana olahraga, kemeja, sandal gunung dan segala per
Malam itu Yusuf duduk sendiri di batu besar di pinggir sungai, tempat ia biasa nongkrong sendiri, merenungi jalan hidupnya. Awan mendung di langit sesekali melontar cahaya kilat bergemuruh. Namun Yusuf, bersikukuh menghabiskan sebatang lagi rokoknya. Dihisapnya dalam-dalam lalu asap rokok dihembuskannya perlahan sembari teringat pada sosok Lilis.Sudah enam bulan berlalu, gadis itu ternyata berubah semakin cantik dan jelita. Tubuhnya berlekuk-lekuk indah, tinggi semampai dimahkotai rambut hitam lebat yang tergerai panjang, memikat. Kulitnya bening bersinar dan mulus seperti gelas kaca.Yusuf takut tak bisa mengendalikan sikapnya seperti dulu, yang terlalu jelas terlihat menyukai gadis itu. Ternyata, masih tersisa rasa rendah diri di hatinya. Tentulah karena hinaan yang pernah terlontar dari bibir manis milik Lilis, anak semata wayang Pak Jajang.Yusuf harus jujur, ia gagal menghapus bayang-bayang Lilis di benaknya. Selama ini ia terus dipenuhi perasaan galau tak
Malam itu, di atas tempat tidurnya, Lilis tengkurap dengan kepala tegak menghadap layar ponsel. Bola matanya naik turun melihat slide demi slide kehidupan orang di berbagai tempat di belahan dunia. Dan seperti biasa, setelah Lilis lelah berselancar di dunia maya, Lilis akan merutuk pada dirinya sendiri bahwa betapa nahas kehidupannya.Terpenjara di sebuah desa, jauh dari pusat hiburan dan perbelanjaan membelenggu batin Lilis tiga tahun lamanya. Ada sebuntal hasrat yang tak mampu ia salurkan, dan rasanya setiap malam sebelum menutup mata, hasrat di dadanya semakin membuncah bak air bendungan yang sudah melebihi kapasitas dan bisa jebol kapan saja. Lilis tak menyadari, bahkan desa yang ia anggap sebagai penjara itu adalah surga yang dimimpikan banyak orang.Tap!Jempol Lilis berhenti mengusap layar ponsel, tertahan oleh sebuah video yang menampilkan seorang gadis cantik tengah berurai air mata. Kemudian datang seorang lelaki tampan, mengusap pipi
Trekking dimulai setelah Pak Herman memarkir mobil sport putihnya di sebuah lapangan kecil, khusus parkir wisatawan. Saat itu hari mulai terang dan aroma embun segera menyergap indera penciuman mereka.“Jadi, kamu di Indonesia untuk liburan?” tanya Lilis pada Rio. Di mobil, di sepanjang jalan menuju kawasan hutan, Lilis dan Rio banyak berbincang. Rio yang supel membuat mereka cepat akrab.“Ya, hanya satu bulan aku di Indonesia. Selanjutnya aku harus pergi lagi ke London,” jawab Rio sembari melakukan gerakan-gerakan stretching.“Wow… bagaimana rasanya tinggal di kota besar itu? Pasti menyenangkan sekali,” ucap Lilis.“Ya. Menyenangkan bisa main ke beberapa spot wisata favorit dunia dan berjumpa banyak orang dari berbagai macam latar belakang. But, sometimes I feel bad, saat banyak sekali tugas kuliah dan… saat kangen suasana kampung seperti ini,” tutur Rio ser
Good Morning, Loulia!Kau belum bangun?Lilis meraih ponselnya segera setelah ia membuka mata. Sebuah pesan masuk, pukul 07.00, dua jam yang lalu. Lilis mengerutkan kening demi membaca pesan tersebut saat kelopak matanya masih dipenuhi serpihan benda putih.“Rio?” gumam Lilis. Lilis bergegas bangkit dari tidurnya ketika mengetahui pesan itu dari pemuda yang ia kenal kemarin.Ya. Kemarin hari yang sangat melelahkan… dan badanku masih terasa sakit.Lilis menarik bantal ke atas pangkuannya. Ia kini bersandar di tepi tempat tidur. Kemudian dimulailah ritual harian Lilis, yaitu berselancar di dunia maya, mengintip kemajuan orang lain saat dirinya masih nyaman rebahan.No. I thought yesterday was awesome. Bagaimana aku bisa pergi dari surga seindah itu, dan… bidadari secantik kamu.Rio cepat membalas pesan.“Ish.” Alis Lilis terangkat sebelah. Ternyata kuli
“Hiiiy... Ucup belewuk!” teriak Lilis histeris. Segera diraihnya handuk yang tersimpan di atas batu. “Sedang apa kau di situ?” Lilis tergesa menutupi tubuhnya.“A-a-anu, aku tadi…” Tiba-tiba gagap Yusuf kumat lagi. Belum selesai ia menjawab Lilis kembali meneriakinya.“Jangan bilang sedari tadi kau mengintip! Hiy, dasar cabul!” cerca Lilis.“Ti-ti-tidak, aku hendak membetulkan selang air,” sergah Yusuf terbata.“Mengapa masih berdiri di situ? Cepat pergi!” usir Lilis sambil menampar air.“I-i-iya.” Yusuf segera berbalik dengan gemetar di sekujur tubuh. Baru selangkah, Yusuf kembali memutar tubuhnya. “Tapi kau tidak apa-apa sendirian?”“Apa?” Teriak Lilis tak percaya Yusuf bertanya seperti itu.“Kau tidak tahu?” tanya Yusuf dan Lilis semakin tak mengerti. “Di jam-jam segini, si Ikok sering muncul di sekit