Tak! Tuk! Tak! Tuk!Bagi Farhan jarum jam yang berdetak di ruang pemeriksaan tak sekadar berjalan meniti waktu, namun terasa begitu tajam menusuk tempurung kepalanya. Dokter muda itu mengerjapkan mata berulang kali, juga mengatur napasnya yang kacau namun semampunya ia sembunyikan. Farhan tak ingin efek yang terjadi pada tubuhnya sebagai seorang lelaki dewasa normal disadari oleh gadis itu. Bahkan saat pasiennya itu melepas pakaian atasnya hingga terpampang nyata dua benda bulat berharga miliknya, Farhan masih bisa bersikap tenang.“Oke,” gumam Farhan setelah mengamati dua bukit kembar milik Erna. Lalu kembali menambahkan catatan di kertas yang ditopang papan dada. Seolah sedang melakukan pemeriksaan biasa, Farhan tak menampakkan reaksi berarti. Sikap datarnya itu justru memancing rasa penasaran Erna.“Apakah baik-baik saja, Dok?” Erna sengaja melembutkan suaranya seiring dengan sorot matanya yang mendalam pada dokter muda itu.&ld
Desing suara mesin mobil pengangkut sayur yang beradu dengan gemeretak batu-batu kerikil yang digilas ban di halaman rumah berhasil mengalihkan pikiran Lilis sejenak dari ruwet pikirannya yang seperti benang kusut itu. Ia segera menyerbu pintu, persis anak kecil yang telah menunggu lama sang ayah pulang dari bekerja.Seorang laki-laki 40 tahunan turun dari mobil. Sambil mengelap peluh di wajahnya dengan handuk yang tersangkut di leher laki-laki itu berjalan menghampiri Lilis. Dari pintu mobil yang lain melompat seorang pemuda jangkung lagi kerempeng. Pemuda itu langsung menyalakan sebatang rokok setelah menemukan pojok yang pas untuk berjongkok.“Macet lagi, Pak?” tanya Lilis sambil menerima beberapa lembar nota dan kunci mobil yang disodorkan laki-laki itu.“Iya, Neng. Biasalah, kalau lewat pas lagi bubar karyawan pabrik pasti macet.”“Pak Asep, saya bikinin kopi ya,” seru Buk Martinah yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.“Nggak usah, Buk. Saya mau langsung pulang saja. Sudah kemale
Seringkali Loulia membayangkan betapa suatu hari ia akan menjadi seorang bintang, melenggang anggun melintasi red carpet di tengah keranuman tatapan kagum. Pada saat itulah ia akan merasakan percikan lampu kamera menjadi lebih hangat dari ciuman pertama, dan keredap cahaya yang memantul dari gaun berwarna peraknya liar memikat selera semua mata hingga hanya tertuju padanya.“Sungguh, A! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma seorang bintang…” Loulia berbicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Kemudian orang-orang berebut untuk berfoto bersamaku.”Yusuf yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau Aa punya keinginan seperti kamu, Aa pasti memilih menjadi kabut.”“Kenapa?”“Biar Aa bisa dicumbui kamu persis saat kamu menyesap aroma kabut sampai matamu merem melek. Biar Aa bisa menyusup ke rongga paru-parumu, mendekam
“Selamat pagi!”“Pagi!”“Semangat!”“Semangat! Yes! Yes! Yes!”Sorak sorai penuh semangat membaur dengan cuitan burung-burung yang telah keluar dari sarang. Rona gembira menyibak kabut liar, elemen terbaik milik alam Cihejo di pagi hari. Mereka, gerombolan wisatawan dari kota, tujuh orang banyaknya, empat laki-laki dan tiga perempuan nampak begitu antusias menjajal wahana permainan air yang disebut river tubing. Di tepi sungai Harerang, setiap intruksi yang diberikan oleh pemandu mereka simak dengan baik, walaupun ada sebagian yang lebih asik bercanda dengan menggodai temannya.“Selamat datang di Harerang River Tubing!” Lilis sudah mengenakan pakaian sport muslimahnya saat menyambut mereka. Menjadi pemandu wisata air adalah pekerjaannya selain mengelola kebun wisata stroberi. Berkat tangan dinginnya, gadis itu berhasil menarik lebih banyak wisatawan dengan menawarkan beberapa paket wisata, river tubing ini salah satunya. Lima tahun lalu, Sungai Harerang hanyalah sungai alami milik w
“Aa Yusuf…” Lirih suara Loulia memanggil nama pemuda yang dicintainya itu. Dibukanya mata yang entah berapa lama terpejam hingga terasa berat dan rapat. “Emh…” lenguh Loulia seraya berpaling dari cahaya yang menyorotnya tajam. Loulia kembali berusaha membuka mata perlahan dibantu telapak tangannya demi menghalau cahaya yang menyilaukan itu.“Di mana ini?” gumamnya dengan tenggorokan sakit karena kering. Loulia menatap langit-langit yang terasa asing baginya. Ini pastilah sebuah kamar, yakinnya dalam hati setelah menyadari dirinya tengah terbaring di atas kasur empuk berselimut tebal.Masih menghalangi wajahnya dengan telapak tangan, Loulia mulai mengamati keadaan sekitar. Pandangan Loulia berkeliling demi mencari secercah petunjuk di mana dirinya berada saat ini. Dilihatnya dinding berwarna putih, gorden, meja, lampu… lampu studio? Loulia terheran ketika melihat lampu studio berdiri di depan ranjang. Monitor? Kam
Di depan monitor, duduk Deon bersilang kaki sambil mengelus-elus dagunya yang kasar bekas cukuran. Deon mengamati setiap lekuk tubuh milik gadis cantik bernama Loulia itu dari layar monitor hasil tangkapan kamera yang telah ia setting sebelumnya. Tubuh itu ibarat buah yang masak di pohon, yang segar dan sedang ranum-ranumnya, begitu menggoda untuk segera dipetik.Sleptch… Deon menelan air liur. Sebetulnya ia kuasa menyalurkan hasratnya segera, tetapi ia mendambakan sebuah permainan demi mencapai kesenangan dan kepuasan yang lebih.“Loulia sayang, menarilah untukku…” pinta Deon pada gadis itu.“Ahihi…” Loulia tertawa kecil. Ia beringsut dari tempat duduknya di tepi kasur. Tak segera memenuhi permintaan Deon, ia malah kembali menarik selimutnya yang jatuh ke lantai. “Tidak mau ah,” ucap Loulia seraya menggelengkan kepala.“Tak usah malu. Untuk kekasihmu, kau akan memberikan segalanya, k
Bola mata Loulia melotot mau keluar. Ia meronta dengan segenap tenaga yang tersisa, melawan dekapan pemuda bertubuh lebih besar darinya dari belakang. Pemuda itu barusan membawanya berlari tanpa alasan yang jelas. Setelah Loulia lemas, sosok misterius itu perlahan melepaskan tangannya yang membekap Loulia.Loulia menghela napas berkali-kali. Ingatannya masih segar bahwa tadi itu ia sedang asyik menari di hadapan kekasihnya. Lalu, tiba-tiba pemuda ini mengacaukannya, menghajar kekasihnya juga para laki-laki berpakaian hitam.Klak!Pintu terbuka! Dengan gerakan cepat pemuda di belakangnya itu menekan kepala Loulia, memaksa gadis itu mengikuti gerakannya merunduk dan berjalan merangkak ke barisan lemari paling belakang.“He he he he he he…” Di ambang pintu Deon tertawa terkekeh sendiri. “Biarlah mereka di sini, mati perlahan karena kedinginan, he he he he…”Suara itu membuat gentar Loulia namun sekaligus men
Beberapa bulan sebelumnya…Di bawah sinar mentari yang merangkak naik, wajah Yusuf semakin mengkilap sebab minyak di kulit. Lalu, tercoreng wajah itu oleh butiran tanah saat Yusuf mengusap peluh di pelipisnya. Tudung kepala yang terbuat dari anyaman bambu ia jadikan kipas. Sejenak matanya terpejam demi menikmati hempasan angin sejuk yang ia ciptakan.Yusuf kemudian senyum-senyum sendiri sembari menyiram tanaman stroberi yang mulai berbuah. Warna buah stroberi mengingatkannya pada bibir Lilis yang kemerahan lagi segar. Yusuf membayangkan bibir itu bisa ia gigit seperti buah-buah stroberi.Ah, pasti rasanya legit. Yusuf nyengir saat satu gigitan buah stroberi masuk ke mulutnya. Ia menjulurkan lidah. Rasa kecut buah stroberi menimbulkan efek kejut sesaat, membuyarkan lamunannya.Lilis, gadis cantik nan manis anak semata wayang Pak Jajang -pemilik kebun stroberi- sungguh memikat hati Yusuf, seorang pemuda yang dikenal lugu lagi gagap dal